Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pembuktian



BAB I
PENDAHULUAN

1.      Latar Belakang
Pembuktian ialah tindakan yang dilakukan oleh para pihak dalam suatu sengketa. Pembuktian ini bertujuan untuk menetapkan hokum diantara kedua belah pihak yang menyangkut suatu hak sehingga diperoleh suatu kebenaran yang mempunyai nilai kepastian, keadilan, dan kepastian hokum.
Dalam pembuktian itu, maka para pihak member dasar-dasar yang cukup kepada hakim dihentikan melampaui batas yang diajukan oleh para pihak yang berperkara. Berkaitan dengan materi pembuktian maka dalam proses gugat menggugat, beban pembuktian sanggup ditujukan kepada penggugat, tergugat, maupun pihak ketiga yang melaksanakan intervensi. Pada prinsipnya, siapa yang mendalilkan sesuatu maka ia wajib membuktikannya.
Berkaitan dengan problem ini maka kami akan mengulas lebih lanjut dan lebih dalam terkena Pembuktian dan Alat Bukti sebagai salah satu tata cara beracara dalam aturan program perdata.
2.      Rumusan Masalah
1.      Apa dan bagaimana Pembuktian dalam Hukum Acara Perdata ?
2.      Apa saja alat bukti yang terdapat dalam Hukum Acara Perdata ?


BAB II
PEMBAHASAN

1.      Pembuktian
Masuk kedalam pembahasan pembuktian, sebelumnya harus diketahui bagaimana dan apa yang perlu dibuktikan atau objek dari pembuktian tersebut, didalam pembahasan kali ini, pembuktian dikhususkan pada ranah Hukum Acara Perdata yang dimana ada kaitannya dengan kiprah hakim dalam mengkonstatirkan insiden atau fakta yang diajukan para pihak.
Kebenaran yang  diperoleh dari pembuktian berafiliasi eksklusif dengan keputusan yang adil oleh hakim. Ada hal atau insiden yang dikecualikan atau tidak perlu diketahui oleh hakim, diantaranya :

a.       Peristiwanya memang dianggap tidak perlu diketahui oleh atau mustahil diketahui oleh hakim.
b.      Hakim secara ex officio dianggap mengenall peristiwanya, sehingga tidak perlu dibuktikan lebih lanjut.
c.       Pengetahuan ihwal pengalaman. [1]
Seperti yang dijelaskan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa pembuktian pada umumnya diatur dalam Buku Empat ihwal Pembuktian dan Daluarsa pasal 1865 “Setiap orang yang mengaku mempunyai suatu hak, atau menunjuk suatu insiden untuk meneguhkan haknya itu atau untuk membantah suatu hak orang lain, wajib mengambarkan adanya hak itu atau insiden yang dikemukakan itu.”[2]
Terdapat juga hal yang perlu dibuktikan diluar yang sudah dikecualikan diatas, Membuktikan dalam pembahasan aturan program dikenal mempunyai arti yuridis. Seperti yang diuraikan Sudikno Mertokusumo dalam bukunya Hukum Acara Perdata Indonesia, mengambarkan berarti memdiberi dasar yang cukup kepada hakim yang menyidik masalah yang bersangkutan guna memdiberi kepastian ihwal kebenaran insiden yang diajukan.

