Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hukum Tanah



HUKUM TANAH

1.        Hak Purba (Pertuanan, Ulayat) Masyarakat
I.          Pengantar
1.        Sebagai salah satu unsur esensial pembentuk negara, tanah memegang kiprah vital dalam kehidupan dan penghidupan bangsa pendukung negara yang bersangkutan, lebih-lebih yang corak agrarisnya berdominasi. Di negara yang rakyatnya berhasrat melaksanakan demokrasi yang berkeadilan sosial, memanfaatkan tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat ialah suatu conditi sine qua non.
Untuk nencapai tujuan itu, diharapkan campur tangan penguasa, cq yang kompetent dalam urusan tanah, khususnya terkena lahirnya, berpindahnya dan berakhirnya hak milik atas tanah.
Di lingkungan aturan adat, campur tangan itu dilakukan oleh kepada banyak sekali komplotan hukum, mirip Kepala atau Pengurus Desa. Sedangkan di lingkungan BW oleh seorang pejabat yang bertugas mengurus hal balik nama dari tanah eigendom, tanah erfpacht dan lain-lain (sekarang Kepala Kantor Kadaster: berdasarkan PP 10/1961 jo Siaran Pemerintahan no. 94 tahun VI tanggal 6-12-1961: balik nama dilakukan di hadapan Notaris atau camat yang bersangkutan.
2.        Bagi persekutuan-persekutuan aturan Indonesia yang kecil (terutama yang bersifat teritorial) dan hampir seluruhnya bertitik tumpu pada pertanian itu, suatu wilayah bukan spesialuntuk ialah tempat mempertahankan hidup semata, terapi kepada wilayah itulah orang juga terikat. Tanah ialah modal utama; bagi kepingan terbesar dari wilayah-wilayah itu bahkan ialah satu-satunya modal.
Oleh lantaran itu, komplotan setempat (dorpsgemeensehap) atau komplotan wilayah (streekgemeensehap) bukan spesialuntuk ialah komplotan aturan belaka, melainkan terutama komplotan usaha, dengan tanah selaku modal; suatu perusahaan tempat intinya tiruana anggota komplotan yang bersangkutan memiliki dan memenuhi kewajiban serta sumber mereka terutama memperoleh kemungkinan membina penghidupannya.
Sehubungan dengan itu, maka uraian wacana aturan tanah harus dipertamai dengan illustrasi wacana komplotan aturan itu sendiri. Sebab hak-hak perorangan dalam komplotan tersebut sanggup juga dipandang sebagai pelaksanaan dari aturan tanah itu oleh masing-masing anggota persekutuan. Hak-hak komplotan dan hak- hak perorangan setiap anggotanya pengaruh-mempengaruhi. Hak komplotan ini disebut hak purba (Djojodigoeno), hak pertuanan (Supomo), hak ulayat (UUPA) dan di masa kemudian ialah hak tertinggi atas tanah susila di seluruh Nusantara ini.
II.       Definisi berserta Ciri-cirinya
Hak purba ialah hak yang dipunyai oleh suatu suku (dan/gens/stam), sebuah serikat desa-desa (dorpenbond) atau biasanya oleh sebuah desa saja untuk menguasai seluruh tanah seisinya dalam lingkungan wilayahnya.
Ciri-ciri pokok yang terlihat dengan terperinci di luar Jawa ialah :
1.        Hanya komplotan aturan itu sendiri beserta para masyarakatnya yang berhak dengan bebas mempergunakan tanah-tanah liar di wilayah kekuasaannya.
2.        Orang luar spesialuntuk boleh mempergunakan tanah itu dengan izin penguasa komplotan tersebut; tanpa izin itu ia dianggap melaksanakan pelanggaran
3.        Warga sepersekutuan aturan boleh mengambil manfaat dari wilayah hak pruba dengan restriksi: spesialuntuk untuk keperluan somah/brayat/keluarganya sendiri; jikalau dimanfaatkan untuk kepentingan orang lain, ia dipandang sebagai orang asing, sehingga harus mendapat izin lebih lampau. Sedangkan orang absurd spesialuntuk diperkenankan mengambil manfaat dari wilayah hak purba dengan izin Kepala komplotan aturan disertai pembayaran upeti, mesi (recognitie, retributie); kepada komplotan hukum.
4.        Persekutuan aturan bertanggungjawaban atas segala hal yang terjadi dalam wilayahnya, terutama yang berupa tindakan melawan hukum, yang ialah delik.
