Mengenang Kembali Krisis Ekonomi Asia 1997-1998
Artikel ini akan mereview permasalahan yang terjadi pada krisis ekonomi 1997-1998 yang menimpa negara-negara di daerah Asia, diantaranya Thailand, Malaysia, dan Indonesia. Berbagai pendapat, argumentasi, dan teori konspirasi mewarnai diskusi-diskusi ihwal kejadian ini. Namun demikian, tinjauan dari sudut pandang ekonomi akan menjadi titik sentral goresan pena ini.
Pertengahan 1997 menjadi sejarah kelabu perekonomian negara-negara di benua Asia, mengingat pada ketika itu terjadi krisis moneter atau krisis ekonomi yang berdampak luas pada stabilitas makroekonomi dan kehidupan masyarakat.
Bukan itu saja, khusus yang terjadi di Indonesia, krisis ekonomi 1997-1998 menandai berakhirnya satu rezim pemerintahan yang sudah berkuasa lebih dari 30 tahun. Ironisnya, peralihan orde pemerintahan tersebut diwarnai dengan penjarahan massa, tindak kekerasan bernuansa rasial, serta demonstrasi besar-bemasukan yang dilakukan oleh mahasiswa dan masyarakat sipil yang memakan korban jiwa.
Bermacam ajaran mengemuka terkena penyebab munculnya krisis yang terjadi kala itu. Salah satu yang sering disebut yaitu adanya ulah spekulan, khususnya menunjuk kepada George Soros, yang bermain di pasar finansial Asia. George Soros sendiri ialah seorang multi jutawan, investor, sekaligus pendiri perusahaan dibidang keuangan berjulukan Soros Fund Management LLC (www.georgesoros.com).
Selanjutnya, kalau dilihat dari kronologi waktunya, penelitian mengatakan bahwa krisis ekonomi Asia dimulai dari terdepresiasinya nilai mata uang baht Thailand pada pertengahan 1997. Penurunan baht terjadi dalam rentang periode yang cukup lama. Hal ini lantas memicu kekhawatiran negara-negara satu kawasan, dan memang terbukti bahwa depresiasi bath turut menyeret nilai mata uang lain, termasuk won Korea Selatan, dollar Singapura, dollar Hongkong, ringgit Malaysia, peso Philipina, dan rupiah Indonesia. Dua negara terdampak paling besar yaitu Malaysia dan Indonesia. Oleh karenanya, serius goresan pena ini akan tertuju ke Thailand, Malaysia, dan Indonesia.
Thailand mengalami krisis pertama kali di pertengahan 1997. Pemerintah setempat mengklaim bahwa terpuruknya kondisi moneter diakibatkan oleh ulah spekulan yang bermain di pasar keuangan di daerah Asia Tenggara. Tidak usang setelah itu, pemerintah Thailand meminta menolongan kepada the International Monetary Fund (IMF). Karena dana IMF tidak mencukupi untuk penanggulangan krisis, maka menolongan juga didiberikan oleh Jepang, Bank Dunia (the World Bank), Bank Pembangunan Asia (the Asian Development Bank), dan beberapa negara tetangga.
Total menolongan yang diterima Thailand dari aneka macam pihak tersebut mencapai US$ 17.2 miliar. Sayangnya, gelontoran dana menolongan sebesar itu tidak bisa mengangkat mata uang baht. Dari studi-studi yang ada, diduga kegagalan itu disebabkan adanya pesimisme dari kalangan pelaku pasar dalam negeri terhadap agenda IMF. melaluiataubersamaini kata lain, pasar domestik Thailand mempertanyakan dapat dipercaya IMF dalam upaya membangkitkan stabilitas perekonomian negara (Takatoshi, Ito. Asian Currency Crisis and the International Monetary Fund, 10 Years Later: Overview, Asian Economic Policy Review, 2007).
Disisi lain, Malaysia juga mengalami pengaruh krisis yang cukup parah, ditandai dengan menurunnya mata uang ringgit dari RM 2.4/US$ menjadi RM 4.9/US$ atau mengalami depresiasi lebih dari 100% pada 1997. Penurunan ringgit diikuti pula dengan anjloknya nilai investasi senilai RM 22 milliar.