Lebih lanjut Sudikno menerangkan tujuan pembuktian. Bila dalam tujuan pembuktian ilmiah ialah semata-mata untuk mengambil kesimpulan, tujuan pembuktian yuridis ialah untuk mengambil keputusan yang bersifat definitive, yakni keputusan yang pasti, dan tidak mencurigai serta mempunyai keputusan hukum. Putusan pengadilan harus adil sehingga tidak ada pihak yang mencicipi terlalu rendah kadar keadilannya dari pihak lainnya.  
Lebih dalam terkena Hukum Pembuktian Positif, dalam program perdata diatur dalam HIR dan Rbg, serta dalam BW buku IV. Yang terantum dalam HIR dan Rbg ialah hokum pembuktian yang materiil maupun formil.[3]
Mengenai apa dan siapa yang dibuktikan dan mengambarkan maka yang harus dibuktikan ialah peristiwanya, hakim dalam proses perdata haruslah menemukan peristiwanya atau hubungan hukumnya kemudian menerapkan hokum terhadap insiden yang tersebut, kaitan antara insiden dan aturan yang ada tersebut.
Dari insiden tersebut yang harus dibuktikan ialah kebenarannya dimana kebenaran itu haruslah kebenaran formil, yang artinya hakim tidak boleh melampaui batas yang diajukan oleh yang berperkara, maka hakim tidak melihat kepada bobot atau isi, akan tetapi kepada luas daripada investigasi oleh hakim. 
Pasal 178 ayat 3 HIR (Ps. 189 ayat 3 Rbg.50 ayat 3 Rv) melarang hakim untuk menjatuhkan putusan atas masalah yang tidak dituntut, atau akan meluluskan lebih dari yang dituntut.[4]
Yang mencari kebenaran dan menetapkan insiden ialah hakim kemudian yang wajib mengambarkan atau mengajukan alat alat bukti ialah yang berkepentingan didalam masalah atau sengketa, berkepentingan bahwa gugatannya dikabulkan atau ditolak.[5]
Sesuai pasal 283 HIR “Barang siapa beranggapan mempunyai suatu hak atau suatu keadaan untuk menguatkan haknya atau menyangkal hak orang lain, harus mengambarkan hak atau keadaan itu (KUH Perdata 1865 ; HIR. 163)”[6]
Selanjutnya terkena beban pembuktian, kedua belah pihak, baik penggugat maupun tergugat sanggup dibebani dengan pembuktian. Terutama penggugat yang wajib mengambarkan insiden yang diajukannya, sedang tergugat berkewajiban mengambarkan kebenaran bantahannya. [7] Dalam hal ini ada beberapa teori ihwal beban pembuktian yang sanggup ialah fatwa bagi hakim.
1.      Teori Pembuktian yang bersifat menguatkan belaka (bloot affirmatief)[8]
Teori ini mengemukakan sesuatu harus membuktikannya dan bukan yang mengingkari atau menyangkalnya. Dasar hokum teori ini ialah pendapat bahwa hal hal yang negative mustahil dibuktikan (negativa opn sunt probanda).
2.      Teori Hukum Subjektif
Teori ini menggambarkan suatu proses perdata itu selalu ialah pelaksanaan hokum subjektif atau bertujuan memepertahankan hokum subjektif, dan siapa yang mengemukakan atau mengaku mempunyai sesuatu hak harus membuktikannya.
Teori ini berdasarkan pada pasal 1865 BW “Pasal 1865 Setiap orang yang mengaku mempunyai suatu hak, atau menunjuk suatu insiden untuk meneguhkan haknya itu atau untuk membantah suatu hak orang lain, wajib mengambarkan adanya hak itu atau insiden yang dikemukakan itu.”
3.      Teori Hukum Objektif
Teori ini mengajukan tuntutan hak atau somasi berarti bahwa penggugat minta kepada hakim supaya hakim menerapkan ketentuan-ketentuan hokum adil terhadap insiden yang diajukan.
4.      Teori Hukum Publik[9]
Menurut teori ini mencari kebenaran suatu insiden didalam peradilan ialah kepentingan publik.
5.      Teori Hukum Acara
Asas audi et alteram atau juga asas kedudukan proseusuil yang sama daripada para pihak di muka hakim yang ialah asas derma beban pembuktian berdasarkan teori ini.
Selanjutnya terkena alat pembuktian diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1866, Alat pembuktian meliputi : bukti tertulis, bukti saksi, persangkaan, pengakuan, sumpah. Pembahasan terkena macam alat bukti akan dibahas di poin kedua ditambah investigasi setempat dan saksi ahli. [10]
2.      Macam-macam Alat Bukti
Pada bab ini akan dibicirakan terkena alat bukti, yang meliputi pengertian jenis dan perkembangannya.
2.1  Pengertian Alat Bukti dan Perkembangannya.
Alat bukti ( bewijsmiddel ) mempunyai macam-macam bentuk dan juga jenisnya, yang mempunyai kemampuan untuk menerangkan dan juga mempersembahkan keterangan ihwal problem yang diperkarakan di pengadilan. Berdasarkan keterangan dan klarifikasi dari alat bukti itulah hakim melaksanakan penilaian, pihak mana yang paling tepat pembuktiannya.
