Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hukum Korelasi Dan Perkawinan



PEMBAHASAN
HUKUM KEKERABATAN DAN PERKAWINAN

A.      Hukum Kekerabatan
1.      Pengertian Keturunan
Keturunan yaitu ketunggalan leluhur, artinya ada perhubungan darah antara seorang dengan seorang yang lain. Individu sebagai keturunan (anggota keluarga) memiliki hak-hak dan kewajiban-kewajiban tertentu yang bekerjasama dengan kedudukannya dalam keluarga yang bersangkutan, contohnya boleh ikut memakai nama keluarga, boleh ikut memakai dan berhak atau pecahan kekayaan keluarga, wajib saling pelihara memelihara dan saling menolong-memmenolong, sanggup saling mewakili dalam melaksanakan perbuatan dengan pihak ketiga dan lain sebagainya.[1]
Keturunan sanggup bersifat:[2]
a.       Lurus, apabila orang yang satu itu ialah eksklusif keturunan yang lain, contohnya antara bapak dan anak, antara kakak, bapak dan anak. Disebut lurus ke bawah kalau rangkaiannya dilihat dari kakek, bapak ke anak, sedangkan disebut lurus ke atas kalau rangkaiannya dilihat dari anak, bapak ke kakek.
b.      Menyimpang atau bercabang, apabila antara kedua orang atau lebih itu terdapat adanya keturunan, contohnya bapak ibunya sama (saudara sekandung) atau se-kakek-nenek dan lain sebagainya.
Selain keturunan itu sanggup bersifat lurus atau menyimpang, keturunan ada tingkatan-tingkatan atau derajat-derajatnya. Tiap kelahiran ialah satu tingkatan atau derajat, jadi contohnya seorang anak ialah keturunan tingkat 1 dari bapaknya, cucu ialah keturunan tingkat 2 dari kakeknya, saya dengan saudaraku sekandung ialah kekerabatan kekeluargaan tingkat 2 dan lain sebagainya.[3]
Tingkat-tingkat atau derajat-derajat demikian itu lazimnya dipakai atau yang sering dipergunakan untuk kerabat-kerabat raja, contohnya untuk menggambarkan erat atau sudah jauhnya kekerabatan kekeluargaan dengan raja yang bersangkutan sehingga ada yang disebut darah biru tingkat 1 atau derajat 1 (putera raja), darah biru tingkat 2 (cucu raja), darah biru tingkat 3 (cicit raja) dan lain sebagainya.[4]
Kita mengenal juga keturunan garis bapa (keturunan patrilineal) dan keturunan garis ibu (keturunan matrilineal). Keturunan patrilineal yaitu orang-orang yang kekerabatan darahnya spesialuntuk melulu melewati orang laki-laki di antara mereka ada orang laki-laki dan orang perempuan. yang laki itu yaitu para “acabah” (Islam). demikian juga keturunan matrilineal adalah orang-orang yang kekerabatan darahnya spesialuntuk melulu melewati orang perempuan saja. Suatu masyarakat yang dalam pergaulannya sehari-hari spesialuntuk mengakui keturunan patrilineal atau matrilineal saja, disebut unilateral. Sedangkan yang mengakui keturunan dari kedua belah pihak disebut bilateral.[5]
2.      Hubungan Anak melaluiataubersamaini Orang Tua
Hubungan anak dengan orang bau tanah sanggup dibedakan antara anak kandung, anak tiri, anak angkat, anak pungut, anak akuan dan anak piara, yang kedudukannya masing-masing tidak sama berdasarkan aturan kekerabatan setempat, terutama dalam hubungannya dengan persoalan warisan.

a.       Anak kandung
Semua anak yang lahir dari perkawinan ayah dan ibunya yaitu anak kandung. Apabila perkawinan ayah dan ibunya sah, maka anaknya yaitu anak kandung yang sah, apabila perkawinan ayah dan ibunya tidak sah, maka anaknya menjadi anak kandung yang tidak sah. Anak kandung yang sah yaitu jago waris dari orang tuanya yang melahirkannya, sedangkan anak kandung yang tidak sah ada kemungkinan sebagai diberikut:[6]
-          Tidak berhak sebagai jago waris dari orang bau tanah yang melahirkannya, baik dari ayahnya maupun dari ibunya.
