Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Lembaga Pemasyarakatan



BAB I
PEMBAHASAN

A.    Latar Belakang
Dalam pasal angka 3 UU Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Permasyarakatan tempat untuk melaksanakan pelatihan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan. Sebelum dikenal istilah lapas di Indonesia, tempat tersebut di sebut dengan istilah penjara. Lembaga Pemasyarakatan ialah Unit Pelaksana Teknis di bawah Direktorat Jenderal PemasyarakatanKementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Dan juga ialah himpunan dari norma-norma dari segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok di kehidupan masyarakat.
Lembaga Pemasyarakatan ialah tahap final dari sistem peradilan pidana.Sistem peradilan pidana sendiri terdiri dari 4 (empat) sub-sistem yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan.Sub-sistem Lembaga Pemasyarakatan sebagai sub-sistem terakhir dari sistem peradilan pidana mempunyai kiprah untuk melaksanakan pelatihan terhadap terpidana khususnya pidana pencabutan kemerdekaan.
Perlunya peninjauan ulang terhadap sistem dan pola pendekatan terhadap para masyarakat binaan untuk solusi lain mengantisipasi kerusuhan lapas.

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.     Pengertian Lembaga Pemasyarakatan

            Lembaga Pemasyarakatan disebut LAPAS adalah tempat untuk melaksanakan pelatihan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan.(Pasal 1 Angka 3 UU Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan).Sebelum dikenal istilah lapas di Indonesia, tempat tersebut di sebut dengan istilah penjara. Lembaga Pemasyarakatan ialah Unit Pelaksana Teknis di bawah Direktorat Jenderal PemasyarakatanKementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (lampau Departemen Kehakiman).[1]
B.     Sejarah Lembaga Pemasyarakatan
Menurut keputusan usang hingga modifikasi aturan Prancis yang dibentuk pada tahun 1670 belum dikenal pidana penjara, terkecuali dalam tindakan penyandraan dengan penembusan uang atau penggantian eksekusi mati sebelum di tentukan keentengan eksekusi dengan cara lain. Di inggris era pertengahan kurang lebih tahun 1200-1400 di kenal aturan kurungan gereja dalam sel (cell) dan pidana penjara bentuk kuno di Bridwedell (pertengahan era ke 16) yang dilanjutkan dengan bentuk pidana penjara untuk bekerja berdasarkan Act of 1576 dan Act of 1609 dan pidana penjara untuk dikurung berdasarkan ketentuan Act of 1711.[2] Dalam hal ini Howard Jones menerangkan, bahwa semenjak zaman raja Mesir pada tahun 2000 sebelum Masehi (SM) di kenal pidana penjara dalam arti penahanan selama menunggu pengadilan, dan ada kala sebagai penahanan untuk keperluan lainmenurut romawi dari jaman Justianus era 5 (SM).
Karena pemdiberian pekerjaan dianggap salah satu daya upaya untuk memperbaiki adab terhukum, maka timbulah sistem campuran, yaitu :
a.       Pada waktu malam ditutup sendirian,
b.      Pada waktu siang bekerja bersama-sama.
Pada waktu bekerja mereka dihentikan bercakap-cakap terkena hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan.Oleh karenanya maka sistem ini dinamakan pula “Silent System”.
Sedangkan sejarah adanya forum pemasyarakatan ini di Indonesia terkait dengan sejarah berdirinya negara tercinta ini, yang mempunyai masa-masa pahit tatkala Belanda dan Jepang menancapkan cakar tajamnya di masa penjajahan.Masa demi masa terlewati, mengukir catatan demi catatan.Masing-masing masa mempunyai sejarahnya tersendiri.
Periode pidana kerja paksa di Indonesia berlangsung semenjak pertengahan era ke-XIX atau tepatnya mulai tahun 1872 hingga 1905. Ditandai dengan dua jenis aturan pidana; pertama, aturan pidana khusus untuk orang Indonesia ;dan yang kedua, pidana khusus untuk orang Eropa. Bagi orang Indonesia dan golongan Timur Asing berlaku Kitab Undang-undang Hukum Pidana khusus, yakni “Wetboek van Strafrecht voor de Inlanders in Nederlandsch Indie”, artinya Kitab Undang-undang Hukum Pidana untuk orang pribumi di Hindia Belanda.Pada ketika itu orang Indonesia disebut dengan “Inlanders”.Pada periode ini pidana kerja ialah bentuk pemindanaan yang seringkali dijatuhkan pada “inlanders”. Lama pidana kerja sangat bervariasi bisa seumur hidup, atau minimal satu hari. Sedangkan pidana kerja terbagi menjadi dua, yakni kerja paksa (dwang arbeid) dan dipekerjakan (ter arbeid stellen). Kerja paksa yang lamanya lebih dari lima tahun dilakukan dengan dirantai (dwang arbeid aan de ketting), yang di bawah lima tahun tanpa dirantai (dwang erbeid buiten de ketting). Sedangkan yang satu tahun ke bawah disebut dengan istilah “dipekerjakan” (ter arbeid stellen), dan yang di bawah tiga bulan disebut “krakal”.
Dasar aturan kepenjaraan relatif dari Hindia Belanda yaitu berupa :
1.    Kitab Undang-undang Hukum Pidana. 13,14a s/d f,15,16,17,23,24,25, dan pasal 29.
2.    Reglemen Penjara Stbl. 1917 No.708 Jo.Stbl.No.77
Peraturan penjara sebagai peraturan pelaksanaan dari Kitab Undang - undang Hukum Pidana, khususnya pasal – pasal tersebut diatas ialah dasar dari pelaksananaan pidana hilang kemerdekaan menyerupai yang tercantum dalam pasal 10 Kitab Undang - undang Hukum Pidana. Sampai kini masih tetap berlaku peraturan tersebut sebagai dasar aturan berlakunya sistem Pemasyarakatan. Peraturan penjara itu berlaku adal;ah berpedoman kepada pasal II aturan peralihan UUD  1945 yang berbunyi : “segala sesuatu belum diadakan yang gres berdasarkan Undang-Undang Dasar ini”.
Pembaharuan aturan di Indonesia, khususnya dalam bidang aturan pidana sudah semenjak usang dilakukan, yang dalam hal ini mencakup aturan pidana materiil, aturan pidana formil dan aturan pelaksanaan pidana. Pembangunan aturan pidana intinya tidak spesialuntuk yang bersifat struktural akan tetapi mencakup beberapa aspek pula pembangunan substansial dan yang bersifat kultural. Dewasa ini hakikat pembangunan aturan semakin penting apabila dikaitkan dengan sistem peradilan pidana yang pelaksanaannya dilakukan oleh 4 (empat) forum penegak aturan yaitu Kepolisian, Kejaksaaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan yang diharapkan sanggup bekerja sama secara terpadu untuk mencapai tujuan tertentu.
Lembaga Pemasyarakatan ialah tahap final dari sistem peradilan pidana.Sistem peradilan pidana sendiri terdiri dari 4 (empat) sub-sistem yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan.Sub-sistem Lembaga Pemasyarakatan sebagai sub-sistem terakhir dari sistem peradilan pidana mempunyai kiprah untuk melaksanakan pelatihan terhadap terpidana khususnya pidana pencabutan kemerdekaan. melaluiataubersamaini demikian berhasil tidaknya tujuan yang hendak dicapai dalam sistem peradilan pidana baik tujuan jangka pendek yaitu rehabilitasi dan resosialisasi narapidana, tujuan jangka menengah untuk menekan kejahatan serta tujuan jangka panjang untuk mencapai kesejahteraan masyarakat di samping ditentukan/dipengaruhi oleh sub-sub sistem peradilan pidana yang lain yaitu kepolisian, kejaksaan dan pengadilan, selebihnya juga sangat ditentu¬kan oleh pelatihan yang dilakukan Lembaga Pemasyarakatan sebagai pelaksanaan dari pidana pencabutan kemerdekaan, khususnya pidana penjara.
Lembaga Pemasyarakatan sebagai wadah pelatihan narapidana yang berdasarkan sistem pemasyarakatan berupaya untuk mewujudkan pemidanaan yang integratif yaitu membina dan mengembalikan kesatuan hidup masyarakat yang baik dan berguna. melaluiataubersamaini perkataan lain Lembaga Pemasyarakatan melaksanakan rehabilitasi, reedukasi, resosialisasi dan pinjaman baik terhadap narapidana serta masyarakat di dalam pelaksanaan sistem pemasyarakatan. melaluiataubersamaini sistem pemasyarakatan sebagai dasar pola pelatihan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan diharapkan sanggup berhasil dalam mencapai tujuan resosialisasi dan rehabilitasi pelaku tindak pidana/narapidana, maka pada gilirannya akan sanggup menekan kejahatan dan pada kesannya sanggup mencapai kesejahteraan sosial menyerupai tujuan sistem peradilan pidana (jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang). melaluiataubersamaini demikian keberhasilan sistem pemasyarakatan di dalam pelaksanaan pelatihan terhadap narapidana di Lembaga Pemasyarakatan akan besar lengan berkuasa pada keberhasilan pencapaian tujuan sistem peradilan pidana.

