Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pengadilan Di Luar Jawa



BAB I
PENDAHULUAN

Peradilan agama ialah kekuasan negara dalam menerima, memeriksa, mengadili, memutus, dan menuntaskan perkara-perkara perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan shodaqah diantara orang-orang islam untuk menegakkan aturan dan keadilan. Penyelenggaraan Peradilan Agama dilaksanakan oleh Pengadilan Agama pada Tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Agama pada Tingkat Banding. Sedangkan pada tingkat kasasi dilaksanakan oleh Mahkamah Agung. Sebagai pengadilan negara tertinggi.
Pengadilan Agama ialah salah satu lingkungan peradilan yang diakui eksistensinya dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 ihwal pokok-pokok kekuasan kehakiman dan yang terakhir sudah diganti dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 ihwal kekuasaan kehakiman, ialah forum peradilan khusus yang ditunjukan kepada umat islam dengan lingkup kewenangan yang khusus pula,baik perkaranya ataupun para pencari keadilannya (justiciabel). Disamping peradilan Agama ada juga Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara yang termasuk peradilan khusus.





BAB II
PEMBAHASAN

A.  Aceh (Nanggroe Aceh Darussalam)
Kesusahan Aceh Darussalam sebagai pola ialah salah satu Negara yang sudah berdiri pada era ke-16 dan gres takluk pada Belanda diakhir era ke-19. Tetapi kita tidak memiliki catatan ihwal praktik aturan yang berlaku. Syekh Nuruddin Ar-Raniri pada era ke-18 menulis sejarah dunia termasuk kesultanan Aceh, tetapi dilema aturan sangat sedikit disinggung. Dalam kisah ekspresi rakyat ada kisah proses keadilan, eksekusi yang dijatuhkan yang kelihatan direkam relative baik lantaran pelaku pidana orang penting atau tokoh public. Menceritakan ihwal kepaduan antara aturan syariat dan watak yang berlaku di tengah masyarakat di ketika itu.[1]

B.       Jambi
Ada beberapa keterangan terkena Jambi di mana ibu kota Jambi terdapat Pengadilan Agama yang didasarkan kepada Pasal 25 dari Reglement Jambi, Staatsblad 1906 No. 320, yang pada pokoknya meliputi Perkara-perkara yang mulainya berlakunya Reglement ini diputus oleh Pengadilan Agama di Ibu Kota Jambi tetap diputus oleh pengadilan tersebut, didasarkan kepada Pasal 3 RO dan Pasal 78 R.R.
sepertiyang kita ketahui bahwa sebelum tahun 1903 Jambi dikuasai oleh Pemerintahan Sultan. Tidak diketahui dengan oasti apakah Peradilan Agama Ibu Kota Jambi itu ialah peninggalan dari zaman kesultanan ataupun tiruan dari keadaan di Ibu Kota Palembang. Pada tahun 1927 tanggal 1 Juli Reglement Jambi dicabut dan pada tanggal yang sama mulailah berlaku Rechtsreglement Buitengewesten (RBG). Peradilan Agama tidak mendapat pengaturan sendiri, akan tetapi sanggup diterima bahwa adanya Peradilan Agama ialah kecuali di samping peradilan Landraad sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 45 RBG, yang pada pokoknya mencakupkan bahwa landraad mengadili perkara-perkara kecuali kalau perkara-perkara itu termasuk wewenang pengadilan lain.[2]

C.   Palembang
Mengenai kota Palembang terdapat lebih banyak bahan. Peradilan Agama di kota ini sudah ada sebelum tahun 1821 dengan ketetapan Gubernur Jenderal 3 Juni 1823, bahwa di Ibu Kota Palembang akan didirikan Pengadilan Agama untuk perkara-perkara terkena perkawinan, perceraian, dan harta peningkatan. Seterusnya dalam ketetapan tersebut ditetapkan bahwa keputusan Pengadilan Agama sanggup disbanding kepada Sultan. Reglement Palembang 1878, Staatsbland No. 14 dalam Pasal 27 berbunyi bahwa “Perkara-perkara yang pada waktu berlakunya Reglement ini diputuskan oleh Pengadilan Agama, tetap tinggal dalam wewenang pengadilan tersebut. Pada waktu mulai berlakunya RBG pada 1 Juli 1027 Pengadilan Agama Ibu Kota Palembang juga tidak memperoleh pengaturan tersendiri sama keadaannya dengan di Jambi.[3]

D.      Bengkulu
Keadaan di Ibu Kota Bengkulu sama dengan di Ibu Kota Jambi dan Palembang, sesuai dengan suara Pasal 26 dari Reglement Bengkulu, Staatsbland 1880 No. 32.[4]

E.       Sumatera Barat
Menurut catatan Mahadi, di Sumatera Barat selalu dijumpai Peradilan Agama yang sepertinya tidak diakui oleh pemerintah Belanda. Dan itu pula sebabnya mengapa keputusannya tidak pernah hingga kepada Laanraad untuk memperoleh eksekutoirverklaring. Pengadilan Agama sedemikian itu selalu disebut dengan nama Sidang Jumat atau Rapat Ulama atau Rapat Agama.

