Kesalahan Dalam Tindak Pidana
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Adanya kehendak bebas/memilih dan intelektualitas/kedewasaan seseorang tidak cukup untuk kasus pidana, akan tetapi mesti adanya kesalahan yang dilakukan oleh pelaku kejahatan. Kesalahan ialah esensi pilar immaterial dalam delik/tindak kejahatan yang tanpanya tidak ada tempat untuk perkara pidana. Kesalahan yakni perbuatan melawan hukum, dimana seseorang dipertanggungjawabankan secara aturan pidana atas perbuatannya. Ada dua bentuk kesalahan yaitu kesalahan disengaja dan kesalahan tidak disengaja. Dalam pembahasan kesalahan sengaja akan dibahas terkena esensi kesengajaan, unsur-unsur kesengajaan dan jenis-jenis kesengajaan. Kesalahan tidak disengaja akan dibahas terkena pengertian kealpaan, bentuk-bentuk kealpaan dan jenis-jenis kealpaan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian kesalahan ?
2. Apa saja terkena kesalahan disengaja ?
3. Apa saja terkena kesalahan tidak disengaja ?
4. Apa unsur non materi dalam pelanggaran ?
5. Bagaimana pertanggungjawabanan atas perbuatan orang lain ?
6. Apa hal-hal yang menghalangi pertanggungjawabanan pidana?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kesalahan
Berkaitan dalam asas aturan pidana yaitu Geen straf zonder schuld, actus non facit reum nisi mens sir rea, bahwa tidak dipidana jikalau tidak ada kesalahan, maka pengertian tindak pidana itu terpisah dengan yang dimaksud pertanggungjawabanan tindak pidana.
Tindak pidana spesialuntuklah menunjuk kepada dihentikan dan diancamnya perbuatan itu dengan suatu pidana, kemudian apakah orang yang melaksanakan perbuatan itu juga dijatuhi pidana sebagaimana sudah diancamkan akan sangat tergantung pada soal apakah dalam melaksanakan perbuatannya itu si pelaku juga mempunyai kesalahan. Dalam kebanyakan rumusan tindak pidana, unsur kesengajaan atau yang disebut dengan opzet ialah salah satu unsur yang terpenting. Dalam kaitannya dengan unsur kesengajaan ini, maka apabila didalam suatu rumusan tindak pidana terdapat perbuatan dengan sengaja atau biasa disebut dengan opzettelijk, maka unsur dengan sengaja ini menguasai atau mencakup tiruana unsur lain yang ditempatkan dibelakangnya dan harus dibuktikan.
Sengaja berarti juga adanya kehendak yang disadari yang ditujukan untuk melaksanakan kejahatan tertentu. Maka berkaitan dengan pembuktian bahwa perbuatan yang dilakukannya itu dilakukan dengan sengaja, terkandung pengertian menghendaki dan mengetahui atau biasa disebut dengan willens en wetens. Yang dimaksudkan disini yakni seseorang yang melaksanakan suatu perbuatan dengan sengaja itu haruslah memenuhi rumusan willens atau haruslah menghendaki apa yang ia perbuat dan memenuhi unsur wettens atau haruslah mengetahui akhir dari apa yang ia perbuat.
Disini dikaitkan dengan teori kehendak yang dirumuskan oleh Von Hippel maka sanggup dikatakan bahwa yang dimaksudkan dengan sengaja yakni kehendak membuat suatu perbuatan dan kehendak untuk menjadikan suatu akhir dari perbuatan itu atau akhir dari perbuatannya itu yang menjadi maksud dari dilakukannya perbuatan itu. Jika unsur kehendak atau menghendaki dan mengetahui dalam kaitannya dengan unsur kesengajaan tidak sanggup dibuktikan dengan terang secara materiil lantaran memang maksud dan kehendak seseorang itu susah untuk dibuktikan secara materiil maka pembuktian adanya unsur kesengajaan dalam pelaku melaksanakan tindakan melanggar aturan sehingga perbuatannya itu sanggup dipertanggungjawabankan kepada si pelaku seringkali spesialuntuk dikaitkan dengan keadaan serta tindakan si pelaku pada waktu ia melaksanakan perbuatan melanggar aturan yang dituduhkan kepadanya tersebut.
