Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pembagian Hadits



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Kitab-kitab hadis yang beredar di tengah-tengah masyarakat dan dijadikan pegangan oleh umat Islam dalam hubungannya dengan hadits sebagai sumber aliran Islam yaitu kitab-kitab yang disusun oleh para penyusunnya setelah usang Nabi wafat. Dalam jarak waktu antara kewafatan Nabi dan penulisan kitab-kitab hadits tersebut sudah terjadi banyak sekali hal yang sanggup menjadikan riwayat hadits tersebut menyalahi apa yang bahwasanya berasal dari Nabi.  Baik dari aspek kemurniannya dan keasliannya.
melaluiataubersamaini demikian, untuk mengetahui apakah riwayat banyak sekali hadits yang terhimpun dalam kitab-kitab hadits tersebut sanggup dijadikan sebagai hujjah ataukah tidak, terlebih lampau perlu dilakukan penelitian. Kegiatan penelitian hadits tidak spesialuntuk ditujukan kepada apa yang menjadi bahan diberita dalam hadits itu saja, yang biasa dikenal dengan dilema matan hadits, tetapi juga kepada banyak sekali hal yang berafiliasi dengan periwayatannya, dalam hal ini sanadnya, yakni rangkaian para periwayat yang memberikan matan hadis kepada kita.
Keberadaan perawi hadits sangat memilih kualitas hadits, baik kualitas sanad maupun kualitas matan hadits. Selama riwayat-riwayat ini membutuhkan penelitian dan kajian mendalam untuk mengetahui mana yang sanggup diterima dan mana yang ditolak, maka mutlak diharapkan adanya kaidah-kaidah dan patokan sebagai contoh melaksanakan studi Koreksi Hadits.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa saja pertolongan hadits dalam islam ?
2.      Bagaimana ciri-ciri dan kehujjahan hadits-hadits tersebut?
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pembagian Hadits Berdasarkan Kuantitas Rawi
Kuantitas hadits disini yaitu dari segi jumlah orang yang meriwayatkan suatu hadits atau dari segi jumlah sanadnya. Jumhur (mayoritas) ulama membagi hadis secara garis besar menjadi dua macam, yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad, disamping pertolongan lain yang diikuti oleh sebagian para ulama, yaitu pertolongan menjadi tiga macam yaitu: hadits mutawatir,  hadits masyhur (hadis mustafidh) dan hadits ahad.
1.      Hadis Mutawatir
Mutawatir secara etimology berasal dari kata tawatara yang berarti beruntun, atau mutatabi, yakni diberiring-ienteng antara satu dengan lainnya tanpa ada jarak. Sedangkan secara terminology mutawatir yaitu hadits yang di riwayatkan oleh orang banyak yang terhindar dari komitmen mereka untuk berdusta semenjak pertama sanad hingga selesai sanad dengan didasarkan pada panca.
a.       Syarat-syarat Hadits Mutawatir
-          Hadits mutawatir harus di riwayatkan oleh sejumlah besar perawi yang membawa keyakinan bahwa mereka itu tidak sepakat untuk berbohong.
-          Bedasarkan tanggapan panca indra, yakni bahwa diberita yang mereka sampaikan harus benar-benar ialah hasil telinga atau penglihatan sendiri.
-          Seimbang jumlah para perawi, semenjak dalam thabaqat (lapisan/tingkatan) pertama maupun thabaqat diberikutnya.
b.      Pembagian Hadits Mutawatir
Sebagian jumhur ulama sebut Hadits Mutawatir ada 3 yaitu:
-          Hadits Mutawatir Lafdhi adalah mutawatir dengan susunan redaksi yang persis sama.
misal hadits mutawatir lafdhi yang artinya: “Rasulullah SAW, bersabda: “Siapa yang sengaja berdusta terhadapku, maka hendaklah dia menduduki kawasan duduknya dalam neraka”. (Hadis Riwayat Bukhari).
Hadits tersebut berdasarkan keterangan Abu Bakar al-Bazzar, diriwayatkan oleh empat puluh orang teman dekat, bahkan berdasarkan keterangan ulama lain, ada enam puluh orang teman dekat, Rasul yang meriwayatkan hadis itu dengan redaksi yang sama.