C.    Klasifikasi Penghuni Lembaga Pemasyarakatan

            Penghuni Lembaga Pemasyarakatan bisa narapidana (napi) atau Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) bisa juga yang statusnya masih tahanan, maksudnya orang tersebut masih berada dalam proses peradilan dan belum ditentukan bersalah atau tidak oleh hakim.
Sesuai Undang Undang Nomor 12 Tahun 1995, narapidana yaitu terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan. Penghuni suatu forum pemasyarakatan atau orang-orang tahanan itu terdiri dari :
1.      Mereka yang menjalankan pidana penjara dan pidana kurungan;
2.      Orang-orang yang dikenakan penahanan sementara;
3.      Orang-orang yang disandera.
4.      Lain-lain orang yang tidak menjalankan pidana penjara atau pidana kurungan, akan tetapi secara sah sudah dimasukkan ke dalam forum pemasyarakatan.
Golongan orang-orang yang sanggup dimasukkan atau ditempatkan di dalam forum pemasyarakatan itu ialah :
1.      Mereka yang ditahan secara sah oleh pihak kejaksaan;
2.      Mereka yang ditahan secara sah oleh pihak pengadilan;
3.      Mereka yang sudah dijatuhi eksekusi pidana hilang kemerdekaan oleh pengadilan negeri setempat;
4.      Mereka yang dikenakan pidana kurungan;
5.      Mereka yang tidak menjalani pidana hilang kemerdekaan, akan tetapi dimasukkan ke forum pemasyarakatan secara sah.
D.    Jenis-jenis Lembaga Kemasyarakatan
Menurut (Yuliati dkk, 2003) jenis-jenis forum pemasyarakatan dibagi atas banyak sekali tipe sesuai dengan banyak sekali sudut pengamatan yaitu :
  • Dari sudut perkembangannya kelembagaan terdiri dari Criscive Institution and Enacted Institution. Yang pertama ialah forum yang tumbuh dari kebiasaan masyarakat.  Sementara yang kedua dilahirkan dengan sengaja untuk memenuhi kebutuhan  manusia.
  • Dari sudut sistem nilai kelembagaan masyarakat dibagi menjadi dua yakni Basic institution and Subsidiary Institution. Yang pertama ialah forum yang memegang peranan penting dalam mempertahankan tata tertib masyarakat sementara yang kedua kurang penting lantaran spesialuntuk jadi pelengkap.
  • Dari sudut penerimaan masyarakat, terdiri dari dua yaitu Sanctioned Institution and unsanctioned Institution.  Yang pertama ialah kelompok yang dikehendaki menyerupai sekolah dll, sementara yang kedua ditolak meski kehadirannya akan selalu ada.  Lembaga ini berupa pesantren sekolah, forum ekonomi lain dan juga forum kejahatan.
  • Dari sudut faktor penyebabnya dibedakan atas General institutional and Restriktic Institutional. Yang pertama ialah organisasi yang umum dan dikenal seluruh masyarakat referensi agama, sementara yang kedua ialah serpihan dari institusi yakni Islam, Kristen, dan agama lainnya. 
  • Dari sudut fungsinya dibedakan atas dua yaitu Operatif Institutional and regulatif Institutional.  Yang pertama berfungsi untuk mencapai tujuan, sementara yang kedua untuk mengawasi tata kelakuan nilai yang ada di masyarakat.
E.     Fungsi Lembaga Kemasyarakatan
Pada dasarnya forum kemasyarakatan mempunyai beberapa fungsi antara lain:
  • Memdiberikan pedoman bagi anggota masyarakat, bagai mana mereka harus bertingkah laris atau bersikap didalam menghadapi masalah-masalah dalam masyarakat terutama yang menyangkut kebutuhan-kebutuhan.
  • Menjaga keutuhan masyarakat.
  • Memdiberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan sistem pengendalian social (social control). Artinya, sistem pengawasan masyarakat terhadap tingkah laris anggota-anggotanya.
Fungsi-fungsi diatas menyatakan bahwa apabila seseorang hendak mempelajari kebudayaan dan masyarakat tertentu maka harus pula diperhatikan secara teliti lembaga-lembaga kemasyarakatan di masyarakat yang bersangkutan.
Lembaga kemasyarakatan berfungsi sebagai pedoman sikap atau sikap tindak insan dan ialah salah satu masukana untuk memelihara dan membuatkan integrasi di dalam masyarakat.  Namun demikian, tidak tiruana norma di dalam masyarakat dengan sendirinya menjadi serpihan dari suatu forum sosial tertentu.   Hal ini tergantung pada proses pelembagaan dari norma-norma tersebut sehingga menjadi serpihan dari suatu forum sosial tertentu ( Soekanto dan Tguako, 1984).
Literatur yang saya diambil dari (http://sosiologi-era.blogspot.com) menyatakan bahwa Fungsi forum kemasyarakatan:
·  Memdiberi pedoman kepada anggota masyarakat bagaimana mereka harus bersikap dalam menghadapi problem dalam masyarakat.
·  Menjaga keutuhan masyarakat yang bersangkutan.
·  Memdiberi pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan sistem pengendalian sosial (social control) dan sistem pengawasan masyarakat terhadap sikap anggotanya.