Disamping unsur kesengajaan diatas ada pula yang disebut sebagai unsur kelalaian atau kelapaan atau culpa yang dalam keyakinan aturan pidana disebut sebagai kealpaan yang tidak disadari atau onbewuste schuld dan kealpaan disadari atau bewuste schuld. Dimana dalam unsur ini faktor terpentingnya yakni pelaku sanggup menduga terjadinya akhir dari perbuatannya itu atau pelaku kurang berhati-hati. Wilayah culpa ini terletak diantara sengaja dan kebetulan.
Kelalaian ini sanggup didefinisikan sebagai apabila seseorang melaksanakan sesuatu perbuatan dan perbuatan itu menjadikan suatu akhir yang dihentikan dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang, maka walaupun perbuatan itu tidak dilakukan dengan sengaja namun pelaku sanggup berbuat secara lain sehingga tidak menjadikan akhir yang dihentikan oleh undang-undang, atau pelaku sanggup tidak melaksanakan perbuatan itu sama sekali.
Dalam culpa atau kelalaian ini, unsur terpentingnya yakni pelaku mempunyai kesadaran atau pengetahuan yang mana pelaku seharusnya sanggup membayangkan akan adanya akhir yang ditimbulkan dari perbuatannya, atau dengan kata lain bahwa pelaku sanggup menduga bahwa akhir dari perbuatannya itu akan menjadikan suatu akhir yang sanggup dieksekusi dan dihentikan oleh undang-undang.[1]
B. Kesalahan disengaja
Dalam pembahasan kesalahan sengaja akan dibahas terkena esensi kesengajaan, unsur-unsur kesengajaan dan jenis-jenis kesengajaan.
a. Esensi dan pengertian kesengajaan
Kesalahan disengaja ialah bentuk biasa yang terjadi dan ialah bentuk kesalahan yang paling tinggi pada kehendak insan yang menyebabkannya mendapat hukuman aturan atau pidana, lantaran pelaku kejahatan itu menginsyafi, menghendaki dan mengetahui melaksanakan perbuatan yang melawan hukum. Misal: seorang Ibu, yang sengaja tidak memdiberi susu kepada anaknya, ia menghendaki dan sadar akan perbuatannya.
Ada dua teori wacana kesengajaan :
· Teori Pengetahuan / membayangkan
Teori ini menyampaikan bahwa sengaja berarti mengetahui dan sanggup membayangkan kemungkinan akan akhir yang timbul dari perbuatannya tanpa ada kehendak atau maksud untuk akhir tersebut.
· Teori Kehendak
Teori ini menyampaikan bahwa inti kesengajaan yakni kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan undang-undang. Artinya bahwa pelaku kejahatan berkehendak melaksanakan perbuatan yang dipidana hukum dan menginginkan akibatnya. Teori ini yakni yang paling kuat.
Dari klarifikasi dan teori di atas sanggup disimpulkan bahwa kesalahan disengaja yakni menghendaki dan mengetahui perbuatan yang dilakukan, yang mana perbuatan itu dipidana secara hukum, serta menghendaki akhir dari perbuatan tersebut.
b. Unsur-unsur Kesengajaan
Kesengajaan mempunyai dua unsur:
· Kehendak
Kehendak ialah unsur kesengajaan yang ialah syarat perbuatan dikenakan pidana secara hukum. Kehendak yakni perbuatan batin yang menginginkan tercapainya tujuan tertentu. Maksudnya yakni kehendak untuk sengaja melaksanakan tindak kejahatan, dan menginginkan terjadinya akhir dari perbuatan tersebut yang melanggar hukum. Jika terdapat unsur kehendak ini, maka suatu perbuatan tersebut sudah mempunyai salah satu dari unsur kesengajaan dan bertanggung tanggapan dalam kasus tindak pidana sengaja.