F.       Sumatera Timur
Daerah di Sumatera Timur yang lampau disebut Bengkalis dan kemudia kota Medan tidak mengenal Pengadilan Agama.

G.      Lampung
Mengenai tempat Lampung pada umumnya tidak mengenal Pengadilan Agama, sanggup dideritakan bahwa atas inisiatif rakyat Kewedanaan Kalianda diadakan satu Dewan Penghulu pada tahun 1925 mengikuti kenyataan di kampung-kampung sebelumnya di mana soal-soal keagamaan dibawakan kepada Penghoeloe, Khatib dan Bilal, akan tetapi keputusan Dewan Kampung dan Dewan Penghulu tersebut tidak sanggup pelaksanaannya dipaksakan, apabila tidak dipatuhi secara sukarela.

H.      Bangka Belitung
Di Bangka dan Belitung pada umumnya tidak terdapat pengadilan Agama, meskipun ada percobaan untuk mengadakan Peradilan semacam itu. Pontianak sudah mengenal Peradilan Agama pada tahun 1863. Di Kabupaten Hulu Sungai terdapat Pengadilan Agama di Kandangan dan Amuntai.[5]

I.     Sulawesi
Di Sulawesi integrasi aliran Islam dan lembaga-lembaganya dalam pemerintahan kerajaan dan watak lebih lancer lantaran peranan raja. Di Sulawesi, kerajaan yang mula-mula mendapatkan Islam dengan resmi ialah kerajaan Talo di Sulawesi Selatan. Kemudian menyusul kerajaan Gowa yang pada waktu itu sudah ialah kerajaan terkuat di seluruh daratan Sulawesi, kerajaan sangat ditaati rakyatnya. Mengenai kapan masuknya Islam di Sulawesi Selatan ini terdapat banyak sekali versi antara lain versi Speelman yang menyebut tahun 1603, Valentijn menyebut tahun 1605, Blank menyebut tahun 1603, Rader Macher juga mengemukakan tahun 1603 sementara Crawfurd dan Raffles menyebut tahun 1605.
Kerajaan Gowa resmi mendapatkan Islam sebagai agama pada tanggal 22 September 1605 hari Kamis, bertepatan dengan tanggal 09 Jumadil Awal 1014 H. pada waktu itu kerajaan Gowa dikuasai dan diperintah oleh Raja Talo I Malingkaang Daeg Manyotari. Menurut Drs. Abu Hamid bahwa tanggal tersebut ialah Jumat. Sebagai raja pertama yang masuk Islam, didiberi gelar Sultan Abdul Awwalul Islam. raja Tallo yang juga menjabat Mangkubumi atau Perdana Menteri Kerajaan Gowa berhasil memengaruhi Raja Gowwa I Mangngarangngi Daeng Manrabi’a untuk masuk Islam yang kemudian didiberi gelar Sultan Alauddin. Menurut sisilah beliaulah yang ialah nenek moyang raja-raja Makasar dan Bugis. Hanya dalam waktu 2 tahun seluruh rakyat Gowa dan Tallo masuk Islam Jumat pertama tanggal 09 November 1607 bertepatan dengan 19 Rajab 1016 H.
Kerajaan-kerajaan Bugis yang kuat, mirip Bone, Wajo, Soppeng, dan Sidenreng yang mula-mula menolak usul Raja Gowa dan Tallo untuk masuk Islam, lantaran mereka menduga usul tersebut spesialuntuk siasat untuk menguasai mereka, kemudian pada tahun 1609 Sidenreng dan Soppeng, pada tahun 1610 Gajo dan 1611 Bone resmi mendapatkan agama Islam. melaluiataubersamaini diterimanya Islam sebagai agama resmi kerajaan, maka terbuka luas jalur penyebaran agama baik melalui jalur kekuasaan (pemerintah) maupun jalur kemasyakatan. Melalui jalur kekuasaan di tempatkanlah Parewa Syara’ (pejabat syariat) yang berkedudukan sama dengan Parewa Adek (pejabat adat) yang sebelum hadirnya Islam sudah ada. Parewa Syara’ dipimpin oleh kadi yaitu pejabat tinggi dibidang aturan syariat Islam yang berkedudukan dipusat kerajaan. Di tiap paleli diangkat pejabat bawahan yang disebut imam serta dimenolong oleh seorang khatib dan seorang bilal. Hal ini terjadi pada ketika pemerintahan Raja Gowa XV (1637-1653) ketika Sultan Malikus Said berkuasa. Sebelumnya Raja Gowa sendirilah yang menjadi hakim agama Islam dari kerajaan sekaligus menjadi pelindung agama Islam dalam kerajaan.
Para pejabat syara’ mendapat nafkah dari zakat fitrah dan zakat harta dari sedekah Idul Fitri dan Idul Adha, kenduri kerajaan penyelenggaraan mayit dan penyelenggaraan pernikahan. Melalui jalur kemasyarakatan, pemerintah memilih banyak sekali kebijaksanaan. Misalnya, bahwa dalam setiap pembentukkan kampung harus ada langgar. Pada setiap kampung harus ada spesialis agama yang ditunjuk menjadi imam dan pemmenolongnya ialah pegawanegeri kali dipusat kerajaan.
melaluiataubersamaini dipadukannya syara’ dan watak dalam struktur kerajaan, maka raja-raja di Sulawesi Selatan didampingi oleh urusan pemerintahan. Bahkan dalam struktur kerajaan Bone, raja ialah penghulu tertinggi dalam kerajaan. Melalui cara ini wajarlah syariat Islam berkembang dengan pesat dan berlaku serta ditaati oleh penduduk. Meskipun Parewa Syara’ ialah pegawanegeri pelaksanaan raja yang memiliki kiprah membuatkan dan pelayan agama Islam dalam masyarakat mirip pelaksanaan mirip upacara keagamaan, pelatihan dan peralatan bangunan-bangunan keagamaan melayani upacar pernikahan, kematian, menuntaskan perkara-perkara warisan, namun dalam pelaksanaan kiprah tersebut ia berusaha untuk tidak mengguncangkan struktur masyarakat dan aturan watak yang sudah usang dianut dalam masyarakat.