F.     Proses Pembinaan Narapidana dalam Sistem Pemasyarakatan

 

            Konsep pemasyarakatan pertama kali digagas oleh Menteri Kehakiman Sahardjo pada tahun 1962, dimana disebutkan bahwa kiprah jawatan kepenjaraan bukan spesialuntuk melaksanakan hukuman, namun kiprah yang jauh lebih berat yaitu mengembalikan orang-orang yang dijatuhi pidana ke dalam masyarakat.
     Saat seorang narapidana menjalani vonis yang dijatuhkan oleh pengadilan, maka hak-haknya sebagai masyarakat negara akan dibatasi. Walaupun terpidana kehilangan kemerdekaannya, tapi ada hak-hak narapidana yang tetap dilindungi dalam sistem pemasyarakatan Indonesia.
     Untuk melaksanakan pembinaan-pembinaan tersebut, dikenal empat tahap proses pembinaan, yaitu :
1.  Tahap pertama. Setiap narapidana yang ditempatkan di dalam forum pemasyarakatan itu dilakukan penelitian untuk mengetahui segala hal wacana diri narapidana, termasuk wacana apa sebabnya mereka sudah melaksanakan pelanggaran, diberikut segala keterangan wacana diri mereka yang sanggup diperoleh dari keluarga mereka, dari bekas majikan atau atasan mereka, dari mitra sepekerjaan mereka, dari orang yang menjadi korban perbuatan mereka dan dari petugas instansi lain yang menangani kasus mereka.
2.  Tahap kedua. Jika proses pelatihan terhadap seseorang narapidana itu sudah berlangsung selama sepertiga dari masa pidananya yang sebenarnya, dan berdasarkan pendapat dari Dewan Pembina Pemasyarakatan sudah dicapai cukup kemajuan, antara lain ia mengatakan keinsafan, perbaikan, disiplin dan patuh pada peraturan-peraturan tata tertib yang berlaku di forum pemasyarakatan, maka kepadanya didiberikan lebih banyak kebebasan dengan memberlakukan tingkat pengawasan medium security.
3.  Tahap ketiga. Jika proses pelatihan terhadap seseorang narapidana itu sudah berlangsung selama setengah dari masa pidananya yang sebenarnya, dan berdasarkan pendapat dari Dewan Pembina Pemasyarakatan sudah dicapai cukup kemajuan baik secara fisik maupun secara mental dan dari segi keterampilan, maka wadah proses pelatihan diperluas dengan memperbolehkan narapidana yang bersangkutan mengadakan asimilasi dengan masyarakat di luar forum pemasyarakatan.
4.  Tahap keempat. Jika proses pelatihan terhadap seseorang narapidana itu sudah berlangsung selama dua per tiga dari masa pidananya yang bekerjsama atau sekurang-kurangnya sembilan bulan, kepada narapidana tersebut sanggup didiberikan lepas bersyarat, yang penetapan wacana pengusulannya ditentukan oleh Dewan Pembina Pemasyarakatan.

