Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pemikiran Bubuk Yusuf Wacana Pasar



PEMIKIRAN ABU YUSUF TENTANG PASAR
Oleh    : Rizki Fadillah (1201160378)

A.  Riwayat Hidup Abu Yusuf
Abu Yusuf, yang dalam literatur Islam sering disebut dengan Imam Abu Yusuf Ya‟qub bin Ibrahim bin Habib al-Ansāri al-Jalbi al-Kufi al-Baghdādi lahir pada tahun 113 H/731/732 M di Kufah dan pernah tinggal di Baghdad, serta meninggal pada tahun 182 H/798 M. Ia berasal dari suku Bujailah, salah satu suku Arab. Keluarganya disebut Anshori lantaran dari pihak ibu masih mempunyai kekerabatan dengan kaum Anshor (pemeluk Islam pertama dan penolong Nabi Muhammad SAW) di masa hidupnya di Kufah, yang terkenal sebagai kawasan pendidikan yang diwariskan oleh Abdullah Ibnu Mas‟ud (w. 32 H) seorang teman akrab besar Nabi Muhammad SAW.[1]
Secara historis sanggup diketahui, Abu Yusuf hidup pada masa transisi dua zaman kekhalifahan besar dalam Islam, yaitu pada selesai kekuasaan Bani Umayyah di Damaskus dan masa Bani Abbasiyah. Hal ini ditandai dengan adanya persaingan kudeta di kalangan anggota-anggota dinasti Umayyah dengan kemewahan di istana yang sudah membawa dinasti ini kepada kelemahan yang pada gilirannya membawa pada kehancuran pada tahun 750 M. Ketika itu muncullah kelompok dari Bani Hashim, sebagai tentangan politik Bani Umayyah memperebutkan jabatan Khalifah atau pemerintahan umat Islam. Gerakan oposisi ini dipelopori oleh Abu al-Abbas ibnu Abdu al-Muththalib Ibnu Hashim. Kesatuan mereka berhasil
membunuh Khalifah Marwan II, yaitu khalifah terakhir Bani Umayyah.
Dalam perjalanan pendidikannya, Abu Yusuf menjadi anakdidik Abu Hanifah selama 17 tahun dan sejumlah ulama terkemuka pada masa itu. Antara lain (1) Jalil Atha' bin al-Sha’bi seorang tabi'in senior, yang mempunyai keahlian di bidang fikih dan hadis, (2) al-A'mash yang nama lengkapnya Sulaiman bin Mahran, (3) Hisham ibn Urwah al-Asadi al-Madani dia yaitu ulama hadis yang sangat terkenal pada masanya serta termasuk dalam thabaqat para tabiin yang banyak melahirkan anakdidik terutama para ulama Hijaz menyerupai al-Zuhri, Imam Malik dan lainnya , Abu Ishaq al-Shaibani, Sofyan al-Thauri seorang imam yang hebat dalam bidang hadis, dia juga salah seorang mujtahid besar yang mempunyai pengikut dan dampak yang amat besar, Muhammad Ibnu Abdillah Ibnu Abi Laila, dia dikenal sebagai mujtahid yang berpegang kepada ra’yu dan pernah menjabat hakim di Kufah selama 33 tahun, yaitu semenjak masa Bani Umayyah hingga beberapa masa pada daulat Bani Abbasiyyah.[2]
Selain itu juga tokoh menyerupai Sulaiman al-Tamimi dan Yahya Ibnu Said. Masing-masing ulama besar tersebut sempat menjadi tempat Abu Yusuf menimba ilmu pengetahuan. Fenomena ini mengindikasikan minat Abu Yusuf yang besar lengan berkuasa terhadap ilmu pengetahuan semenjak kecil. Kecenderungan tersebut selalu memacu dia untuk lebih ulet menimba ilmu pengetahuan dari beberapa tokoh yang hidup pada masanya dan hal ini pula yang mendorongnya untuk menekuni beberapa kajian, terutama dalam kajian-kajian hadis, meskipun dalam perjalanan pendidikannya harus bekerja mencari nafkah lantaran kelemahan ekonomi orang tuanya. Kemudian Abu Yusuf tertarik untuk mendalami ilmu fikih bersama gurunya Ibnu Abi Laila (w.148 H).
Selanjutnya ia mencar ilmu pada Imam Abu Hanifah pendiri mazhab Hanafi. Melihat talenta dan semangat serta ketekunan Abu Yusuf dalam belajar, Imam Abu
Hanifah menyanggupi membiayai seluruh keperluan pendidikannya, bahkan biaya
hidup keluarganya. Imam Abu Hanifah sangat mengharapkan biar Abu Yusuf kelak sanggup melanjutkan dan menyebarluaskan mazhab Hanafi ke banyak sekali penjuru. Hal ini sanggup dipahami dari ungkapan Abu Hanifah bahwa, Abu Yusuf yaitu seorang yang sangat besar lengan berkuasa hafalan dan ilmunya. Tidak ada lagi seorangpun di seluruh dunia yang lebih luas ilmu fikihnya dari Abu Yusuf. Ungkapan tersebut memdiberi citra bahwa sekiranya Abu Hanifah tidak mempunyai anakdidik selain Abu Yusuf pasti ia sudah cukup untuk menjadi pujian besar bagi manusia.
