Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hadits Wacana Talak Dan Iddah



BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah
Pada masa Rasulullah Saw masih hidup, segala sesuatu ia pimpin sendiri. Peristiwa-peristiwa yang terjadi pribadi mendapat keputusan dari beliau. Sahabat-teman akrab senantiasa didiberi petunjuk dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan Allah kepada beliau. Sesudah ia wafat, para sahabat dekat  menghadapi problem yang susah wacana status aturan suatu perbuatan.
Terkadang masalah yang mereka hadapi itu tidak ditemukan nas-nya dalam Al-Qur’an atau hadis, sehingga mereka menggunakan metode ijtihad untuk mencari aturan dengan memperbandingkan dan mereview ayat-ayat dan hadis yang umum, serta mempertimbangkan dan menyesuaikan dengan insiden yang sudah terjadi, diqiaskan dengan aturan yang sudah ada, yang berdekatan dengan insiden yang gres terjadi itu.
Dari pemaparan di atas dalam makalah ini penulis akan memaparkan beberapa hadis yang perlu di analisis secara fiqih berdasarkan Al-Qur’an dan hadis, sehingga akan ada beberapa pendapat yang berperihalan dan yang mendukung. Maka dari itu, untuk lebih jelasnya wacana pemaparan hadis-hadis ini akan dibahas dalam penggalan selanjutnya.

B.     Rumusan Masalah
1.      Mengapa Fathimah binti Qais diberiddah dari satu rumah ke rumah lain setelah di talak tiga oleh suaminya?
2.      Berapa masa iddah perempuan yang ditalak dua oleh suaminya?
3.      Berapa masa iddah perempuan yang ditinggal mati suaminya dan perempuan yang kehilangan suaminya?
4.      Apa hukumnya menggauli perempuan yang bukan mahramnya?

C.      Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui mengapa Fathimah binti Qais diberiddah dari satu rumah ke rumah lain setelah di talak tiga oleh suaminya
2.      Untuk mengetahui berapa usang masa iddah isteri yang ditalak dua oleh suaminya.
3.      Untuk mengetahui Berapa masa iddah perempuan yang ditinggal mati suaminya dan perempuan yang kehilangan suaminya.
4.      Untuk mengetahui bagaimana hukumnya menggauli perempuan yang bukan mahramnya.