Namun demikian, berguru dari apa yang menimpa Thailand, pemerintah Malaysia tidak mengajukan santunan kepada IMF, melainkan spesialuntuk meminta pendapat dan konsultasi atas langkah-langkah penyelesaian krisis. Dikemudian hari, melalui agenda the National Economic Recovery Plan, pemerintah Malaysia berusaha keras menjaga stabilitas keuangan nasional, mengembalikan kepercayaan pasar, serta melaksanakan restrukturisasi atas utang korporasi.
Selain itu, untuk meningkatkan geliat perekonomian disektor riil, otoritas moneter setempat menurunkan suku bunga secara sedikit demi sedikit serta melaksanakan pelonggaran kebijakan moneter yang dimulai pada pertengahan 1998 sampai 1999. Pemerintah Malaysia juga memberlakukan stimulus fiskal. melaluiataubersamaini upaya-upaya tersebut, Malaysia mulai bangun dan secara sedikit demi sedikit keluar dari krisis ( Hui Lim and Khoon Goh. How Malaysia Weathered The Financial Crisis: Policies and Possible Lessons, 2002).
Akan halnya di Indonesia, sebelum terjadi krisis di pertengahan 1997, Indonesia mencatatkan pertumbuhan ekonomi rata-rata 7% per tahun. Menurut catatan Bank Dunia, angka kemiskinan di Indonesia menurun dari tahun ke tahun, sampai mencapai 11% dari total penduduk ketika itu atau sekitar 11 juta jiwa (Weber, E.J. The IMF and Indonesia: Two Equal Partners, 1998).
Disamping itu, Program Keluarga Berencana juga ditetapkan berhasil mengurangi angka final hidup bayi, dari sebelumnya 118 final hidup per 1,000 kelahiran, menjadi spesialuntuk 52 kasus. Keberhasilan pembangunan juga ditandai dengan peningkatan usia cita-cita hidup dari yang tiruanla dikimasukan 48 tahun menjadi 64 tahun.
Intinya, sebelum krisis terjadi, Indonesia berada dalam kondisi stabil secara ekonomi dan politik (Sebagai catatan: dikemudian hari, stabilitas ekonomi dan politik dibawah pemerintahan ketika itu menjadi perdebatan tersendiri, terutama bila dikaitkan dengan informasi korupsi-kolusi-nepotisme (KKN), kebebasan berserikat dan berpendapat, serta penerapan perangkat militer untuk menekan masyarakat sipil).
Tidak usang setelah depresiasi menimpa baht Thailand, mata uang rupiah ikut tersungkur dalam. Tercatat dipertama tahun 1997 nilai rupiah stabil dikimasukan Rp 2,000-2,300/US$ kemudian menukik tajam sampai lebih dari Rp 10,000/US$ dalam waktu satu tahun. Dari situ diketahui pula bahwa ternyata utang korporasi swasta di Indonesia mencapai US$ 75 milliar. Selain itu, sistem perbankan nasional Indonesia juga ditetapkan gagal lantaran banyak diintervensi oleh kepentingan politik.
Sesudah gagal menangani krisis melalui penerapan kebijakan mata uang mengambang (floating rate), yang mengakibatkan nilai tukar rupiah justru semakin anjlok, Indonesia meminta menolongan IMF senilai tak kurang dari US$ 23 miliar; dan menyerupai yang pernah kita bahas pada topik terkena the International Monetary Fund, dalam mempersembahkan menolongan, IMF menerapkan syarat-syarat tertentu, diantaranya peniadaan monopoli perdagangan dan industri (Perlu diketahui bahwa beberapa korporasi besar di Indonesia pada ketika itu dikuasai oleh orang-orang yang akrab dengan pemerintah). Selain itu IMF meminta peniadaan subsidi pemerintah terhadap beberapa jenis komoditas.
Hal ini kemudian ditindaklanjuti dengan penutupan 16 bank nasional, yang kemudian justru menjadikan terjadinya rush atau kegelagapanan nasabah sehingga mengambil simpanan mereka pada bank. Akibatnya bisa ditebak, perbankan nasional mengalami belum sempurnanya likuiditas.
