Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Seputar Dilema Pengangguran (Unemployment)

Pengangguran ialah salah satu indikator utama terkait kegiatan ekonomi suatu negara. Ketersediaan lapangan kerja serta pertambahan penduduk usia kerja ialah faktor penentu besarnya tingkat pengangguran (unemployment rate). Pada artikel ini kita akan mengulas hal-hal yang berkaitan dengan kasus pengangguran.

the Sustainable Development Goals (SDGs), terutama tujuan ke-8, yakni mempromosikan pertumbuhan ekonomi yang terbuka dan berkesinambungan, serta meningkatkan tenaga kerja produktif dan pekerjaan yang layak.

Sesuai dengan standar internasional yang diadopsi oleh the International Labour Organization (ILO), definisi pengangguran (unemployment) ialah apabila seseorang:



  • tidak mempunyai pekerjaan, dalam arti tidak berada dalam posisi memperoleh upah sebagai pekerja/karyawan tubuh usaha/perusahaan atau sebagai pekerja berdikari (self-employed) selama periode tertentu.
  • pada ketika ini dalam posisi siap untuk bekerja atau berprofesi sebagai pekerja mandiri.
  • sedang mencari pekerjaan, dalam arti sedang berupaya aktif untuk mendapat penghasilan sebagai karyawan atau pekerja mandiri.
Definisi diatas tertuang dalam laporan the International Conferences of Labour Statisticians (ICLS) ke-19 di Geneva, Swiss, pada 2-11 Oktober 2013.

Lebih lanjut, terdapat beberapa jenis pengangguran, antara lain:
  • frictional unemployment. Pengangguran friksional merujuk pada masa transisi antara pekerjaan sebelumnya dengan pekerjaan ketika ini. melaluiataubersamaini kata lain, seseorang dikatakan dalam fase menganggur pada ketika menunggu mulainya pekerjaan baru.
  • cyclical unemployment. Pengangguran siklikal biasanya muncul saat kondisi ekonomi mengalami resesi, sehingga mengakibatkan diberhentikannya tenaga kerja (baik secara permguan maupun sementara); dengan kata lain terjadi pengurangan jumlah tenaga kerja pada institusi kerja/perusahaan. Kondisi tersebut diyakini akan berangsur pulih ketka situasi ekonomi mengalami perbaikan (recovery).
  • voluntary unemployment. Pengangguran voluntary ialah kondisi ketika seseorang belum menemukan pekerjaan menyerupai yang diharapkan, sehingga tetapkan tidak bekerja untuk sementara waktu.
  • structural unemployment. Pengertian pengangguran struktural tidak jauh tidak sama dengan frictional unemployment, spesialuntuk saja berlangsung dalam periode waktu yang lebih lama. Hal ini bisa digambarkan ketika kemampuan, pengalaman kerja, dan riwayat pendidikan yang dikuasai seseorang tidak sesuai dengan lowongan pekerjaan yang tersedia.
  • institutional unemployment. Pengangguran institusional terjadi akhir adanya intervensi di pasar tenaga kerja yang memicu timbulnya pengangguran, contohnya kebijakan pemerintah menaikkan tarif pajak atau harga materi bakar minyak.

Menurut studi the International Monetary Fund (IMF), pada 2015 pertumbuhan ekonomi global spesialuntuk mencapai 3.1%, dan meningkat menjadi 3.6% di 2016. Namun demikian, pertumbuhan ekonomi diperkirakan mengalami penurunan sampai beberapa tahun diberikutnya, mengingat belum pulihnya perekonomian global dari perlambatan yang terjadi (The International Monetary Fund. World Economic Outlook 2015, 2015).

Sementara angka pengangguran global tercatat sebesar 197.1 juta jiwa pada 2015, meningkat dari tahun sebelumnya (196.4 juta jiwa). Angka ini diperkirakan meningkat sebesar 2.3 juta di 2016, dan 1.1 juta di 2017.

Persoalan lain ialah semakin maraknya perdagangan insan (human trafficking) untuk dipekerjakan di sektor tertentu, serta fenomena pekerja anak (child labour).

Selain melanggar aturan dan hak hidup individu, kejahatan tersebut juga merusak masa depan anak-anak. Fenomena menyerupai ini banyak terjadi di daerah Afrika, Amerika Latin, dan Asia Tenggara. (International Labour Organization. World Employment Social Outlook: Trends 2016, 2016).

Disamping itu, fenomena angkatan kerja muda/youth labour-force (usia 15-24 tahun) dan gres memasuki pasar tenaga kerja, mencatatkan dinamika yang bervariasi di wilayah-wilayah tertentu.