Jadi, para pihak yang berperkara spesialuntuk sanggup mengambarkan kebenaran dalil gugat dan dalil bantahan sesuai fakta-fakta yang mereka kemukakan dengan jenis atau alat bukti tertentu.[11] Hukum pembuktian yang berlaku di Indonesia dikala ini ialah masih berpegang pada jenis alat bukti tertentu saja.
Para pihak yang terkait dalam persidangan (hakim-tergugat-penggugat) tidak bebas menerima-mengajukan alat bukti dalam proses penyelesaian perkara. Undang-undang sudah menentukannya secara enumerative apa saja yang sah dan bernilai sebagai alat bukti, dengan kata lain aturan pembuktian yang berlaku disini masih bersifat tertutup dan terbatas.
Namun di beberapa Negara menyerupai Belanda[12], sudah terjadi perpindahan teladan pembuktian yang kini sudah bermetamorfosis aturan pembuktian kea rah system terbuka. Dalam aturan pembuktian di pengadilan tidak lagi ditentukan secara enumerative lagi.
Kebenaran tidak saja sanggup diperoleh melalui bukti-bukti tertentu  saja melainkan sanggup pula diperoleh dari alat bukti apapun asal sanggup diterima secara aturan kebenarannya dan tidak merperihalan denga kepentingan umum. Artinya alat bukti yang sah dan dibenarkan sebagai alat bukti tidak disebutkan satu persatu.
Namun demikian, oleh alasannya ialah hingga kini aturan pembuktian di Indonesia ini belum mengalami pembaharuan menyerupai yang terjadi di beberapa Negara lainnya, para pihak yang berperkara maupun hakim masih berpegang pada system usang alasannya ialah hingga kini pengadilan belum berani melaksanakan terobosan mendapatkan alat bukti baru, diluar  yang disebutkan Undang-Undang.[13]
2.2  Macam-macam Alat Bukti
Menurut Sistem HIR, dalam aturan program perdata hakim terikat pada alat-alat bukti yang sah, yang artinya hakim spesialuntuk boleh menetapkan masalah melalui alat bukti yang sudah ditentukan sebelumnya oleh undang-undang. Alat-alat bukti yang disebutkan oleh undang-undang ialah : alat bukti tertulis, pembuktian dengan saksi, persangkaan-persangkaan, legalisasi dan sumpah (ps. 164 HIR, ps. 1866 KUH Perdata).
a.       Alat bukti tertulis
Alat bukti tertulis yang meliputi keterangan ihwal suatu peristiwa, keadaan, atau hal-hal tertentu. Dalam aturan program perdata dikenal beberapa macam alat bukti tertulis diantaranya sebagai diberikut.
Pertama  adalah surat ialah sesuatu yang memuat gejala bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk memberikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian.
Surat sebaagai alat bukti tertulis dibagi menjadi dua yaitu surat sebagai akta dan bukan akta, sedangkan sertifikat sendiri lebih lanjut  dibagi menjadi akta otentik dan akta dibawah tangan.
Kedua adalah sertifikat ialah surat sebagai alat bukti yang didiberi tanda tangan, yang memuat insiden yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibentuk semenjak tiruanla dengan sengaja untuk pembuktian.[14] Makara untuk sanggup dibuktikan menjadi sertifikat sebuah surat haruslah ditanhadirani.
Akta otentik ialah ‘akta yang dibentuk dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang untuk itu ditempat sertifikat dibuat’ (ps. 1868 KUH Perdata).
Dari klarifikasi pasal diatas sanggup disimpulkan bahwa sertifikat otentik dibentuk oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang yang disebut pejabat umum.  Apabila yang menciptakannya pejabat yang tidak cakap - tidak berwenang atau bentuknya cacat maka berdasarkan Pasal 1869 KUH Perdata : sertifikat tersebut tidak sah atau tidak memenuhi syarat formil sebagai sertifikat otentik; namun sertifikat yang demikian mempunyai nilai kekuatan sebagai sertifikat dibawah tangan.[15]
Akta dibawah tangan ialah sertifikat yang sengaja dibentuk untuk pembuktian oleh para pihak tanpa menolongan dari seorang pejabat. Makara semata-mata dibentuk antara para pihak yang berkepentingan.[16]
Akta dibawah tangan dirumuskan dalam Pasal 1874 KUH Perdata, yang mana berdasarkan pasal diatas, akata dibawah tangan ialah :
a.      Tulisan atau sertifikat yang ditanhadirani dibawah tangan,
b.     Tidak dibentuk atau ditanhadirani pihak yang berwenang.
c.     Secara khusus ada sertifikat dibawah tangan yang bersifat partai yang dibentuk oleh paling sedikit dua pihak.