BAB II
PEMBAHASAN

A.  Hadis Tentang Talaq
وَعَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ قَالَتْ : (يَارَسُولَاللهِ! إنَّ زَوْجِي طَلَّقَنِي ثَلَا ثً, وَأَخَافُ أَنْ يُقْتَحَمَ عَلَيَّ, قَالَ: فَأَمَرَهَا , فَتَحَوَّلَتْ) رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Artinya: “Fathimah Binti Qais berkata : Aku berkata : Wahai Rasulullah, suamiku sudah mentalakku dengan tiga talak, saya takut ada orang menhadiriku. Maka ia menyuruhnya pindah dan ia kemudian pindah. (HR. Muslim).
1.      Analisis Fiqih
Dalam fiqih Islam karangan Sulaiman Rasjid, talak artinya melepaskan ikatan pernikahan.[1] Jika suami menjatuhkan talak tiga kepada isterinya, maka perempuan itu menjadi ba’in darinya, dan ia diharamkan atas suaminya. Ia tidak halal untuk merujuknya hingga ia sudah berkeluarga dengan pria lain dengan ijab kabul yang benar.[2] Sesuai dengan firman Allah yang berbunyi:[3]
bÎ*sù $ygs)¯=sÛ Ÿxsù @ÏtrB ¼ã&s! .`ÏB ß÷èt/ 4Ó®Lym yxÅ3Ys? %¹`÷ry ¼çnuŽöxî 3
Artinya: “Kemudian kalau si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 230)
Dalam buku Shahih Fiqih Sunnah, apabila suami menyampaikan kepada isteriya: Engkau ditalak tiga, atau ditalak, ditalak. Ini masalah yang cukup masyhur. Para ulama tidak sama pendapat terkena masalah ini dalam tiga pendapat.[4] Pendapat pertama, talak ini mubah dan menjadi talak tiga. Ini pendapat asy-Syafi’I, riwayat usang dari Ahmad dan Ibnu Hazm. Pendapat kedua, talak ini diharamkan, tapi jatuh talak tiga. Ini pendapat Abu Hanifah, Malik, riwayat terakhir dari Ahmad dan pendapat yang dinukil dari banyak salaf dari kalangan sahabat akrab dan tabi’in. Pendapat ketiga, talak ini diharamkan, dan jatuh talak satu raj’i.[5]
Adapun sabda Nabi Saw kepada Ummul Mukmini, Juwairiyah ra:
لَقَدْ قُلْتُ بَعْدَكِ أَرْبَعَ كَلِمَاتٍ لَوْوُزِنَتْ بِمَا قُلْتِهِ لَوَزَنَتْهَنَّ: سُبْحَانَ الله وَبِحَمْدِهِ عَدَدَخَلْقِهِ, وَرِضَا نَفْسِهِ, وَزِنَةَ عَرْشِهِ, وَمِدَاد كَلِمَاتِهِ
Artinya: “Sesudah meninggalkanmu, sungguh saya sudah mengucapkan empat kalimat yang bila ditimbang dengan apa yang sudah engkau ucapkan, tentu itu lebih berat daripadanya, yaitu: Mahasuci Allah dan segala puji untuk-Nya sebanyak bilangan Makhluk-Nya, sebanyak keridhaan diri-Nya, seberat timbangan Arsy-Nya dan sebanyak tinta goresan pena kalimat-Nya.[6]
Maka pengertiannya bahwa Allah SWT berhak disucikan (dengan tasbih) sebanyak bilangan itu. bukan berarti bahwa ia bertasbih dengan tasbih sebanyak itu. Jika orang yang mentalak hendak merubah sifat talak yang disyariatkan, dengan menjadikannya sebagai alasannya perpisahan yang tidak ada rujuknya dengan menggabungkan tiga talak, maka ia tidak berhak melakukannya, karena itu termasuk merubah syariat Allah SWT dan menghapusnya setelah wafatnya Nabi Saw, dan ini tidak diperbolehkan. Berdasarkan hal itu, talak tersebut menjadi talak satu raj’I dan talak tiganya diabaikan.[7]
Adapun Hadis Ibnu Abbas yang berafiliasi dengan hadis  Fathimah binti Qais, dimaknai sebagai kasus berubahnya kebiasaan manusia. Mereka berkata, “talak yang dijatuhkan orang-orang pada zaman Umar ra dengan lafal talak tiga, padahal sebelumnya mereka menjatuhkannya sebagai talak satu dengan mengucapkan, “Engkau ditalak”. Karena mereka intinya tidak pernah menggunakan kata talak tiga atau jarang menggunakannya. Sehingga keterangan tersebut sudah dimaklumi oleh mereka, yaitu perkataan tsalasan (tiga) spesialuntuklah satu demi satu. Atas dasar itulah hadis Ibnu Abbas disinyalir untuk menunjukan perbedaan kebiasaan orang-orang wacana tata cara atau redaksi talak, dan hukam menunjukan tetang terjadinya talak itu berdasarkan cara tersebut.[8]
Adapun orang-orang masih tetap melontarkan talak satu atau talak tiga banyak sekali, sehingga orang yang mentalak isteri mereka dengan talak tiga pada zaman Nabi Saw. Di antara mereka ada yang dikembalikan oleh Nabi kepada satu talak.[9]
فَإِ نَّمَا تِلْكَ وَاحِدَةٌ, فَأَرْ جِعْهَا إِنْ شِئْتَ
Artinya: “Sesungguhnya itu spesialuntuk satu. Rujuklah pasanganmu bila engkau mau.”
2.      Analisa Hadis
Dari hadis di atas dijelaskan, talak tiga yang disebutkan dalam hadis Fathimah binti Qais bukanlah talak yang dijatuhkan sekaligus, karena sebelumnya suaminya pernah mentalaknya sebanyak dua kali, kemudian mentalaknya lagi untuk ketiga kalinya. Sesudah Fathimah binti Qais ditalak tiga oleh suaminya, kini ia menjalani masa iddahnya. Mula-mula ia ber-iddah di satu rumah, tetapi karena takut akan dikunjungi oleh beberapa peminang disebabkan karena dirinya sudah menjanda, maka ia minta izin kepada Rasulullah Saw untuk berpindah dari situ semoga terhindar dari fitnah orang-orang. Dan Rasulullah-pun mengizinkannya, sehingga Fathimah terhindar dari kemudharatan tersebut.