Di daerah Afrika misalnya, pertumbuhan angkatan kerja muda mengalami peningkatan dari sekitar 226 juta di 2015 menjadi 340 juta pada 2016, dan diperkirakan akan terus meningkat sampai mencapai lebih dari 520 juta pada 2030.

Sementara di wilayah Asia, angka tenaga kerja muda justru diprediksi mengalami penurunan dari 718 juta di 2015 menjadi 711 juta pada 2030 (The United Nations Department of Economic and Social Affairs. Population Facts, Youth population trends and sustainable development, May, 2015).

Faktor pendidikan dipercaya menjadi pemicu menurunnya angkatan kerja muda yang memasuki lapangan kerja. melaluiataubersamaini kata lain, semakin besar peluang menempuh pendidikan pada level yang lebih tinggi akan cenderung menunda seseorang untuk memasuki dunia kerja.

Sementara ketika akan memasuki lapangan kerja, angkatan kerja muda biasanya menemui kendala dan kegagalan, antara lain karena:
  • minimnya informasi, jaenteng kerja, serta kesiapan dalam berkarir.
  • tidak memadainya keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan pasar tenaga kerja.
  • kurangnya pengalaman yang menjadi syarat yang diajukan oleh pasar tenaga kerja.
  • sedikitnya peluang kerja bagi calon pekerja pemula.

Adapun akibat jangka panjang dari pengangguran di usia muda antara lain:
  • penurunan kemampuan potensial individu, alasannya ialah tidak di daya-gunakan secara terbaik.
  • penurunan daya dukung untuk menghidupi diri sendiri dan keluarganya, sehingga berpotensi memicu duduk kasus lain, menyerupai kesehatan, kecukupan nutrisi bergizi, serta kemiskinan.

Sedangkan upaya-upaya yang dilakukan untuk mempersempit gap antara peluang kerja dengan melimpahnya persediaan tenaga kerja, diantaranya:
  • menyediakan petes khusus diluar pendidikan formal, dengan demikian angkatan kerja muda mempunyai keterampilan mudah yang diharapkan di dunia kerja.
  • mengembangkan pendidikan jalur kejuruan (vocational education), yakni pendidikan formal yang secara khusus mendalami keterampilan yang bisa diaplikasikan dalam pekerjaan, menyerupai tata boga, otomotif, dan sebagainya. Pendekatan ini sekaligus bisa menumbuhkan semangat kewirausahaan (entrepreneurship).
  • mengembangkan metode apprenticeship atau kiprah magang bagi para pelajar dari institusi pendidikan ke entitas perjuangan selama periode tertentu, biar lebih mudah menyesuaikan diri pada ketika memasuki dunia kerja.

Demikian ulasan terkait kasus pengangguran dan ketenagakerjaan. **

UPDATE ARTIKEL (Selasa, 02 Oktober 2018):

Dalam laporan terbaru, ILO menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi dunia sampai dua tahun kedepan diprediksikan masih berada dibawah 4.0%. Bemasukan investasi yang tidak terlalu tinggi serta minimnya kebijakan stimulus yang bisa mendorong sektor riil diduga menjadi penyebab utama lesunya perekonomian global.

Melihat situasi tersebut, ILO memperkirakan angka pengangguran global pada 2018 masih akan tembus di angka 190 juta jiwa, atau berada di level 5.5%. Bahkan di 2019, angka pengangguran diproyeksikan bertambah sekitar 1.3 juta jiwa.

Disamping itu, ILO mencatat lebih dari 42% tenaga kerja atau sekitar 1.4 miliar jiwa, berada pada posisi rawan (vulnerable), alasannya ialah mereka bekerja di sektor marginal (seperti rumah tangga, industri rumahan). Dari angka tersebut, lebih dari 76% tinggal di negara miskin dan berkembang.

Dari perspektif pendapatan, tercatat lebih dari 300 juta tenaga kerja mempunyai pendapatan per kapita kurang dari US$ 1.90/hari (berdasarkan indeks daya beli/purchasing power parity).

melaluiataubersamaini kata lain, para pekerja itu berada dalam status kemiskinan ekstrim. Dari angka tersebut, terdapat 114 juta pekerja atau sekitar 40%, yang hidup di negara miskin dan berkembang.

Selain catatan diatas, masih ada lebih dari 700 juta pekerja yang tergolong miskin dengan pendapatan kurang dari US$ 3.10/hari.