J.        Masa Daendels
Pada masa Gubernur Jenderal Daendels (1808-1811) Pengadilan Agama belum ialah forum yang berdiri sendiri, meskipun demikian untuk tempat Banten, Daendels membiarkan adanya Pengadilan penghulu yang sanggup praktik menetapkan perkara-perkara kekeluargaan berdasarkan aturan Islam. di daerah-daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur, walaupun tidak ada Pengadilan Agama disetiap landgerecht diikutsertakan seorang penghulu yang akan ikut mempersembahkan pertimbangan bila ketua (Bupati) Landoros beserta anggota akan menetapkan perkara. Untuk setiap viredesqerecht di Jawa Tengah dan Jawa Timur diangkat seorang penghulu sebagai anggota dan veredesqerecht ini akan menetapkan perkara-perkara kecil contohnya perselisihan-perselisihan dalam perkawinan, penganiayaan, utang piutang dan lain sebagainya.
Seperti halnya VOC, Daendels menganggap bahwa aturan orisinil di Jawa terdiri dari aturan Islam, ternyata dengan digunakannya seorang penghulu yang dianggap sebagai jago dan juru penasihat dalam hal dipakai aturan watak di pengadilan. Sikap Daendels terhadap aturan watak tidak cukup baik untuk orang Eropa. Hal ini sanggup dibuktikan dari peraturan pada waktu itu yang menyatakan bahwa jikalau seorang Eropa melaksanakan kejahatan gotong royong dengan orang Jawa asli, maka yang berpihak untuk mengadili mereka ialah Raad Van Justutue dan Hukum Materiil yang diterapkan ialah aturan Eropa. Bukti lain lagi terkena anggapan Daendels demikian ialah keputusan Daendels tanggal 14 April 1809 yang ditetapkan bahwa tiada budi anak negeri, program masalah serta pemdiberian eksekusi patut dibiarkan berlaku, jikalau ia berperihalan dengan dasar ulama dari keadilan dan kepatutan.

