Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kesetaraan Gender Dalam Pandangan Islam



ABSTRAK

Dalam pandangan aturan Islam, segala sesuatu diciptakan Allah dengan kodrat. Demikian halnya manusia, antara laki-laki dan perempuan sebagai individu dan jenis kelabuin mempunyai kodratnya masing-masing. Al-Qur'an mengakui adanya perbedaan anatomi antara laki-laki dan perempuan. Al-Qur'an juga mengakui bahwa anggota masing-masing gender berfungsi dengan cara merefleksikan perbedaan yang sudah dirumuskan dengan baik serta dipertahankan oleh budaya, baik dari kalangan kaum laki-laki maupun perempuan sendiri.
Kodrat perempuan sering dijadikan alasan untuk mereduksi banyak sekali kiprah perempuan di dalam keluarga maupun masyarakat, kaum laki-laki sering dianggap lebih lebih banyak didominasi dalam memainkan banyak sekali peran, sementara perempuan memperoleh kiprah yang terbatas di sektor domestik. Kebudayaan yang berkembang dalam masyarakat pun memandang bahwa perempuan sebagai makhluk yang lemah, emosional, halus dan pemalu sementara laki-laki makhluk yang kuat, rasional, garang serta pemberani. Anehnya perbedaan-perbedaan ini kemudian diyakini sebagai kodrat, sudah tetap yang ialah pemdiberian Tuhan. Barang siapa berusaha merubahnya dianggap menyalahi kodrat bahkan menentang ketetapan Tuhan.
Peran dan status perempuan dalam perspektif Islam selalu dikaitkan dengan keberadaan laki-laki. Perempuan digambarkan sebagai makhluk yang keberadaannya sangat bergantung kepada laki-laki. Sebagai seorang anak, ia berada di bawah lindungan perwalian ayah dan saudara laki-laki, sebagai istri bergantung kepada suami. Islam tetapkan perempuan sebagai penenang suami, sebagai ibu yang mengasuh dan mendidik anak dan menjaga harta benda serta membina adab keluarga di dalam pemerintahan terkecil.

Kata Kunci: Kesetaraan Gender, Pandangan Islam
BAB I
PENDAHULUAN

Al-Qur'an tidak mengajarkan diskriminasi antara lelaki dan perempuan sebagai manusia. Di hadapan Tuhan, lelaki dan perempuan mempunyai derajat yang sama, namun masalahnya terletak pada implementasi atau operasionalisasi pedoman tersebut. Kemunculan agama intinya ialah jeda yang secara periodik berusaha mencairkan kekentalan budaya patriarkhi. Oleh lantaran itu, kemunculan setiap agama selalu mendapat perlawanan dari mereka yang diuntungkan oleh budaya patriarkhi. Sikap perlawanan tersebut mengalami pasang surut dalam perkembangan sejarah manusia.
Semua dimungkinkan terjadi lantaran pasca kerasulan Muhammad, umat sendiri tidak diwarisi aturan secara terperinci (tafshily) dalam memahami Al-Qur'an. Di satu sisi Al-Qur'an mengakui fungsi laki-laki dan perempuan, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Namun tidak ada aturan rinci yang mengikat terkena bagaimana keduanya berfungsi secara kultural. Berbeda pada masa kenabian superioritas sanggup diredam. Keberadaan nabi secara fisik sangat berperan untuk menjaga progresivitas wahyu dalam proses emansipasi kemanusiaan. Persoalannya, problematika umat semakin kompleks dan tidak terbatas seiring perkembangan zaman, sementara Al-Qur'an sendiri terdapat aturan-aturan yang masih bersifat umum dan global (mujmal) adanya.




BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Gender
Secara mendasar, gender tidak sama dari jenis kelabuin biologis. Jenis kelabuin biologis ialah pemdiberian, kikta dilahirkan sebagai seorang laki-laki atau seorang perempuan. Tetapi, jalan yang menjadikan kita maskulin atau feminine yakni adonan blok-blok bangunan biologis dasar dan interpretasi biologis oleh kultur kita. Setiap masyarakat mempunyai banyak sekali naskah untuk diikuti oleh anggotanya ibarat mereka berguru memainkan kiprah feminine atau maskulim, sebagaimana halnya setiap masyarakat mempunyai bahasanya sendiri.
Sejak kita sebagai bayi mungil sampai mencapai usia tua, kita mempelajari dan mempraktikkan cara-cara khusus yang sudah ditentukan oleh masyarakat bagi kita untuk menjadi laki-laki dan perempuan. Gender yakni seperangkat kiprah yang ibarat halnya kostum dan topeng di teater memberikan kepada orang lain bahwa kita yakni feminine atau maskulin. Perangkat sikap khusus ini yang mencakup beberapa aspek penampilan, pakaian, sikap, kepribadian, bekerja di dalam dan di luar rumah tangga, seksualitas, tanggung jawaban keluarga dan sebagainya secara bantu-membantu memoles kiprah gender kita.[1]
Begitu lahir, kita mulai mempelajari kiprah gender kita. Dalam satu studi laboratory terkena gender, kaum ibu diundang untuk bermain dengan bayi orang lain yang didandani sebagai anak perempuan atau laki-laki. Tidak spesialuntuk gender dari bayi itu yang menimbulkan majemuk tanggapan dari kaum perempuan, tetapi sikap serupa dari seorang bayi ditanggapi secara tidak sama, tergantung kepada bagaimana ia didandani. Ketika si bayi didandani sebagai laki-laki, kaum perempuan tersebut menanggapi inisiatif si bayi dengan agresi fisik dan permainan. Tetapi dikala bayi yang sama tampak ibarat perempuan dan melaksanakan hal yang sama tampak ibarat perempuan dan melaksanakan hal yang sama, kaum perempuan itu menenangkan dan menghiburnya. melaluiataubersamaini kata lain, semenjak usia enam bulan belum dewasa sudah direspon berdasarkan stereotype gender.[2]
Untuk memahami konsep gender harus dibedakan kata gender dengan kata seks (jenis kelabuin). Pengertian jenis kelabuin ialah pensifatan atau sumbangan dua jenis kelabuin insan yang ditentukan secara biologis yang menempel pada jenis kelabuin tertentu. Sedangkan konsep lainnya yakni konsep gender yakni suatu sifat yang menempel pada kaum laki-laki maupun perempuan yang konstruksi secara sosial maupun cultural.[3]

B.  Kesetaraan Gender Dalam Al-Qur’an
Al Qur’an secara umum dan dalam banyak ayatnya sudah membicarakan kekerabatan gender, korelasi antara laki- laki dan perempuan, hak- hak mereka dalam konsepsi yang rapi, indah dan bersifat adil. Al Qur’an yang diturunkan sebagai petunjuk manusia, tentunya pembicaraannya tidaklah terlalu jauh dengan keadaan dan kondisi lingkungan dan masyrakat pada waktu itu. Seperti apa yang disebutkan di dalam QS. Al- Nisa, yang memandang perempuan sebagai makhluk yang  mulia dan harus di hormati, yang pada satu waktu masyarakat Arab sangat tidak menghiraukan nasib mereka.
Sebelum diturunkan surat Al- Nisa ini, sudah turun dua surat yang sama-sama membicarakan wanita, yaitu surat Al-Mumtahanah dan surat Al-Ahzab. Namun pembahasannya belum final, sampai diturunkan surat al-Nisa’ ini. Oleh karenanya, surat ini disebut dengan surat Al-Nisa’ al-Kubro, sedang surat lain yang membicarakan perempuan juga , ibarat surat al-Tholak, disebut surat al-Nisa’ al Sughro. Surat Al Nisa’ ini benar- benar memperhatikan kaum lemah, yang di wakili oleh anak- anak yatim, orang-orang yang lemah akalnya, dan kaum perempuan.
Maka, pada ayat pertama surat al-Nisa’ kita dapatkan, bahwa Allah sudah menyamakan kedudukan laki-laki dan perempuan sebagai hamba dan makhluk Allah, yang masing- masing jikalau bersedekah sholeh, niscaya akan di diberi pahala sesuai dengan amalnya. Kedua-duanya tercipta dari jiwa yang satu  (nafsun wahidah), yang mengisyaratkan bahwa tidak ada perbedaan antara keduanya. Semuanya di bawah pengawasan Allah serta mempunyai kewajiban untuk bertaqwa kepada-Nya (ittaqu robbakum).
Kesetaraan yang sudah di akui oleh Al Qur’an tersebut, bukan berarti harus sama antara laki- laki dan perempuan dalam segala hal.Untuk menjaga kesimbangan alam (sunnatu tadafu’), harus ada sesuatu yang tidak sama, yang masing-masing mempunyai fungsi dan kiprah tersendiri. Tanpa itu, dunia, bahkan alam ini akan berhenti dan hancur.  Oleh karenanya, sebgai pesan yang tersirat dari Allah untuk membuat dua pasang insan yang tidak sama, bukan spesialuntuk pada bentuk dan postur badan serta jenis kelabuinnya saja, akan tetapi juga pada emosional dan  komposisi kimia dalam tubuh.
Hal ini tanggapan membawa imbas kepada perbedaan dalam kiprah ,kewajiban dan hak. Dan hal ini sangatlah masuk akal dan sangat logis. Ini bukan sesuatu yang di dramatisir sehingga merendahkan wanita, sebagaimana anggapan kalangan feminis dan ilmuan Marxis. Tetapi ialah bentuk sebuah keseimbangan hidup dan kehidupan, sebagiamana anggota badan insan yang tidak sama- beda tapi menuju kepada persatuan dan saling melengkapi. Oleh karenanya, suatu yang sangat kurang bijak, kalau ada beberapa kelompok yang ingin memperjuangkan kesetaraan antara dua jenis insan ini dalam tiruana bidang.  Al Qur’an sudah meletakkan batas yang terang dan tegas di dalam problem ini, salah satunya yakni ayat- ayat yang terdapatdi dalam surat al Nisa. Terutama yang menyinggung konsep ijab kabul poligami, hak waris dan dalam menentukan tanggungjawaban di dalam masyarakat dan keluarga.

