Tafsir Bi Al-Ma'tsur
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an diturunkan oleh Allah SWT ialah untuk menjadi petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa. Bahkan al-Qur’an juga semestinya menjadi petunjuk bagi seluruh manusia, baik ia muslim atau tidak. Selain sebagai petujuk, al-Qur’an juga menjadi penjelas bagi petunjuk dan pembeda antara yang haq dan yang bathil, yang salah dan yang benar. Berkedudukan sebagai petunjuk hidup, maka al-Qur’an harus dipahami oleh umat manusia, khususnya umat Islam. Untuk itulah diperlukan perangkat yang namanya ilmu tafsir. Ilmu tafsir itulah yang bisa digunakan untuk menguraikan maksud yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an, mengingat al-Qur’an diturunkan selain dengan gaya bahasa yang sangat tinggi, juga terdapat ayat-ayat yang muhkam. dan mutasyabih.
Dalam hal ini para ulama’ sering mengklaim bahwa al-Qur’an diturunkan dengan kalimat yang ringkas namun membawa unsur-unsur uslub (gaya) bahasa yang padat makna sehingga membuat para jago bahasa zaman lampau (bahkan hingga sekarang) tidak bisa menandingi al-Qur’an. Selain itu, juga tidak setiap orang mempunyai kompetensi untuk menafsirkan al-Qur’an. Dalam buku Membumikan al-Qur’an, Quraish Shihab menandakan bahwa pada era pertama Islam, para ulama sangat berhati-hati dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Sebagian ulama bahkan bila ditanya terkena satu ayat, mereka tidak mempersembahkan jawabanan apapun.
Keengganan mereka untuk menandakan ayat al-Qur’an bisa dimengerti mengingat masih ada Rasulullah yang berkompeten dalam menerangkannya, selain lantaran mereka umumnya takut apabila salah dalam menandakan ayat-ayat al-Qur’an tersebut.
Namun pada abad-abad diberikutnya, sebagian besar ulama beropini bahwa setiap orang boleh menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an selama ia mempunyai syarat-syarat tertentu ibarat : pengetahuan bahasa yang mencakup beberapa aspek Nahwu, Sharaf, Balaghah, juga Ilmu Ushuluddin, Ilmu Qira’ah, Asbab al- Nuzul, Nasikh- Mansukh, dan lain sebagainya.
Makalah ini akan menandakan wacana metodologi dalam menafsirkan al-Qur’an yang diklasifikasikan dalam metode, bi al ma’tsur. Dan bagaimana cara penerapan metode bi al ma’tsur dalam rangka menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an akan dibahas dalam serpihan selanjutnya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang Dimaksud dengan Tafsir bi al Ma’tsur?
2. Apa Saja Macam dan Bentuk Tafsir bi al Ma’tsur?
3. Bagaimana Pandangan Para Ulama Tentang Nilai Tafsir bi al Ma’tsur?
4. Bagaimana Perkembangan Tafsir bi al Ma’tsur?
5. Siapa Saja Para Ahli Tafsir bi al Ma’tsur?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tafsir bi al-Ma’tsur
Menurut ‘Ibn Hayyan ialah tafsir suatu ilmu yang mengulas cara menuturkan/membunyikan lafadz-lafadz al-Qur’an, Madlul-Madlulnya baik terkena kata tunggal maupun terkena kata tarkib dan makna-maknanya yang digantungkan oleh keadaan susunan dan beberapa kesempurnaan bagi yang demikian seperti, Nasakh, Asbab al-Nuzul, kisah yang menyampaikan apa yang tidak terang di dalam al-Qur’an dan lain-lain yang mempunyai relasi erat dengannya.
Sedangkan ‘Ali Hasan al-‘Aridl menandakan bahwa tafsir ialah ilmu yang mengulas wacana cara pengucapan lafadz-lafadz al-Qur’an, makna-makna yang ditunjukkannya dan hukum-hukumnya, baik saat bangun sendiri atau tersusun serta makna-makna yang dimungkinkan saat dalam keadaan tersusun.