B.       Hadis Mentalak Isteri dan Masa Iddahnya
وَعَنِ اِبْنِ عُمَرَرَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : (طَلَاقُ الْأَمَةِ تَطْلِيْقَتَانِ, وَعِدَّتُهَاحَيْضَتَانِ) رَوَاهُ الدَّارَقُطْنِيُّ وَأَخْرَجَهُ مَرْفُوعًا وَضَعَّفَهُ
Artinya:“Ibnu Umar Radliyallahu’anhu berkata : Talak budak perempuan ialah dua kali dan masa iddahnya dua kali haid. (HR. Daruquthni dengan marfu’ dan iapun menilainya dhaif).
  1. Analisa Fiqih
Dalam buku Shahih Fiqih Sunnah, suami memegang tiga talak atas isterinya. Ketiga talak ini berkurang dengan setiap talak yang dijatuhkan, baik itu talak raji’I maupun talak bai’in.[10] Rujuknya suami kepada isterinya dalam masalah ini tidak menghapuskan jumlah talak yang sudah dijatuhkannya. Para ulama mazhab setuju bahwa perempuan yang dirujuk itu hendaknya berada dalam masa iddah.[11] Jika ia sudah menjatuhkan talak pertama pada isterinya kemudian merujuknya, maka tersisa dua talak baginya. Jika ia menjatuhkan talak kedua kemudian merujuknya, maka tersisa satu talak baginya. Talak yang ketiga itu ialah talak yang terakhir, maka apabila suami menjatuhkan talak yang ketiga, maka isteri tersebut bukan mahramnya lagi.[12]
Para ulama tidak sama pendapat terkena penantian masa suci kedua.[13] Malik beropini dan ini juga ialah pendapat paling shahih dari dua pendapat di kalangan Syafi’iyah dan pendapat yang paling berpengaruh di kalangan Hanafiyah dan Hanabilah dan zhahir mazhabnya wacana wajibnya hal itu (menanti masa suci kedua) dan diharamkan mentalaknya setelah haid di mana dijatuhkan talak padanya. Sementara Ahmad dalam riwayat yang lain dan ash-Shan’ani menisbatkan pendapat ini kepada Abu Hanifah berpendapat, bahwa menanti masa suci yang kedua ialah dianjurkan, bukan wajib.[14] Riwayat pertama riwayatkan oleh orang yang paling terpecaya berkenaan hadis di atas, semetara riwayat kedua diriwayatkan oleh orang banyak, maka susah untuk mentarjih salah satunya. Teknik yang paling sempurna ialah mengkompromikan keduanya sebagaimana dikemukan Ibnu Qudamah dalam al-Mughni, ia berkata, “Jika suami merujuknya, ia wajib menahan isterinya hingga suci, dan dianjurkan untuk tetap menahannya hingga haid lagi kemudian suci lagi.”[15]
  1. Analisa Hadis
Hadis ini menawarkan bahwa suami yang sudah mentalak isterinya sebanyak dua kali, maka masa iddah si isteri itu ialah dua kali haid. Dua kali haid di sini maksudnya ialah satu kali haid dan satu kali masa suci setelah haid tersebut. Di mana setelah habis masa suci itu, suami boleh mentalak isterinya dengan sisa satu talak lagi (talak bai’in) atau sebaliknya yaitu merujuk kembali isterinya. Adapun nasihat dianjurkannya penantian masa suci yang kedua yaitu semoga kebersamaan suami dengan sang isteri akan menjadi lama, sehingga ada kemungkinan sang suami akan menggaulinya pada masa itu kemudian hilanglah dalam hatinya apa yang menjadi penyebab pentalakannya, sehingga putus keinginannya untuk mentalak isterinya dan berpaling semoga tetap mempertahankannya (rujuk).
