Kehendak dalam kesalahan disengaja tidak sama dengan kehendak dalam kesalahan tidak disengaja, di mana kehendak dalam kesalahan tidak sengaja spesialuntuk sebatas kehendak untuk melaksanakan perbuatan tanpa ada kehendak tercapainya akibat. Maka, jikalau seseorang menggunakan senapan api untuk berburu hewan, kemudian menimpa salah seorang di sekitarnya, ia orang yang menggunakan senjata api tersebut akan dipidana atas kasus tindak pidana tidak sengaja. Hal itu lantaran pelaku spesialuntuk bermaksud dan berkehendak menggunakan senapan api untuk berburu hewan, bukan berkehendak menembak seseorang yang terkena tembakan api.
· Mengetahui atau pengetahuan
Pengetahuan ialah unsur kedua dari kesengajaan yang ialah syarat perbuatan sanggup dikenakan pidana secara hukum. Maksud pengetahuan di sini yakni mengetahui seluruh unsur-unsur pembentuk tindak kejahatan sebagaimana yang sudah diputuskan hukum. Karena itu, jikalau seseorang melaksanakan perbuatan dan ia terbelakang atau tidak tahu bahwa tindakannya itu dipidana hukum, maka tidak ada unsur kesengajaan dalam tindakkannya. Untuk itu, perlu dibedakan jenis pengetahuan ini, yaitu pengetahuan wacana aturan dan pengetahuan wacana kejadian-kejadian/realita.
1) Pengetahuan wacana hukum
Di antara kaedah umum yang diputuskan aturan yakni tidak bolehnya membela diri dengan beralasan tidak mengetahui aturan atau undang-undang. Hal ini lantaran mengetahui aturan ialah suatu kewajiban. Ini ialah kaedah yang digunakan disebagian besar Negara di dunia. Dalam aturan Mesir disebutkan bahwa wajib mengamalkan aturan setelah sepuluh hari semenjak disebarkannya aturan atau undang-undang, dan penyebaran atau pemdiberitaan aturan ini ialah indikasi adanya pengetahuan wacana aturan bagi seluruh masyarakat. Dan maksud mengetahui aturan di sini yakni mengetahuinya dengan bentuk atau pemahaman yang benar.
Hikmah dilarangnya beralasan tidak mengetahui aturan yakni demi supremasi, kepastian dan ketegakan aturan dalam suatu Negara. Namun, untuk memutuskan pengetahuan wacana aturan yang ada ialah duduk kasus yang susah. Dalam realita, kaedah umum ini susah diterapkan, lantaran banyaknya undang-undang bahkan bagi para pencetus dan pegiat aturan sendiri. Dikarenakan hal itu, para hakim dan pakar aturan melaksanakan peentengan pada dasar kaedah umum tersebut, yaitu dengan membatasinya bahwa tidak boleh atau dihentikan melaksanakan alasan atau berapologi tidak mengetahui aturan yang ada dalam teks aturan pidana. Di samping itu, dibolehkan beralasan tidak mengetahui aturan pada bererapa keadaan, menyerupai seseorang yang diblokade dalam suatu daerah disebabkan gempa, perang dan lainnya, kemudian pada waktu itu aturan atau undang-undang disebarkan dan ia tidak mengetahuinya. Apabila orang tersebut melaksanakan tindak kejahatan maka ia boleh beralasan tidak mengetahui hukum, dengan begitu ia tidak sanggup dikenakan pidana.
2) Pengetahuan wacana kejadian/peristiwa
Dalam kaedah umum, seseorang diharuskan mengetahui seluruh kejadian-kejadian penting yang masuk dalam struktur atau rumusan aturan yang ialah syarat adanya unsur kejahatan atau delik. Hal ini lantaran ketidaktahuan atau kekeliruan dalam kejadian-kejadian tersebut sanggup mempengaruhi adanya unsur kesengajaan yang ialah syarat adanya delik atau kejahatan.
· Ketidaktahuan yakni tidak mengetahui suatu aturan dan tidak pula memahaminya.
· Kekeliruan adalah mengetahui dan memahami suatu aturan namun dengan pemahaman yang tidak benar atau salah.
