Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Asas Aturan Pidana



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Hukum Pidana, sebagai salah satu bab independen dari Hukum Publik ialah salah satu instrumen aturan yang sangat urgen eksistensinya semenjak zaman lampau. Hukum ini ditilik sangat penting eksistensinya dalam menjamin keamanan masyarakat dari bahaya tindak pidana, menjaga stabilitas negara dan (bahkan) ialah “lembaga moral” yang berperan merehabilitasi para pelaku pidana. Hukum ini terus berkembang sesuai dengan tuntutan tindak pidana yang ada di setiap masanya.
Hukum Pidana ialah bagian daripada keseluruhan aturan yang berlaku di suatu Negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan Asas-asas aturan pidana  yaitu : Asas Legalitas, Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan, Asas teritorial, Asas nasionalitas aktif, dan Asas nasionalitas pasif.
B.     Rumusan Masalah

1.      Apa Definisi Hukum Pidana ?
2.      Apa Saja Asas-Asas Hukum Pidana ?
3.      Bagaimana Asas-Asas Hukum Acara Pidana ?



BAB II
PEMBAHASAN


A.    Definisi Hukum Pidana
Hukum Pidana sebagai Hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan yang dihentikan oleh Undang-Undang dan berakibat diterapkannya eksekusi bagi siapa yang melakukannya dan memenuhi unsur-unsur perbuatan yang disebutkan dalam Undang-Undang Pidana. Seperti perbuatan yang dihentikan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Korupsi, Undang-Undang HAM dan lain sebagainya. Hukum pidana ialah aturan yang mengatur perbuatan-perbuatan apa yang dihentikan dan mempersembahkan eksekusi bagi yang melanggarnya. Perbuatan yang dihentikan dalam aturan pidana adalah:
·         Pembunuhan
·         Pencurian
·         Penipuan
·         Perampokan
·         Penganiayaan
·         Pemerkosaan
·         Korupsi
Sementara Dr. Abdullah Mabruk an-Najar dalam diktat “Pengantar Ilmu Hukum”-nya mengetengahkan defenisi Hukum Pidana sebagai “Kumpulan kaidah-kaidah Hukum yang menentukan perbuatan-perbuatan pidana yang dihentikan oleh Undang-Undang, hukuman-hukuman bagi yang melakukannya, mekanisme yang harus dilalui oleh terdakwa dan pengadilannya, serta eksekusi yang diputuskan atas terdakwa.”
Hukum pidana ialah bab daripada keseluruhan aturan yang berlaku di suatu Negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :
·         Menetukan perbuatan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai bahaya atau hukuman yang berupa pidana tertentu bagi siapa yang melanggar larangan tersebut.
·         Menentukan kapan dan dalam hal hal apa kepada mereka yang sudah melanggar larangan larangan itu sanggup dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang sudah diancamkan.
·         Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu sanggup dilaksanakan apabila ada orang yang disangka sudah melanggar larangan tersebut.
Menurut Sudarto, pengertian Pidana sendiri ialah nestapa yang didiberikan oleh Negara kepada seseorang yang melaksanakan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan Undang-undang (hukum pidana), sengaja biar dirasakan sebagai nestapa.[1]
B.     Asas-Asas Hukum Pidana
  1. Asas Legalitas, tidak ada suatu perbuatan sanggup dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam Peraturan Perundang-Undangan yang sudah ada sebelum perbuatan itu dilakukan (Pasal 1 Ayat (1) KUHP) Jika setelah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam Peraturan Perundang-Undangan, maka yang digunakan ialah aturan yang paling enteng sanksinya bagi terdakwa (Pasal 1 Ayat (2) KUHP)
  2. Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan, Untuk menjatuhkan pidana kepada orang yang sudah melaksanakan tindak pidana, harus dilakukan bilamana ada unsur kesalahan pada diri orang tersebut.
  3. Asas teritorial, artinya ketentuan aturan pidana Indonesia berlaku atas tiruana insiden pidana yang terjadi di tempat yang menjadi wilayah teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia, termasuk pula kapal berbendera Indonesia, pesawat terbang Indonesia, dan gedung kedutaan dan konsul Indonesia di negara asing.
  4. Asas nasionalitas aktif, artinya ketentuan aturan pidana Indonesia berlaku bagi tiruana WNI yang melaksanakan tindak pidana dimana pun ia berada
  5. Asas nasionalitas pasif, artinya ketentuan aturan pidana Indonesia berlaku bagi tiruana tindak pidana yang merugikan kepentingan negara.[2]
C.    Asas-Asas Hukum Acara Pidana
Pandangan terkena asas-asas umum aturan program pidana yang berkembang pada masa sekarang, banyak diungkapkan dari hasil pendekatan integratif pemikiran barbagai budaya aturan yang tidak sama satu sama lain namun alasannya efek relasi antar bangsa-bangsa dan kerjasama regional antar negara membawa konsekuensi terjadinya pembiasaan aturan dalam setiap pembaharuan aturan disuatu negara.