BAB III
PEMBAHASAN

A.      Hadis Tentang Wanita Yang Ditinggal Mati Suaminya
وَعَنْ عَمَرِوَبْنِ الْعَاصِ قَالَ : (لَاتُلْبِسُوا عَلَيْنَا سُنَّةَ نَبِيِّنَا, عِدَّةُ أُمِّ الْوَلَدِإِذَا تُوُفِّيَ عَنْهَا سَيِّدُهَا أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍوَعَشْرًا) رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَأَبُو دَاوُدَ, وَابْنُ مَاجَهْ, وَصَحَّحَهُ الْحَاكِمُ, وَأَعَلَّهُ اَلدَّارَقُطْنِيُّ بِالْاِ نْقِطَاعِ. وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: (إِنَّمَا اَلْأَقْرَاءُ, الْأَقْراءُ, اَلْأَطْهَارُ) أَخْرَجَهُ مَالِكٌ فِيْ قِصَّةٍ بِسَنَدٍ صَحِيْحٍ.
Artinya: “Amar Ibnul al-Ash ra. Berkata: “Janganlah engkau campur baurkan sunnah Nabi pada kita. Masa iddah Ummul Walad (budak perempuan yang memperoleh anak dari majikannya) kalau ia ditinggal mati suaminya ialah empat bulan sepuluh hari”. (HR. Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu Majah).
  1. Analisa Fiqih
Dalam buku Shahih Fiqih Sunnah karangan Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim mendefinisikan Iddah ialah masa yang diputuskan Pembuat Syariat setelah perceraian, dan diwajibkan atas perempuan untuk menunggu dalam masanya tanpa berkeluarga hingga selesai.[16] Sedangkan pengertian iddah dalam buku Fiqh Islam karangan Sulaiman Rasjid ialah masa menanti yang diwajibkan atas perempuan yang diceraikan oleh suaminya (baik itu cerai hidup atau cerai mati), gunanya supaya diketahui rahim (kandungan)-nya meliputi atau tidak.[17]
Dalam buku Shahih Fiqih Sunnah karangan Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Jika seorang perempuan ditinggal mati oleh suaminya setelah ijab kabul yang sah, baik ajal itu terjadi sebelum isteri digauli maupun setelah digauli, baik perempuan itu termasuk perempuan yang mengalami haid maupun tidak dengan syarat ia tidak hamil maka ia wajib diberiddah selama empat bulan Qamariyah tambah sepuluh hari beserta malamnya semenjak tanggal kematian. Hal ini berdasarkan keumuman firman-Nya:[18]
tûïÏ%©!$#ur tböq©ùuqtFムöNä3ZÏB tbrâxtƒur %[`ºurør& z`óÁ­uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î spyètör& 9åkô­r& #ZŽô³tãur ( #sŒÎ*sù z`øón=t £`ßgn=y_r& Ÿxsù yy$oYã_ öä3øŠn=tæ $yJŠÏù z`ù=yèsù þÎû £`ÎgÅ¡àÿRr& Å$râ÷êyJø9$$Î 3 ª!$#ur $yJÎ tbqè=yJ÷ès? ׎Î6yz ÇËÌÍÈ  
Artinya: “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila sudah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka berdasarkan yang patut. Allah mengetahui apa yang engkau perbuat.” (QS. Al-Baqarah: 234)
Dan berdasarkan hadis Hafsah ra, Nabi bersabda:[19]
لَايَحِلٌّ لِامْرَأَةٍ تُؤْ مِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْاخِرِ أَنْ تُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلَاثَةِ أَيَّا مٍ إِلَّا عَلَى زَوْجِهَا, فَإِنَّهَا تُحِدُّ عَلَيْهِ أَرْبَعَةَ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍوَشْرًا
Artinya: “Tidak halal bagi seorang perempuan yang diberiman kepada Allah dan Hari Akhir untuk berkabung atas ajal seseorang lebih dari tiga hari, kecuali atas ajal suaminya, maka ia berkabung atas kematiannya selama empat bulan sepuluh hari.”
Sedangkan berdasarkan Ibnu Taimiyyah berkata dalam al-Ikhtiyarat-nya bahwa perempuan yang masih dalam masa iddah dengan istibra, menyerupai Ummul Walad (hamba perempuan yang sudah melahirkan anak dari hasil hubungannya dengan tuannya), atau tuannya meninggal dunia atau ia dimerdekakannya, maka statusnya sama dengan perempuan yang ditinggal mati suaminya dan yang ditalak tiga atau yang difasid pernikahannya alasannya ada pertalian radha’ah (sesusuan) atau karena li’an.[20]
  1. Analisa Hadis
Dari paparan Analisa Fiqih diatas sudah terperinci bahwa perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya dengan meninggalkan anak, maka masa iddah ialah empat bulan sepuluh hari baik itu perempuan merdeka maupun perempuan hamba sahaya, kecuali perempuan yang ditinggal mati suaminya itu dalam keadaaan hamil, maka masa iddahnya ialah setelah melahirkan anaknya. Iddah perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya bukan untuk mengetahui kosongnya rahim. Karena iddah ini diwajibkan sesuai dengan Firman Allah QS. Al-Baqarah ayat 234 dan juga berdasarkan hadis Hafsah di atas, sekalipun terhadap isteri yang belum pernah digauli. Adapun iddah wafat ialah penghormatan terhadap berakhirnya ijab kabul dan pemeliharaan terhadap hak-hak suami. Jadi, iddah ini dijadikan sebagai penghormatan terhadap kesepakatan yang sangat penting dan berarti ini. melaluiataubersamaini begitu tercapailah pemisahan antara ijab kabul yang pertama dengan ijab kabul yang kedua.