Walaupun ketidaktahuan dan kekeliruan yakni suatu yang tidak sama akan tetapi pengaruhnya sama dalam kesalahan disengaja. Namun, efek keduanya ketidaktahuan dan kekeliruan- tidak sama dalam keadaan apabila ketidaktahuan dan kekeliruan itu terjadi pada rukun kejahatan, atau pada keadaan diberatkan dalam kejahatan, atau pada korban dalam kejahatan.
Sebelum membicarakan efek ketidaktahuan dan kekeliruan dalam beberapa keadaan di atas, di sini akan dibahas sebuah kaedah umum bahwa “pembuat undang-undang atau peraturan tidak mempertimbangkan masukana atau wasilah yang digunakan dalam melaksanakan kejahatan, tidak juga mempertimbangkan waktu melaksanakan kejahatan dan daerah melaksanakan kejahatan, kecuali jikalau peraturan butuh hal tersebut untuk mempertimbangkan terjadinya kejahatan”.
Sebuah peraturan, walaupun tidak mempertimbangkan masukana yang digunakan untuk kejahatan, terkadang mempertimbangkannya pada beberapa keadaan.
Contoh: Kejahatan pembunuhan dengan racun.
Kejahatan ini tidak dianggap tepat rukun delik atau tindak kejahatannya, kecuali jikalau masukana yang digunakan untuk membunuh yakni materi atau materi yang sangat mematikan. Begitu juga peraturan terkadang mempertimbangkan waktu melaksanakan kejahatan pada beberapa keadaan. Seperti yang disebutkan dalam butir 78 UU Pidana Mesir, bahwa setiap orang yang mendorong atau memerintahkan tentara Negara saat masa perang untuk bergabung dan memmenolong tentara abnormal akan dieksekusi gantung. Peraturan terkadang juga mempertimbangkan daerah melaksanakan kejahatan pada beberapa keadaan. Seperti dalam butir 277 UU Pidana Mesir, bahwa dieksekusi dengan tahanan selama kurang dari enam bulan seorang suami yang berzina di dalam rumah istri. Berdasarkan keadaan di atas, jikalau pelaku kejahatan tidak mengetahui materi mematikan (masukana) atau tidak mengetahui waktu dan daerah saat ia melaksanakan kejahatan, maka unsur kesengajaan dianggap tidak ada.
Macam-macam ketidaktahuan dan kekeliruan serta pengaruhnya:
· Ketidaktahuan dan kekeliruan pada rukun kejahatan atau tindak pidana.
Para andal aturan sepakat bahwa dalam keadaan tidak tahu atau keliru pada rukun kejahatan, maka kejahatan tersebut bukan ialah kesengajaan. Sebagai pola pada kejatahan pembunuhan, pelaku kejahatan harus mengetahui daerah terjadinya kejahatan terdapat manusia. Jika seseorang menggunakan senapan api, dan beliau mempunyai prasangka berpengaruh bahwa ada binatang buas dari jarak jauh yang akan menerkamnya padahal itu yakni manusia, kemudian ia melesatkan senjatanya, maka dalam keadaan ini ia tidak dipidana dengan pembunuhan sengaja. misal lain yakni jikalau seseorang masuk ke Mesjid dan melepaskan sendalnya, kemudian saat keluar ia menggunakan sandal orang lain dan berprasangka berpengaruh bahwa yang ia pakai yakni sandalnya, maka ia tidak dianggap sebagai pencuri. misal kejahatan di atas tidak dianggap sengaja lantaran salah satu rukun tindak pidana atau kejahatan tidak ada, yaitu rukun non materi atau kehendak membunuh orang dan mencuri dan mengetahui.
· Ketidaktahuan dan kekeliruan dalam keadaan diberatkan hukuman
Jika seorang pemmenolong mencuri harta atau barang majikannya, maka hukuman untuk beliau diberatkan sesuai undang-undang. Akan tetapi jikalau ia tidak tahu harta itu yakni milik majikannya, maka beliau dieksekusi dengan pidana pencurian biasa. Jika seseorang kembali melaksanakan kejahatan, dalam hal ini ia akan didiberikan hukuman lebih berat sesuai undang-undang, akan tetapi jikalau ia tidak tahu bahwa ia sudah melaksanakan kejahatan tersebut dua kali maka hukumannya tidak diberatkan.
