Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Memahami Fenomena Hiperinflasi (Hyperinflation) Di Perekonomian Modern: Perkara Zimbabwe

Dalam kajian ekonomi, istilah inflasi ialah salah satu yang umum dijumpai. Pada praktiknya pun, inflasi selalu menjadi perhatian fokus, baik bagi otoritas fiskal maupun moneter, mengingat angka inflasi ialah salah satu petunjuk penting sejauh mana perekonomian suatu negara melaju.

 istilah inflasi ialah salah satu yang umum dijumpai Memahami Fenomena Hiperinflasi (Hyperinflation) di Perekonomian Modern: masalah Zimbabwe
Namun demikian ada satu fenomena yang meskipun sangat jarang terjadi di dunia ekonomi modern, sangat layak untuk dijadikan pengetahuan wacana bagaimana mengelola perekonomian negara.

Fenomena ini disebut dengan hiperinflasi (hyperinflation). Pada goresan pena ini kita akan melihat salah satu pola perekonomian negara yang mengalami hiperinflasi, yakni Zimbabwe.



Pertama-tama, kita akan melihat tumpuan wacana pengertian inflasi. Pada prinsipnya, inflasi yaitu tingkat kenaikan rata-rata harga produk/barang untuk suatu periode tertentu. Adapun harga tersebut tercermin pada indeks harga konsumen (consumer price index) (Samuelson, P, and William Nordhaus. Economics, 2002).

Lebih lanjut, terdapat beberapa penyebab atau sumber terjadinya inflasi, yang paling umum dikenali adalah:
  • cost-push inflation, kondisi ini terjadi lantaran adanya kenaikan harga pada dikala memanfaatkan sumberdaya produksi tidak optimal, sehingga mengakibatkan ekonomi biaya tinggi, dan biasanya disertai dengan tingginya angka pengangguran.
  • demand-pull inflation, situasi demikian terjadi ketika ajakan secara agregat meningkat lebih cepat daripada potensi produksi ekonomi.
Berikutnya, kata 'hyper', berdasarkan oxford dictionaries bisa diartikan sebagai sesuatu yang sangat besar atau diluar kondisi normal (www.oxforddictionaries.com).

Meski demikian, dalam konsep ekonomi, sejauh ini belum ada makna tunggal yang mendefinisikan istilah hiperinflasi. Oleh karenanya kita akan mengambil dua pandangan studi wacana hiperinflasi.

Menurut Cagan, yang disebut hiperinflasi yaitu ketika kenaikan harga rata-rata mencapai setidaknya angka 50% per bulan (Cagan, P, The Monetary Dynamics of Hyperinflation, 1956). Sedangkan Dornbush dan Fischer menyatakan bahwa hiperinflasi terjadi apabila angka inflasi dalam satu periode (tahun) melebihi angka 100% kalau dibandingkan dengan periode sebelumnya (Dornbusch, R, and Fischer, S. Macroeconomics, 1993).

Selanjutnya, tidak sedikit penelitian yang mencoba mencari tahu apa yang menimbulkan terjadinya hyperinflation. Secara garis besar terdapat beberapa kemungkinan, diantaranya:
  • kondisi politik dan ekonomi dalam negeri yang tidak stabil akhir konflik bersenjata (perang) dan alasannya yaitu lainnya.
  • pemerintah negara abai terhadap problem ekonomi domestik.
  • kesalahan taktik kebijakan makroekonomi.
  • tindakan perorangan atau kelompok penguasa yang terlalu memaksakan kehendaknya.
Dalam masalah yang dibahas pada goresan pena ini, pengertian hyperinflation sudah memenuhi kriteria ibarat yang ditetapkan oleh perspektif yang disebutkan diatas.

Untuk itu, sebagai penlampauan kita akan mengenal secara singkat sejarah negara Zimbabwe. Terletak di benua Afrika, tepatnya di wilayah timur Afrika, Zimbabwe mempunyai luas daerah sekitar 390 ribu km2, dengan populasi penduduk kurang lebih 15.2 juta jiwa pada 2014, dan angka GDP sebesar US$ 14.2 milliar pada tahun yang sama. Berdasarkan data-data ekonomi, negara Zimbabwe termasuk dalam kategori low-income country (www.data.worldbank.org).

Tidak usang setelah negara Zimbabwe memperoleh kemerdekaan pada 1980, dibawah kepemimpinan presiden Robert Mugabe, pemerintah setempat memperkenalkan mata uang Zimbabwe dollar (Z$) yang pertamanya mempunyai nilai kurs sebesar 1.25/US$.

Persoalan mulai muncul pada periode 1990’an, ketika pemerintah negara tersebut mengampanyekan jadwal redistribusi tanah (land redistribution), yakni dengan mengambil alih kepemilikan tanah yang sebelumnya dikuasai oleh masyarakat penhadir (umumnya petani dari Eropa), dan mempersembahkannya kepada petani lokal.

Karena masyarakat pribumi belum mempunyai kemampuan dan pengalaman dalam mengolah lahan pertanian, maka banyak lahan yang tidak mempersembahkan hasil produksi secara terbaik, bahkan sebagian diantaranya dalam keadaan menganggur (idle). Akibatnya, produksi pertanian merosot tajam. Penurunan produksi pertanian pada gilirannya mengurangi persediaan produk di pamasukan, sehingga mengerek harga komoditas pertanian. Bahkan berdasarkan data yang ada, pada periode 2002-2009, penurunan hasil pertanian mencapai 85.7% dari total GDP (Ellyne, M, and Daly, M. Zimbabwe Monetary Policy 1998-2012: From Hyperinflation to Dollarization, 2016).