Menurut al-Zarkasyi, istilah tafsir bi al-ma’tsur ialah adonan dari tiga kata yaitu itafsir, bi dan al-ma’tsur. Secara leksikal tafsir berarti mengungkap atau menyingkap. Kata bi berarti ‘dengan’ sedangkan al-ma’tsur berarti ungkapan yang dinukil oleh khalaf dari salaf. melaluiataubersamaini demikian secara etimologis tafsir bi al-ma’tsur berarti menyingkap isi kandungan al-Qur’an dengan klarifikasi yang dinukil oleh khalaf dari salaf.
Sedangkan secara terminologis pengertian tafsir bi al-ma’tsur yaitu:
هو الذى يعتمد على صحيح المنقول بالمراتب التي ذ كرت سابقا في شروط المفسر من تفسر القران بالقران, او بالسنة ﻷ نها جاءت مبينة لكتاب الله. او بما روي عن الصحاب نهم اعلم الناس لكتاب الله. او بماقاله كبار التابعين ﻷنهم تلقوا ذ لك غالبا عن الصحابة.
Artinya :“Tafsir bi al-Ma’tsur ialah tafsir yang berpegang kepada riwayat yang Shahih, yaitu menafsirkan al-Qur’an dengan al -Qur’an, atau dengan sunnah lantaran ia berfungsi menandakan kitabullah, atau dengan perkataan para Sahabat karena merekalah yang paling mengetahui kitabullah atau dengan apa yang dikatakan oleh tokoh-tokoh besar tabi’yn lantaran pada umumnya mereka mendapatkan dari para Sahabat”.
Definisi ibarat ini, berdasarkan catatan al-Suyuthi berasal dari Ibnu Taimiyah, dan dipopulerkan oleh al-Zarqani yang nota bene termasuk ulama’ kontemporer. Al-Zarqani ialah orang yang pertama sebut bahwa tafsir bi al-ma’tsur adalah penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an, atau hadits atau pendapat shahabat atau tabi’in. Sedangkan sebelum al-Zarqani, yang dimaksud tafsir bi al-ma’tsur ialah kompilasi penafsiran nabi, teman bersahabat dan tabi’in. Ulama’ yang memahami bahwa tafsir bi al-ma’tsur bukan penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an atau hadits atau pendapat teman bersahabat atau tabi’in ialah al-Suyuthi. Dalam muqaddimah tafsirnya, al-Suyuthi menyampaikan bahwa isi dari kitab tafsirnya ialah kompilasi penafsiran-penafsiran Nabi SAW dan para teman dekat.[1]
B. Macam dan Bentuk Tafsir bi al-Ma’tsur
Tafsir bi al-Ma’tsur ialah penafsiran dengan memakai riwayat sebagai sumber pokoknya. Karena itu, tafsir ini dinamakan juga dengan tafsir bi al-riwayah (tafsir dengan riwayat) atau tafsir bi al-manqal (tafsir dengan memakai pengutipan riwayat). Penafsiran corak ini sanggup dibagi menjadi empat macam dan bentuknya yaitu:
1. Penafsiran ayat al-Qur’an dengan ayat yang lain. Ayat-ayat al-Qur’an, berdasarkan para jago tafsir, saling menafsirkan antara sesamanya. Penafsiran satu ayat dengan ayat lainnya juga bermacam-macam, yaitu:
Pertama, ayat atau ayat-ayat lain membuatkan apa yang diungkapkan pada ayat tertentu. Misalnya, kata-kata al-Muttaqin (orang-orang yang bertaqwa) dalam ayat 2 surat al-Baqarah, dijabarkan ayat-ayat sesudahnya (ayat-ayat 3, 4, 5) yang menyatakan :
tûïÏ%©!$# tbqãZÏB÷sã Í=øtóø9$$Î/ tbqãKÉ)ãur no4qn=¢Á9$# $®ÿÊEur öNßg»uZø%yu tbqà)ÏÿZã ÇÌÈ tûïÏ%©!$#ur tbqãZÏB÷sã !$oÿÏ3 tAÌRé& y7øs9Î) !$tBur tAÌRé& `ÏB y7Î=ö7s% ÍotÅzFy$$Î/ur ö/ãf tbqãZÏ%qã ÇÍÈ y7Í´¯»s9'ré& 4n?tã Wèd `ÏiB öNÎgÎn/§ ( y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd cqßsÎ=øÿßJø9$# ÇÎÈ
Artinya : “Yaitu orang-orang yang diberiman kepada yang gaib, mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rezeki yang kami diberikan kepada mereka, dan mereka yang diberiman kepada kitab (al-Qur’an) yang sudah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang sudah diturunkan sebelumnya, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka itulah yang tetap menerima petunjuk dari Tuhannya, dan mereka orang-orang yang beruntung”. (Q.S. al- Baqarah : 3, 4, 5).