-          Hadits Mutawatir Maknawi adalah hadits mutawatir dengan makna umum yang sama, walaupun tidak sama redaksinya dan tidak sama perincian maknanya.
misal hadits mutawatir maknawi yang artinya: “Rasulullah SAW pada waktu berdoa tidak mengangkat kedua tangannya begitu tinggi sehingga terlihat kedua ketiaknya yang putih, kecuali pada waktu berdoa memohon hujan”. (Hadis Riwayat Mutafaq’ Alaihi).
-          Hadits Mutawatir ‘Amali adalah hadits mutawatir yang menyangkut perbuatan Rasulullah SAW, yang disaksikan dan ditiru tanpa perbedaan oleh orang banyak, untuk kemudian juga dicontoh dan diperbuat tanpa perbedaan oleh orang banyak pada generasi-generasi diberikutnya.
misal : Hadits-hadits Nabi tentang waktu shalat, tentang jumlah rakaat shalat wajib, adanya shalat ‘ied, adanya shalat jenazah, dan sebagainya.
c.       Kedudukan Hadits Mutawatir
Hadits-hadits yang termasuk kelompok hadits mutawatir yaitu hadits-hadits yang niscaya (qath’i atau maqth’u) berasal dari Rasulullah SAW. Para ulama menegaskan bahwa hadits mutawatir membuahkan “ilmu qath’i” (pengetahuan yang pasti), yakni pengetahuan yang niscaya bahwa perkataan, perbuatan atau persetujuan berasal dari Rasulullah SAW. Kedudukan hadits mutawatir sebagai sumber aliran Islam tinggi sekali. Menolak hadits mutawatir sebagai sumber aliran Islam sama halnya dengan menolak kedudukan Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah. Kedudukan hadits mutawatir sebagai sumber aliran Islam lebih tinggi dari kedudukan hadis ahad.[1]
2.      Hadits Ahad
Ahad berdasarkan bahasa yaitu kata jamak dari wahid atau ahad. Bila wahid atau minggu berarti satu, maka ahad, sebagai jamaknya, berarti satu-satu. Sedangkan berdasarkan istilah hadits minggu yaitu hadits yang para rawinya tidak mencapai jumlah rawi hadist mutawatir, baik rawinya itu satu, dua, tiga, empat, lima atau seterusnya, tetapi jumlahnya tidak memdiberi pengertian bahwa hadits dengan jumlah rawi tersebut masuk dalam kelompok hadist mutawatir, atau dengan kata lain hadits minggu yaitu hadits yang tidak mencapai derajat mutawatir.
a.       Pembagian hadits ahad
-          Hadits Masyhur (Hadits Mustafidah) adalah Hadis yang diriwayatkan dari teman dekat, tetapi bilangannya tidak hingga ukuran bilang mutawatir, kemudian gres mutawatir setelah para teman bersahabat dan demikian pula setelah mereka.
misal:
“Rasulullah SAW bersabda: “Seorang Muslim yaitu orang yang kaum Muslimin tidak mengganggu oleh pengecap dan tangannya.” (Hadist Riwayat Bukhari, Muslim, dan Turmudzi).
-     Hadits ‘Aziz yaitu Hadis yang perawinya tidak kurang dari dua orang dalam tiruana tabaqat sanad.
misal:
“Rasulullah SAW bersabda: “Kita yaitu orang-orang yang paling selesai (di dunia) dan yang paling terlampau di hari kiamat.” (Hadist Riwayat Hudzaifah dan Abu Hurairah)
-     Hadits Gharib yaitu Hadis gharib yaitu hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang menyendiri dalam meriwayatkannya tanpa ada orang lain yang meriwayatkan.