G.    Identifikasi Sarana dan Pramasukana Pendukung Pembinaan
Dalam proses pelatihan narapidana oleh Lembaga Pemasyarakatan dibutuhkan masukana dan pramasukana pedukung guna mencapai keberhasilan yang ingin dicapai. Sarana dan pramasukana tersebut mencakup :
1.  Sarana Gedung Pemasyarakatan
Gedung Pemasyarakatan ialah representasi keadaan penghuni di dalamnya. Keadaan gedung yang layak sanggup mendukung proses pelatihan yang sesuai harapan. Di Indonesia sendiri, sebagian besar bangunan Lembaga Pemasyarakatan ialah warisan kolonial, dengan kondisi infrastruktur yang terkesan ”angker” dan keras. Tembok tinggi yang mengelilingi dengan teralis besi menambah kesan menakutkan penghuninya.
2.  Pembinaan Narapidana
Bahwa masukana untuk pendidikan keterampilan di Lembaga Pemasyarakatan sangat terbatas, baik dalam jumlahnya maupun dalam jenisnya, dan bahkan ada masukana yang sudah demikian usang sehingga tidak berfungsi lagi, atau kalau toh berfungsi, hasilnya tidak memadai dengan barang-barang yang diproduksikan di luar (hasil produksi perusahan).
3.  Petugas Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan
Petugas pemasyarakatan yaitu pegawai negeri sipil yang menangangi pelatihan narapidana dan tahanan di forum pemasyarakatan.Berkenaan dengan problem petugas pelatihan di Lembaga Pemasyarakatan, ternyata sanggup dikatakan belum sepenuhnya sanggup menunjang tercapainya tujuan dari pelatihan itu sendiri, mengingat sebagian besar dari mereka relatif belum ditunjang oleh bekal kecakapan melaksanakan pelatihan dengan pendekatan humanis yang sanggup menyentuh perasaan para narapidana, dan bisa berdaya cipta dalam melaksanakan pembinaan. 