K.      Masa Raffles
Pada masa Gubernur Jenderal Inggris Raffles berkuasa (1811-1816) Peradilan Agama belum juga ialah forum yang berdiri sendiri, akan tetapi sebelum tubuh pengadilan yang diketuai oleh bupati mempersembahkan keputusan, terlebih lampau harsu meminta pertimbangan dari penghulu dan jaksa. Mengenai hubungan bupati dan penghulu serta jaksa ini Raffles menulis……demikianlah memang sifat pemerintahan pribumi, bahwa para pejabat tersebut (Penghulu dan Jaksa) diperlakukan spesialuntuk sebagai penasihat bagi pejabat atasannya pemerintah, daripada pejabat kehakiman yang bebas. Mengenai susunan peradilan, Raffles membedakan susunan pengadilan untuk bangsa Indonesia di dalam Stand en ommelanden (daerah-daerah kota dan sekitarnya) dan susunan pengadilan untuk bangsa Indonesia di desa-desa. Mengenai aturan watak Raffles menduga bahwa aturan watak ialah sama dengan aturan Islam. pendapat ini sanggup disimpulkan dari kata-kata “the koran….form the general law of java.

L.       Masa Kolonial Belanda
Sikap politik pemerintahan Hindia Belanda terhadap Peradilan Agama yang tiruanla tidak akan melaksanakan gangguan serta tetap membiarkan orang jawa menetapkan masalah tertentu mirip dalam isyarat bulan September 1808, ternyata lebih jauh menjadi mengatur dan memperluas pengaturan tersebut di luar Jawa. Hal ini sanggup dilihat dengan keluarnya Staatsbland No. 22 Tahun 1820. Dalam pasal 13 Staatsbland ini disebutkan bahwa bupati wajib memerhatikan soal-soal agama dan untuk menjaga para pendeta sanggup melaksanakan kiprah mereka sesuai dengan watak kebiasaan orang Jawa mirip dalam perkawinan, pinjaman pusaka, dan sejenis itu.
Di sisi lain dari kata “dibiarkan” dan istilah “Bupati” dalam dua Staatsbland di atas sanggup disimpulkan bahwa Peradilan Agama sudah ada diseluruh pulan Jawa. Untuk mengatur Peradilan Agama di luar pulau Jawa, melalui Staatsbland No. 12 Tahun 1823 didirikan Pangadilan Agama di kota Palembang yang diketuai oleh Pangeran Penghulu sedangkan banding sanggup dimintakan kepada sultan.
Tanggal 23 Maret 1925 dikeluarkan peraturan untuk Ibu Kota Palembang terkena wewenang Pengadilan Agama sebagai diberikut:[6]
  1. Perkawinan.
  2. Perceraian.
  3. Pembagian Harta.
  4. Pada siapa anak diserahkan kalau orang bau tanah bercerai.
  5. Wasiat

BAB III
PENUTUP

Simpulan
Untuk tempat luar Jawa ada dua belas perkembangan Peradilan Agama yaitu sebagai diberikut:
  1. Aceh
 7.  Bangka Belitung
  1. Palembang
 8.   Sulawesi
  1. Bengkulu
9.  Masa Daendels
  1. Sumatera Barat
10. Masa raffles
  1. Sumatera Timur
11. Masa Kolonial Belanda
  1. Lampung
      12. Jambi

Dari uraian ihwal Peradilan Agama di luar Jawa sanggup disimpulkan bahwa sebelum Islam masuk ke Indonesia Peradilan Agama sudah ada dan eksis. melaluiataubersamaini masuknya Islam pada era I H/ 7 M masyarakat mulai melaksanakan aliran Islam sesuai fiqih. Sedangkan pada masa penjajahan peradilan diserahkan pada raja/sultan-sultan dengan istilah dan nama yang beragam.




DAFTAR PUSTAKA

Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama & Mahkamah Syar’iyah, Cet. 2, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama Indonesia, Cet. II, Malang: UIN Malang Press, 2009.
A. Basiq Djalil, Peradilan Agama Di Indonesia, Cet. 2, (Jakarta: Prenada Media, 2006.


[1] Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama & Mahkamah Syar’iyah, Cet. 2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 34
[2] Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama Indonesia, Cet. II, (Malang: UIN Malang Press, 2009), h 72
[3] A. Basiq Djalil, Peradilan Agama Di Indonesia, Cet. 2, (Jakarta: Prenada Media, 2006), h. 40
[4] Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama Indonesia, op.cit., h. 73
[5] A. Basiq Djalil, Peradilan Agama Di Indonesia,op.cit,.h. 43
[6] Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama Indonesia, op.cit., h. 80

Posting Komentar untuk "Pengadilan Di Luar Jawa"