· Kekeliruan pada korban kejahatan
misal : jikalau si A menargetkan membunuh B, saat akan beraksi yang terbunuh yakni si C. Dalam pola ini para andal aturan setuju si pelaku dieksekusi dengan pidana kejahatan sengaja, lantaran si A sedari pertama meniatkan menghilangkan nyawa seseorang yaitu si B, dan aturan menjamin setiap jiwa insan.
c. Jenis-Jenis atau Bentuk Kesengajaan
1. Kesengajaan umum dan khusus
Kesengajaan umum ialah kesengajaan yang mempunyai dua unsur yaitu kehendak atau maksud dan pengetahuan atau mengetahui. Kesengajaan ini ialah syarat umum dalam setiap tindak pidana. Selain itu ada beberapa kejahatan atau tindak pidana yang diputuskan aturan sebagai pelengkap dari kesengajaan umum, yaitu niat khusus si pelaku kejahatan, di mana niat ini ialah faktor pendorongnya untuk melaksanakan kejahatan. Niat khusus ini dinamakan kesengajaan khusus. contohnya yakni delik pemalsuan dokumen. Delik ini tidak cukup adanya kehendak si pelaku untuk menggandakan dokumen dan mengetahui perbuatan pemalsuannya tersebut. Tetapi, mesti ada niat khusus atau terselubung dari tindakan pemalsuannya itu, yaitu niat untuk menggunakan dokumen yang ditiruankannya.
2. Kesengajaan ditentukan dan tidak ditentukan
Kesengajaan ditentukan ialah kesengajaan yang objek akhir kejahatannya ditentukan. Seperti si A yang bermaksud membunuh si B. Orang yang ingin dibunuh si A sudah ditentukan yaitu si B. Kesengajaan tidak ditentukan ialah kesengajaan yang objek akhir kejahatannya tidak ditentukan. Seperti seorang yang meletakkan materi peledak ditengah lapangan yang dilalui orang banyak, ledakkan itu mengakibatkan terbenuhnya beberapa orang yang lewat dan terkena orang disekitarnya. Jenis kesengajaan ini meski tidak sama namun sama di dalam pertanggungjawabanan hukum.
3. Kesengajaan biasa dan kesengajaan berencana
Kesengajaan biasa yakni kesengajaan yang tidak dilampaui perencanaan dan antisipasi. Pelaku kejahatan tidak mempunyai waktu yang cukup untuk memikirkan kejahatannya. Sedangkan kesengajaan berencana yakni adalah kesengajaan yang sudah direncakan, dirancang, dipikirkan dan mempunyai waktu/jeda yang cukup antara planning dengan timbulnya kejahatan.
4. Kesengajaan eksklusif dan tidak langsung
Kesengajaan eksklusif yakni kesengajaan yang eksklusif tertuju atau terkena pada orang yang dituju. Sedangkan kesengajaan tidak eksklusif yakni kesengajaan yang akhir dari kejatahan itu ada kemungkinan akan terjadi kejatahan lain.
misalnya: si A hendak membunuh B, si A mengirimkan makanan ringan manis beracun ke rumah B, ia tahu B tinggal bersama istri dan anak-anaknya, A menyadari ada kemungkinan istri B dan anaknya memakan racun itu akan mati, tapi ia tetap mengirim makanan ringan manis beracun tersebut. Pada keadaan ini, jikalau istri B atau anaknya mamakan makanan ringan manis dan kemudian meninggal, maka A dianggap mempunyai unsur kesengajaan yang tertuju pada istri dan anak si B, kesengajaan ini dinamakan tidak langsung.