Dilihat pada aspek kajian pendidikannya Abu Yusuf mempunyai kaitan erat dengan pemikiran fikih Ibnu Abi Laila sebagai guru dan anakdidik. Namun pada tataran mudah lebih didominasi oleh corak pemikiran Abu Hanifah dalam pandangannya. Dominasi ini bukan spesialuntuk lantaran keterkaitannya dengan Abu Hanifah sebagai teman dekat, anakdidik dan guru, tetapi juga lantaran corak pemikiran masyarakat ketika itu yang didominasi oleh pemikiran Abu Hanifah. Selain itu terdapat motivasi yang besar lengan berkuasa dan khusus dari Abu Hanifah sendiri kepada dia biar menyebarluaskan Mazhab Hanafi di seluruh wilayah kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Sehingga banyak kalangan menyebutnya sebagai ajudan Abu Hanifah.
Sesudah Imam Abu Hanifah wafat, Abu Yusuf menggantikan kedudukannya sebagai guru pada sekolah tinggi Abu Hanifah selama 16 tahun dan masih berkomitmen untuk tidak berkomunikasi dengan jabatan pemerintahan terutama jabatan kehakiman, menyerupai prinsip Abu Hanifah. Di samping mencar ilmu dan mengajar, Abu Yusuf ulet menyusun buku-buku yang mengulas ilmu fikih, yang ialah buku pertama yang beredar pada ketika itu. Sehingga tidak heran bila buku-buku fikih Abu Yusuf dan pemikiran Mazhab Hanafi menguasai alam pikiran umat Islam, termasuk keputusan para ulama di lingkungan peradilan dan mahkamah-mahkamah resmi pada ketika itu. Fenomena ini diberimplikasi kepada tersebarnya nama besar Abu Yusuf seiring dengan tersebarnya Mazhab Hanafi.
Meskipun dia sering disebut sebagai anakdidik dan pengikut Mazhab Hanafi, tetapi independensi pemikiran sangat dijaga dalam berfatwa dan diberijtihad. Sehingga dalam karya-karyanya, Abu Yusuf sering mengutip kemudian mengkritisi pemikiran Abu Hanifah serta menampilkan pemikirannya sendiri yang disertai argumentasinya. Bahkan sering pula pendapat Abu Yusuf berseberangan dengan pendapat Abu Hanifah. Oleh lantaran itu Abu Yusuf dibahasakan sebagai seorang Imam, lantaran kepiawaiannya dalam menetapkan aturan dan luasnya kapasitas ilmu yang dimiliki. Terlebih lagi bila dilihat kiprah dan fungsinya dalam mengembangkan aturan dengan memakai beberapa perangkat metodologi yang terinspirasi dari Abu Hanifah.
Pada tahun 166 H/782 M, Abu Yusuf meninggalkan Kufah dan pergi ke Baghdad. Hal ini dilakukan lantaran kondisi perekonomiannya tidak mendukung dalam menunjang karier keilmuannya. Sehingga Abu Yusuf menemui khalifah Abbasiyah al-Mahdi (159 H/775 M - 169 H/785 M) yang eksklusif mengangkatnya sebagai hakim di Baghdad Timur. Panggilan populernya yaitu Qadi al-Qudhah (hakim agung) yaitu jabatan yang disandangnya pada masa kekuasaan khalifah Harun al-Rashid (170 H/786 M -194 H/809 M) sebagai ketua para hakim yang pertama di masa daulah Abbasiyah. Jabatan ini belum pernah ada semenjak masa Bani Umayyah (abad ke-7) hingga masa Khalifah al-Mahdi dari Daulah Abbasiyah (abad ke-8). Jabatan ini pantas didiberikan kepadanya lantaran ilmunya luas, kepribadiannya sangat disukai Khalifah Harun ar-Rashid. Tentang Abu Yusuf Harun al-Rashid menyatakan bahwa Abu Yusuf yaitu seorang ulama yang mempunyai keluasan ilmu fikih, mempunyai kepribadian ilmiah yang teguh dan konsisten.
Abu Yusuf dan beberapa orang anakdidik Abu Hanifah lainnya terus membuatkan fikih mazhab Hanafi ini hingga selesai hayatnya. Selain itu mereka juga dikenal mempunyai anakdidik sebagai penyambung mata rantai dari generasi ke generasi. Murid tersebut kemudian melahirkan tokoh-tokoh yang memperkenalkan metode pemikiran fikih mahzab Hanafi. Diantara mereka ada Abu Hasan al-Karakhi (w. 340 H), yang menyusun kitab al-Ushul, Abu Bakar al-Razi (w. 380 H), yang sering disebut al-Jassas dan menyusun kitab Ushul Fiqh ’Ulu al-Jassas, Zaid al-Dabus, al-Bazdawi, al-Shahisi, al-Humam dan lainnya.
Pengembaraan intelektual Abu Yusuf sudah menempatkan dia pada posisi sebagai seorang tokoh ilmuwan yang fenomenal. Hal ini tidak spesialuntuk dikarenakan corak berpikirnya yang cukup maju tetapi dia juga seorang tokoh yang paling banyak menentukan kebijakan dalam kehidupan masyarakat dan bernegara pada masa tersebut. Adapun karya-karya dia yang merespon beberapa tanda-tanda dan problematika masyarakat yang berkenaan dengan tatanan kehidupan sosial dan agama yaitu kitab al-Athar, kitab Ikhtilaf Abi Hanifah wa Ibni Abi Laila, kitab al-Radd ala Siyar al-Auza’i, kitab Adabu al-Qādhy, kitab al-Maharij fi al-Haili dan kitab al-Khara.[3]