Akta legalisasi sepihak ialah sertifikat yang bukan termasuk dalam sertifikat dibawah tangan yang bersifat partai , tetapi ialah surat legalisasi sepihak dari tergugat.[17] Oleh alasannya ialah bentuknya ialah sertifikat legalisasi sepihak maka evaluasi dan penerapannya tunduk pada ketentuan Pasal 1878 KUH Perdata. melaluiataubersamaini demikian harus memenuhi syarat :
a.       Seluruh isi sertifikat harus ditulis dengan goresan pena tangan si pembuat dan si penanhadiran;
b.      Atau paling tidak, legalisasi ihwal jumlah atau objek barang yang disebut didalamnya, ditulis tangan sendiri oleh pembuat dan penanda tangan.
Selanjutnya  ada penambahan alat bukti tertulis yang sifatnya melengkapi namun membutuhkan bukti otentik atau butuh alat bukti aslinya, diantaranya ialah alat bukti salinan, alat bukti kutipan dan alat bukti fotokopi. Namun kembali ditegaskan ketiruananya alat bukti suplemen tersebut membutuhkan penunjukan barang aslinya.[18]
c.       Alat bukti kesaksian
Alat bukti kesaksian diatur dalam pasal 139-152, 168-172 HIR dan 1902-1912 BW. Kesaksian ialah kepastian yang didiberikan kepada hakim dipersidangan ihwal insiden yang dipersengketakan dengan jalan pemdiberitahuan secara verbal dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang dipanggil dalam persidangan.[19]
Jadi keterangan yang didiberikan oleh seorang saksi haruslah insiden yang sudah ia alami sendiri, sedangkan pendapat atau dugaan yang diperoleh secara berfikir tidaklah termasuk dalam suatu kesaksian.
d.      Alat bukti persangkaan
“Persangkaan ialah kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditarik dari satu insiden yang diketahui umum ke arah suatu insiden yang tidak diketahui umum”, pasal 1915 KUH Perdata.
Kata lain dari persangkaan ialah vermoedem yang berarti dugaan atau presumptive.[20]
e.       Alat bukti pengakuan
Pengakuan (bekentenis confession) diatur dalam HIR pasal 174-176 dan KUH Perdata pasal 1923-1928.
Pengakuan ialah sebuah keterangan sepihak, kesannya tidak diharapkan persetujuan dari pihak lawan.
Pengakuan ialah pernyataan yang tegas, alasannya ialah legalisasi secara belakang layar tidaklah member kepastian kepada hakim ihwal kebenaran suatu peristiwa, pada hal alat bukti dimaksudkan untuk memdiberi kepastian kepada hakim ihwal kebenaran suatu peristiwa.[21]
f.       Alat bukti sumpah
Sumpah sebagai alat bukti ialah suatu keterangan atau pernyataan yang dikuatkan atas nama Tuhan, dengan tujuan supaya orang yang memdiberi keterangan tersebut takut akan marah Tuhan bilamana ia berbohong. Sumpah tersebut diikrarkan dengan verbal diucapkan di muka hakim dalam persidangan dilaksanakan di hadapan pihak lawan dikarenakan tidak adanya alat bukti lain.
g.      Pemeriksaan setempat
Salah satu hal yang akrab kaitannya dengan aturan pembuktian ialah investigasi setempat, namun secara formil ia tidak termasuk alat bukti dalam Pasal 1866 KUH Perdata. Sumber formil dari investigasi setempat ini ialah ada pada pasal 153 HIR yang diantaranya mempunyai maksud sebagai diberikut :
a.       Proses investigasi persidangan yang semestinya dilakukan diruang sidang sanggup dipindahkan ke daerah objek yang diperkarakan.
b.      Persidangan ditempat menyerupai itu bertujuan untuk melihat keadaan objek tersebut ditempat barang itu terletak.
c.       Dan yang melakukannya ialah sanggup seorang atau dua orang  anggota Majelis yang bersangkutan dimenolong oleh seorang panitera.[22]
h.      Saksi ahli/Pendapat ahli
Agar maksud investigasi andal tidak menyimpang dari yang semestinya, perlu dipahami dengan tepat arti dari kata andal tersebut yang dikaitkan dengan masalah yang bersangkutan. Secara umum pengertian andal ialah orang yang mempunyai pengetahuan khusus dibidang tertentu. Raymond Emson menyebut, “specialized are as of  knowledge”. [23]
Jadi berdasarkan aturan seseorang gres andal apabila ia :
a.       Memiliki pengetahuan khusus atau spesialisasi
b.      Spesialisasi tersebut sanggup berupa skill ataupun pengalaman
c.       Sedemikian rupa spesialisasinya menyebabkan ia bisa memmenolong menemukan fakta melebihi kemampuan umum orang biasa (ordinary people).[24]
Dari pengertian diaatas tidak  tiruana orang sanggup diangkat sebagai ahli. Apalagi kalau dikaitkan dengan masalah yang sedang diperiksa, spesialisasinya mesti sesuai dengan bidang yang disengketakan.