misal:
“Dari Umar bin Khattab, katanya: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Amal itu spesialuntuk (dinilai) berdasarkan niat, dan setiap orang spesialuntuk (memperoleh) apa yang diniatkannya.” (Hadist Riwayat Bukhari, Muslim dan lain-lain)
b.      Kedudukan hadits ahad
Bila hadits mutawatir sanggup dipastikan sepenuhnya berasal dari Rasulullah SAW, maka tidak demikian hadits minggu . Hadist minggu tidak niscaya berasal dari Rasulullah SAW, tetapi diduga ( zhanni dan mazhnun) berasal dari beliau. melaluiataubersamaini ungkapan lain sanggup dikatakan bahwa hadits minggu mungkin benar berasal dari Rasulullah SAW, dan mungkin pula tidak benar berasal dari beliau. Maka kedudukan hadits ahad, sebagai sumber aliran Islam, berada dibawah kedudukan hadits mutawatir. Lain berarti bahwa bila suatu hadits, yang termasuk kelompok hadits ahad, berperihalan isinya dengan hadits mutawatir, maka hadits tersebut harus ditolak.[2]
B.     Pembagian Hadits Berdasarkan  Kualitas Rawi
sepertiyang sudah dikemukakan bahwa hadits  muatawatir mempersembahkan penertian yang yaqin bi alqath, artinya Nabi Muhammad benar-benar bersabda, berbuat atau menyatakan taqrir (persetujuan) dihadapan para teman bersahabat berdasarkan sumber-sumber yang banyak dan tidak mungkin mereka sepakat berdusta kepada Nabi. Karena kebenarannya sumbernya sungguh sudah meyakinkan, maka dia harus diterima dan diamalkan tanpa perlu diteliti lagi, baik terhadap sanadnya maupun matannya. Berbeda dengan hadits minggu yang spesialuntuk mempersembahkan faedah zhanni (dugaan yang berpengaruh akan kebenarannya), mengharuskan kita untuk mengadakan penyelidikan, baik terhadap matan maupun sanadnya, sehingga status hadits tersebut menjadi jelas, apakah diterima sebagai hujjah atau ditolak.
Sehubungan dengan itu, para ulama jago hadits membagi hadits dilihat dari segi kualitasnya, menjadi tiga bagian, yaitu hadits shahih, hadits hasan, dan hadits dhaif.
1.      Hadits Shahih
Kata shahih berasal dari bahasa arab as-shahih bentuk pluralnya ashihha’ berakar kata pada shahha, yang berarti selamat dari penyakit. Sedangkan berdasarkan istilah hadits sahih yaitu hadits yang bersambung hingga kepada nabi Muhammad serta didalam hadits tersebut tidak terdapat kejanggalan dan cacat.
Sebuah hadits dikatakan sahih apabila memenuhi kriteria yang meliputi:
·         Sanadnya bersambung ialah sanadnya bersambung hingga ke musnad, dalam sifat disebut hadits yang muttashil dan mausul (yang bersambung).
·         Seluruh periwayat dalam sanad hadits sahih bersifat adil yaitu periwayat yang memenuhi syarat-syarat yaitu beragama Islam, mukallaf, melaksanakan ketentuan agama, memelihara kehormatan diri.
·         Seluruh periwayat dalam sanad bersifat dhabith, ialah mempunyai ingatan dan hafalan yang sempurna. Dia memahami dengan baik apa yang diriwayatkannya serta bisa memberikan hafalan itu kapan saja di kehendaki.
·         Sanad dan matan hadits yang sahih itu terhindar dari syadz.
·         Sanad dan matan hadis terhindar dari i’llat. I’llat adalah sifat tersembunyi yang menjadikan hadits tersebut cacat dalam penerimaannya, kendati secara lahiriah hadits tersebar dari ‘illath.
misal:
Dari Abu Hurairah r.a. dia berkata: Rasulullah s.a.w. bersabda: “Setiap sendi tubuh tubuh insan menjadi sedekah untuknya pada setiap hari matahari terbit, engkau melaksanakan keadilan diantara dua orang yang berselisih faham yaitu sedekah engkau memmenolong orang yang menaiki kenderaan atau engkau mengangkat barang-barang untuknya kedalam kenderaan yaitu sedekah, Perkataan yang baik yaitu sedekah, setiap langkah engkau berjalan untuk menunaikan solat yaitu sedekah dan engkau memmembuang perkara-perkara yang menyakiti di jalan yaitu sedekah.” (H.R Bukhari dan Muslim).[3]
a.       Pembagian hadits shahih
Hadits sahih terbagi dua bagian, yaitu
-          Hadits sahih lidzatih yaitu hadits yang alasannya kehadiran dirinya sendiri sudah memenuhi kelima kriteria hadits sahih sebagaimana  dikemukakan di atas.