B.  Mekanisme Pasar Dalam Islam
Pasar yaitu salah satu dari banyak sekali sistem, institusi, prosedur, kekerabatan sosial dan infrastruktur dimana perjuangan menjual barang, jasa dan tenaga kerja untuk orang-orang dengan imbalan uang. Barang dan jasa yang dijual memakai alat pembayaran yang sah menyerupai uang fiat. Kegiatan ini ialah kepingan dari perekonomian. Ini yaitu pengaturan yang memungkinkan pembeli dan penjual untuk item pertukaran. Persaingan sangat penting dalam pasar, dan memisahkan pasar dari perdagangan. Dua orang mungkin melaksanakan perdagangan, tetapi dibutuhkan setidaknya tiga orang untuk mempunyai pasar, sehingga ada persaingan pada setidaknya satu dari dua belah pihak. Pasar bervariasi dalam ukuran, jangkauan, skala geografis, lokasi jenis dan banyak sekali komunitas manusia, serta jenis barang dan jasa yang diperdagangkan.[4]
Ekonomi Islam memandang bahwa pasar, negara, dan individu berada dalam keseimbangan (Iqtishad), dilarang ada sub ordinat, sehingga salah satunya menjadi secara umum dikuasai dari yang lain. Pasar dijamin kebebasannya dalam Islam. Pasar bebas menentukan cara-cara produksi dan harga, dilarang ada gangguan yang menimbulkan rusaknya keseimbangan pasar. Namun dalam kenyataannya susah ditemukan pasar yang berjalan sendiri secara adil (fair). Distorasi pasar tetap sering terjadi, sehingga sanggup merugikan para pihak.
Pasar yang dibiarkan berjalan sendiri (laissez faire), tanpa ada yang mengontrol, ternyata sudah menimbulkan penguasaan pasar sepihak oleh pemilik modal (capitalist) penguasa infrastruktur dan pemilik informasi. Asimetrik informasi juga menjadi permasalahan yang tidak sanggup diselesaikan oleh pasar. Negara dalam Islam mempunyai kiprah yang sama dengan dengan pasar, tugasnya yaitu mengatur dan mengawasi ekonomi, memastikan kompetisi di pasar berlangsung dengan sempurna, informasi yang merata dan keadilan ekonomi. Perannya sebagai pengatur tidak lantas menjadikannya dominan, lantaran negara sekali-kali dilarang mengganggu pasar yang berjalan seimbang, kiprahnya spesialuntuk diharapkan ketika terjadi distorsi dalam sistem pasar.
Konsep makanisme pasar dalam Islam sanggup dirujuk kepada hadits Rasululllah Saw sebagaimana disampaikan oleh Anas ra, sehubungan dengan adanya kenaikan harga-harga barang di kota Madinah. melaluiataubersamaini hadits ini terlihat dengan terang bahwa Islam jauh lebih lampau (lebih 1160 tahun) mengajarkan konsep mekanisme pasar dari pada Adam Smith. Dalam hadits tersebut diriwayatkan sebagai diberikut :
غلا السعر فسعر لنا رسول الله صلى الله عليه و سلم : ان الله هو الخالق القابض الباسط الرازق المسعر وانى أرجوا أن ألقى ربى وليس أحد منكم يطلبنى بمظلمة ظلمتها اياه بدم ولا مال (رواه الدارمى(
Artinya:
“Harga melambung pada zaman Rasulullah SAW. Orang-orang ketika itu mengajukan masukan kepada Rasulullah dengan berkata: “ya Rasulullah hendaklah engkau menetukan harga”. Rasulullah SAW. berkata:”Sesungguhnya Allah-lah yang menetukan harga, yang menahan dan melapangkan dan memdiberi rezeki. Sangat saya harapkan bahwa kelak saya menemui Allah dalam keadaan tidak seorang pun dari engkau menuntutku perihal kezaliman dalam darah maupun harta.”
Menurut pakar ekonomi Islam kontemporer, teori inilah yang diadopsi oleh Bapak Ekonomi Barat, Adam Smith dengan nama teori Invisible Hands. Menurut teori ini, pasar akan diatur oleh tangan-tangan tidak kelihatan (Invisible Hands). Bukankah teori Invisible Hands itu lebih tepat dikatakan God Hands (tangan-tangan Allah).[5]
Oleh lantaran harga sesuai dengan kekuatan penawaran dan undangan di pasar, maka harga barang dilarang diputuskan pemerintah, lantaran ketentuan harga tergantung pada aturan supply and demand. Namun demikian, ekonomi Islam masih mempersembahkan peluang pada kondisi tertentu untuk melalukan intervensi harga (Price Intervention) bila para pedagang melaksanakan monopoli dan kecurangan yang menekan dan merugikan konsumen.
Adapun yang menjadi dasar pemikiran ini menurut dalil Al-Qur’an dan Hadits di bawah ini:
عن ابن عمر عن رسول الله صلعم انه قال اذا تبايع الرجلان فكل واحد منهما بالخيار مالم يتفرقا وكانا جميعا او يخير احدهما الاخر فان خير احدهما الاخر فتبايعا على ذلك فقد وجب البيع وان يتفرقا بعد ان تبايعا ولم يترك واحد منهما البيع فقد وجب البيع
Artinya:
Diceritakan dari ibn umar, dari Rasulullah SAW sesunnguhnya Rasulullah SAW bersabda: “jika ada dua orang yang saling berakad, masing-masing mereka mempunyai khiyar selagi belum berpisah. Atau bila salah satunya menentukan maka jual beli itu jadi dengan pilihan tersebut. Dan bila berpisah keduanya maka jual beli itu sudah jadi”.
عن ابى هريرة رضى الله عنه انه قال نهى عن بيعتين الملامسة والمنابذة اما الملامسة فان يلمس كل واحد منهما ثوب صاحبه بغير تأمل والمنابذة ان ينبذ كل واحد منهما ثوبه الى الاخر ولم ينظر واحد منهما الى ثوب صاحبه