C.  Pandangan Ulama Kontemporer Tentang Kepemimpinan Wanita
Ulama kontemporer ternama Yusuf Al-Qordhawi mempunyai pandangan dan pendapat yang tidak sama terhadap kepemimpinan perempuan dalam berpolitik. Beliau menerangkankan bahwa penafsiran terhadap surat an-nisa ayat 34 bahwa laki-laki yakni pemimpin bagi perempuan dalam lingkup keluarga atau rumah tangga. Jika ditinjau tafsir surat An-Nisa ayat 34 bahwa laki-laki yakni pemimpin wanita, bertindak sebagai orang cukup umur terhadapnya, yang menguasainya, dan pendidiknya tatkala ia melaksanakan penyimpangan. “Karena Allah sudah mengunggulkan sebagian mereka atas sebagian yang lain. Yakni, lantaran kaum laki-laki itu lebih unggul dan lebih baik daripada wanita. Oleh lantaran itu kenabian spesialuntuk didiberikan kepada kaum laki-laki.
Laki-laki menjadi pemimpin perempuan yang dimaksud ayat ini yakni kepemimpinan dirumah tangga, lantaran laki-laki sudah menginfakkan hartanya, berupa mahar, belanja dan kiprah yang dibebankan Allah kepadanya untuk mengurus mereka. Tafsir ibnu katsir ini mengambarkan bahwa perempuan tidak dihentikan dalam kepemimpinan politik, yang dihentikan yakni kepemimpinan perempuan dalam puncak tertinggi atau top leader tunggal yang mengambil keputusan tanpa bermusyawarah, dan juga perempuan dihentikan menjadi hakim. Hal inilah yang mendasari Qardhawi memperbolehkan perempuan berpolitik.[4]
Qordhawi juga menambahkan bahwa perempuan boleh berpolitik dikarenakan laki-laki dan perempuan dalam hal mu’amalah mempunyai kedudukan yang sama hal ini dikarenakan keduanya sebagai insan mukallaf yang didiberi tanggung jawaban penuh untuk diberibadah, menegakkan agama, menjalankan kewajiban, dan melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar. Pria dan perempuan mempunyai hak yang sama untuk menentukan dan dipilih, sehingga tidak ada dalil yang berpengaruh atas larangan perempuan untuk berpolitik. Namun yang menjadi larangan bagi perempuan yakni menjadi imam atau khilafah (pemimpin negara).
Quraish Shihab juga menambahkan bahwa dalam Al-Qur’an banyak menceritakan persamaan kedudukan perempuan dan pria, yang membedakannya yakni ketaqwaanya kepada Allah. Tidak ada yang membedakan berdasarkan jenis kelabuin, ras, warna kulit dan suku. Kedudukan perempuan dan laki-laki yakni sama dan diminta untuk saling berhubungan untuk mengisi belum sempurnanya satu dengan yang lainnya, sebagai mana di jelaskan dalam surat At-Taubah ayat 71 yang berbunyi:
tbqãZÏB÷sßJø9$#ur àM»oYÏB÷sßJø9$#ur öNßgàÒ÷èt/ âä!$uŠÏ9÷rr& <Ù÷èt/ 4 šcrâßDù'tƒ Å$rã÷èyJø9$$Î/ tböqyg÷Ztƒur Ç`tã ̍s3ZßJø9$# šcqßJŠÉ)ãƒur no4qn=¢Á9$# šcqè?÷sãƒur no4qx.¨9$# šcqãèŠÏÜãƒur ©!$# ÿ¼ã&s!qßuur 4 y7Í´¯»s9'ré& ãNßgçHxq÷Žzy ª!$# 3 ¨bÎ) ©!$# îƒÍtã ÒOŠÅ3ym ÇÐÊÈ  
Artinya: ”Dan orang-orang yang diberiman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan didiberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Islam sebetulnya tidak menempatkan perempuan berada didapur terus menerus, namun jikalau ini dilakukan maka ini yakni sesuatu yang baik, hal ini di nyatakan oleh imam Al-Ghazali bahwa intinya istri tidak berkewajiban melayani suami dalam hal memasak, mengurus rumah, menyapu, menjahid, dan sebagainya. Akan tetapi jikalau itu dilakukan oleh istri maka itu ialah hal yang baik. Sebenarnya suamilah yang berkewajiban untuk memdiberinya/menyiapkan pakaian yang sudah dijahid dengan sempurna, makanan yang sudah dimasak secara sempurna. Artinya kedudukan perempuan dan laki-laki yakni saling mengisi satu dengan yang lain, tidak ada yang superior. Hanya saja laki-laki bertanggung jawaban untuk mendidik istri menjadi lebih baik di hadapan Allah SWT.
Sebenarnya spesialuntuklah permainan kaum feminis saja yang menyatakan bahwa laki-laki superior dibandingkan dengan wanita, semoga mereka sanggup melaksanakan hal-hal yang melampaui batas, dengan dalih bahwa perempuan sanggup hidup tanpa laki-laki, termasuk dalam hal seks, sehingga muncullah fenomena lesbian percintaan sesama jenis, banyaknya fenomena kawin cerai lantaran sang istri menjadi durhaka terhadap suami, padahal dalam rumah tangga pemimpin keluarga yakni laki-laki, sedangkan dalam hal berpolitik tidak ada larangan dalam Islam untuk berpolitik dan berkarier.
