Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Peradilan Agama



BAB I
PENDAHULUAN

Dalam membicarakan aturan Islam dan peradilan agama, sentra perhatian akan ditujukan pada kedudukan aturan Islam dalam system aturan nasional. System aturan Indonesia sebagai akhir dari perkembangan sejarahnya bersifat majemuk. Disebut demikian alasannya yakni hingga kini di negara republik Indonesia berlaku beberapa sistem aturan yang memiliki corak dan susunan sendiri. Sejak pertama kehadiran Islam pada masa ke-7 Masehi tata aturan Islam sudah dipraktikkan dan dikembangkan dalam lingkungan masyarakat dan peradilan Islam. para era kekuasaan kesultanan dan kerajaan-kerajaan Islam, peradilan agama sudah hadir secara formal. Ada yang beranama peradilan penghulu menyerupai di Jawa. Mahkamah Syar’iyah di Kesultanan Islam di Sumatera, Peradilan Qadi di Kesultanan Banjar dan Pontianak.
Namun sangat diakungkan, walaupun pada masa kesultanan sudah berdiri secara formal peradilan agama serta status ulama memegang peranan sebagai penasihat dan hakim, belum pernah disusun buku aturan positif yang sistematik. Hukum yang diterapkan masih abstraks yang ditarik dari kandungan keyakinan fikih. Sehingga dari paparan tersebut penulis tertarik menggali lebih dalam tentang aturan yang terkandung dalam peradilan agama dalam sebuah judul makalah yaitu pengembangan aturan material dalam peradilan agama.



BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Peradilan Agama
Pengadilan Agama ialah salah satu kekuasaan kehakiman yang bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menuntaskan kasus perdata tertentu bagi orang yang beragama Islam sebagaimana yang dirumuskan dalam pasal 2 UU No. 7 tahun 1989 tentang PA. Pengadilan Agama yakni salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam terkena kasus perdata tertentu yang diatur dalam undang-undang ini. melaluiataubersamaini demikian keberadaan Pengadilan Agama dikhususkan kepada masyarakat negara Indonesia yang beragama Islam.

B.       Unsur Peradilan dan Syarat Menjadi Hakim
Dalam literatur Fiqih Islam untuk berjalannya peradilan dengan baik dan normal, dibutuhkan adanya enam unsur, yakni:
1.    Hakim atau Qadhi
Yaitu orang yang diangkat oleh kepala Negara untuk menjadi hakim dalam menuntaskan gugat menggugat, oleh alasannya yakni penguasa sendiri tidak sanggup menuntaskan kiprah peradilan.
2.    Hukum
Yaitu putusan hakim yang diputuskan untuk menuntaskan suatu perkara. Hukum ini adakalanya dengan jalan ilzam, yaitu menyerupai hakim berkata saya menghukum engkau dengan membayar sejumlah uang. Ada yang beropini bahwa putusan ilzam ini ialah memutuskan sesuatu dengan dasar yang menyakinkan menyerupai berhaknya seseorang anggota serikat untuk mengajukan hak syuf’ah, sedang qadha istiqaq ialah memutuskan sesuatu dengan aturan yang diperoleh dari ijtihad, menyerupai seorang tetangga mengajukan hak syuf’ah.
3.    Mahkum Bihi
Di dalam qadha ilzam dan qadha istiqaq yang diharuskan oleh qadhi si tergugat harus memenuhinya. Dan didalam qadha tarki ialah menolak gugatan. Karena demikian maka sanggup disimpulkan bahwa mahkum bihi itu yakni suatu hak.
4.    Mahkum Alaih (si terhukum)
Yaitu orang yang dijatuhkan eksekusi atasnya. Mahkum alaih dalam hak-hak syara’ yakni yang diminta untuk memenuhi suatu tuntutan yang diharapkan kepadanya. Baik tergugat ataupun bukan, seorang ataupun banyak.
5.    Mahkum Lahu
Yaitu orang yang menggugat suatu hak. Baik hak itu yang murni baginya atau terdapat dua hak tetapi haknya lebih kuat.
6.    Perkataan atau perbuatan yang menunjuk kepada aturan (putusan)
Dari pernyataan tersebut nyatalah bahwa memutuskan kasus spesialuntuk dalam suatu kejadian yang diperkarakan oleh seseorang terhadap lawannya dengan mengemukakan gugatan-gugatan yang sanggup diterima. Oleh alasannya yakni itu, sesuatu yang bukan ialah kejadian tapi masuk dalam bidang ibadah tidak masuk dalam bidang peradilan.
Dalam hal pengangkatan seorang hakim dalam literature-literatur fiqih, para hebat mempersembahkan syarat-syarat untuk mengangkat seseorang menjadi hakim, walau ada perbedaan dalam syarat-syarat yang mereka diberikan, namun ada pula yang disahkan. Syarat yang dimaksudkan ada enam yaitu:
1.      Laki-laki yang merdeka.
2.      Berakal (mempunyai kecerdasan)
3.      Beragama Islam.
4.      Adil.
5.      Mengetahui Segala Pokok Hukum dan Cabang-Cabangnya.
6.      Mendengar, Melihat dan Tidak Bisu.[1]