Lebih lanjut, data sebut bahwa 260 perusahan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta (saat ini berjulukan Bursa Efek Indonesia) mengalami kebangkrutan. Lantas, utang luar negeri Indonesia membengkak dari US$ 83 milliar di 1994 menjadi US$ 136 milliar. Sementara itu, dalam kurun tiga bulan sejak Maret 1997, cadangan devisa pemerintah menyusut dari US$ 20 milliar menjadi US$ 16.3 milliar (Baker, R. Indonesia In Crisis, Asia-Pacific Isues, Analysis from the East-West Center No. 36, May 1998).
Atas kegagalan-kegagalan ini, pemerintah Indonesia menyebut bahwa IMF sudah salah mendiagnosa penyebab krisis, sehingga tidak tepat dalam penanganannya. Hal ini kemudian merenggangkan kekerabatan antara Indonesia dengan IMF (termasuk Amerika Serikat sebagai pendonor utama). Hal tersebut semakin diperparah dengan keinginan pemerintah Indonesia untuk melaksanakan sistem fixed exchange rate (dollar pegging), atau mematok nilai rupiah terhadap dollar Amerika Serikat.
Pada akhirnya, kondisi perekonomian menjadi semakin tidak terkendali, sehingga membuat masyarakat sipil beserta para mahasiswa menuntut tanggungjawaban pemerintah, yang dikemudian hari berujung pada tumbangnya rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto.
Kesimpulan dari penelitian atas krisis ekonomi di Indonesia pada ketika itu antara lain:
ARTIKEL TERKAIT :
Mencermati Situasi Perekonomian Dunia di 2018
Kartel, Struktur Pasar Monopolistik, dan Inefisiensi Ekonomi
Perekonomian Arab Saudi, Ancaman Krisis Dibalik Melimpahnya Cadangan Minyak Bumi
Peluang dan Tantangan ASEAN dalam Perekonomian Global
Pertengahan 1997 menjadi sejarah kelabu perekonomian negara-negara di benua Asia, mengingat pada ketika itu terjadi krisis moneter atau krisis ekonomi yang berdampak luas pada stabilitas makroekonomi dan kehidupan masyarakat.
Bukan itu saja, khusus yang terjadi di Indonesia, krisis ekonomi 1997-1998 menandai berakhirnya satu rezim pemerintahan yang sudah berkuasa lebih dari 30 tahun. Ironisnya, peralihan orde pemerintahan tersebut diwarnai dengan penjarahan massa, tindak kekerasan bernuansa rasial, serta demonstrasi besar-bemasukan yang dilakukan oleh mahasiswa dan masyarakat sipil yang memakan korban jiwa.
Bermacam ajaran mengemuka terkena penyebab munculnya krisis yang terjadi kala itu. Salah satu yang sering disebut yaitu adanya ulah spekulan, khususnya menunjuk kepada George Soros, yang bermain di pasar finansial Asia. George Soros sendiri ialah seorang multi jutawan, investor, sekaligus pendiri perusahaan dibidang keuangan berjulukan Soros Fund Management LLC (www.georgesoros.com).
Selanjutnya, kalau dilihat dari kronologi waktunya, penelitian mengatakan bahwa krisis ekonomi Asia dimulai dari terdepresiasinya nilai mata uang baht Thailand pada pertengahan 1997. Penurunan baht terjadi dalam rentang periode yang cukup lama. Hal ini lantas memicu kekhawatiran negara-negara satu kawasan, dan memang terbukti bahwa depresiasi bath turut menyeret nilai mata uang lain, termasuk won Korea Selatan, dollar Singapura, dollar Hongkong, ringgit Malaysia, peso Philipina, dan rupiah Indonesia. Dua negara terdampak paling besar yaitu Malaysia dan Indonesia. Oleh karenanya, serius goresan pena ini akan tertuju ke Thailand, Malaysia, dan Indonesia.