-          Hadits sahih lighairih yaitu hadits yang sahihnya karena di menolong oleh keterangan yang lain jadi disimpulkan belum hingga kepada kualitas sahih, kemudian ada petunjuk atau dalil lain yang menguatkannya sehingga hadits tersebut meningkat menjadi hadits sahih lighairih.
b.      Kehujjahan hadits sahih
Hadits sahih sanggup dijadikan hujjah untuk menetapkan suatu akidah, tergantung kedhabitannya dan keadilan perawinya, dan semakin dhabit dan adil si perawinya makin tinggi pula tingkatan kualitas hadits yang diriwayatkan. Hadits sahih kedudukannya lebih tinggi dari hadits hasan dan dho’if, tetapi berada dibawah kedudukan hadits mutawatir. Semua ulama sepakat mendapatkan hadits sahih sebagai sumber aliran Islam atau hujjah, dalam bidang aturan dan moral.
2.      Hadits Hasan i
Adalah hadits yang mutttasil sanadnya diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhabit ttetapi kadar kedhabitannya di bawah kedhabittan hadis sahih dan hadits itu tidak syadz dan tidak pula terdapat ‘illat.
Adapun kriteria hadits yaitu:
·         Sanadnya bersambung
·         Para periwayat bersifat adil
·         Diantara orang periwayat terdapat orang yang kurang dhabith
·         Sanad dan matan hadits terhindar dari kejanggalan
·         Tidak ber-illat (cacat)
a.       Pembagian hadits hasan
-          Hasan lidzatih yaitu hadits yang mencapai derajat hasan dengan sendirinya sedikitpun tidak ada derma dari hadits lain.
-          Hadits hasan lighairih yaitu hadits yang pada asalnya yaitu hadits dhaif yang kemudian meningkat derajatnya menjadi hasan alasannya ada riwayat lain yang mengangkatnya.
misal hadits hasan:
“Sekiranya saya tidak memberatkan umatku, tentu kuperintahkan mereka bersiwak menjelang setiap sholat”.
Matan hadits ini mempunyai jalur sanad, Muhammad bin Amr, dari Abi Salamah, dari Abu Hurairah dari Rasulullah SAW. dan Muhammad bin Amr diragukan hafalan, kekuatan ingatan dan kecerdasannya meskipun banyak yang menganggapnya terpecaya hadits ini bersifat hasan lizatih dan hasan lighairih, alasannya diriwayatkan pula oleh guru muhammad dan dari gurunya lagi hadits itu diriwayatkan pula oleh Abu Hurairah oleh banyak orang diantaranya al-A’raj bin Hurmuz dan Sa’id al-Maqbari. At- Tarmizi ia yaitu orang yang pertama kali mengeluarkan hadits hasan.
Meskipun ada hadits dahif yang meningkat menjadi hadis hasan tidak tiruana hadits dhaif bisa meningkat menjadi hadits hasan, hadits dhaif yang bisa meningkat menjadi hadits hasan yaitu hadits-hadits yang tidak terlalu lemah ibarat hadits maudhu, matruk, dan munkar derajatnya bisa lebih meningkat, bila hadits diriwayatkan oleh periwayat yang dhaif alasannya banyaknya kesalahan atau alasannya mufsiq maka ia bukanlah hadits hasan lighairih. Sebaliknya hadits daif yang diriwayatkan oleh periwayat yang dhaif alasannya fasiq atau di tuduh berdusta kemudian ada hadits yang juga diriwayatkan oleh  periwayat yang kualitasnya sama maka hadits itu bukan spesialuntuk tidak bisa naik derajatnya menjadi hasan melainkan justru hadits itu bertambah dhaif.
b.      Kehujjahan hadits hasan
Hadits hasan sanggup di gunakan sebagai berhujjah dalam menentapkan suatu kepastian aturan dan ia harus diamalkan baik hadits hasan lidzatih maupun  hasan lighairih, al- Khattabi mengungkapkan bahwa atas hadits hasanlah berkisar banyak hadits alasannya kebanyakan hadits tidak mencapai tingkatan sahih, hadis ini kebanyakan diamalkan oleh ulama hadits.[4]


3.      Hadits Dhaif 
Secara bahasa, hadits dhaif berasal dari kata dhu’fun berarti hadits yang lemah. Para ulama mempunyai dugaan kecil bahwa hadits tersebut berasal dari Rasulullah SAW. Secara terminologi hadits dhaif yaitu suatu hadits yang tidak terdapat ciri-ciri ke sahihan dan kehasanan suatu hadits, sahih tidaknya suatu hadits ialah hasil peninjaun dari sisi di terima atau ditolaknya suatu hadits, oleh alasannya itu hadis ini terdapat sesuatu yang di dalamnya tertolak yang tidak terdapat ciri-ciri di terimanya hadits ini.