            Perkembangan asas-asas aturan program pidana yang diuraikan dipilih dari beberapa asas-asas aturan yang mengandung unsur-unsur universal dan sanggup dikaitkan dengn penyesuaian keadaan budaya aturan indonesia. Landasan berpijak budaya aturan indonesia ialah aturan berasaskan pancasila yang mempersembahkan pengayoman terhadap individu, masyarakat dan negara serta memandang insan sebagai makhluk tuhan, individu dan anggota masyarakat sekaligus.
            melaluiataubersamaini demikian landasan asas umum budaya aturan di indonesia mengandung sifat beragam dan berorientasi terbuka terhadap kebutuhan perubahan aturan serta kehidupan masyarakat indonesia sesuai dengan dinamika filsafah pancasila dan pokok pikiran pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Dalil yang dipegang teguh pada masa silam wacana ekstensi aturan ialah aturan sebagai perintah dari penguasa atau setidak-tidaknya yng disahkan penguasa ditegakkan diatas wewang yang absolut, sehingga aturan dilaksanakn sebagai pendukung kekuasaan belaka dan tidak sanggup diukur oleh akal. Subtansi dan deskripsi wacana aturan mengandung dimensi.
Salah seorang tokoh yang mengajarkan absolutisme aturan cenderung pada pendekatan kekuasaan penguas ialah Demosthenes. Ajaran demosthenes ialah filosof yang meletakkan dasar pandangan wacana aturan bahwa “manusia harus mematuhi hukum”.
Hukum diajarkan oleh orang yang bijaksana, aturan sebagai kesepakatan dalam kewajiban watak dan kaidah kesusilaan yang infinit tanpa berubah-ubah. Peraturan aturan yang ada harus tidak mengandung fiksi dalam arti “ Fetisyisme” dan  politeisme.
Makna asas-asas aturan ialah ialah ungkapan aturan yang bersifat umum, pada sebagian berasal dari kesadaran aturan serta keyakinan kesusilaan atau etis kelompok insan dan pada sebagian yang lain berasal dari dasar pemikiran dibalik peraturan undang-undang serta yurisprudensi.
            Perkembangan idealisme aturan mendorong para jago aturan untuk terus maju dalam mempelajari hukum. Tugas jago aturan hendaknya selalu meninjau aspek aturan yang berlaku, kalau mengutamakan orientasi kepada asas-asas aturan untuk menempatkan aturan dalam konteks yang modern sebagai ukuran legitimitas bagi pembenrukan atau inovasi atau pelaksanaan hukum, dikembangkan oleh fatwa aturan yang fungsional untuk tujuan kemanfaatan sosial.
            Aliran sociological jurisprudence yang memandang aturan tidak terlepas dari kenyataan masyarakat itu, kemudian berkembang lagi kearah fungsi masyarakat yang tidak terlepas dari aspek-aspek lain dalam masyarkat yakni faktor politik sosial, politik ekonomi dan dimensi politik lainnya dalam sistem sosial, menumbuhkan pandangan aturan gres kearah “political jurispodence” hasil pemikiran dengan cara lain juga sudah dikembangkan untuk menentang paham aturan yang fiksi dan absolut.
            Kelemahan wacana fiksi aturan yang menerima Koreksi tersebut, mengatakan betapa sempitnya pandangan aturan yang fiksi itu jauh dari realita sosial dan betapa nilai absolutnya penguasa yang membuat undang-undang serta memberlakukan peraturan terhadap rakyat biasa yang ternyata tidak sanggup konsekuen dengan aturannya sendiri. John Austin adalahseorang pendiri pandangan aturan sebagai konkritisasi dan sistem perintah pemegang kedaulatan yang harus dilaksanakan oleh pejabat aturan dan hakim-hakim dengan sistem tertutup yang menganggap aturan semata-mata dari undang-undang.
            Substansi aturan program pidana banyak dipengaruhi oleh pandangan aturan formalisme ibarat tersebut diatas.  Dilapangan aturan pidana atau aturan program pidana berdasarkan pendapat penulis terdapat kecenderungan untuk mengadakan pendekatan ganda baik melalui fatwa legisten maupun fatwa yang fungsional ataupun kritis. Pada hakikatnya kedua golongan aliran aturan itu bukan ialah fatwa yang satu menggantikan fatwa yang lain, akan tetapi berpertama tolak dari ketidak puasan pada kelemahan aturan yang fiksi dan absolut. disatu pihak menyoroti kelemahan undang-undang melalui budi aturan dengan memperluas pengertian secara sistematis biar sesuai dengan tujuan hukum, sedangkan pihak yang lain menyoroti kelemahan undang-undang melalui pendekatan faktor kemasyarakatan biar sesuai dengan tujuan aturan dalam masyarakat.
            Dalam keadaan masyarakat banyak menghadapi problema sasial maka relevansi hukumnya akan lebih sanggup terjawaban oleh pandangan yang kedua, sebaliknya kalau kondisi masyarakat tidak banyak problema sosial maka cara berpikir status quo yang yuridis sistematis akan sanggup terjawaban oleh pandangan yang kesatu. Kondisi masyarakat yang bingung jawaban gangguan kejahatan yang makin meningkat atau masyarakat yang membangun membutuhkan pemotongan tanah dan bab bangunan rumah penduduk, ialah sebagian tumpuan kebutuhan aturan untuk menentukan salah satu pandangan aturan yang paling sanggup menjawaban problem hukum.[3]