Taqiyuddin al-Nabhani mengambarkan ada tujuh syarat seorang kepala negara atau (Khalifah) sanggup di bai’at yaitu muslim, laki-laki, baligh, berakal, adil, merdeka dan mampu. Syarat muslim ialah syarat mutlak untuk mengangkat pemimpin dalam sebuah negara yang mayaritas penduduk islam, dan dilarangkan mengangkat pimpinan dari kalangan kafir. Hal ini termaktub dalam surat An-Nisa ayat 144 yang berbunyi:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw (#räÏ­Gs? tûï͍Ïÿ»s3ø9$# uä!$uŠÏ9÷rr& `ÏB Èbrߊ tûüÏZÏB÷sßJø9$# 4 tbr߃̍è?r& br& (#qè=yèøgrB ¬! öNà6øn=tæ $YZ»sÜù=ß $·YÎ6B ÇÊÍÍÈ  
Artinya: “Hai orang-orang yang diberiman, tidakbolehlah engkau mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah engkau mengadakan alasan yang faktual bagi Allah (untuk menyiksamu) ?
Kedua laki-laki, perempuan dalam hal ini dihentikan menjadi khalifah, imam, ulil amri, atau kepala negara dalam hal ini kepala negara tidak dimaksud Presiden, yang dimaksud disini yakni kepemimpinan yang sanggup mengambil keputusan tanpa dimusyawarahkan terlebih lampau, sedangkan presiden dalam membuat keputusan harus dilakukan dengan bermusyawarah terlebih lampau terhadap pemmenolong-pemmenolongnya baik menteri, staff ahli, maupun dengan penasihat pribadinya.
Ketiga baligh, dengan syarat baligh maka pemimpin dibebani oleh hukum, sehingga apa yang di pikulnya atau diamanahi kepada mereka maka akan sanggup dipertanggung jawabankan secara hukum, baik aturan dunia, maupun aturan dihadapan Allah.
Keempat berakal, orang yang hilang akalnya dihentikan menjadi pemimpin lantaran akan mengambil keputusan yang tidak tepat, dan kehilangan nalar akan membebaskan seseorang dari hukum, sehingga tidak sanggup dimintai pertanggung jawabanannya. Kelima adil,  yaitu pemimpin yang konsisten dalam menjalani agamanya hal ini termaktub dalam surah An-Nahl ayat 90 yang berbunyi:
 ¨bÎ) ©!$# ããBù'tƒ ÉAôyèø9$$Î/ Ç`»|¡ômM}$#ur Ç!$tGƒÎ)ur ÏŒ 4n1öà)ø9$# 4sS÷Ztƒur Ç`tã Ïä!$t±ósxÿø9$# ̍x6YßJø9$#ur ÄÓøöt7ø9$#ur 4 öNä3ÝàÏètƒ öNà6¯=yès9 šcr㍩.xs? ÇÒÉÈ  
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh (engkau) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memdiberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. ia memdiberi pengajaran kepadamu semoga engkau sanggup mengambil pelajaran”
                Keenam, merdeka terbebas dari perbudakan sehingga sanggup mengambil keputusan tanpa interfensi dari tuannya. Dan seorang hamba sahaya dihentikan diangkat menjadi pemimpin lantaran ia tidak mempunyai wewenang untuk mengatur orang lain dan bahkan terhadap dirinyapun tidak mempunyai wewenang.
            Ketujuh, bisa melaksanakan amanat khilafah, jikalau tidak bisa menjalankan amanat maka tunggulah hasilnya. sepertiyang di jelaskan dalam hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari ” Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah Kiamat” (HR Bukhari).
            Qardhawi dalam hal ini kembali mempertegas bahwa kepemimpinan kepala negara dimasa kini ini kekuasaannya tidak sama dengan seorang ratu atau khalifah di sama kemudian yang identik dengan seorang imam dalam shalat. Sehingga kedudukan perempuan dan laki-laki dalam hal perpolitikan yakni sejajar lantaran sama-sama mempunyai hak menentukan dan hak dipilih. melaluiataubersamaini alasan bahwa perempuan cukup umur yakni insan mukallaf (didiberi tanggung jawaban) secara utuh, yang dituntut untuk diberibadah kepada Allah, menegakan agama, dan berdakwah.[5]
Menurut Abu Hanifah seorang perempuan dibolehkan menjadi hakim, tetapi tidak boleh menjadi hakim dalam masalah pidana. Sementara Imam Ath-Thabari dan aliran Dhahiriyah membolehkan seseorang perempuan menjadi hakim dalam tiruana perkara, sebagaimana mereka membolehkan kaum perempuan untuk menduduki tiruana jabatan selain puncak kepemimpinan negara.[6]