Adapun ciri-ciri hadits daif ialah:
-          Periwatnya seorang pendusta atau tertuduh pendusta
-          ­Banyak membuat kekeliruan
-          Suka pelupa
-          Suka maksiat atau fasik
-          Banyak angan-angan
-          Menyalahi periwayat kepercayaan
-          Periwayatnya tidak di kenal
-          Penganut bid’ah bidang aqidah
-          Tidak baik hafalannya.
Dan yang kemungkinan besar ialah hadits dho’if yaitu hadits yang diriwayatkan secara bersendirian oleh ‘Uqaili, Ibn ‘Adi, Khatib Al Baghdadi, Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh-nya, Adailami dalam Musnad Firdaus, atau Tirmidzi Al Hakim dalam Nawadirul Ushul dan dia bukanlah Tirmidzi penulis kitab Sunan atau Hakim dan Ibnu Jarud dalam Tarikh keduanya.
misal hadits dhaif:
“ Bahwasannya Rasul wudhu dan dia mengusap kedua kaos kakinya”.
Hadits ini dikatakan dhaif alasannya diriwayatkan dari Abu Qais al-Audi, seorang rawi yang masih dipersoalkan.
a.       Pembagian hadits dhaif
-          Hadits dhaif alasannya gugurnya rawi dalam sanadnya.
-          Hadits dhaif alasannya adanya cacat pada rawi atau matan.
b.      Kehujjahan
Khusus hadits dhaif, maka para ulama hadits kelas berat semacam Al-Hafidzh Ibnu Hajar Al-Asqalani sebut bahwa hadits dhaif boleh digunakan, dengan beberapa syarat:
-          Level kedhaifannya tidak parah.
-          Berada di bawah nash lain yang shahih.
-          Ketika mengamalkannya, dilarang meyakini ke-tsabit-annya. [5]

4.      Hadits Maudhu
Menurut etimologi kata maudhu dari kata diletakakan, dibiarkan, digugurkan, ditinggalkan dan dibuat-buat, sedangkan berdasarkan terminologi hadits maudhu ialah sesuatu yang disandarkan kepada rasul secara mengada-ada dan bohong dari apa yang di katakan dia atau tidak dilakukan dan atau tidak di setujui.
a.       Pembagian hadits maudhu
Hadits ini hukumnya bathil dan haram meriwayatkannya, kecuali untuk mengajar untuk mengetahui hadis maudhu, ada beberapa macam hadits maudhu yaitu, Seseorang menyampaikan dengan sesuatu yang bahwasanya keluar dari dirinya sendiri kemudian dia meriwayatkannya dengan menghubungkan kepada Rasulullah SAW, seseorang mengambil perkataan dari sebagian jago fiqh atau lainnya kemudian ia menghubungkannya dengan nabi Muhammad SAW, juga seseorang melaksanakan kesalahan dalam meriwayatkan suatu hadits dengan tidak ada unsur kesengajaan mendustakan nabi ibarat Habib bin Musa Al-Zahid dalam haditsnya menyatakan barang siapa banyak shalatnya dimalam hari wajahnya indah berseri di siang hari.
Hadis ini dimulai semenjak tahun 41 H pada masa pemerintahan Khalifah keempat saat muslim saling bersellisih antara kaum khawarij dengan kaum Syiah mereka banyak mengarang hadits untuk keperluannya sendiri inilah pendorong terjadinya pemalsuan hadits pada banyak sekali masa orang-orang suka menurutkan hawa nafsu terus menerus untuk berbohong.Hammad bin Zaid sudah menjiplak tak kurang dari 14.000 hadits tiruan dan sudah beredar dan Abdul Karim bin Abi Al-Auja sudah menjiplak 4000 hadits menyampaikan  adapun yang melatar belakangi munculnya hadits tiruan ini yaitu :
-          Untuk mengakibatkan kerusuhan didalam agama yang dilakukan oleh orang –orang munafik.
-          Untuk mempertahankan pendapatnya sementara tidak ada dalil yang mengetengahkan yang dilakukan oleh bubuk al- khathtthab bin Dihyah dan Abdu  al- Aziz bin Haris al- hanbali.