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
-          Dijelaskan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa pembuktian pada umumnya diatur dalam Buku Empat ihwal Pembuktian dan Daluarsa pasal 1865 “Setiap orang yang mengaku mempunyai suatu hak, atau menunjuk suatu insiden untuk meneguhkan haknya itu atau untuk membantah suatu hak orang lain, wajib mengambarkan adanya hak itu atau insiden yang dikemukakan itu.”
-          Yang mencari kebenaran dan menetapkan insiden ialah hakim kemudian yang wajib mengambarkan atau mengajukan alat alat bukti ialah yang berkepentingan didalam masalah atau sengketa, berkepentingan bahwa gugatannya dikabulkan atau ditolak.
-          Alat bukti ( bewijsmiddel ) mempunyai macam-macam bentuk dan juga jenisnya, yang mempunyai kemampuan untuk menerangkan dan juga mempersembahkan keterangan ihwal problem yang diperkarakan di pengadilan. Berdasarkan keterangan dan klarifikasi dari alat bukti itulah hakim melaksanakan penilaian, pihak mana yang paling tepat pembuktiannya.
-          Macam-macam Alat Bukti
a.       Alat bukti tertulis
Alat bukti tertulis yang meliputi keterangan ihwal suatu peristiwa, keadaan, atau hal-hal tertentu. Dalam aturan program perdata dikenal beberapa macam alat bukti tertulis diantaranya sebagai diberikut.
Surat sebaagai alat bukti tertulis dibagi menjadi dua yaitu surat sebagai akta dan bukan akta, sedangkan sertifikat sendiri lebih lanjut  dibagi menjadi akta otentik dan akta dibawah tangan.
b.      Alat bukti kesaksian
Alat bukti kesaksian diatur dalam pasal 139-152, 168-172 HIR dan 1902-1912 BW. Kesaksian ialah kepastian yang didiberikan kepada hakim dipersidangan ihwal insiden yang dipersengketakan dengan jalan pemdiberitahuan secara verbal dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang dipanggil dalam persidangan.
c.       Alat bukti persangkaan
“Persangkaan ialah kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditarik dari satu insiden yang diketahui umum ke arah suatu insiden yang tidak diketahui umum”, pasal 1915 KUH Perdata.
d.      Alat bukti pengakuan
Pengakuan (bekentenis confession) diatur dalam HIR pasal 174-176 dan KUH Perdata pasal 1923-1928. Pengakuan ialah sebuah keterangan sepihak, kesannya tidak diharapkan persetujuan dari pihak lawan.
e.       Alat bukti sumpah
Sumpah sebagai alat bukti ialah suatu keterangan atau pernyataan yang dikuatkan atas nama Tuhan, dengan tujuan supaya orang yang memdiberi keterangan tersebut takut akan marah Tuhan bilamana ia berbohong. Sumpah tersebut diikrarkan dengan verbal diucapkan di muka hakim dalam persidangan dilaksanakan di hadapan pihak lawan dikarenakan tidak adanya alat bukti lain.
f.       Pemeriksaan setempat
Salah satu hal yang akrab kaitannya dengan aturan pembuktian ialah investigasi setempat, namun secara formil ia tidak termasuk alat bukti dalam Pasal 1866 KUH Perdata. Sumber formil dari investigasi setempat ini ialah ada pada pasal 153 HIR
g.      Saksi ahli/Pendapat ahli
Agar maksud investigasi andal tidak menyimpang dari yang semestinya, perlu dipahami dengan tepat arti dari kata andal tersebut yang dikaitkan dengan masalah yang bersangkutan. Secara umum pengertian andal ialah orang yang mempunyai pengetahuan khusus dibidang tertentu. Raymond Emson menyebut, “specialized are as of  knowledge”.  Dari pengertian diaatas tidak  tiruana orang sanggup diangkat sebagai ahli. Apalagi kalau dikaitkan dengan masalah yang sedang diperiksa, spesialisasinya mesti sesuai dengan bidang yang disengketakan.