BAB III
PENUTUP

Simpulan:
Al Qur’an secara umum dan dalam banyak ayatnya sudah membicarakan kekerabatan gender, korelasi antara laki- laki dan perempuan, hak- hak mereka dalam konsepsi yang rapi, indah dan bersifat adil. Kesetaraan yang sudah di akui oleh Al Qur’an itu, bukan berarti harus sama antara laki- laki dan perempuan dalam segala hal. Untuk menjaga kesimbangan alam (sunnatu tadafu’), harus ada sesuatu yang tidak sama, yang masing-masing mempunyai fungsi dan kiprah tersendiri.
Dalam pandangan Islam perempuan mempunyai kedudukan yang sama dibandingkan dengan laki-laki. Dari sudut penciptaan, kemuliaan, dan hak mendapat tanggapan atas amal usaspesialuntuk perempuan mempunyai kesetaraan dengan laki-laki. Sedangkan dalam hal kiprah perempuan mempunyai perbedaan dengan laki-laki. Peran perempuan yang wajib yakni sebagai anggota keluarga yaitu sebagai istri dari suami dan ibu bagi anak-anaknya. Sedangkan kiprah perempuan sebagai anggota masyarakat dalam urusan muamalah mendapat profesi (pekerjaan) dihukumi dengan rukhshah darurat. Meskipun diperbolehkan namun harus selalu mementingkan segi kemaslahatan baik bagi rumah tangga maupun bagi masyarakat. Apabila lebih banyak kemudaratannya bagi keluarga maka profesi di luar rumah harus ditinggalkan mengingat sesuatu yang darurat tidak boleh meninggalkan hal yang wajib.

DAFTAR PUSTAKA

Julia Cleves Mosse, Gender & Pembangunan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Mansour Fakih, Analisi Gender & Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Leila Ahmed, Wanita & Gender Dalam Islam, Jakarta: PT. Lentera Basritama, 2000.
Zainuddin, Muhammad dan Maisaroh, Ismail. 2005. Posisi Wanita Dalam Sistem Politik Islam,http://mimbar.lppm.unisba.ac.id/index.php/mimbar/article/view/396/254 diakses 03/01/2014.


[1] Julia Cleves Mosse, Gender & Pembangunan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 3
[2] ibid
[3] Mansour Fakih, Analisi Gender & Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 8
[5] Leila Ahmed, Wanita & Gender Dalam Islam, (Jakarta: PT. Lentera Basritama, 2000), h. 87
[6] Zainuddin, Muhammad dan Maisaroh, Ismail. 2005. Posisi Wanita Dalam Sistem Politik Islam,http://mimbar.lppm.unisba.ac.id/index.php/mimbar/article/view/396/254 diakses 03/01/2014.

Posting Komentar untuk "Kesetaraan Gender Dalam Pandangan Islam"