-          Hanya berhak sebagai jago waris dari ibu yang melahirkannya, atau mungkin dari ayahnya saja tanpa dari ibunya
-          Berhak sama dengan anak kandung yang sah sebagai jago waris dari ayah ibu kandungnya.
Menurut UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 42 dikatakan bahwa anak yang sah yaitu anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akhir perkawinan yang sah, selanjutnya berdasarkan pasal 43 ayat 1 dikatakan anak yang dilahirkan di luar perkawinan spesialuntuk memiliki kekerabatan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Perkataan “diluar perkawinan” bahwasanya tidak sama dengan pengertian “dalam perkawinan yang tidak sah”. Oleh lantaran “diluar perkawinan berarti tidak melaksanakan perkawinan alias perzinahan, lain halnya dengan perkawinan yang tidak sah yang belum tentu sanggup dikatakan perzinahan. Hal ini sanggup menimbulkan salah tafsir.[7]
Menurut pasal 56 UU No. 1 Tahun 1974 ayat 1 dikatakan perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang wargguagara Indonesia denga wargguagara abnormal yaitu sah bilamana dilakukan berdasarkan aturan yang berlaku di negara di mana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi masyarakat negara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan Undang-Undang ini.[8]
Menurut aturan watak Lampung perkawinan yang sah yaitu perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan aturan agama Islam dan diakui oleh aturan adat. Anak yang dilahirkan dari perkawinan itu yaitu anak yang sah berdasarkan aturan watak dan oleh karenanya ia berhak sebagai jago waris dari ayahnya baik dalam harta warisan maupun dalam kedudukan adat. Tetapi kalau perkawinan itu dilakukan berdasarkan aturan agama Islam tidak diakui oleh aturan watak atau belum dimasukkan dalam kemasyarakatan adat, maka si anak spesialuntuk mungkin menjadi jago waris dari orang tuanya tetapi belum berhak sebagai jago waris dalam kedudukan watak orang tuanya.[9]
Menurut UU No. 1 Tahun 1974 pasal 46 anak wajib menghormati orang bau tanah dan mentaati kehendak mereka yang baik. Jika anak sudah dewasa, ia wajib memelihara berdasarkan kemampuannya, orang bau tanah dan keluarga dalam garis lurus ke atas, bila mereka itu memerlukan menolongannya. Kewajiban ini berdasarkan aturan watak harus ditafsirkan lebih luas, sesuai dengan susunan kekerabatan yang bersangkutan. Sebaliknya ialah kewajiban orang bau tanah untuk memaafkan perbuatan anaknya yang salah, perbuatan orang bau tanah yang hingga memmembuang anak atau melaksanakan pengusiran terhadap anak sehingga kekerabatan aturan antara anak dan orang bau tanah menjadi terhapus, bahwasanya ini ialah perbuatan yang berperihalan dengan aturan adat. Misalnya membuat anaknya lantaran melaksanakan kawin lari. Pada kenyataannya walaupun orang bau tanah hingga memmembuang anaknya namun kerabat tidak hingga pula bertindak demikian. Kecuali apabila perbuatan si anak sudah tidak sanggup dimaafkan lagi berdasarkan pandangan umum, sehingga si anak terpaksa dieksekusi membuang.[10]

b.      Anak tiri