Kedua, ada informasi tertentu, contohnya wacana kisah Nabi Musa pada surah tertentu diungkapkan secara singkat, sementara pada surah lain secara panjang lebar. Dalam hal ini ayat-ayat yang panjang lebar menafsirkan ayat-ayat yang mengandung informasi yang lebih singkat.
Ketiga, ayat-ayat yang mujmal ditafsirkan oleh ayat-ayat yang mubayyan, ayat-ayat yang muthlaq ditafsirkan oleh ayat-ayat yang khas. Ringkasnya, ayat-ayat yang mengandung pengertian umum dan global ditafsirkan oleh ayat-ayat yang mengandung pengertian khusus dan rinci.
Keempat, informasi yang terkandung dalam satu ayat kadang-kadang terlihat tidak sama dengan informasi yang terdapat pada ayat-ayat lain. Penafsiran ayat-ayat itu dilakukan dengan mengkompromikan pengertian-pengertian tersebut.
2. Penafsiran ayat al-Qur’an dengan hadits Nabi Saw. Firman Allah dalam soal ‘amar ma’ruf nahi munkar :
`ä3tFø9ur öNä3YÏiB ×p¨Bé& tbqããôt n<Î) Îösø:$# tbrããBù'tur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ tböqyg÷Ztur Ç`tã Ìs3YßJø9$# 4 y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd cqßsÎ=øÿßJø9$# ÇÊÉÍÈ
Artinya : “Dan hendaklah engkau suatu golongan yang menyeru kepada kebaikan dan menyuruh ma’ruf mencegah kemunkaran dan itulah mereka yang menerima kemenangan”. (QS. Ali Imran: 104).
Sabda Nabi dalam soal tersebut sebagai diberikut:
لتأمرن بالمعروف ولتنهون عن المنكر او ليسلطن الله عليكم شراركم فيدعو خياركم فلا يستجاب لهم.
Artinya : “Hendaklah engkau menyuruh ma’ruf dan hendaklah engkau mencegah kemunkaran dan biarlah Tuhan mengeraskan atas engkau orang-orang yang jahat dari engkau, kemudian berdoalah engkau orang-orang yang baik dari engkau tetapi tidak diperkenankan doanya”.
3. Penafsiran ayat al-Qur’an dengan pendapat para Sahabat.
Ayat al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 158 yang berbunyi sebagai diberikut:
¨bÎ) $xÿ¢Á9$# nouröyJø9$#ur `ÏB Ìͬ!$yèx© «!$# ( ô`yJsù ¢kym |Møt7ø9$# Írr& tyJtFôã$# xsù yy$oYã_ Ïmøn=tã br& §q©Üt $yJÎgÎ/ 4 `tBur tí§qsÜs? #Zöyz ¨bÎ*sù ©!$# íÏ.$x© íOÎ=tã ÇÊÎÑÈ
Artinya : “Sesungguhnya Shafa dan Marwa ialah di antara syiar-syiar Allah. Maka barang siapa yang diberibadah haji ke BaitullAh dan berumrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya. Dan barang siapa yang mengerjakan suatu kebaikan dengan kerelaan hati, maka bahu-membahu Allah Maha Mensyukuri Kebaikan lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. al- Baqarah : 158)
Mengenai ayat ini seorang kemenakan `Aisyah menanyakan kepadanya, maka `Aisyah ra. menandakan bahwa pembatalan dosa di sini dimaksudkan untuk penolakan terhadap keyakinan kaum muslimin bahwa sa’i di antara Shafa dan Marwa termasuk perbuatan jahiliyah. sepertiyang hadis yang berbunyi sebagai diberikut:
بدأ بما بدأ الله الصفا )رواه مسلم(
Artinya : “Mulailah dengan apa yang dimulai oleh Allah yakni Shafa.” (H.R.Muslim)
4. Penafsiran ayat al-Qur’an dengan pendapat Tabi’in. Firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 26 sebagai diberikut :
¨bÎ) ©!$# w ÿ¾ÄÓ÷ÕtGó¡t br& z>ÎôØo WxsVtB $¨B Zp|Êqãèt/ $yJsù $ygs%öqsù 4
Artinya: “Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan nyamuk atau yang lebih rendah dari itu.” (Q.S al- Baqarah : 26).