-          Untuk menarikdanunik perhatian dalam berpidato dan dalam pembicaraan dan simpatti orang yang menamakan dirinya Zuhud,.
-          Untuk mempertahankan mahzabnya ibarat yang dilakukaukan oleh golongan Khattabiyah dari Aliran Rafidhah.
-          Untuk mendekatkan diri kepada raja-raja atau pejabat  dengan membuat hadis maudhu yang cocok dengan jadwal dan tujuan mereka.
-          Untuk mencari rezeki dengan membuat haditts-hadits maudhu  ibarat yang dilakukan oleh pencerita-cerita ibarat yang dilakukan oleh Abu Said al- madaini.
b.      Kriteria hadits maudhu
Hadits maudhu sanggup di ketahui dari segi sanadnya dan matannya, bila dilihat dari sanadnya dari kaum zindiq, munafik atau seorang pendusta dari segi matannya sanggup dilihat dari ciri-ciri yang meliputi:
-          Susunan lafalnya kacau
-          Maknanya rusak
-          Berperihalan dengan nas Al-Qur’an yang tidak sanggup dilakukan penakwilan.
-          Berperihalan dengan hadis mutawatir
-          Berperihalan dengan aqidah umum baik dengan Al-Qur’an amupun sunnah.
-          Pembuatnya sendiri bahwa ia sudah membuat hadis tiruan.[6]











BAB III
PENUTUP
Simpulan
Demikian hadits dilihat dari kuantitas jumlah para perawi yang sanggup memberikan kualitas bagi hadits mutawatir tanpa memerisa sifat-sifat para perawi secara individu, atau mengambarkan kualitas hadits ahad, bila disertai investigasi memenuhi persyaratan standar hadits yang makbul.
Hadits minggu masih memerlukan barbagai persyaratan yaitu dari segi sifat-sifat kepercayaan para perawi atau sifat-sifat yang sanggup mempertanggungjawabankan kebenaran diberita secara individu yaitu sifat keadilan dan ke dhabithan, ketersambungan sanad dan ketidakganjilannya. Kebenaran diberita hadits mutawatir secara absolute dan niscaya (qath’i), sedangkan kebenaran diberita yang dibawa oleh hadits minggu bersifat relative ( zhanni ) yang wajib diamalkan.
Dalam kehidupan sehari-hari seseorang dalam melaksanakan Islam tidak lepas dari zhan dan itu sah-sah saja, contohnya menghadap ke kiblat saat shalat, pemeraan air mandi janabah pada seluruh anggota badan, masuknya waktu imsak dan fajar bagi orang yang berpuasa, dan lain-lain. Pengertian zhan tidak terpaut dengan syakk (ragu) dan juga tidak terpaut dengan waham. Zhan diartikan dugaan berpengaruh (rajah) yang mendekati kepada keyakinan, sedangkan Syakk diartikan dugaan yang seimbang antara ya dan tidak sedang waham yaitu dugaan lemah (marjuh).




DAFTAR PUSTAKA

·         Mudzakir, M, Ulumul Hadis, Bandung: CV Pustaka Setia, 1998.
·         Zeid B. Smeer, Ulumul Hadis Pengantar Studi Hadis Praktis, UIN-Malang Press: Oktober 2008.
·         Drs. H. Mudasir, Ilmu Hadis, Bandung: CV Pustaka Setia.
·         Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, cet. IV, Jakarta: Amzah, 2010.



[1] Drs. H. Mudasir, Ilmu Hadis, (Bandung: CV Pustaka Setia), h. 113-123.
[2] Mudzakir, M, Ulumul Hadis, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1998), h. 24-25.
[3] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, (Jakarta: Amzah, 2010),cet. IV, h. 46.
[4] http://b3npani.wordpress.com/tugas-kuliah/92-2/(Kamis, tanggal 21 maret 2013 pada jam 12.15 WIT).
[5] Zeid B. Smeer, Ulumul Hadis Pengantar Studi Hadis Praktis, (UIN-Malang Press: Oktober 2008), h. 31-38.

[6] http://b3npani.wordpress.com/tugas-kuliah/92-2/ (Kamis, tanggal 21 Maret 2013 pada jam 12.15 WIT).

Posting Komentar untuk "Pembagian Hadits"