Anak tiri yang dimaksud di sini yaitu anak kandung yang dibawa oleh suami atau isteri ke dalam perkawinan, sehingga salah seorang dari mereka menyebut anak itu sebagai anak tiri. Kaprikornus anak tiri yaitu anak bawaan dalam perkawinan. Kedudukan anak tiri di dalam suatu keluarga/rumah tangga di kalangan masyarakat watak juga terdapat perbedaan-perbadaan, baik dikarenakan susunan kekerabat maupun lantaran bentuk perkawinan ayah atau ibu kandung dengan ayah atau ibu tirinya. Kewajiban orang bau tanah tiri terhadap anak tiri yang diikutsertakan dalam perkawinan, baik untuk memelihara atau mendidik mereka tidak ada ubahnya dengan anak sendiri. Demikian pula sebaliknya kewajiban anak tiri terhadap orang bau tanah tiri yang memelihara dan mendidiknya. Namun demikian harus diperhatikan bahwa ayah tiri dalam perkawinan kedua dihentikan begitu saja melaksanakan transaksi atas hak milik anak tiri yang masih dibawah umur tanpa ada kesepakatan anggota kerabat.[11]
Kedudukan anak tiri dalam bentuk perkawinan jujur atau semanda tidak terlepas dari dampak kekerabatan ayah atau kekerabatan ibu. Lain halnya dalam bentuk perkawinan mentas, yang berlaku para masyarakat watak seibu sebapak, di mana harta perkawinan orang bau tanah sanggup dipisah-pisahkan dengan nyata, antara harta bawaan, harta penghasilan, harta pencaharian dan barang-barang hadiah perkawinan. Dalam hal ini anak tiri intinya spesialuntuk mewaris dari orang bau tanah yang melahirkannya.[12]
c.       Anak angkat
Anak angkat yaitu anak orang lain yang diangkat oleh orang bau tanah angkat dengan resmi berdasarkan aturan watak setempat, dikarenakan tujuan untuk kelangsungan keturunan dan atau pemeliharaan atas harta kekayaan rumah tangga. Pengangkatan anak biasanya dilakukan terhadap anak kemekan sendiri yang biasanya diambil dari keturunan yang lebih muda dan pengangkatan anak tersebut harus terang kejelasannya dan disetujui oleh tiruana anggota kerabat yang bersangkutan.[13] Kedudukan anak angkat demikian sama halnya dengan kedudukan anak kandung yang akan menjadi penerus dan pewaris selanjutnya dari orang bau tanah angkatnya, dan anak angkat itu tidak lagi mewaris dari orang bau tanah kandungnya, kecuali apabila orang bau tanah kandungnya tidak memiliki anak lelaki lain, sehingga si anak menjadi penerus dan pewaris dari dua orang ayah bersaudara.[14]
d.      Anak akuan
Anak akuan atau juga di sebut “anak semang” (Minangkabau), “anak pupon atau anak pungut” (Jawa), ialah anak orang lain yang diakui anak oleh orang bau tanah yang mengakui lantaran belas kasihan atau juga dikarenakan keinginan mendapatkan tenaga pemmenolong tanpa membayar upah. Demikian kita bnayak sanggup melihat keluarga/rumah tangga seseorang yang tidak saja memelihara anggota keluarga sendiri, tetapi juga orang lain yang terdiri dari orang-orang yang kehidupannya susah. Disamping itu ada kemungkinan suatu keluarga yang tidak atau belum memiliki keturunan, mengambil anak orang lain untuk dipelihara sebagai “anak panutan” sebagai anak pancingan, semoga keluarga yang memelihara anak itu menerima keturunan karenanya.[15]
Kedudukan anak-anak akuan terhadap orang bau tanah yang mengakui bukan sebagai warisnya, oleh lantaran intinya akreditasi anak itu tidak mengubah kekerabatan aturan antara si anak dengan orang bau tanah kandungnya. Kecuali kalau kedudukan si anak dirubah dari anak akuan menjadi anak angkat. Adakalanya anak akuan itu menerima pecahan harta warisan dari orang bau tanah yang mengakuinya, hal demikian dilakukan lantaran kebijaksanaan atau belas kasihan orang bau tanah atau pihak kerabat yang mengakuianya.[16]
e.       Anak piara