Menurut Hasan ‘Ibn Yahya, mengapa Allah menyebut nyamuk atau yang sebangsanya yaitu lalat dan laba-laba, kemudian orang musyrik berkata, mengapa Allah Swt menyebut sebangsa lalat dan laba-laba, berdasarkan ‘Ibn `Abbas ini ialah ialah gejala kekuasaan Allah SWT.[2]
Penafsiran ayat al-Qur’an dengan pendapatnya para Tabi’in sehabis generasi para Sahabat, mereka ialah orang yang mengetahui kandungan al-Qur’an lantaran generasi Tabi’in bergaul dengan para Sahabat, pendapat mereka dipandang sangat memmenolong generasi selanjutnya dalam memahami al-Qur’an. Perkembangan metode penafsiran ini sanggup dibagi dua periode, yaitu periode lisan, saat penafsiran dari Nabi Saw dan para Sahabat disebarluaskan secara periwayatan, dan periode tulisan, saat riwayat-riwayat yang sebelumnya tersebar secara verbal mulai dibukukan.
Bermacam-macam metodologi tafsir dan coraknya sudah diperkenalkan dan diterapkan oleh pakar-pakars al-Qur’an, kalau kita mengamati metode penafsiran Sahabat Nabi Saw mereka merujuk kepada penerapan bahasa dan syair-syair `Arab, cukup banyak pola yang sanggup dikemukakan wacana hal ini, contohnya `Umar bin Khattab pernah bertanya wacana arti takhwwuf dalam firman Allah :
÷rr& óOèdxäzù't 4n?tã 7$qsrB ¨bÎ*sù öNä3/u Ô$râäts9 íOÏm§ ÇÍÐÈ
Artinya : “Atau Allah mengazab mereka dengan berangsur-angsur (sampai binasa). Maka bahu-membahu Tuhanmu ialah Maha Pengasih lagi Maha penyayang.” ( Q.S. An- Nahl: 47).
Sesudah masa Sahabatpun, para Tabi’in dan atba’ at-Tabi’in masih mengandalkan metode periwayatan dan kebahasaan ibarat sebelumnya. Menurut Quraish Shihab, mengandalkan metode ini terang mempunyai keistimewaan dan belum sempurnanya. Adapun keistimewaannya ialah :
a. Menekankan pentingnya bahasa dalam memahami al-Qur’an.
b. Memaparkan ketelitian redaksi ayat saat memberikan pesan-pesannya.
c. Mengikat mufassir dalam bingkai teks ayat-ayat sehingga membatasi terjerumus dalam subjektivitas berlebihan.
Di sisi lain, kelemahan yang terlihat dalam kitab-kitab tafsir yang mengandalkan metode ini ialah :
- Terjerumusnya sang mufassir dalam uraian kebahasaan dan kesusasteraan yang bertele-tele sehingga pesan pokok al-Qur’an menjadi kabur di celah uraian itu.
- Sering kali konteks turunnya ayat hampir sanggup dikatakan terabaikan sama sekali, sehingga ayat-ayat tersebut bagaikan turun bukan dalam satu masa atau berada di tengah-tengah masyarakat tanpa budaya.[3]
C. Pandangan Ulama Tentang Nilai Tafsir bi al-Ma’tsur
Di antara para teman bersahabat yang terkenal banyak menafsirkan al-Qur’an ialah khalifah yang empat, ‘Ibn Mas’ud, ‘Ibn `Abbas, `Ubai bin Ka`ab, Zaid bin Tsabit, ‘Abu Musa al-‘Asy`ari, `Abdullah bin Zubair, ‘Anas bin Malik, `Abdullah bin `Umar, Jabir bin `Abdullah, `Abdullah bin `Amr bin `Ash dan `Aisyah, dengan terdapat perbedaan sedikit atau banyaknya penafsiran mereka. Cukup banyak riwayat-riwayat yang dinisbahkan kepada mereka dan kepada teman bersahabat yang lain di aneka macam kawasan yang tentu saja tidak sama-beda derajat keshahihan, dan kedha’ifannya di lihat dari sudut sanad (mata rantai periwayat). Tidak diragukan lagi, tafsir bi al-Ma’tsur yang berasal dari Sahabat mempunyai nilai tersendiri.