Thailand mengalami krisis pertama kali di pertengahan 1997. Pemerintah setempat mengklaim bahwa terpuruknya kondisi moneter diakibatkan oleh ulah spekulan yang bermain di pasar keuangan di daerah Asia Tenggara. Tidak usang setelah itu, pemerintah Thailand meminta menolongan kepada the International Monetary Fund (IMF). Karena dana IMF tidak mencukupi untuk penanggulangan krisis, maka menolongan juga didiberikan oleh Jepang, Bank Dunia (the World Bank), Bank Pembangunan Asia (the Asian Development Bank), dan beberapa negara tetangga.
Total menolongan yang diterima Thailand dari aneka macam pihak tersebut mencapai US$ 17.2 miliar. Sayangnya, gelontoran dana menolongan sebesar itu tidak bisa mengangkat mata uang baht. Dari studi-studi yang ada, diduga kegagalan itu disebabkan adanya pesimisme dari kalangan pelaku pasar dalam negeri terhadap agenda IMF. melaluiataubersamaini kata lain, pasar domestik Thailand mempertanyakan dapat dipercaya IMF dalam upaya membangkitkan stabilitas perekonomian negara (Takatoshi, Ito. Asian Currency Crisis and the International Monetary Fund, 10 Years Later: Overview, Asian Economic Policy Review, 2007).
Disisi lain, Malaysia juga mengalami pengaruh krisis yang cukup parah, ditandai dengan menurunnya mata uang ringgit dari RM 2.4/US$ menjadi RM 4.9/US$ atau mengalami depresiasi lebih dari 100% pada 1997. Penurunan ringgit diikuti pula dengan anjloknya nilai investasi senilai RM 22 milliar.
Namun demikian, berguru dari apa yang menimpa Thailand, pemerintah Malaysia tidak mengajukan santunan kepada IMF, melainkan spesialuntuk meminta pendapat dan konsultasi atas langkah-langkah penyelesaian krisis. Dikemudian hari, melalui agenda the National Economic Recovery Plan, pemerintah Malaysia berusaha keras menjaga stabilitas keuangan nasional, mengembalikan kepercayaan pasar, serta melaksanakan restrukturisasi atas utang korporasi.
Selain itu, untuk meningkatkan geliat perekonomian disektor riil, otoritas moneter setempat menurunkan suku bunga secara sedikit demi sedikit serta melaksanakan pelonggaran kebijakan moneter yang dimulai pada pertengahan 1998 sampai 1999. Pemerintah Malaysia juga memberlakukan stimulus fiskal. melaluiataubersamaini upaya-upaya tersebut, Malaysia mulai bangun dan secara sedikit demi sedikit keluar dari krisis ( Hui Lim and Khoon Goh. How Malaysia Weathered The Financial Crisis: Policies and Possible Lessons, 2002).
Akan halnya di Indonesia, sebelum terjadi krisis di pertengahan 1997, Indonesia mencatatkan pertumbuhan ekonomi rata-rata 7% per tahun. Menurut catatan Bank Dunia, angka kemiskinan di Indonesia menurun dari tahun ke tahun, sampai mencapai 11% dari total penduduk ketika itu atau sekitar 11 juta jiwa (Weber, E.J. The IMF and Indonesia: Two Equal Partners, 1998).
Disamping itu, Program Keluarga Berencana juga ditetapkan berhasil mengurangi angka final hidup bayi, dari sebelumnya 118 final hidup per 1,000 kelahiran, menjadi spesialuntuk 52 kasus. Keberhasilan pembangunan juga ditandai dengan peningkatan usia cita-cita hidup dari yang tiruanla dikimasukan 48 tahun menjadi 64 tahun.
Intinya, sebelum krisis terjadi, Indonesia berada dalam kondisi stabil secara ekonomi dan politik (Sebagai catatan: dikemudian hari, stabilitas ekonomi dan politik dibawah pemerintahan ketika itu menjadi perdebatan tersendiri, terutama bila dikaitkan dengan informasi korupsi-kolusi-nepotisme (KKN), kebebasan berserikat dan berpendapat, serta penerapan perangkat militer untuk menekan masyarakat sipil).