Anak piara atau anak titipan yaitu anak yang diserahkan orang lain untuk dipelihara sehingga orang yang tertitip merasa berkewajiban untuk memelihara anak itu. biasanya penitipan anak untuk dipelihara orang lain terjadi dalam lingkungan orang-orang yang masih ada kekerabatan kekerabatan. Misalnya penitipan cucu kepada kakek ialah kebiasaan dikalangan masyarakat watak Jawa. Adakala penitipan anak untuk dipelihara orang lain terjadi diantara orang yang tidak ada kekerabatan kekerabatan, termasuk perbuatan menitipkan anak di rumah sakit atau di rumah pemeliharaan “panti asuhan”.[17]
Dalam hal ini kekerabatan aturan antara si anak dengan orang bau tanah yang menitipkan tetap ada, anak tersebut yaitu waris dari orang bau tanah kandungnya, bukan waris dari orang bau tanah yang memeliharanya. Orang bau tanah kandung si anak tetap berhak untuk mengambil si anak kembali ke tangannya, atau sebaliknya orang bau tanah kandung itu berkewajiban mendapatkan penyerahan kembali si anak dari tangan pemeliharanya. Apabila si anak piara diambil kembali atau diserahkan kembali kepada orang bau tanah kandungnya, maka orang bau tanah kandung berkewajiban memdiberi ganti rugi atas jerih payah pemelihara tidak berlaku, kalau pemeliharaan terhadap si anak didasarkan atas sukarela.[18]
3.      Hubungan Anak melaluiataubersamaini Kerabat Orang Tuanya
Pada umumnya kekerabatan anak dengan keluarga ini sangat tergantung dari keadaan sosial dalam masyarakat yang bersangkutan. Seperti sudah diketahui, di Indonesia terdapat persekutuan-persekutuan yang susunannya berlandaskan tiga macam garis keturunan, yaitu garis keturunan ibu, garis keturunan bapak dan garis keturunan bapak-ibu. Dalam komplotan yang menganut garis keturunan bapak-ibu misalnya, maka kekerabatan anak dengan keluarga dari pihak bapak ataupun ibu ialah sama eratnya ataupun derajatnya. Dalam susunan kekeluargaan yang bilateral ini, maka masalah-masalah tentang larangan kawin, warisan, kewajiban memelihara dan lain-lain kekerabatan aturan terhadap kedua belah pihak keluarga yaitu sama.[19]
Lain halnya dalam komplotan yang sifat susunan kekeluargaan yaitu unilateral, yaitu patrilineal (menurut garis keturunan bapak) atau matrilineal (menurut garis keturunan ibu). Dalam persekutuan-persekutuan yang matrilineal, hubungan antara anak dengan keluarga dari pihak ibu yaitu jauh lebih erat dan jauh lebih penting dianggapnya daripada kekerabatan antara anak dengan keluarga pihak bapak. Demikian sebaliknya dalam komplotan patrilineal hubungan dengan keluarga pihak bapak dianggapnya lebih penting dan tinggi derajatnya.[20]
Tetapi perlu ditegaskan dalam komplotan yang sifat kekerabatan kekeluargaannya unilateral ini yaitu bahwa dengan dilebih-lebihkannya peningkatannya kekerabatan dengan salah satu pihak keluarga saja sama sekali tidak berarti, bahwa komplotan dimaksud kekerabatan kekeluargaan dengan keluarga pihak kedua tidak diakui, kekerabatan dengan kedua belah pihak keluarga diakui adanya, spesialuntuk sifat susunan masyarakatnya yang unilateral itu menimbulkan kekerabatan keluarga dengan salah satu pihak menjadi lebih erat dan lebih penting.[21]





B.       Hukum Perkawinan
1.        Pengertian Perkawinan
Perkawinan yaitu suatu perjanjian yang diadakan oleh dua orang, dalam hal ini perjanjian antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan dengan tujuan material, yakni membentuk rumah tangga (keluarga) yang senang dan awet itu haruslah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai asas pertama dalam Pancasila.[22]
