Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mengenal Disaster Management, Melihat Cara Jepang Menangani Tragedi Alam

Secara geografis, negara Jepang berada dalam posisi yang rentan terhadap peristiwa alam, hal ini mengklasifikasikannya kedalam salah satu negara dengan kejadian peristiwa paling sering terjadi di dunia. Menurut catatan, Jepang sering mengalami gempa bumi dengan kekuatan rata-rata diatas 6 pada skala richter. Selain gempa, musibah yang sering terjadi di Jepang yaitu tsunami, tornado topan, erupsi pegunungan berapi, banjir, serta tanah longsor.

 negara Jepang berada dalam posisi yang rentan terhadap musibah Mengenal Disaster Management, Melihat Teknik Jepang Menangani Bencana Alam
Namun demikian, Jepang populer mempunyai administrasi tanggap peristiwa (disaster management) yang sangat efektif, sehingga selalu cepat dalam menangani korban bencana, mengurangi dampak bencana, serta melaksanakan recovery pasca bencana.

Oleh karenanya, pada artikel ini kita akan mempelajari bagaimana Jepang menerapkan contoh disaster management dalam penanggulangan peristiwa alam. Sebagai rujukan, kita akan melihat kejadian peristiwa gempa bumi dan tsunami yang melanda beberapa tempat di Jepang pada 11 Maret 2011.



Perlu dipahami bahwa disaster management ialah suatu penataan dan pengelolaan sumberdaya serta tanggungjawaban dalam penanganan hal-hal terkait aspek keselamatan manusia, baik dalam fase kesiagaan, respon, maupun pemulihan kembali atas kejadian bencana, dengan tujuan untuk meminimalisir dampak negatif yang diakibatkan oleh peristiwa tersebut (www.ifrc.org).

Pada 11 Maret 2011 lalu, terjadi musibah gempa bumi dengan kekuatan hingga sembilan pada skala richter yang disusul dengan gelombang tsunami di tempat timur maritim Jepang. Bencana ini tercatat menjadi salah satu musibah terdahsyat sepanjang sejarah Jepang.

Tidak spesialuntuk skala peristiwa saja yang tergolong besar, namun dampak peristiwa tersebut juga bisa dikatakan mencengangkan. Tercatat lebih dari 15,000 jiwa menjadi korban musibah tersebut, belum termasuk mereka yang hilang disapu gelombang tsunami, serta ratusan bangunan yang luluh lantak rata dengan tanah.

Lebih jauh, gempa bumi yang terjadi pada tengah hari tersebut mengakibatkan gelombang tsunami yang mencapai ketinggian hingga 40 meter diatas permukaan laut. Namun bukan spesialuntuk ketinggian gelombang itu yang mengejutkan, melainkan juga jarak gelombang tsunami yang bisa menyapu daratan hingga lebih dari 10 kilometer dari bibir pantai.

Menurut laporan the United Nations Environmental Programme (UNEP), ada tiga perfektur (wilayah setingkat propinsi) yang terkena dampak paling parah, baik dari jumlah korban meninggal dan hilang, maupun bangunan yang hancur, yakni Perfektur Miyagi, Fukushima, dan Iwate. Ketiga area tersebut berada dititik terdekat dengan sentra gempa di Samudera Pasifik.

Selain itu, peristiwa tersebut bukan spesialuntuk menyisakan penderitaan dari sisi fisik, ekonomi, maupun psikis, namun juga membawa dampak jelek akhir kebocoran radiasi zat berbahaya (hazardous material) dari instalasi nuklir yang berada di Perfektur Fukushima.

Mengingat bahwa dampak radiasi nuklir bisa berlangsung dari generasi ke generasi, maka pemerintah setempat memastikan pengosongan wilayah hingga radius 20 kilometer dari pembangkit tenaga nuklir tersebut (The United Nations Environmental Programme. Managing post-disaster debris: the Japan experience, June 2012).

Akan tetapi, ada satu hal lagi yang tidak kalah mencengangkan dunia dari kejadian peristiwa tersebut, yakni respon luar biasa dari pemerintah Jepang gotong royong dengan elemen masyarakat dalam menangani situasi pasca bencana, melaksanakan recovery atas wilayah terdampak bencana, serta mengatasi perkara kesehatan dan kehidupan para korban yang selamat.

Masih berdasarkan UNEP, dalam menghadapi peristiwa yang terjadi, pemerintah Jepang sudah mempersiapkan beberapa langkah penting, yakni:
  • Merancang bangunan-bangunan yang tahan gempa. Ini sebagai langkah antisipasi pertama apabila terjadi gempa yang muncul sewaktu-waktu
  • Merencanakan hukum terkena pemeliharaan lingkungan, ibarat pinjaman hutan di pesisir samudera (coastal forests atau hutan mangrove) dan pinjaman pertama gelombang tsunami (dengan menempatkan batu-batu pemecah ombak ditepian maritim untuk mengurangi dampak tsunami). Poin kedua ini juga berperan sebagai langkah pencegahan terhadap gelombang tsunami yang bisa hadir seiring gempa.
  • Mengembangkan sistem peringatan dini musibah (disaster-early warning system). Ini dimaksudkan biar tiruana pihak, mulai dari gugus kiprah siaga peristiwa (disaster task force unit) supaya bisa merespon dengan cepat, serta masyarakat yang berpotensi mengalami dampak peristiwa biar segera mempersiapkan diri untuk berlindung di tempat yang sudah dipersiapkan.
  • Mendirikan area pinjaman (shelter) bagi korban terdampak peristiwa alam.
  • Memdiberikan petes rutin kepada masyarakat sebagai respon cepat atas musibah yang bisa hadir kapan saja.
  • Mengembangkan secara terus-menerus sistem tanggap darurat peristiwa biar bisa bekerja secara efektif.