Jumhur `ulama berpendapat, tafsir Sahabat mempunyai status aturan marfu’ (disandarkan kepada Rasulullah) bila berkenaan dengan asbab al’nuzul dan tiruana hal yang mustahil dimasuki ra’yu. Sedang hal yang memungkinkan dimasuki ra’yu maka statusnya ialah mauquf (terhenti) pada teman bersahabat selama tidak disandarkan kepada Rasulullah.
Sebagian ulama mewajibkan untuk mengambil tafsir mauquf pada Sahabat, lantaran merekalah yang paling jago bahasa `Arab dan menyaksikan pribadi konteks dan situasi serta kondisi yang spesialuntuk diketahui oleh mereka, di samping mereka mempunyai pemahaman yang sahih. Yarkasy dalam kitabnya al-Burhan fi ’Ulum al Qur’an berkata : ketahuilah al-Qur’an itu ada dua bagian. Satu penafsirannya hadir berdasarkan naql (riwayat) dan serpihan yang lain tidak dengan naql. Yang pertama, penafsirannya itu adakalanya dari Nabi, Sahabat atau tokoh Tabi’in. Jika dari Nabi, spesialuntuk perlu dicari kesalahan sanadnya. Jika berasal dari teman dekat, perlu diperhatikan apakah mereka menafsirkan dari segi bahasa ? Jika ternyata demikian maka mereka ialah yang paling mengerti wacana bahasa `Arab, lantaran pendapatnya sanggup dijadikan pegangan, atau kalau mereka menafsirkan berdasarkan asbab al-nuzul atau situasi dan kondisi yang mereka saksikan, maka hal itupun tidak diragukan lagi.
D. Perkembangan Tafsir Bil Ma’tsur
Muhammad Husain al Dzahabi dalam Tafsir Wal Mufassirun sebut bahwa perkembangan tafsir bil ma’tsur sanggup dikategorikan menjadi dua periode, Pertama, periode periwayatan (daur al riwayah).
Kedua periode kodifikasi/pembukuan (daur al tadwin) yaitu:
Periode pertama yaitu Daur al Riwayah sanggup dibedakan dalam empat tahap, yaitu tahap pertama, masa Rasulullah., tahap kedua, pada masa teman dekat., tahap ketiga, pada masa tabi’in., dan tahap keempat, pada masa sehabis tabi’in, yang masing masing memilki corak dan karakteristik sendiri sendiri.
Periode kedua ialah periode kodifikasi (Daur al Tadwin) pada periode ini mula mula ditulis dan dibukukan ialah tafsir bil ma’tsur, yaitu segala yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW dan teman dekat, baik yang terjadi pada permulaan tahun 100 atau 200 Hijriyah. Periode kedua ini dalam perkembangannya juga melalui beberapa tahap, yaitu:
a. Tahap pertama pembukuan tafsir bil ma’tsur, belum mengambil bentuknya yang tepat dan belum bangun sendiri, yaitu tafsir ditulis dalam kitab kitab hadits, dan didalamnya banyak didapati aneka macam macam serpihan hadits yang tidak sama beda , juga masih berupa kumpulan riwayat yang berasal dari Nabi, para teman dekat, dan juga tabi’in sebagaimana yang dilakukan oleh Imam Malik bin Anas.
b. Tahap kedua mulai dilakukan pemisahan antar tafsir bil ma’tsur dengan kumpulan kumpulan goresan pena hadits, sehingga tafsir menjadi suatu disiplin ilmu tersendiri. Dan orang yang pertama kalinya mempelopori ialah Ali bin Abi Talhah berdasarkan riwayat ibn Abbas.
c. Tahap ketiga, tafsir bil ma’tsur mulai dibukukan dalam bebrapa juz secara khusus, ibarat yang dilakukan oleh Abi Rauq yang menulis satu juz saja dari tiga juz lainnya oleh Muhammad bin Tsaur dari Ibn Juraij.