B.       Hadis Tentang Wanita Yang Kehilangan Suaminya
عَنْ عُمَرَفِىأمْرَأَةِالْمَفْقُوْدِ تَرَبَّصُ اَرْبَعَ سِنِيْنَ ثُمَّ تَعْتَدُّارْبَعَةَ اَشْهُرٍوَعَشْرًا. اَخْرَجَهُ مَالِكٌ وَالشَّافِعِيُّ.
Artinya:“Dan dari Umar, wacana perempuan yang kehilangan suami, tunggu empat tahun kemudian ber’iddah empat bulan sepuluh hari.” (HR. Malik dan Syafi’i)
  1. Analisa Fiqih
Dalam buku Shahih Fiqih Sunnah karangan Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim menerangkan, bahwa para ulama beropini bolehnya menuntut cerai karena ditinggal pergi oleh suami dan sudah disahkan perceraian ini harus dengan keputusan hakim. Karena ini ialah kasus yang diijtihadkan, maka tidak sanggup dilaksanakan tanpa keputusan hakim. Menurut ulama Hanbaliyah, perceraian ini ialah fasakh. Sedangkan berdasarkan ulama Malikiyah, perceraian ini ialah talak, tapi mereka tidak menunjukan apakah ini talak ba’in ataukah talak raj’i.[21]
Apabila suami pergi meninggalkan isterinya dengan kepergian yang terputus yang tidak diketahui diberita-diberitanya, dan isteri tidak mengetahui apakah suaminya masih hidup atau tidak, maka ini disebut mafqud (suami yang hilang). Madzhab ulama wacana bolehnya isteri yang kehilangan suami mengajukan tuntutan cerai ialah Madzhab  Hanbaliyah karena secara umum orang yang hilang (mafqud) itu berdasarkan mereka ialah gha’ib (orang yang pergi).[22]
Para ulama mempunyai beberapa pendapat wacana nasib isteri yang kehilangan suaminya yaitu:[23]
a.       Ia dilarang berkeluarga (dengan pria lain) dan tidak berhak menuntut cerai, walaupun waktunya lama, hingga terperinci kematiannya (suami) atau talaknya. Pendapat ini pun didukung oleh ulama Madzhab Hanafiyah dan asy-Syafi’i.[24]
b.      Isteri menunggu empat tahun dari semenjak kepergiannya, kemudian divonis sudah meninggal, kemudian ia menjalani masa iddah selama empat bulan sepuluh hari. Sesudah itu, halal baginya untuk berkeluarga lagi. Ini zhahir pendapat Ahmad terkena orang yang ketidakhadirannya mengindikasikan dengan berpengaruh bahwa ia sudah meninggal. Pendapat ini juga pendapat usang asy-Syafi’I, Malikiyah, Utsman, Ali, Ibnu Abbas dan para sahabat akrab lainnya.[25]
Adapun hadis wacana masa iddah seorang isteri yang ditinggal mati suaminya dalam buku Umdatul Ahkam karangan Syaikh Abdul Ghani Al-Maqdisi yang berbunyi:
وَعَنْ أُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللهُ غَنهَاقَالَتْ : جَاءَتِ امْرَأَةٌ إِلَى رَسُوْلِ للهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَتْ: يَارَسُوْلَ اللهِ, إِنَّ بِنْتِيْ تُوُفِّيَ عَنْهَازَوْجُهَا, وَقَدِاشْتَكِتْ عَيْنَهَاأَفَنَكْحُلُهَا؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: لَا- مَرَّتَيْنِ أَوْثَلَأثًا- كُلُّ ذَلِكَ يَقُوْلُ: لَا, ثُمَّ قَالَ: إِنَّمَا هِيَ أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍوَعَشْرٌ, وَقَدْكَانَتْ إِحْدَاكُنَّ فِيْ الْجَاهِلِيَّةِ تَرْمِي بِالْبَعْرَةِعَلَى رَأْسِ الْحَوْلِ, فَقَالَتْ زَيْنَبُ : كَانَتِ الْمَرْأَةُ إِذَا تُوُفِّى عَنْهَأ زَوْجُهَادَخَلَتْ حِفْشًا, وَلَبِسَتْ شَرَّثِيَا بِهَا وَلَمْ تَمَسَّ طِيْبًا وَلَا شَيْئًا حَتَّى تَمُرَّعَلَيْهَا سَنَةٌ ثُمَّ تُؤْتَي بَدَابَّةٍ- حِمَارٍ, أَوْطَيْرٍأَوْشَاةٍ- فَتَفْتَضُّ بِهِ فَقَلَّمَا تَفْتَضُّ بِشَيْءٍ إِلَّامَاتَ ثُمَّ تَخْرُجُ, فَتُعْطَى بَعْرَةً فَتَرْمِي بَهَا, ثُمَّ تُرَاجِعُ بَعْدَ مَاشَاءِتْ مَنْ طِيْبٍ أَوْغَيْرِهِ.
Artinya: “Ummu Salamah ra menuturkan bahwa ada seorang perempuan yang menhadiri Nabi Saw dan mengatakan, “Ya Rasulullah, putriku sudah ditinggal mati oleh suaminya. Matanya sakit, apakah saya diperbolehkan untuk memakaikan celak pada matanya?” “Tidak boleh, “Nabi menjawaban dua kali atau tiga kali. Setiap kali ditanya, dia menjawaban, “Tidak boleh.” Nabi Saw lantas bersabda, “Puterimu harus diberiddah selama empat bulan sepuluh hari. Dulu pada masa jahiliyyah, salah seorang di antara kalian ada yang dilempari dengan kotoran binatang selama satu tahun.:” Zainab berkata, “Dahulu, kalau seorang perempuan ditinggal mati suaminya, maka dia akan masuk ke dalam gubuk kecil, mengenakan pakaian yang terjelek, tidak menggunakan minyak wangi maupun parfum yang lainnya hingga silam masa satu tahun. Sesudah itu, dihadirkanlah binatang (keledai, burung atau kambing) untuk perempuan tersebut. Wanita itu kemudian menggosok-gosokkan binatang tersebut pada tubuhnya. Jarang sekali binatang yang digosok-gosokkan melainkan akan mati. Wanita tersebut kemudian keluar dari gubuk kecil tersebut dan didiberi kotoran hewan. Akhirnya perempuan tersebut sanggup kembali menggunakan minyak wangi dan yang lainnya sesuka hatinya.”[26]
  1. Analisa Hadis
Perempuan (isteri) yang kehilangan suami, berdasarkan ulama Hanbaliyah boleh menuntut cerai. Tetapi perempuan ini harus menunggu selama empat tahun, apabila selama empat tahun suaminya tidak ada diberita, maka suaminya divonis sudah meninggal, kemudian ia menjalani masa iddah selama empat bulan sepuluh hari. Sesudah itu, halal baginya untuk berkeluarga lagi. Dan diriwayatkan dari Umar dan Utsman, Apabila suami yang divonis tadi meninggal hadir, maka ia didiberi pilihan antara mengambil maharnya kembali atau isterinya. Makara perempuan (isteri) yang kehilangan suaminya harus menunggu empat tahun lamanya, apabila hingga empat tahun, maka si isteri boleh diberiddah selama empat bulan sepuluh hari dan boleh berkeluarga dengan pria yang disukainya.