Selanjutnya, berdasarkan laporan the Japguase Red Cross Society, dalam merespon peristiwa gempa bumi dan tsunami, pemerintah Jepang menerapkan kebijakan yang disebut dengan Basic Policy on Reconstruction, yakni dengan menyediakan dana untuk rekonstruksi pasca peristiwa hingga dengan periode sepuluh tahun semenjak kejadian, sebesar lebih dari ¥ 23 triliun (setara Rp 2,300 triliun, dengan perkiraan ¥ 1 = Rp 100,-).

Disamping itu, pemerintah di tingkat sentra maupun daerah juga mempersembahkan perhatian fokus kepada korban selamat, mengingat penderitaan fisik, kerugian ekonomi, serta kehilangan keluarga/kerabat/teman akrab akan menyisakan trauma yang mendalam hingga bisa menurunkan daya hidup mereka.

Dari sisi infrastruktur, pemerintah Jepang melaksanakan hal-hal strategis ibarat membangun kembali masukana-pramasukana umum, merevitalisasi industri/tempat usaha, menyediakan lapangan kerja, serta mempersembahkan perawatan kepada korban yang kemungkinan terkena dampak radiasi nuklir.

Selain hal tersebut diatas, pemerintah Jepang bersama dengan komunitas masyarakat dan menolongan internasional terus berupaya memmembersihkankan dan mengelola sampah (disaster debris) yang bisa menjadi dilema gres bagi lingkungan, baik itu yang bersifat logam, material tak bisa terurai, barang beracun dan berbahaya, serta material lain yang terbawa gelombang sehingga mengotori ekosistem laut.

Secara detil, pemerintah Jepang memusatkan upaya pada beberapa area kerja dalam proses penanggulangan bencana, antara lain:
  • Pemulihan segera (emergency relief), diantaranya dengan mengembalikan kondisi fisik dan psikis para korban selamat. Dalam pelaksanaannya terdapat ratusan tim medis yang siap siaga memmenolong upaya pemulihan para korban bencana.
  • Pelayanan dan infrastruktur kesehatan, terutama bagi para lansia yang menjadi kelompok paling rentan terganggu kesehatannya pasca bencana. Hal ini diupayakan dengan mendirikan klinik dan sentra kesehatan di beberapa wilayah disekitar area bencana.
  • Penanganan korban terdampak kebocoran instalasi nuklir, yakni melalui investigasi dan monitoring terhadap korban yang kemungkinan mengalami gangguan akhir radiasi nuklir.
  • Perbaikan kondisi hidup korban gempa melalui penguatan komunitas masyarakat, sehingga tercipta ikatan batin yang berpengaruh di antara para korban biar sanggup menjalani kehidupan pasca peristiwa secara bersama-sama.
  • Penyediaan kemudahan kesejahteraan sosial, mencakup alat-alat kebutuhan rumah tangga, perlengkapan hidup sehari-hari, masakan bergizi, serta menolongan layanan kepada para manula.
  • Penyediaan kemudahan pendidikan bagi anak-anak, yakni dengan menyediakan masukana pendidikan bagi belum dewasa supaya bisa tumbuh dan berkembang ibarat sediakala. Selain itu disediakan juga taman bermain didalam ruang (indoor playground), sehingga belum dewasa bisa bermain dengan kondusif dan nyaman bersama dengan kawan-kawan mereka.
  • Pengembangan sistem tanggap peristiwa berbasiskan komunitas, yakni dengan mendirikan sentra siaga peristiwa disetiap kota administratif (municipal).
  • Pengembangan sistem tanggap peristiwa di tingkat nasional untuk mengkoordinasikan menolongan kepada korban peristiwa biar bisa berjalan dengan cepat dan efisien.
(The Japguase Red Cross Society. Japan: Earthquake and Tsunami, 24 Monthly Report, 26 July 2013).

Hingga dikala ini, kiprah kemanusiaan tersebut masih terus berlangsung. Sementara para korban peristiwa secara perlahan mulai menata kehidupan baru, saling bekerjsama dalam komunitas masyarakat, dan tetap menjalani hidup dalam harmoni dengan lingkungan tempat tinggal mereka.

Catatan akhir, Jepang sudah mengatakan bahwa meskipun peristiwa sudah mengakibatkan penderitaan fisik, ekonomi, dan emosional, namun mereka bisa segera berdiri dari keterpurukan melalui kinerja penanganan peristiwa yang cepat dan efektif. **


ARTIKEL TERKAIT :
Mencermati Perkembangan Perekonomian Jepang
Belajar dari Pengelolaan Sampah di Jepang
Menakar Kebutuhan Sumberdaya Energi di Masa Depan
Perkembangan Teknologi dan Industrialisasi di Jepang

Posting Komentar untuk "Mengenal Disaster Management, Melihat Cara Jepang Menangani Tragedi Alam"