C.      Undang-Undang Peradilan Agama
Peradilan Agama sudah ada semenjak agama Islam hadir ke Indonesia, itulah yang kemudian diakui dan dimantapkan kedudukannya di Jawa dan Madura tahun 1882, di Kalimantan Selatan tahun 1937 dan di luar Jawa, Madura, dan Kalimantan Selatan pada tahun 1957, dan namanya kini Pengadilan Agama. Penyatuan nama ini dilakukan dengan keputusan Menteri Agama No. 6 tahun 1980 (ketika Menteri H. Alamsah Ratu Perwira Negara). Semuanya berada di bawah pengawasan Mahkamah Agung RI dalam menyelenggarakan peradilan dan pembinaannya.[2]
Semula ada beberapa problem yang menempel pada peradilan agama sehingga tidak bisa melaksanakan tugasnya melaksanakan kekuasaan kehakiman secara sanggup berdiri diatas kaki sendiri menyerupai yang dikehendaki oleh Undang-Undang NO. 14 tahun 1970 waktu itu yang menjadi induknya (yang kini tidak berlaku lagi), tapi kini dengan keluarnya Undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama berarti sudah hilanglah problem susunan, problem kekuasaan dan problem program peradilan agama yang selama ini dianggap menjadi masalah.[3] Waktu itu ketika Undang-Undang Peradilan lainnya sudah simpulan dibuat sedangkan Undang-Undang Peradilan Agama belum, maka dalam rangka melaksanakan Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman (yang kini tidak berlaku lagi), maka Menteri Agama atas nama pemerintahan memberikan naskah Rancangan Undang-Undang (RUU) Peradilan Agama kepada dewan perwakilan rakyat untuk disetujui.[4]
Sesudah Rancangan Undang-Undang (RUU) itu disetujui dan disahkan oleh presiden tanggal 29 Desember 1989 dengan demikian tercapailah:
1.      Terlaksananya ketentuan-ketentuan yang termaktub dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman, terutama yang disebut dalam Pasal 10 ayat 1 dan pasal 12.
2.      Terjadi pembaruan aturan dalam makna peningkatan dan penyempurnaan pembagunan aturan nasional di bidang Peradilan Agama.
3.      Peradilan Agama sebagai pelaksanaan kekuasaan kehakiman akan bisa melaksanakan sendiri keputusan-keputusannya alasannya yakni sudah memiliki kelengkapan aturan program dan perangkat aturan lainnya. Kini kedudukannya benar-benar sejajar dan sederajat dengan pengadilan-pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, militer, dan tata perjuangan Negara.
4.      Kini pengadilan agama sudah memiliki kewenangan yang sama di seluruh Indonesia kecuali peradilan Islam lainnya.
5.      Terciptanya unifikasi aturan program peradilan agama yang sudah dipakai sebagai pegangan oleh tiruana pihak. Baik hakim maupun para pihak. melaluiataubersamaini demikian, berarti sudah memungkinkan terwujudnya ketertiban dan kepastian aturan yang diberintika keadilan dalam lingkungan peradilan agama.
6.      Lebih memantapkan perjuangan penggalian banyak sekali asas dan kaidah aturan melalui yurisprudensi dalam kekerabatan ini termasuk asas-asas dan kaidah aturan Islam sebagai salah satu materi baku dalam penyusunan dan pembangunan aturan nasional.
Undang-udang Peradilan Agama terdiri dari tujuh belahan yakni 108 Pasal dengan meliputi: Bab I memuat tentang ketentuan-ketentuan umum tentang pengertian, kedudukan, kawasan kedudukan dan training pengadilan dalam lingkungan peradilan agama, Bab II mengatur tentang susunan peradilan agama dan pengadilan tinggi agama, Bab III mengatur tentang kekuasaan pengadilan dalam lingkungan peradilan agama, Bab IV menyebut soal biaya kasus yang diatur oleh Menteri Agama dengan persetujuan Mahkamah Agung menurut asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya enteng. Bab V menyebut ketentuan-ketentuan lain terkena manajemen peradilan, proteksi kiprah para hakim, panitera dalam melaksanakan tugasnya masing-masing. Bab VI terkena ketentuan-ketentuan peralihan, Bab VII tentang ketentuan penutup. Di sini ditegaskan bahwa pada ketika mulai berlakunya Undang-Undang Peradilan Agama di Jawa dan Madura, di sebagian (bekas) residensi Kalimantan Selatan dan Timur dan di belahan lain wilayah RI ditetapkan tidak berlaku lagi.
Dari uraian pasal ini sanggup disimpulkan bahwa gotong royong semenjak Islam masuk ke Indonesia, Peradilan Agama sudah ada. Tahun 1882 itu yakni tahun akreditasi Belanda sebagai penjajah terhadap peradilan agama. melaluiataubersamaini keluarnya Undang-Undang No. 7 tahun 1989 tentang peradilan agama, berarti peradilan agama dalam melaksanakan tugasnya sudah sanggup berdiri diatas kaki sendiri dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman.[5]