Dalam buku Hukum Adat, perkawinan yaitu salah satu insiden yang sangat penting dalam penghidupan masyarakat kita, alasannya yaitu perkawinan itu tidak spesialuntuk menyangkut perempuan dan laki-laki bakal mempelai saja, tetapi juga orang bau tanah kedua belah pihak, saudara-saudaranya, bahkan keluarga-keluarga mereka masing-masing.[23]
2.        Sistem Perkawinan Dalam Tiga Sistem Kekerabatan
a.       Sistem Endogami
Dalam sistem ini orang spesialuntuk diperbolehkan kawin dengan seorang dari suku keluarganya sendiri. Sistem perkawinan ini sekarang jarang sekali terdapat di Indonesia. Menurut Van Vollenhoven spesialuntuk ada satu tempat saja yang secara simpel mengenal system endogamy ini, yaitu tempat Toraja. Tetapi dalam waktu dekat, di tempat ini pun sistem ini akan lenyap dengan sendirinya kalau kekerabatan tempat itu dengan tempat lain lebih erat dan gampang. Sebab sistem tersebut di tempat ini spesialuntuk terdapat secara simpel saja, lagi pula endogamy sebetulnya tidak sesuai dengan sifat susunan kekeluargaan yang ada di tempat itu, yaitu parental.[24]
b.      Sistem Exogami
Dalam sistem ini orang diharuskan kawin dengan orang diluar suku keluarganya. Sistem demikian ini terdapat contohnya di tempat Gayo, Alas, Tapanuli, Minangkabau, Sumatera Selatan, Buru dan Seram. Dalam perkembangan jaman ternyata, bahwa sistem exogami ini dalam daerah-daerah tersebut di atas lambat laun mengalami proses perlunakan sedemikian  rupa, hingga larangan perkawinan itu diperlakukan spesialuntuk pada lingkungan kekeluargaan yang sangat kecil saja. melaluiataubersamaini demikian sistem ini dalam daerah-daerah tersebut dalam perkembangan masa akan mendekati sistem eleutherogami.[25]
c.       Sistem Eleutherogami
Sistem ini tidak mengenal larangan-larangan atau keharusan-keharusan menyerupai halnya dalam sistem endogami atau exogami. Larangan-larangan yang terdapat dalam system ini yaitu larangan-larangan yang bertalian dengan ikatan kekeluargaan yakni larangan karena:[26]
·         Nasab (keturunan yang dekat) : menyerupai kawin dengan ibu, nenek, anak kandung, cucu (keturunan garis lurus ke atas dan ke bawah) juga dengan saudara kandung, saudara bapak atau ibu.
·         Musyaharah (pe-iparan): menyerupai kawin dengan ibu tiri, menantu, mertua, anak tiri.
Eleutherogami ternyata yang paling meluas di Indonesia, contohnya di Aceh, Sumatera Timur, Bangka Biliton, Kalimantan, Minahasa, Sulawesi Selatan, Ternate, Irian Barat, Timor, Bali, Lombok dan seluruh Jawa Madura.[27]
3.        Prosedur Perkawinan
Menurut UU No. 1 Tahun 1974, maka mekanisme perkawinan berdasarkan aturan watak yaitu sebagai diberikut:[28]
a.       Perkawinan bertujuan membentuk keluarga rumah tangga dan kekerabatan kekerabatan yang rukun dan damai, senang dan abadi.
b.      Perkawinan tidak saja harus sah dilaksanakan berdasarkan aturan agama dan kepercayaan, tetapi jug harus menerima akreditasi dari para anggota kerabat.
c.       Perkawinan sanggup dilakukan oleh seorang laki-laki dengan beberapa perempuan sebagai isteri yang kedudukannya masing-masing ditentukan berdasarkan aturan watak setempat.
d.      Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan orang bau tanah dan anggota kerabat. Masyarakat watak sanggup menolak kedudukan suami atau isteri yang tidak diakui masyarakat adat.
e.       Perkawinan sanggup dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang belum dewasa atau masih anak-anak. Begitu pula walaupun sudah dewasa perkawinan harus berdasarkan izin orang tua/keluarga dan kerabat.