Artinya:
“Rasul melarang dua jual beli yaitu, mulamasah dan munabedzah. Mulamasah yaitu masing-masing keduanya memegang baju kawannya dengan tanpa berfikir. munabedzah yaitu masing-masing pembeli melempar pakaian pada yang lain dan tidak melihat pada baju kawannya
Al Furqan Ayat 7

وَقَالُوا مَالِ هَذَا الرَّسُولِ يَأْكُلُ الطَّعَامَ وَيَمْشِي فِي الْأَسْوَاقِ لَوْلَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مَلَكٌ فَيَكُونَ مَعَهُ نَذِيرًا
Artinya:
Dan mereka berkata: “Mengapa rasul ini memakan masakan dan berjalan di pasar-pasar? Mengapa tidak diturunkan kepadanya seorang malaikat biar malaikat itu mempersembahkan peringatan bahu-membahu dengan dia?
Al-Furqan ayat 20 :

وَمَا أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ مِنَ الْمُرْسَلِينَ إِلَّا إِنَّهُمْ لَيَأْكُلُونَ الطَّعَامَ وَيَمْشُونَ فِي الْأَسْوَاقِ وَجَعَلْنَا بَعْضَكُمْ لِبَعْضٍ فِتْنَةً أَتَصْبِرُونَ وَكَانَ رَبُّكَ بَصِيرًا
Artinya:
Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka sungguh memakan masakan dan berjalan di pasar-pasar. Dan Kami jadikan sebahagian engkau cobaan bagi sebahagian yang lain. Maukah engkau bersabar?; dan yaitu Tuhanmu Maha Melihat.