· Menetapkan ada dan tidak adanya kesengajaan
Kesengajaan ialah kasus batin yang susah dilihat, lantaran itu untuk menetapkannya perlu adanya indikasi-indikasi eksternal yang menawarkan adanya kesengajaan.[2]
C. Kesalahan tidak disengaja/kealpaan
Pada umumnya, setiap kejahatan atau tindak pidana yakni disengaja, lantaran adanya unsur-unsur kesengajaan, yaitu kehendak untuk melaksanakan kejahatan dan kehendak terwujudnya akhir serta mengetahui seluruh unsur-unsur kejahatan yang diputuskan hukum. Akan tetapi, terdapat pengecualian pada beberapa kejahatan atau delik yang ialah kesalahan tidak disengaja atau kelapaan. Untuk lebih jelasnya akan dibahas pengertian kealpaan, bentuk-bentuk kealpaan dan jenis-jenis kealpaan.
a) Pengertian Kealpaan
Di dalam undang-undang tidak ditentukan apa arti dari kealpaan. Tapi, para pakar dan andal aturan pidana membuat definisi kealpaan, yaitu “mengarahkan kehendak untuk melaksanakan kejahatan, tetapi tidak mengarahkan kehendak untuk terwujudnya akhir dari perbuatan tersebut, dan terjadinya akhir tadi ialah hasil dari kesalahan pelanggar lantaran ia sanggup memperkirakan kemungkinan terjadinya akhir bahkan sanggup mencegah terjadinya akhir tersebut”.
Di dalam peraturan atau aturan Mesir, kesalahan tidak disengaja atau kealpaan tidak mempunyai tanggung tanggapan pidana, kecuali pada beberapa hal. Sebagai contoh, jikalau seorang polisi penjaga lalai dalam menjaga tahanan, kemudian tahanan tersebut kabur, maka polisi penjaga tadi dikenakan hukuman pidana. Pada hukuman kesalahan ini, disyaratkan terjadinya kejahatan dan adanya kekerabatan sebab-akibat, serta bahaya. Karena itu, jikalau polisi penjaga lalai namun tidak mengakibatkan tahanan kabur, maka penjaga terbebas dari kesalahan pidana. Penyebab kealpaan diantaranya teledor, sembrono, lalai, tidak hati-hati dll.
Beberapa pakar aturan pidana beropini tidak adanya pertanggungjawabanan pidana pada kejahatan atau tindak pidana tidak disengaja, hal ini lantaran pelanggar tidak menginginkan/berkehendak akibat. Akan tetapi, faktanya bahwa kehendak insan dalam kejahatan itu tidak terlepas dari dosa atau kesalahan. Karena insan diharuskan menjauhi segala keadaan atau kesalahan yang sanggup mengakibatkan ancaman terhadap orang lain. Oleh alasannya yakni itu, sebagain pakar aturan beropini bahwa pelanggar mempunyai tanggung tanggapan pidana.
b) Bentuk-bentuk Kealpaan
· Kealpaan yang disadari
Disini si pelaku sanggup menyadari wacana apa yang dilakukan beserta akibatnya, akan tetapi ia percaya dan mengharap-harap bahwa kesannya tidak akan terjadi.
· Kealpaan yang tidak disadari
Dalam hali ini si pelaku melaksanakan sesuatu yang tidak menyadari kemungkinan akan timbulnya sesuatu akibat, padahal seharusnya ia sanggup menduga sebelumnya.
c) Jenis-jenis Kealpaan
· Kealpaan berat dan kealpaan enteng
Kealpaan berat yaitu kealpaan yang terjadi pada kejahatan aturan pidana. Sedangkan kealpaan enteng yaitu kealpaan yang terjadi pada kejahatan aturan perdata/madani. Pembagian ini tidak begitu kuat, dan secara umum dikuasai andal aturan tidak membedakan pertolongan ini.