H.    Paradigma Sistem Pembinaan Narapidana

Ironis, hampir seluruh tindak kejahatan yang ditangani oleh Sistem Peradilan Pidana Indonesia selalu berakhir di penjara. Padahal penjara bukan solusi terbaik dalam menuntaskan masalah-masalah kejahatan, khususnya tindak kejahatan di mana “kerusakan” yang ditimbulkan oleh tindak kejahatan tersebut masih bisa di restorasi sehingga kondisi  yang sudah “rusak” sanggup dikembalikan menuju keadaan tiruanla, di mana dalam keadilan restoratif mi dimungkinkan adanya penghilangan stigma dari individu pelaku.
Dalam menyikapi tindak kejahatan yang dianggap sanggup direstorasi kembali, dikenal suatu paradigma penghukuman yang disebut sebagai restorative justice, di mana pelaku kejahatan didorong untuk memperbaiki kerugian yang sudah ditimbulkannya kepada korban, keluarganya dan juga masyarakat.Berkaitan dengan kejahatan yang kerusakannya masih bisa diperbaiki, intinya masyarakat menginginkan semoga bagi pelaku didiberikan “pelayanan” yang bersifat rehabilitatif. Masyarakat mengharapkan para pelaku kejahatan akan menjadi lebih baik dibanding sebelum mereka masuk kedalam institusi penjara, inilah yang dimaksud proses rehabilitasi.
 Kebutuhan dan keselamatan korban menjadi perhatian yang utama dari proses restorative justice. Korban harus didukung dan sanggup dilibatkan secara pribadi dalam proses penentuan kebutuhan hasil final dari masalah tindak pidana yang dialaminya. Namun dengan demikian bukan berarti kebutuhan pelaku tindak pidana diabaikan.Pelaku tindak pidana harus direhabilitasi dan di-reintegrasikan ke dalam masyarakat.Konsekuensi dari kondisi mi menimbulkan perlunya dilakukan pertukaran gosip antara korban dan pelaku tindak pidana secara pribadi dan terjadinya komitmen yang saling menguntungkan di antara keduanya sebagai hasil final dari tindak pidana yang terjadi.