Catatan lain sebut bahwa total output sektor pertanian Zimbabwe pada 2000 kurang lebih sebesar 4.3 juta ton (setara dengan US$ 3.34 milliar), kemudian merosot drastis menjadi 1.3 juta ton pada 2009 (kurang lebih senilai US$ 1 milliar) (www.cato.org. The Cost of Zimbabwe's Continuing Farm Invasions, May 18, 2009).

Selain masalah land redistribution, ada informasi lain yang ditengarai menimbulkan krisis ekonomi di Zimbabwe, yakni konflik keamanan dengan negara-negara dalam satu kawasan. Menurut penelitian, keterlibatan Zimbabwe dalam pertikaian dengan Congo memaksa pemerintah mengeluarkan dana tak kurang dari US$ 200 juta selama dua tahun dikala konflik berlangsung.

Sementara penyebab lainnya dikaitkan dengan besarnya pembayaran jasa (gratuity) kepada para pejuang kemerdekaan dan veteran perang, yang mengambil anggaran negara sampai dua kali lipat dari pengeluaran pemerintah untuk jadwal redistribusi tanah.

Selain tiga hal tersebut diatas, kemungkinan yang menjadi sumber hiperinflasi ialah terlalu masifnya bank sentral Zimbabwe (the Reserve Bank of Zimbabwe/RBZ) dalam menggelontorkan pinjaman, baik kepada pemerintah, perusahaan milik negara (state-owned companies), maupun pihak swasta. Praktik perbankan ibarat ini tidak lazim dilakukan oleh institusi bank sentral, namun mengingat Zimbabwe gres saja mengalami kemerdekaan, bisa jadi hal tersebut dimaksudkan untuk menggenjot perekonomian.

Akibat dari kebijakan-kebijakan tersebut, pada masa antara 1990-1997, Zimbabwe mengalami defisit anggaran sebesar 6-7% dari total GDP. Bahkan pada 2004, defisit anggaran melonjak sampai mencapai 20% dari total GDP.

Hal lain yang perlu dicatat yaitu melonjaknya inflasi sampai mencapai lebih dari 50% pada periode 1997. Satu dasawarsa kemudian, pada 2007, angka inflasi negara ini semakin parah, yakni sebesar 115 ribu %, ditandai dengan langka’nya persediaan pangan, berkurangnya pasokan materi bakar untuk produksi dan konsumsi, serta tidak tersedianya alat-alat dan akomodasi kesehatan untuk masyarakat.

Bahkan pada bulan Nopember 2008, angka inflasi Zimbabwe mencatatkan rujung tertinggi sepanjang sejarah dunia modern, dengan bemasukan mencapai 79 milliar %, sebuah fenomena yang tidak pernah terbayangkan akan terjadi pada perekonomian suatu negara (Hanke, S, and Kwok, A. On The Measurement of Zimbabwe’s Hyperinflation, Cato Journal Vol. 29, 2009). Sebagai gambaran, pada tahun tersebut nilai mata uang Z$ 50 juta setara dengan US$ 1.20.

Singkat cerita, pemerintah Zimbabwe mengajukan ajakan menolongan internasional melalui the International Monetary Fund (IMF). Akan tetapi dana yang semestinya dipakai untuk memperbaiki kondisi ekonomi domestik tidak dimanfaatkan secara terbaik. Akibatnya, untuk membayar dukungan tersebut bank sentral Zimbabwe mencetak uang tak kurang dari Z$ 21 trilliun. Tidak usang kemudian RBZ kembali mencetak uang sejumlah Z$ 60 trilliun untuk membayar penghasilan tentara, polisi, dan pegawanegeri pemerintah lainya. melaluiataubersamaini semakin banyaknya uang beredar di pasar membuat nilai tukar mata uang Zimbabwe hampir tidak mempunyai harga sama sekali.

Hiperinflasi mulai bisa dikendalikan ketika pemerintah Zimbabwe mengumumkan kebijakan penerapan mata uang asing, yakni US dollar, poundsterling Inggris, serta rand Botswana dan rand Afrika untuk transaksi perdagangan, pada periode 2009'an.

Kebijakan multi-currency system sebagai media pembayaran transasksi perdagangan  membuahkan efek signifikan terhadap perekonomian domestik Zimbabwe. Hingga beberapa tahun kemudian, rata-rata pertumbuhan ekonomi domestik negara tersebut menawarkan angka positif, bahkan mencapai 10.6% pada 2012, kemudian angka inflasi mulai menurun tajam sampai tinggal satu digit. Selain itu, sektor pertanian dan pertambangan tercatat menyumbangkan donasi yang signifikan bagi perekonomian Zimbabwe (www.africguaconomicoutlook.org. Zimbabwe, last updated May 28, 2015).

Penutup, terlepas dari alasan-alasan yang mengemuka, pengalaman negara Zimbabwe menawarkan bahwa ketika negara tidak dikelola dengan tepat, balasannya bisa sangat parah. **


ARTIKEL TERKAIT :
Kondisi Perekonomian Venezuela: Krisis Ekonomi dan Ketergantungan pada Minyak Bumi
Perekonomian Korea Selatan: antara Data dan Realita
Mencermati Perkembangan Kekuatan Ekonomi China
Memahami Pengertian Bonus Demografi (Demographic Bonus)

Posting Komentar untuk "Memahami Fenomena Hiperinflasi (Hyperinflation) Di Perekonomian Modern: Perkara Zimbabwe"