d. Tahap keempat, pengkodifikasian tafsir yang secara khusus memuat tafsir bil ma’tsur lengkap dengan jalur sanad sempai kepada Rasulullah SAW, kepada para teman dekat, tabi’in, dan Tabi’ut Tabi’in, ibarat yang dilakukan oleh Ibn Jarir At Thabariy.
e. Tahap kelima, yaitu pengkodifikasian tafsir bil ma’tsur tanpa mengemukakan sanad periwatannya dan kebanyakan para mufassir memakai pendapat pendapat tertentu didalam tafsir mereka tanpa membedakan hadits yang sahih dan hadits yang keliru, sehingga menjadikan para peneliti tidak tertarik pada isi kitab tafsir tersebut, lantaran ada kekhawatiran adanya unsur pemalsuan . [4]
Adapun terkena Perbedaan yang terjadi di dalam tafsir Bil Ma`tsur sanggup dibagi menjadi 3 penjabaran yaitu:
1. Berbeda lafazh, bukan Makna.
Hal ibarat ini tidak mempunyai efek terhadap makna ayat. contohnya ialah firman Allah Ta’ala, “Wa Qadla Rabbuka Alla Ta’buduu Illa Iyyaah [Dan Tuhanmnu sudah memerintahkan supaya engkau tidakboleh menyembah selain Dia].” (Q.s., al-Isra`:23) Ibn ‘Abbas berkata, “Makna Qadla ialah Amara (memerintahkan).” Mujahid berkata, “Maknanya ialah Washsha (berwasiat).” Ar-Rabi’ bin Anas berkata, “Maknanya ialah Awjaba (mewajibkan).” Penafsiran-penafsiran ibarat ini maknanya sama atau ibarat sehingga tidak ada pengaruhnya perbedaan tersebut terhadap makna ayat.
2. Berbeda lafazh dan makna.
Dalam hal ini, ayat (yang ditafsirkan) sanggup mendapatkan (meliputi beberapa aspeki) kedua makna tersebut lantaran tidak berperihalan (kontradiksi). Artinya, ayat tersebut sanggup diarahkan kepada kedua makna tersebut dan ditafsirkan dengan keduanya sehingga sinkronisasi terhadap perbedaan ini ialah bahwa masing-masing dari kedua pendapat tersebut spesialuntuk diketengahkan sebagai contoh/permisalan terhadap apa yang dimaksud ayat tersebut atau dalam rangka variasi saja. contohnya ialah firman Allah Ta’ala: “Dan bacakanlah kepada mereka diberita orang yang sudah Kami diberikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan wacana isi al-Kitab), kemudian dia melepaskan diri dari pada ayat-ayat itu, kemudian dia diikuti oleh syaithan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat, Dan kalau Kami menghendaki, bahu-membahu Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah…” (Q.s.,al-A’raf:175-176) Ibn Mas’ud berkata, “Ia [orang yang sudah Kami diberikan kepadanya] ialah seorang yang berasal dari kalangan Bani Israil.” Dari Ibn ‘Abbas, ia mengatakan, “[Ia adalah] seorang pria dari penduduk Yaman”.
3. Berbeda lafazh dan makna.
Dalam hal ini, ayat tidak sanggup mencakup beberapa aspeki kedua makna tersebut secara bersama-sama lantaran terjadi kontradisi di antara keduanya. Karena itu, maknanya harus diarahkan kepada pendapat yang paling berpengaruh dari keduanya, baik melalui petunjuk redaksinya atau lainnya. contohnya ialah firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya Allah spesialuntuk mengharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah, daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah, tetapi barangsiapa yang terpaksa memakannya dengan tidak menganiaya dan tidak pula melampaui batas, maka bahu-membahu Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Q.s.,an-Nahl:115) Ibn ‘Abbas berkata: “Makna Baaghin [dengan tidak menganiaya] terhadap bangkai dan ‘Aadin [tidak pula melampaui batas] di dalam memakannya.“ Menurut riwayat yang lain: “Tidak membangkang (angkat senjata) terhadap Imam (pemimpin, penguasa) dan tidak berbuat maksiat di dalam perjalanannya.” Pendapat yang paling berpengaruh ialah pendapat pertama alasannya dalil tidak mengarah kepada makna kedua dalam ayat tersebut sedangkan yang dimaksud dengan kehalalan hal-hal yang disebutkan disitu ialah melawan kondisi darurat (sehingga tidak diharamkan lantaran khawatir jiwa binasa-red.,) sedangkan di dalam kondisi membangkang terhadap imam (Pemimpin), dalam kondisi bepergian yang diharamkan dan sebagainya; tetap berlaku (diharamkan).[5]
E. Para Ahli Tafsir Bi Al-Ma’tsur
1. Tafsir Ibnu Jarir
Pengarangnya ialah Ibnu Jarir Ath Thabary yang panggilannya Abu Ja’far. Ia dilahirkan pada tahun 224 H, dan meninggal dunia pada tahun 310 H. Kitabnya termasuk kitab tafsir dengan ma’tsur yang paling agung, paling benar dan paling banyak mencakup beberapa aspek pendapat teman bersahabat dan tabi’in serta dianggap sebagai ajaran pertama bagi para mussafir. Imam Nawawy mengatakan: “ kitab Ibnu Jarir wacana tafsir belum ada seorang pengarangpun yang menyamainya.”