I.       Perwujudan Konkret Rehabilitasi dan Reintegrasi Sosial

     Teori rehabilitasi dan reintegrasi sosial membuatkan beberapa acara kebijakan pelatihan narapidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 1995 wacana Pemasyarakatan. Program kebijakan itu mencakup :
1. Asimilasi
            Dalam asimilasi dikemas banyak sekali macam acara pelatihan yang salah satunya yaitu pemdiberian tes kerja dan produksi kepada narapidana.
2. Reintegrasi Sosial
Dalam integrasi sosial dikembangkan dua macam bentuk acara pembinaan, yaitu pembebasan bersyarat dan cuti menjelang bebas.
J.      Berbagai  Permasalahan dalam Lembaga Pemasyarakatan
Kerusuhan dan pembakaran di Lapas Kelas II A Labuhan Ruku, Batubara, Sumatera Utara yang terjadi pada Minggu (18/8) sekitar pukul 17.00 WIB ialah kerusuhan kelima yang terjadi di lapas di seluruh nusantara semenjak Januari 2013. Akibat kejadian tersebut, sebagian bangunan lapas yang terletak di Desa Paham, Kecamatan Talawi, Kabupaten Batubara habis terbakar dan beberapa narapidana kabur melarikan diri.Data mengatakan bahwa daya tampung Lapas Labuhan Ruku terbaik untuk 300 narapidana, namun ketika kejadian kerusuhan dihuni oleh 867 narapidana.Lapas Labuhan Ruku sudah melebihi kapasitas, hampir 3 kali lipat dari kapasitas daya tamping.
Sebulan sebelumnya, tepatnya pada 17 Juli 2013, kerusuhan juga terjadi di Rumah Tahanan (Rutan) Batam dan kejadian tersebut mengakibatkan beberapa narapidana kabur dan sejumlah bangunan rutan dirusak.Masih di bulan Juli 2013, yakni pada tanggal 11, kerusuhan besar melanda Lapas Tanjung Gusta Medan dan yang mengakibatkan lima sipir tewas, 211 narapidana kabur, serta bangunan lapas dan dokumen penting dibakar. Pada 21 Februari Lapas Krobokan Bali juga terjadi kerusuhan dan sejumlah bangunan dibakar; dan pada 21 Januari di Lapas Salemba Jakarta juga terjadi baku pukul narapidana antarblok.
Rentetan kerusuhan yang melanda lapas semenjak Januari hingga Agustus 2013 bagi Kepala Divisi Pemasyarakatan Kanwil Kemenkumham Jawa Tengah, Suwarso, ialah pelajaran untuk lebih meningkatkan kewaspadaan meskipun dalam sejarah di Jawa Tengah tidak pernah terjadi kerusuhan menyerupai di Labuhan Ruku maupun Tanjung Gusta. Kerusuhan di lapas berdasarkan Suwarso, rentan terjadi dengan bermacam-macam alasan di antaranya lantaran berlebihnya kapasitas; keterbatasan petugas, masukana, dan pramasukana termasuk teknologi; serta emosi dari narapidana yang tidak sanggup diprediksi.
Sebagai minimatur beragamnya permasalahan di masyarakat, para narapidana sanggup saja mempunyai tingkat stres dan temperamental yang tinggi sehingga sanggup menjadi salah satu pemicu kerusuhan."Namanya juga lapas yang ialah tempat berkumpul narapidana dan kapan saja bisa terjadi kerusuhan.Temperamental dan stres tinggi lantaran bertahun-tahun dipenjara misalnya," katanya.Atas dasar sejumlah kemungkinan yang mungkin terjadi tersebut, pihaknya juga memetakan sejumlah kemungkinan dan antisipasi yang perlu dilakukan.
Terkait dengan kelebihan kapasitas, Suwarno sebut jumlah rutan dan lapas di wilayah Jawa Tengah terdapat 44 buah dengan total penghuninya sekitar 11 ribuan orang. Ia mencontohkan di Lapas Kedungpgua Semarang yang berkapasitas 500 hingga 600 narapidana, tetapi diisi lebih 1.000 narapidana. Rumah tahanan di Kabupaten Boyolali dengan delapan ruangan tahanan berkapasitas 87 penghuni, tetapi dihuni 113 orang.
Meskipun lapas dan rutan di Jateng sebagian besar melampaui kapasitas standar, Suwarno mengaku, Jateng justru menjadi kawasan kiriman dari sejumlah wilayah dengan lapas melampaui kapasitas menyerupai Jakarta dan Medan .Sementara keterbatasan petugas pengamanan terlihat dari tidak berbanding lurusnya antara jumlah petugas dengan jumlah penghuni lapas maupun rutan, menyerupai di Lapas Kedungpgua Semarang terdapat 1.061 narapidana, sedangkan jumlah petugas keamanan sebanyak 13 orang setiap giliran tugas. Lapas di Nusakambangan dengan penghuni rata-rata 300 hingga 500 narapidana juga spesialuntuk dijaga empat petugas setiap giliran jaga atau masih jauh dari standar.