BAB III
PENUTUP
Simpulan :
Hukum pidana ialah bab daripada keseluruhan aturan yang berlaku di suatu Negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan
Asas-asas aturan pidana :
·         Asas Legalitas, tidak ada suatu perbuatan sanggup dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam Peraturan Perundang-Undangan yang sudah ada sebelum perbuatan itu dilakukan (Pasal 1 Ayat (1) KUHP) Jika setelah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam Peraturan Perundang-Undangan, maka yang digunakan ialah aturan yang paling enteng sanksinya bagi terdakwa (Pasal 1 Ayat (2) KUHP)
·         Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan, Untuk menjatuhkan pidana kepada orang yang sudah melaksanakan tindak pidana, harus dilakukan bilamana ada unsur kesalahan pada diri orang tersebut.
·         Asas teritorial, artinya ketentuan aturan pidana Indonesia berlaku atas tiruana insiden pidana yang terjadi di tempat yang menjadi wilayah teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia.
·         Asas nasionalitas aktif, artinya ketentuan aturan pidana Indonesia berlaku bagi tiruana WNI yang melaksanakan tindak pidana dimana pun ia berada
·         Asas nasionalitas pasif, artinya ketentuan aturan pidana Indonesia berlaku bagi tiruana tindak pidana yang merugikan kepentingan negara.

DAFTAR PUSTAKA

v  Aruan Sakidjo, Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990.
v  Moeliatno, Asas Asas Hukum Pidana, Jakarta: PT. RajaGrafindo,1990.
v  Bambang Poernomo, Pola Dasar Teori dan Asas Umum Hukum Acara Pidana, Yogyakarta: Liberty, 1988.



[1] Aruan Sakidjo, Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990), h. 7-8.
[2] Moeliatno, Asas Asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT. RajaGrafindo, 1990) hal. 1.
[3]  Bambang Poernomo, Pola Dasar Teori dan Asas Umum Hukum Acara Pidana, (Yogyakarta: Liberty, 1988), 44-50.

Posting Komentar untuk "Asas Aturan Pidana"