Tidak usang setelah depresiasi menimpa baht Thailand, mata uang rupiah ikut tersungkur dalam. Tercatat dipertama tahun 1997 nilai rupiah stabil dikimasukan Rp 2,000-2,300/US$ kemudian menukik tajam sampai lebih dari Rp 10,000/US$ dalam waktu satu tahun. Dari situ diketahui pula bahwa ternyata utang korporasi swasta di Indonesia mencapai US$ 75 milliar. Selain itu, sistem perbankan nasional Indonesia juga ditetapkan gagal lantaran banyak diintervensi oleh kepentingan politik.
Sesudah gagal menangani krisis melalui penerapan kebijakan mata uang mengambang (floating rate), yang mengakibatkan nilai tukar rupiah justru semakin anjlok, Indonesia meminta menolongan IMF senilai tak kurang dari US$ 23 miliar; dan menyerupai yang pernah kita bahas pada topik terkena the International Monetary Fund, dalam mempersembahkan menolongan, IMF menerapkan syarat-syarat tertentu, diantaranya peniadaan monopoli perdagangan dan industri (Perlu diketahui bahwa beberapa korporasi besar di Indonesia pada ketika itu dikuasai oleh orang-orang yang akrab dengan pemerintah). Selain itu IMF meminta peniadaan subsidi pemerintah terhadap beberapa jenis komoditas.
Hal ini kemudian ditindaklanjuti dengan penutupan 16 bank nasional, yang kemudian justru menjadikan terjadinya rush atau kegelagapanan nasabah sehingga mengambil simpanan mereka pada bank. Akibatnya bisa ditebak, perbankan nasional mengalami belum sempurnanya likuiditas.
Lebih lanjut, data sebut bahwa 260 perusahan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta (saat ini berjulukan Bursa Efek Indonesia) mengalami kebangkrutan. Lantas, utang luar negeri Indonesia membengkak dari US$ 83 milliar di 1994 menjadi US$ 136 milliar. Sementara itu, dalam kurun tiga bulan sejak Maret 1997, cadangan devisa pemerintah menyusut dari US$ 20 milliar menjadi US$ 16.3 milliar (Baker, R. Indonesia In Crisis, Asia-Pacific Isues, Analysis from the East-West Center No. 36, May 1998).
Atas kegagalan-kegagalan ini, pemerintah Indonesia menyebut bahwa IMF sudah salah mendiagnosa penyebab krisis, sehingga tidak tepat dalam penanganannya. Hal ini kemudian merenggangkan kekerabatan antara Indonesia dengan IMF (termasuk Amerika Serikat sebagai pendonor utama). Hal tersebut semakin diperparah dengan keinginan pemerintah Indonesia untuk melaksanakan sistem fixed exchange rate (dollar pegging), atau mematok nilai rupiah terhadap dollar Amerika Serikat.
Pada akhirnya, kondisi perekonomian menjadi semakin tidak terkendali, sehingga membuat masyarakat sipil beserta para mahasiswa menuntut tanggungjawaban pemerintah, yang dikemudian hari berujung pada tumbangnya rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto.
Kesimpulan dari penelitian atas krisis ekonomi di Indonesia pada ketika itu antara lain:
- secara politik dan ekonomi, pemerintahan Indonesia tidak mempunyai pondasi yang kokoh, lantaran cenderung terkungkung pada kekuasaan disatu tangan (presiden).
- institusi pemerintahan dikuasai oleh pihak-pihak yang sudah berumur (old generation), yang cenderung koruptif dan menolak perubahan (mempertahankan status quo).
- adanya kekerabatan yang tidak 'sehat' antara korporasi bisnis dengan pemerintah yang sedang berkuasa, sehingga tidak tercipta tata kelola pemerintahan yang transparan dan kredibel.
ARTIKEL TERKAIT :
Mencermati Situasi Perekonomian Dunia di 2018
Kartel, Struktur Pasar Monopolistik, dan Inefisiensi Ekonomi
Perekonomian Arab Saudi, Ancaman Krisis Dibalik Melimpahnya Cadangan Minyak Bumi
Peluang dan Tantangan ASEAN dalam Perekonomian Global
Posting Komentar untuk "Mengenang Kembali Krisis Ekonomi Asia 1997-1998"