BAB IV
PEMBAHASAN

A.  Hadis Tentang Larangan Berbuat Zina
وَعَنْرُوَيْفِعِ بْنِ ثَابِتٍ رَضِي الله عنه عَنْ النَّبِيِّ صَلى الله عليه وسلم قَالَ: (لَايَحِلُّ لِا مْرِئٍ يُوْ مِنُ بِاَ للهِ وَالْيَوْمِ الْاخِرِأَنْ يَسْقِيَ مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ) أَخْرَجَهُ أَبُودَاوُدَ, وَاَتِّرْمِذِيُّ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ, وَحَسَّنَهُ اَلْبَزَّارَ. وَعَنْ عُمَرَرَضِي الله عنه - (فِي اِمْرَأَةِ اَلْمَفْقُودِ – تَرَبَّصُ أَرْبَعَ سَنِيْنَ, ثُمَّ تَعْتَدُّأَرْبَعَةَ أَشْهُرٍوَعَشْرًا) أَخْرَجَهُ مَالِكٌ, مَالشَّافِعِيُّ
Artinya: “Dari Ruwaifi Ibnu Tsabit Radiiyallahu’anhu bahwa Nabi SAW bersabda: “Tidak halal bagi seseorang yang diberiman kepada Allah dan hari tamat menyiramkan airnya pada tanaman orang lain.” (HR. Abu Daud dan Tarmidzi)
  1. Analisa Fiqih
Dalam buku Fiqih Islam Wa Adillatuhu karangan Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili, zina ialah persetubuhan yang dilakukan seorang pria dan perempuan pada kemaluan depannya tanpa didasari dengan tali kepemilikan dan syubhat kepemilikan.[27] Zina ditetapkan oleh agama sebagai perbuatan melanggar aturan yang tentu saja dan sudah seharusnya didiberi sanksi terbaik, mengingat akhir yang ditimbulkannya sangatlah buruk, dan juga mengandung kejahatan serta dosa. Hubungan bebas (free sex) dan segala bentuk kekerabatan kelabuin lainnya diluar ketentuan agama ialah perbuatan yang membahayakan dan mengancam keutuhan masyarakat, disamping sebagai perbuatan yang sangat nista.[28] Allah SWT berfirman:[29]
Ÿwur (#qç/tø)s? #oTÌh9$# ( ¼çm¯RÎ) tb%x. Zpt±Ås»sù uä!$yur WxÎ6y ÇÌËÈ  
 “Artinya : “Dan tidakbolehlah engkau mendekati zina, karena bersama-sama zina itu ialah faahisah (perbuatan yang keji) dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh oleh seseorang)”. (Al-Israa’ : 32)
Para ulama menunjukan bahwa firman Allah SWT: “Janganlah engkau mendekati zina”, maknanya lebih dalam dari perkataan: “Janganlah engkau berzinayang artinya dan tidakbolehlah engkau mendekati sedikit pun juga dari pada zina. Yakni: Janganlah engkau mendekati yang berafiliasi dengan zina dan membawa kepada zina apalagi hingga berzina. [30]
Adapun firman Allah SWT wacana sanksi bagi orang yang berzina dalam buku Fiqih Islam Wa Adillatuhu karangan Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili dan buku Fikih Sunnah karangan Sayyid Sabiq, ialah:[31]
èpuÏR#¨9$# ÎT#¨9$#ur (#rà$Î#ô_$$sù ¨@ä. 7Ïnºur $yJåk÷]ÏiB sps($ÏB ;ot$ù#y_ ( Ÿwur /ä.õè{ù's? $yJÍkÍ5 ×psùù&u Îû ÈûïÏŠ «!$# bÎ) ÷LäêZä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# ( ôpkôuŠø9ur $yJåku5#xtã ×pxÿͬ!$sÛ z`ÏiB tûüÏZÏB÷sßJø9$# ÇËÈ  
Artinya: “Perempuan yang berzina dan pria yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan tidakbolehlah belas kasihan kepada keduanya mencegah engkau untuk (menjalankan) agama Allah, kalau engkau diberiman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) sanksi mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang diberiman.” (QS. AN-Nuur: 2)[32]
Tafsir ayat tersebut berdasarkan buku Tafsir Jalalain jilid 2 karangan Al-Imam Jalaluddin Muhammad yang diterjemahkan oleh Najib Junaidi yaitu ( وَالزَانِيالزَّانِيَةُ ) “Wanita yang berzina dan pria yang berzina”, maksudnya yang tidak muhshan (belum pernah berafiliasi tubuh dalam ikatan yang sah), karena pezina yang muhshan dihukum rajam berdasarkan As-Sunnah dan  (مِئَةَ جَلْدَةِ  فَا جْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا) “Maka cambuklah masing-masing dari keduanya seratus kali cambuk”, maksudnya ialah pukulan. Dan berdasarkan As-Sunnah sanksi itu ditambah dengan pengasingan selama satu tahun. Sedangkan sanksi bagi hamba sahaya ialah setengah dari sanksi tersebut.[33]
Adapun ulama Syafi’iyah dan ulama Hanabilah mengatakan, pelaku zina dieksekusi dengan diasingkan selama satu tahun ke suatu tempat dengan jarak yang sudah memperbolehkan untuk mengqashar shalat.[34] Sedangkan berdasarkan Abu Hanifah, sanksi dera itu tak perlu ditambah dengan pengasingan, kecuali bila dipandang baik berdasarkan pemerintah. Barulah boleh dimenambahkan sejauh yang mana pula berdasarkan pendapatnya.[35]
  1. Analisa Hadis
Dari hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Tarmidzi, bahwa “Tidak halal bagi seseorang yang diberiman kepada Allah dan hari tamat yang kemudian menyiramkan airnya pada tanaman orang lain.” Makna dari hadis ini ialah diharamkan atas pria menggauli perempuan yang bukan mahramnya Demikian juga apabila dilakukan oleh orang yang sudah nikah atau pernah mencicipi nikah yang shahih baik kini ini sebagai suami atau istri atau duda atau janda, sama saja, dosanya sangat besar dan hukumannya sangat berat yang setimpal dengan perbuatan mereka, yaitu didera sebanyak seratus kali kemudian di rajam hingga mati atau cukup di rajam saja, sesuai dengan firman Allah dan hadis Nabi di analisa Fiqih di atas. Adapun bagi pria atau perempuan yang masih lajang hukumnya didera seratus kali kemudian diasingkan (dimembuang) selama satu tahun.
Dari hadis itu sanggup diambil makna bahwa perbuatan zina itu sudah dilaknat oleh Allah, baik itu pelakunya pria atau perempuan yang masih lajang,  duda atau janda atau suami yang punya isteri yang menggauli isteri orang lain atau tetangga. Semua itu masuk ke dalam dosa yang sangat besar dan tentu mendapatkan siksa yang sangat pedih sesuai dengan hadis Nabi di atas.