Ø  Solusi
Menghadapi permasalahan berlebihnya kapasitas lapas dan rutan tersebut, Kanwil Kemenkumham Jateng meningkatkan kerjasama pengamanan dengan kepolisian dan TNI.Tidak spesialuntuk pengamanan, tambah Suwarno, pelatihan terhadap para narapidana yang sudah menjadi kiprah rutin juga menjadi lebih ditingkatkan dan tes pengamanan bersama antara petugas lapas dengan TNI.Latihan pengamanan dengan TNI, lanjut Suwarno, sudah rutin dilaksanakan di Lapas Ambarawa.Selain dengan Polres dan Kodim, kolaborasi juga dilakukan dengan satuan tempur Tentara Nasional Indonesia yang berada di kawasan setempat menyerupai Bataliyon.
Solusi terhadap sejumlah kerusuhan lapas tersebut bagi pakar aturan pidana Universitas Diponegoro Semarang, Prof Nyoman Sarikat Putrajaya, menjadi sangat penting lantaran kejadian serupa sanggup saja terulang kembali."Saya justru melihat kerusuhan lapas tengah menjadi tren, lantaran tidak spesialuntuk di Indonesia tetapi di luar negeri kerusuhan juga terjadi," katanya.Permasalahan tersebut, berdasarkan Nyoman, harus segera diantisipasi dan diwaspadai dengan bermacam-macam upaya di antaranya mengatasi permasalahan klasik penyebab terjadinya kerusuhan.Salah satu permasalahan penyebab terjadinya kerusuhan yakni kelebihan kapasitas lantaran berdampak perhatian petugas terhadap masyarakat binaan menjadi bertambah.
Terkait usulan lapas diserahkan ke swasta, Nyoman menyatakan tidak setuju lantaran anggaran yang diharapkan niscaya lebih tinggi, sudah sempurna ditangani oleh pemerintah.Permasalahan over kapasitas, berdasarkan Nyoman, sanggup diatasi dengan menambah gedung gres lantaran banyak lapas yang ialah bangunan usang dan berada di tengah kota. "Pemilihan lokasi lapas di kawasan pinggiran perlu menjadi pertimbangan lantaran tingkat pengawasan akan lebih optimal, tidak sama dengan lapas yang berada di tengah kota dengan mobilitas lingkungan sekitarnya yang sangat tinggi dan lebih simpel untuk melarikan diri," kata Nyoman.Kota Semarang menjadi salah satu kawasan yang sudah sempurna mengalihkan lapas dari yang tiruanla berada di Jalan dr. Cipto dipindahkan ke Kedungpgua dan langkah tersebut harus diikuti kawasan lain yang ketika ini lapas atau rutannya masih berada di tengah kota. Selain lebih terbaik dalam pengawasan, lapas atau rutan yang berada di kawasan pinggiran untuk penambahan gedung serta ekspansi sangat lebih memungkinkan dilakukan, tidak sama kalau berada di tengah kota.
Solusi lain untuk mengantisipasi kerusuhan lapas, tambah Nyoman, yakni perlunya peninjauan ulang terhadap sistem dan pola pendekatan terhadap para masyarakat binaan. Menurut Nyoman, sumber daya insan atau petugas lapas harus dievaluasi dalam melaksanakan pendekatan terhadap masyarakat binaan. "Perlu diteliti lebih jauh lantaran bisa jadi permasalahan dipicu lantaran ketidakpuasan para narapidana terhadap perlakuan yang mereka terima," katanya.Para petugas juga perlu dibekali pengetahuan cara yang sempurna menghadapi masyarakat binaan yang notabene orang yang menyimpang dari kelakuan di masyarakat. Resep-resep diatas menjadi ikhtiar untuk meminimalisir potensi kerusuhan di lapas yang sudah banyak menelan korban jiwa dan hancurnya kemudahan lapas, juga yang tidak kalah pentingnya yaitu tercabiknya rasa kondusif dan memuncukan rasa takut yang menghantui masyarakat akhir rusuh lapas selama ini.
Lembaga kemasyarakatan berasal dari istilah aneh “social-institution” atau pranata-sosial , yaitu suatu sistem tata kelakuan dan kekerabatan yang berpusat kepada aktivits-aktivitas untuk memenuhi kebutuhan khusus dalam suatu masyarakat. Oleh lantaran itu, pengertian lembaga-kemasyarakatan lebih menunjuk suatu bentuk dan sekaligus juga mengandung pengertian yang abnormal wacana norma dan aturan yang menjadi ciri daripada forum tersebut. Lembaga kemasyarakatan ialah himpunan dari norma-norma dari segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok di kehidupan masyarakat.[3]