Beberapa keistimewaan tafsir ini adalah:
a. Berpegang pada atsar berupa hadits (ucapan Nabi saw) teman bersahabat dan Tabi’in.
b. Senantiasa sebut sanad dan pendapat yang diriwayatkan serta memdiberi pentarjihan dari riwayat yang dikemukakannya.
c. Memaparkan ayat-ayat yang nasikh dan mansukh serta menandakan wacana riwayat yang shahih dan riwayat yang dha’if.
d. Menyebutkan segi I’rab (uraian kalimat) dan pengistimbathan hokum syari’at dari ayat-ayat Al-Qur’an. Kesimpulannya, kitab ini ialah kitab yang paling agung dan penuh dengan keindahan, tapi akungnya kitab ini serring mengemukakan khabar dengan sanad yang tidak benar dengan tidak menandakan ketidak benarannya itu. contohnya ialah kitab ini sering memuat kisah yang bersifat israilliat. Tafsirnya sudah diterbitkan dan tersebar luas diseluruh penjuru dunia, lagi pula dijadikan ajaran pokok dikalangan musafir.
2. Tafsir As Samarqandy
Pengarangnya ialah Nashr Ibnu Muhammad As Samarqandy yang panggilannya ialah Abu Al Laits. Ia meninggal dunia pada tahun 373 H. Kitabnya dinamakan dengan Bahrul Ulum. Tafsir ini ialah tafsir ma’tsur. Didalamnya banyak memuat pendapat para teman bersahabat dan tabi’in, akungnya dia tidak sebut sanad-sanadnya. Kitab ini terdiri dari dua jilid dan salah satu dari naskah-naskahnya masih ada di perpustakaan Al-Azhar.
3. Tafsir Ats Tsa’laby
Pengarang tafsir ini ialah Ahmad Ibnu Ibrahim Ats Tsa’laby An Naisabury. Ia ialah seorang musafir yang jago membaca Al-Qur’an. Panggilannya ialah Abu Ishak. Ia meninggal dunia pada tahun 427 H, Kelahirannya secara niscaya tidak diketahui. Kitabnya dinamakan Al-Kasyfru wal Bayan fi Tafsilih Qur’an. Ia menafsirkan kitabullah Al-Qur’an berdasarkan hadits yang bersumber dari ulama salaf dengan meringkaskan sanadnya. Karena menganggap cukup sebutnya pada penlampauan kitab. Ia sedikit memperluas pembahasan nahwu dan fiqih. Ia sangat bahagia dengan kisah-kisah dan cerita-cerita isralliyat yang dianggap ajaib bahkan sama sekali tidak benar adanya.
Ibnu Taimiyah mengatakan: “Ats Tsa’laby pada pribadinya tertanam kebaikan dan agama, tetapi ia bagaikan pencari kayu di malam hari. “surat Al-Furqan.
4. Tafsir Al-Baghawy
Pengarang tafsir ini ialah Al-Musain Ibnu Mas’ud Al-Farra’ Al-Baghawy, spesialis fiqih, mussafir dan ilmu hadits, yang dikenal dengan penghidup sunnah. Panggilannya ialah Abu Muhammad. Beliau meninggal dunia pada tahun 510 H pada usia 80 tahun. Ia sebagai seorang alim dan taat. Imam As-Sudhy menganggap bahwa ia ialah termasuk ulama Syafi’iyah yang alim.