BAB III
PENUTUP

A.      Simpulan
Dalam makalah ini, saya mengutamakan beberapa hal yang ialah kesimpualan dalam isi pembahasan makalah ini, yaitu:
a.       Hadis diriwayatkan oleh Muslim terkena masalah Fathimah Binti Qais yang ditalak tiga oleh suaminya, bukanlah talak tiga yang dijatuhkan sekaligus. Sehingga suaminya masih mempunyai sisa peluang untuk metalaknya lagi. Sebelum masa iddahnya selesai, maka isteri tidak boleh  menerima pinangan dari pria lain.
b.      Hadis yang diriwayatkan Daruquthni, hadis ini menawarkan bahwa suami menunggu suci isterinya dalam dua kali masa suci setelah haid di mana ia menjatuhkan talak padanya hingga dihalalkan baginya untuk mentalaknya.
c.       Hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud dan Ibnu Majah, bahwa perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya dengan meninggalkan anak, maka masa iddah ialah empat bulan sepuluh hari dan masa iddah bagi perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya itu diwajibkan sesuai dengan Firman Allah QS. Al-Baqarah ayat 234 dan juga berdasarkan hadis Hafsah.
d.      Hadis yang diriwayatkan Malik dan Syafi’I terkena perempuan (isteri) yang kehilangan suami, berdasarkan ulama Hanbaliyah boleh menuntut cerai. Tetapi perempuan ini harus menunggu selama empat tahun, apabila selama empat tahun suaminya tidak ada diberita, maka suaminya divonis sudah meninggal, kemudian ia menjalani masa iddah selama empat bulan sepuluh hari. Sesudah itu, halal untuk berkeluarga.
e.       Hadis riwayat Abu Daud dan Tarmidzi wacana diharamkan atas pria menggauli perempuan yang bukan mahramnya, baik itu pria atau perempuan lajang, duda atau janda, maupun isteri orang lain.

B.       Saran
Hadis ialah sumber aturan yang kedua setelah Al-Qur’an sehingga apabila sumber aturan itu tidak ditemukan dalam dua sumber tersebut, maka para ulama menempuh jalan ijtihad untuk menemukan aturan suatu perbuatan. Jadi, dari sumber aturan yang sudah berlaku, kita sebagai umat Islam harus mematuhi dan menaati sumber-sumber aturan tersebut semoga mendapatkan manfaatnya.