BAB III
PENUTUP

Simpulan
Pengadilan Agama yakni salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam terkena kasus perdata tertentu yang diatur dalam undang-undang ini. Dalam literatur Fiqih Islam untuk berjalannya peradilan dengan baik dan normal, dibutuhkan adanya enam unsur yaitu Hakim atau Qadha, Hukum, Mahkum Bihi, Mahkum Alaih (si terhukum), Mahkum Lahu, dan Perkataan atau perbuatan yang menunjuk kepada aturan (putusan).
Undang-udang Peradilan Agama terdiri dari tujuh belahan yakni 108 Pasal dengan meliputi: Bab I memuat tentang ketentuan-ketentuan umum tentang pengertian, kedudukan, kawasan kedudukan dan training pengadilan dalam lingkungan peradilan agama, Bab II mengatur tentang susunan peradilan agama dan pengadilan tinggi agama, Bab III mengatur tentang kekuasaan pengadilan dalam lingkungan peradilan agama, Bab IV menyebut soal biaya kasus yang diatur oleh Menteri Agama dengan persetujuan Mahkamah Agung menurut asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya enteng. Bab V menyebut ketentuan-ketentuan lain terkena manajemen peradilan, proteksi kiprah para hakim, panitera dalam melaksanakan tugasnya masing-masing. Bab VI terkena ketentuan-ketentuan peralihan, Bab VII tentang ketentuan penutup. Di sini ditegaskan bahwa pada ketika mulai berlakunya Undang-Undang Peradilan Agama di Jawa dan Madura, di sebagian (bekas) residensi Kalimantan Selatan dan Timur dan di belahan lain wilayah RI ditetapkan tidak berlaku lagi.
DAFTAR PUSTAKA

Djalil, A. Basiq, Peradilan Agama DI Indonesia, Cet. I, Jakarta: Prenada Media Group, 2006.
Fitriani, Farah, Pengadilan Agama,  http://farahfitriani.wordpress.com/2011/08/01/pengadilan-agama/ diakses Sabtu, 28 Desember 2013.
Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama & Mahkamah Syar’iyah,  Cet. II, Jakarta: SInar Grafika, 2010.
Zuhriah, Erfaniah, Peradilan Agama Di Indonesia (Sejarah Pemikiran dan Realita), Cet. II, Malang: UIN Malang Press, 2009.


[1]Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama Di Indonesia (Sejarah Pemikiran dan Realita), Cet. II, (Malang: UIN Malang Press, 2009), h. 13
[2]A. Basiq Djalil, Peradilan Agama DI Indonesia, Cet. I, (Jakarta: Prenada Media Group, 2006), h. 23
[3] Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama & Mahkamah Syar’iyah,  Cet. II, (Jakarta: SInar Grafika, 2010), h. 14
[4] Farah Fitriani, Pengadilan Agama,  http://farahfitriani.wordpress.com/2011/08/01/pengadilan-agama/ diakses Sabtu, 28 Desember 2013, jam 19:00 Wita.
[5] Ibid, h. 25

Posting Komentar untuk "Peradilan Agama"