· Kealpaan materi dan kealpaan teknis
Kealpaan materi maksudnya yakni tidak memperhatikan keharusan untuk berhati-hati atau tidak memperhatikan larangan yang ditekankan pada seseorang. Seperti seorang dokter yang sedang menilik pasien dan dokter tersebut dalam keadaan mabuk/kurang hati-hati, kemudian dokter tersebut salah mempersembahkan obat pada pasien, atau saat operasi lupa mengeluarkan alat operasi dari badan pasien. Kealpaan teknis yakni kesalahan yang dilakukan oleh para andal dalam bidang tertentu. Seperti dokter yang sedang mengoperasi pasien namun tidak mengikuti mekanisme yang ada, atau seorang arsitek tidak melaksanakan mekanisme pembangunan yang ada sehingga terjadi keruntuhan. Pembagian ini juga diperihal para andal hukum.[3]
D. Unsur Nonmateri dalam Pelanggaran (Ringan)
Dalam kaedah umum pelanggarang enteng disebutkan bahwa aturan tidak mensyaratkan terjadinya pelanggaran ini adanya kesalahan disengaja atau tidak disengaja yang ialah unsur maknawi. Ahli aturan Perancis beropini bahwa terdapat pelanggaran yang cukup dengan unsur materi. Akan tetapi, kenyataanya bahwa tidak ada kejahatan tanpa adanya unsure maknawi/nonmateri. Kaedah ini digunakan dalam aturan modern, lantaran itu dalam pelanggaran disyaratkan adanya unsur non materi. Apabila tidak dijelaskan secara terang unsur nonmateri dalam aturan atau undang-undang, maka hal ini diserahkan pada hakim dan forum peradilan, sehingga hakim sanggup meperberat hukuman tau meentengkannya.
E. Pertanggungjawabanan Atas Perbuatan Orang Lain
Dalam peraturan aturan pidana modern terdapat dasar atau asas tanggung tanggapan pidana pribadi dan asas hukuman pribadi. Begitu juga aturan mensyaratkan tidak adanya hukuman kecuali pada seseorang yang sudah diputuskan atas kesalahannya. Akan tetapi, terdapat pengecualian , yaitu dihukumnya seseorang yang tidak ikut dalam penyertaan tindak pidana dengan sifat serikat.
misalnya adalah, didiberikannya hukuman pada pimpinan redaksi sebuah majalah atau Koran atas kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan pada medianya. Si pemimpin redaksi tersebut tidak sanggup pemaafan kecuali jikalau mengeluarkan pernyataan bahwa ia tidak mengetahui kejahatan yang dilakukan medianya.[4]
F. Hal-Hal Yang Menghalangi/Meniadakan Pertangungjawabanan Pidana
Ada beberapa hal atau alasan seseorang yang melaksanakan tindak pidana tapi tidak dijatuhi pidana atau bertanggung tanggapan terhadap tindak pidana. Alasan tersbut yakni sebagai diberikut:
1) Alasan tidak sanggup dipertanggungjawabankannya seseorang yang terletak pada diri orang itu, yakni :
· Pertumbuhan jiwa yang tidak tepat atau gangguan kejiwaan atau gila.
· Umur yang masih muda (terkena umur yang masih muda ini di Indonesia dan juga di negeri Belanda semenjak tahun 1905 tidak lagi ialah alasan penghapus pidana, melainkan menjadi dasar untuk mempeenteng hukuman).
2) Alasan tidak sanggup dipertanggungjawabankannya seseorang yang terletak di luar orang itu, yaitu:
· Daya paksa atau overmacht;
misal: A mengancam B, kasir bank, dengan meletakkan pistol di dada B, untuk menyerahkan uang yang disimpan oleh B, B sanggup menolak, B sanggup berpikir dan menentukan kehendaknya antara menyerahkan atau tidak. Di sini harus dilihat mana daya yang kuat, si A atau si B, jikalau daya tekan A lebih kuat, dan B terpaksa menyerahkan uang, maka B tidak dijatuhi pidana. Akan tetapi jikalau daya B berpengaruh dan mempunyai daya untuk tidak menyerahkan, maka jikalau B menyerahkan uang pada A, ia akan dikenakan pidana.
· Pembelaan terpaksa atau noodweer;
misal: Si A mengajak kelahi dengan si B, A mengeluarkan pisau dan ada kinginan membunuh si B, B terpaksa mengambil kerikil dan memukul kepala si A sehingga A mati.