Disisi lain, angka pengangguran di negara-negara maju relatif menurun dari tahun-tahun sebelumnya. Hal ini berbanding terbalik kalau dibandingkan dengan negara-negara berkembang, dimana angka pengangguran terus mengalami peningkatan, terutama akhir kondisi perekonomian domestik yang tidak stabil.

Menurut ILO, angka pengangguran di negara berkembang diperkirakan akan meningkat sampai 0.5 juta jiwa setiap tahunnya sampai dua tahun menhadir.

Dari perspektif gender, terjadi ketimpangan terhadap terusan kerja antara wanita dan laki-laki, terutama di daerah Afrika Utara (dimana spesialuntuk ada 21.9% tenaga kerja wanita dari total tenaga kerja), negara-negara Arab (18.9%), serta wilayah Asia Selatan (27.6%); dan meskipun bekerja, para wanita ini mayoritas bekerja di sektor-sektor yang tidak strategis.

Selain itu para pekerja wanita juga lebih rentan terkait dengan keselamatan kerja, dukungan sosial, serta hak-hak dasar menyerupai cuti hamil dan melahirkan.

Masalah penting lain ialah terkait usia tenaga kerja. Studi menyatakan bahwa generasi muda dibawah usia 25 tahun menghadapi tantangan dalam mencari pekerjaan yang layak untuk kehidupan; sementara disaat yang sama, populasi penduduk dunia justru semakin menua.

Usia impian hidup yang lebih tinggi, membaiknya tingkat kesehatan, serta rendahnya angka kelahiran baru, berdampak signifikan terhadap menurunnya produktivitas dan pertumbuhan ekonomi global.

Banyaknya tenaga kerja yang berusia lanjut, tanpa dibarengi dengan regenerasi yang seimbang, menimbulkan banyak sekali persoalan, termasuk dalam penentuan sketsa pensiun serta pembiayaan kesehatan.

Di negara-negara maju khususnya, sampai 2030 diperkirakan terdapat 5 orang berusia diatas 65 tahun dari 10 orang tenaga kerja; melonjak cukup cepat kalau dibandingkan dengan kondisi di 2017 (3-4 orang berusia diatas 65 tahun dari 10 orang tenaga kerja).

Di daerah Eropa Utara, Barat, dan Selatan, misalnya, jumlah tenaga kerja berusia 65 tahun keatas mencapai 42% dari total tenaga kerja pada 2017. Jumlah tersebut diperkirakan meningkat menjadi 55% pada 2030.

Kondisi dimana roda perekonomian masih bergantung pada tenaga kerja usia lanjut (old-age economic dependency), juga terjadi di daerah Afrika, Rusia, China, serta beberapa wilayah di Asia.

Ironisnya, di negara miskin dan berkembang, tetap bekerja di usia lanjut cenderung bukan ialah pilihan bebas, namun lebih lantaran keterbatasan kondisi hidup yang mengharuskan mereka tetap bekerja.

Sementara secara keseluruhan, jumlah populasi penduduk usia 65 tahun keatas mencapai 9.3% dari total populasi di 2017, dan akan mengalami peningkatan menjadi 11.7% di 2030, serta 15.8% pada 2050.

Untuk menghadapi banyak sekali tantangan diatas, penelitian menyarankan pentingnya transformasi struktural, yakni dengan melaksanakan re-alokasi faktor produksi dari kegiatan tradisional (sektor pertanian dan manufaktur rumahan) menuju kegiatan modern yang memdiberi nilai tambah (melalui memanfaatkan teknologi dan inovasi).

Hal penting lain ialah upaya untuk meng-upgrade pengetahuan dan keterampilan tenaga kerja secara berkesinambungan.

Studi juga melihat bahwa sektor jasa akan bisa membawa pertumbuhan ekonomi yang lebih baik kedepan; ini menjadi peluang bagi bertambahnya lapangan kerja sekaligus peningkatan jumlah serapan tenaga kerja. Oleh lantaran itu, pengembangan sektor jasa ialah salah satu elemen penting yang harus dipertimbangkan (International Labour Organization. World Employment Social Outlook: Trend 2018, 2018).

Demikian perkembangan terkini terkait tenaga kerja dan pengangguran secara global. ***


ARTIKEL TERKAIT :
Memahami Konsep Kemiskinan
Hakikat Pembangunan Manusia (Human Development)
Memahami Peran Sektor Pendidikan dalam Pembangunan
Hakikat dan Permasalahan Distribusi Pendapatan (Income Distribution)

Posting Komentar untuk "Seputar Dilema Pengangguran (Unemployment)"