Tafsir ini sudah di cetak bersamaan dengan tafsir Ibnu Katsir dan tafsir Al-Khazin. Dalam kitabnya ada sebagian kisah-kisah Isroilliyat, tetapi secara umum ialah lebih baik dan lebih murni dari pada kebanyakan kitab-kitab tafsir dengan ma’tsur.
5. Tafsir Ibnu ‘Athiyah
Pengarang tafsir ini ialah Abdul Haq Ibnu ‘Athiyah Al-Andalusy Al Mafhriby Al-Qarnathy. Panggilannya ialah Abu Muhammad. Beliau dilahirkan pada tahun 481 H dan meninggal dunia tahun 546 H.
6. Murrah Al-Hamadzany
Nama lengkapnya ialah Murrah bin Syarahil Al-Hamadzany dengan nama panggilan Abu Ismail, ia dijuluki dengan nama Murrah Ath Thayyib dan Murrah Al-Khaer.
7. Tafsir Ibnu Katsir
Pengarang tafsir ini ialah Al-Hafizh Imaduddin Ismail bin Amr ibnu Katsir Al-Quraisyi Ad Dimasqy. Nama panggilannya ialah Abul Firda. Tafsir ini termasuk tafsir ma’tsur yang ia kutip dari pendapat ulama salaf, dengan membedakan pendapat yang shahih dan yang dha’if.
8. Tafsir As Suyuthy
Pengarang tafsir ini ialah Al-Imam Al Hajjaj Ats Tsiqah Jalaluddin As Suyuthy, pengarang beberapa kitab yang terkenal.[6]
BAB III
PENUTUP
Simpulan:
Tafsir bi al-ma’tsur ialah suatu perjuangan untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an dengan al-Qur’an atau dengan al- Hadits bahkan perkataan para teman bersahabat termasuk juga para tabi’in, dan penafsiran ini ialah ialah jalan yang paling kondusif untuk menghindari terjadinya salah pemahaman terhadap makna ayat al-Qur’an yang maknanya kurang jelas, dan tafsir ini sudah dimulai dari masa teman bersahabat dan mereka spesialuntuk menafsirkan bagian-bagian yang susah dipahami bagi orang yang semasa dengan mereka. Tidak mencakup beberapa aspek tiruana ayat al-Qur’an, dan mereka juga menafsirkan bagian-bagian yang susah dipahami orang semasa dengan mereka.
Tafsir bi al-ma’tsur pada umumnya seragam, lantaran sumber yang digunakan ialah sama, yakni al-Qur’an, Sunnah, perkataan Sahabat dan seterusnya. tafsir bi al-ma’tsur, lantaran sumbernya sudah tetap, maka sifatnya akan statis.
Para jago Tafsir bi al-Ma’tsur yaitu:
1. Tafsir Ibnu Jarir
2. Tafsir As Samarqandy
3. Tafsir Ats Tsa’laby
4. Tafsir Al-Baghawy
5. Tafsir Ibnu ‘Athiyah
6. Murrah Al-Hamadzany
7. Tafsir Ibnu Katsir
8. Tafsir As Suyuthy
DAFTAR PUSTAKA
· Mawardi Abdullah, Ulumul Qur’an, Yoqyakarta, Pustaka Pelajar, 2011.
· As-Shiddieqi, Hasby , Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir, Jakarta, Bulan Bintang, 1978.
· al-‘Aridl, Ali Hasan , Sejarah dan Metodologi Tafsir, Jakarta, Rajpertamai Press, 1992.
· Amanah, Dra. H. St. , Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Semarang, CV. Asy-Syifa’, 1993.
[1] Mawardi Abdullah, Ulumul Qur’an, (Yoqyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hal. 154-155.
[2] Hasby As-Shiddieqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hal. 163-165.
[3] Ibid, hal. 160
[4] ‘Ali Hasan al-‘Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, (Jakarta : Rajpertamai Press, 1992), hal.3-5
[5] Http://Komenkch.blogspot.com/2012/03/tafsir-bil-matsur.html
[6] Dra. H. St. Amanah, Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir,( Semarang: CV. Asy-Syifa’, 1993), cet. 1, h. 348-353.
Posting Komentar untuk "Tafsir Bi Al-Ma'tsur"