BAB III
PENUTUP
Lembaga Pemasyarakatan adalah tempat untuk melaksanakan pelatihan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan.(Pasal 1 Angka 3 UU Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan).Sebelum dikenal istilah lapas di Indonesia, tempat tersebut di sebut dengan istilah penjara. Lembaga Pemasyarakatan ialah Unit Pelaksana Teknis di bawah Direktorat Jenderal PemasyarakatanKementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Lembaga kemasyarakatan ialah himpunan dari norma-norma dari segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok di kehidupan masyarakat.
Solusi lain untuk mengantisipasi kerusuhan lapas yaitu perlunya peninjauan ulang terhadap sistem dan pola pendekatan terhadap para masyarakat binaan.













DAFTAR PUSTAKA

Dwidja Priyatno, 2006, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Bandung, Refika Aditamma.
Abdul Hakim G. Nusantara, Hukum Acara Pidana , Jakarta: Sarwoko, 1986.


[1]http://id.wikipedia.org/wiki/Lembaga_Pemasyarakatan, diakses pada hari Selasa 01 Oktober 2013,  jam 09:00 Wita.
[2]Dwidja Priyatno, 2006, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, (Bandung, Refika Aditamma), hal. 87.
[3]Abdul Hakim G. Nusantara, Hukum Acara Pidana , (jakarta: Sarwoko, 1986), h. 61-66.

Posting Komentar untuk "Lembaga Pemasyarakatan"