DAFTAR PUSTAKA

Kitab Undang Udang Hukum Perdata
Mertokusumo, Sudikno. 2006. Hukum Acara Perdata Indonesia. (Yogyakarta : Liberty. Edisi VII)
Mr. C. Asser’s Handleiding tot de beoefening van het Nedherlands Burgerlijk Recht, Vijfde Deel : Van Bewijs, N.V. Uigevers Maatschappij, W.E.J. Tjeenk Willink, Zwolle. 1953.
Reglement Biusten Govesten (RBg)
Yahya, M. Harahap, 2011. Hukum Acara Perdata. (Jakarta : Sinar Grafika)


[1] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta : Liberty. Edisi VII ), 132- 133
[2] Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. (RhedBook Publisher), 422
[3] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta : Liberty. Edisi VII ), 137
[4] Reglement Biusten Govesten (RBg), 18
[5] Opcit, 139
[6] Opcit,  47
[7] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta : Liberty. Edisi VII ), 142
[8] Asser – Anema – Verdam, 64
[9] Ibid, 72
[10] Kitab Undang Udang Hukum Perdata (RhedBook Publisher), 422
[11] Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), 554
[12] Opcit, 555
[13] Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hal. 556
[14] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 2006), hal. 149
[15] Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hal. 566
[16] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 2006), hal. 158
[17] Opcit, 607
[18] Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011),  616-622
[19] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 2006),  166
[20] Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011),  684
[21] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 2006),  181
[22] Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hal. 781
[23] Ibid, 789
[24] Ibid, 790

Posting Komentar untuk "Pembuktian"