C.      Pemikiran Abu Yusuf Tentang Pasar
Abu Yusuf menyatakan bahwa tidak ada batasan tertentu perihal murah dan mahal yang sanggup dipastikan. Murah bukan lantaran melimpahnya makanan, demikian juga mahal tidak disebabkan kelangkaan makanan. Murah dan mahal yaitu ketentuan Allah. Kadang-kadang masakan berlimpah, tetapi tetap mahal dan kadang kala masakan sangat sedikit tetapi murah.
Pada zaman Abu Yusuf, perkiraan yang berkembang adalah, apabila tersedia sedikit barang maka harga akan mahal dan bila tersedia banyak maka harga akan murah. Tetapi dia menolak perkiraan masyarakat tersebut. Menurutnya tidak selamanya persediaan barang sedikit (supply) menimbulkan harga (price) mahal, demikian pula persediaan barang banyak menimbulkan harga akan murah. Karena pada kenyataannya harga tidak tergantung pada undangan (supply) saja, tetapi juga bergantung pada kekuatan penawaran (demand). Oleh lantaran itu peningkatan atau penurunan harga tidak selalu bekerjasama dengan peningkatan atau penurunan undangan akan barang.
Menurut Abu Yusuf, ada variabel lain yang ikut menghipnotis harga, tetapi tidak dijelaskan secara rinci. Bisa saja variabel tersebut yaitu pergeseran dalam undangan atau jumlah uang yang beredar di suatu negara atau terjadinya penimbunan dan penahanan barang. Bagi Abu Yusuf, tinggi rendahnya harga yaitu kepingan dari ketentuan Allah. Manusia tidak sanggup melaksanakan intervensi atas urusan dan ketetapan-Nya. Patut dicatat bahwa Abu Yusuf menuliskan teorinya sebelum Adam Smith menulis The Wealth of Nations. Karena Abu Yusuf tidak mengulas lebih rinci apa yang disebutkannya sebagai variabel lain, ia tidak menghubungkan fenomena yang diobservasinya terhadap perubahan dalam penawaran uang. Namun, pernyataannya tidak menyangkal dampak dari undangan dan penawaran dalam penentuan harga.[6]


Simpulan:
Abu Yusuf, yang dalam literatur Islam sering disebut dengan Imam Abu Yusuf Ya‟qub bin Ibrahim bin Habib al-Ansāri al-Jalbi al-Kufi al-Baghdādi lahir pada tahun 113 H/731/732 M di Kufah dan pernah tinggal di Baghdad, serta meninggal pada tahun 182 H/798 M. dalam pemikirannya perihal pasar, Abu Yusuf menyatakan bahwa tidak ada batasan tertentu perihal murah dan mahal yang sanggup barang dalam pasar. Murah bukan lantaran melimpahnya makanan, demikian juga mahal tidak disebabkan kelangkaan makanan. Murah dan mahal yaitu ketentuan Allah. Kadang-kadang masakan berlimpah, tetapi tetap mahal dan kadang kala masakan sangat sedikit tetapi murah. Menurutnya tidak selamanya persediaan barang sedikit (supply) menimbulkan harga (price) mahal, demikian pula persediaan barang banyak menimbulkan harga akan murah. Karena pada kenyataannya harga tidak tergantung pada undangan (supply) saja, tetapi juga bergantung pada kekuatan penawaran (demand). Oleh lantaran itu peningkatan atau penurunan harga tidak selalu bekerjasama dengan peningkatan atau penurunan undangan akan barang.







DAFTAR PUSTAKA

Majid, M. Nazori, Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf, Cet. I, Yogyakarta: PSEI STIS, 2003.
Al-Kaaf, Abdullah Zakiy, Ekonomi dalam Perspektif Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2002.
Karim, Adiwarman Azwar, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: IIIT, 2001.



[1] Majid, M. Nazori, Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf, Cet. I, (Yogyakarta: PSEI STIS, 2003), h. 26
[2] Ibid, h. 29
[3] Ibid, h. 30-32
[4] Al-Kaaf, Abdullah Zakiy, Ekonomi dalam Perspektif Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2002), h. 108
[5] Karim, Adiwarman Azwar, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: IIIT, 2001), h. 58-60
[6] Majid, M. Nazori, Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf, op.cit., h. 37

Posting Komentar untuk "Pemikiran Bubuk Yusuf Wacana Pasar"