f.       Perceraian ada yang dibolehkan dan ada yang tidak dibolehkan. Perceraian antara suami dan isteri sanggup berakibat pecahnya kekerabatan kekerabatan antara dua pihak.
g.      Keseimbangan kedudukan antara suami dan isteri berdasarkan ketentuan aturan watak yang berlaku, ada isteri yang berkedudukan sebagi ibu rumah tangga dan ada isteri yang bukan ibu rumah tangga.[29]
4.    Putusnya Perkawinan dan Akibat Perceraian
Pada dasarnya suatu perkawinan itu sanggup putus dikarenakan “kematian” atau “perceraian”, walaupun kekerabatan perkawinan itu sendiri belum tentu putus sama sekali, dikarenakan aturan watak setempat tidak mengenal putus kekerabatan perkawinan. Tegasnya perkawinan antara suami isteri itu putus lantaran kematian, tetapi kekerabatan sebagai akhir perkawinan diantara kerabat para pihak bersangkutan tidak putus, apalagi kalau dari perkawinan itu terdapat keturunan.[30]
Dikalangan masyarakat watak yang bersifat bilateral, apabila suami wafat, maka isteri yang putus perkawinannya sanggup kembali kekerabat asalnya. Tetapi dikalangan masyarakat watak patrilineal dalam bentuk perkawinan jujur, apabila suami wafat, isteri tetap dirumah kerabat suami, walaupun ia tidak memiliki keturunan, oleh lantaran kedudukan isteri bukan lagi masyarakat watak dari kekerabatan asalnya tetapi sudah menjadi masyarakat watak kekerabatan suami.[31]
Putusnya perkawinan dikarenakan perceraian baik berdasarkan aturan watak maupun berdasarkan aturan agama yaitu perbuatan tercela, lantaran perbuatan itu dibenci oleh Tuhan. Menurut UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 39 bahwa perceraian spesialuntuk sanggup dilakukan di depan siding pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak dan untuk melaksanakan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan sanggup hidup rukun sebagai suami isteri.[32]
Adapun berdasarkan aturan watak yang ialah sebab-sebab terjadinya perceraian dari suatu perkawinan yaitu sebagai diberikut:
a.       Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b.      Suami tidak memdiberi nafkah zohir dan batih kepada isterinya dalam waktu yang lama, contohnya suaminya masuk penjara dan dihukun selama bertahun-tahun.
c.       Salah satu pihak melaksanakan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain.
d.      Salah satu pihak menerima cacat tubuh atau penyakit yang menjadikan tidak sanggup menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri.
e.       Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada keinginan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.[33]
















DAFTAR PUSTAKA

Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta: PT. Gunung Agung, 1983.
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1995.
Soedaryo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, Jakarta: Sinar Grafika, 1992.



 [1] Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta: PT. Gunung Agung, 1983), h. 108
[2] Ibid
[3] Ibid, h. 109
[4] ibid
[5] ibid
[6] Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1995), h. 143
[7] Ibid, h. 144
[8] ibid
[9] Ibid, h. 145
[10] Ibid , h. 147
[11] Ibid, h. 148
[12]  Ibid, h. 149
[13] Ibid
[14] Ibid
[15] Ibid, h. 150
[16] Ibid, h. 151
[17] Ibid, h. 152
[18] Ibid
[19] Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, op.cit., h. 115
[20] Ibid, h. 116
[21] ibid
[22] Soedaryo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, (Jakarta: Sinar Grafika, 1992), h. 6
[23]  Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Asas-Asas Hukum adat, op.cit., h. 122
[24] Ibid, h. 132
[25] ibid
[26] ibid
[27] Ibid, h. 133
[28] Ibid, h. 70
[29] Ibid, h. 71
[30] Ibid, h. 170
[31] ibid
[32] Ibid, h. 171
[33] Ibid, h. 172

Posting Komentar untuk "Hukum Korelasi Dan Perkawinan"