DAFTAR PUSTAKA


Al-Maqdisi, Syaikh Abdul Ghani, Umdatul Ahkam, Yogyakarta: Media Hidayah, 2005.
asy-Syafi’I, Al-Imam , Al-umm Kitab Induk , Kuala Lumpur: Victory Agencie, 1982.
Az-Zuhaili, Wahbah, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 7, Jakarta: Gema Insani, 2001.
Hamidy, Mu’ammal, dkk, Terjemahan Nailul Authar Himpunan Hadis-Hadis Hukum, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2001.
Malik Kamal, Abu bin as-Sayyid Salam, Shahih Fiqih Sunnah, Jakarta: Pustaka At-Tazkia, 2006.
Muhammad, Al-Imam Jalaluddin, Tafsir Jalalain, Cet. I, Juz 18, Surabaya: Pustaka eLBA, 2010.
Nashiruddin Al-Albani, Muhammad , Adav Az-Zifaf, Yogyakarta: Media Hidayah, 2004.
Rasjid, Sulaiman, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994.
Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah, Bandung: PT. Alma’arif, 1997.
Sudarsono,  Pokok-Pokok Hukum Islam, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992.


[1] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994), h. 401
[2] Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salam, Shahih Fiqih Sunnah, (Jakarta: Pustaka At-Tazkia, 2006),Jilid 4, h. 358
[3] Sudarsono, Pokok-Pokok Hukum Islam, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992), Cet. I, h. 266
[4] Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salam, Shahih Fiqih Sunnah, (Jakarta: Pustaka At-Tazkia, 2006),Jilid 4, h. 380
[5] Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salam, Shahih Fiqih Sunnah, (Jakarta: Pustaka At-Tazkia, 2006),Jilid 4, h. 380
[6] Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salam, Shahih Fiqih Sunnah, (Jakarta: Pustaka At-Tazkia, 2006),Jilid 4, h. 380
[7]Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salam, Shahih Fiqih Sunnah, (Jakarta: Pustaka At-Tazkia, 2006),Jilid 4, h. 386
[8] Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salam, Shahih Fiqih Sunnah, (Jakarta: Pustaka At-Tazkia, 2006),Jilid 4, h. 381
[9] Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salam, Shahih Fiqih Sunnah, (Jakarta: Pustaka At-Tazkia, 2006),Jilid 4, h. 381
[10] Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salam, Shahih Fiqih Sunnah, (Jakarta: Pustaka At-Tazkia, 2006),Jilid 4, h. 372
[11]Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2007), h. 48
[12] Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salam, Shahih Fiqih Sunnah, (Jakarta: Pustaka At-Tazkia, 2006),Jilid 4, h. 372
[13]  Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salam, Shahih Fiqih Sunnah, (Jakarta: Pustaka At-Tazkia, 2006),Jilid 4, h. 396
[14] Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salam, Shahih Fiqih Sunnah, (Jakarta: Pustaka At-Tazkia, 2006),Jilid 4, h. 396
[15] Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salam, Shahih Fiqih Sunnah, (Jakarta: Pustaka At-Tazkia, 2006),Jilid 4, h. 397
[16] Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salam, Shahih Fiqih Sunnah, (Jakarta: Pustaka At-Tazkia, 2006),Jilid 4, h. 430
[17] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994), h. 414
[18] Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salam, Shahih Fiqih Sunnah, (Jakarta: Pustaka At-Tazkia, 2006),Jilid 4, h. 445
[19]  Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salam, Shahih Fiqih Sunnah,(Jakarta: Pustaka At-Tazkia, 2006), Jilid 4, h. 445
[20] Mu’ammal Hamidy, dkk, Terjemahan Nailul Authar Himpunan Hadis-Hadis Hukum, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2001), Cet. 3, h. 2142
[21] Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salam, Shahih Fiqih Sunnah, op.cit., h. 557
[22] Ibid, h. 558
[23]  Ibid
[24] Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salam, Shahih Fiqih Sunnah, (Jakarta: Pustaka At-Tazkia, 2006),Jilid 4, h. 559
[25] Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salam, Shahih Fiqih Sunnah, (Jakarta: Pustaka At-Tazkia, 2006),Jilid 4, h. 559
[26] Syaikh Abdul Ghani Al-Maqdisi, Umdatul Ahkam, (Yogyakarta: Media Hidayah, 2005), h. 257
[27] Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 7, (Jakarta: Gema Insani, 2001), h. 303
[28] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Bandung: PT. Alma’arif, 1997), Cet. 9, h. 86
[29] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Bandung: PT. Alma’arif, 1997), Cet. 9, h. 87
[30] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Bandung: PT. Alma’arif, 1997), Cet. 9, h. 87
[31] Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 7, (Jakarta: Gema Insani, 2001), h. 315
[32] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Bandung: PT. Alma’arif, 1997), Cet. 9,  h.95
[33] Al-Imam Jalaluddin Muhammad , Tafsir Jalalain, (Surabaya: Pustaka eLBA, 2010), Cet. I, Jilid 2, Surah An-Nur, Juz 18, h. 594
[34] Al-Imam Jalaluddin Muhammad , Tafsir Jalalain, (Surabaya: Pustaka eLBA, 2010), Cet. I, Jilid 2, Surah An-Nur, Juz 18, h. 594
[35] Anshori Umar, Fiqih Wanita, (Semarang: CV. Asy-Syifa, 1981), h. 474

Posting Komentar untuk "Hadits Wacana Talak Dan Iddah"