· Dalam keadaan darurat;
misal: Ada dua orang yang lantaran kapalnya tenggelam hendak menyelamatkan diri dengan berpegangan pada sebuah papan, padahal papan itu tak sanggup menahan dua orang sekaligus. Kalau kedua-duanya tetap berpegangan pada papan itu, maka kedua-duanya akan tenggelam. Maka untuk menyelamatkan diri, seorang diantaranya mendorong kawannya sehingga yang di dorong mati tenggelam dan yang mendorong terhindar dari maut. Orang yang mendorong tersebut tidak sanggup dipidana, lantaran ada dalam keadaan darurat. Mungkin ada orang yang memandang perbuatan itu berperihalan dengan norma kesusilaan, namun berdasarkan aturan perbuatan ini lantaran sanggup dipahami bahwa ialah naluri setiap orang untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya.
· Melaksanakan perintah jabatan .
misal: seorang biro polisi mendapat perintah dari kepala kepolisian untuk menangkap seorang agitator dalam suatu rapat umum atau umumnya seorang yang dituduh sudah melaksanakan kejahatan, tetapi ternyata perintah tidak beralasan atau tidak sah. Disini biro polisi tidak sanggup dipidana lantaran ia patut menduga bahwa perintah itu sah dan pelaksanaan perintah itu ada dalam batas wewenangnya.
Perbedaan antara keadaan darurat dan pembelaan darurat :
v Dalam keadaan darurat sanggup dilihat adanya perbenturan antara kepentingan aturan dan kewajiban hukum.
v Dalam pembelaan darurat situasi darurat ini ditimbulkan oleh adanya perbuatan melawan aturan yang sanggup dihadapi secara sah, dengan perkataan lain dalam keadaan darurat hak berhadapan dengan hak, sedang dalam pembelaan darurat, hak berhadapan dengan bukan hak.
v Dalam keadaan darurat tidak perlu adanya serangan, sedang dalam pembelaan darurat harus ada serangan.
v Dalam keadaan darurat orang sanggup bertindak berdasarkan aneka macam kepentingan atau alasan sedang dalam pembelaan darurat, pembelaan itu syarat-syarat sudah ditentukan secara limitative.[5]
BAB III
PENUTUP
Simpulan :
Kesalahan yakni perbuatan melawan aturan dimana seseorang dipertanggungjawabankan secara aturan pidan atas perbuatannya. Dua bentuk kesalahan yaitu kesalahan disengaja dan kesalahan tidak disengaja. Kesalahan disengaja yaitu jikalau seseorang melaksanakan tindak kejahatan, mengetahui dan menghendaki akhir dari perbuatannya tersebut. Sedangkan kesalahan tidak sengaja yaitu jikalau seseorang melaksanakan tindak kejahatan, mengetahui akhir dari perbuatannya tanpa menghendaki akibat dari tindakannya tersebut.
Maka dari uraian tersebut diatas, sanggup dikatakan bahwa jikalau ada kekerabatan antara batin pelaku dengan akhir yang timbul lantaran perbuatannya itu atau ada kekerabatan lahir yang ialah kekerabatan kausal antara perbuatan pelaku dengan akhir yang dihentikan itu, maka hukuman pidana sanggup dijatuhkan kepada si pelaku atas perbuatan pidananya itu.
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Sakijo Aruan, Hukum Pidana Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Kodifikasi, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990.
Hamzah Andi, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 1991.
Poernomo Bambang, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1993.
Artikel :
Muhammad Rakhmat Alam, 2012, Kesalahan dalam Hukum Pidana,
[1] Aruan Sakijo, Hukum Pidana Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Kodifikasi, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990), h. 66-68.
[2] Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), h. 83-108.
[3] http://wonkdermayu.wordpress.com/kuliah-hukum/hukum-pidana/, diakses pada hari Sabtu, 05 Oktober 2013, jam 09:00 Wita.
[4] Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1993), h. 180.
https://tombakilmukita.blogspot.com//search?q=kesalahan-dalam-hukum-pidana, diakses pada hari Minggu, 06 Oktober 2013, Jam 14:00 Wita.
Posting Komentar untuk "Kesalahan Dalam Tindak Pidana"