5.        Hak purba tidak sanggup dilepaskan, dipindah tangankan, diasingkan untuk selamanya.
6.        Hak purba meliputi juga tanah yang sudah digarap, yang sudah diliputi oleh hak perorangan.
Keterangan
Ad.1. Hak komplotan beserta masyarakatnya
A.       Hubungan Hak Purba dengan Hak Perorangan
Di banyak sekali kepingan Hindia Belanda terdapat lingkungan-lingkungan hak purba yang satu sama lain dipisahkan oleh wilayah-wilayah tak bertuan yang luas. Di bagian-bagian lain terdapat wilayah-wilayah yang di situ hampir tak ada sebidang tanahpun yang termasuk dalam hak purba. Hak purba itu di tempat yang satu masih berpengaruh sedang di tempat yang lain sudah lemah. Dan tanda-tanda yang bersifat umum ialah semakin maju dan bebas penduduk dalam usaha-usaha pertaniannya, semakin lemahlah hak purba itu dengan sendirinya. Akhirnya jikalau hak purba itu sudah lemah sama sekali maka dengan sendirinya hak perorangan (hak milik Bumiputra) akan berkembang dengan pesatnya.
Fakta tersebut sanggup dirumuskan demikian : hak purba dan hak perorangan itu bersangkut paut dalam hubungan kempis mengembang, desak mendesak, batas membatasi, mulur mungkret tiada henti. Di mana hak purba kuat, di situ hak perorangan lemah; demikian pula sebaliknya.
misal
Hak rakyat tani di Jawa atas tanahnya mengalami perkembangan melalui taraf-taraf yang menggambarkan makin menipisnya hak purba komplotan huku, sejalan dengan makin menebalnya hak perorangan.
(1)     Sistem bluburan; Milih Komunal dengan pertolongan periodik
Tanah kulian pertanian dibagi dalam beberapa bidang dengan pematang-pematang (galengan) sebagai batas pemisahnya. Setiap bidang dikerjakan oleh seorang petani. Sesudah pguan, galengan-galengan itu dihapus (“diblubur”). Menjelang masa menggarap diadakan pembidangan kembali yang tidak sama dengan pertolongan tiruanla. Dan pada rasa tanam yang diberikut ini masing-masing petani mendapat bidang tanah yang lain, sehingga hubungannya dengan tanah garapannya tidak terap, tidak kontinu
(2)     Matok galeng, gilir wong
Tanah kulian pertanian dibagi dalam beberapa bidang yang terap, tidak diblubur setiap habis pguan. Tetapi kepingan masing-masing petani itu gilir berganti setiap masa tanam. Masing-masing petani tidak/belum mau memperbaiki tanah garapannya, lantaran ia tahu bahwa masa tanam diberikutnya ia akan mendapat bidang tanah yang lain.
(3)     Matoh galeng, matok wong
Di samping petani yang mendapat kepingan yang berganti-ganti, ada juga yang mendapat kepingan tetap. Terapi tanah itu spesialuntuk dikuasainya seumur hidupnya sendiri. Sesudah ia meninggal, maka Desalah yang akan menentukan kepada siapa tanah itu akan diserahkan: kembali kepada komplotan aturan sendiri ataukah kepada masyarakat lain dalam komplotan aturan tersebut.
(4)     Tanah sanggup diwariskan, disertai pembiasan
Tanah yang dikuasai seumur hidup itu sanggup diwariskan; terapi dilarang dibagi: spesialuntuk salah seorang anaknya yang belum menjadi kulilah yang boleh mewaris tanah tersebut. Namun tanah tersebut dilarang dijual.
(5)     “Tebok” dengon seleksi
A, seorang petani pemegang hak. atas tanah kulian, memiliki banyak utang. Agar sanggup melunasi utangnya, ia bersedia melepaskan (bukan menjual) tanah kulian tersebut. Siapa yang mau “tebok” (membayar utang A), dialah yang menggantikan kedudukan A selaku kuli.
Pembatasannya : orang yang akan mentebok haruslah masyarakat sedesa yang belum memiliki tanah kulian.
(6)     Pemegang tanah kulian pada sub (5) (si A) boleh menjual tanahnya kepada “pentebok” yang memenuhi syarat restriktif tersebut di atas.
(7)     Pemegang tanah kulian tadi boleh menjual tanahnya kepada “pentebok” masyarakat sedesa yang paling banyak gres memiliki satu bidang tanah kulian.
(8)     Tanah kulian tersebut boleh dijual kepada masyarakat desa lain, terapi harus ada jugul (penggantinya) di desa penjual.
B.       Kedudakan Hak Ulayat dalam  UUPA
Hak purba komplotan aturan diakui dengan tegas di dalam UUPA (UU No. 5/1960, LN 1960/104). Dalam pasal 3 ditetapkan “melaluiataubersamaini mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 + 2, pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat aturan adat, sepanjang berdasarkan kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa, serta dilarang berperihalan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan (hukum) lain yang lebih tinggi”.
Tentang pelaksanaan hak ulayat itu dijelaskan dalam pasal 5 UUPA sebagai diberikut: “Hukum Agraria yang berlaku atas bumi air dan ruang angkasa ialah Hukum Adat, sepanjang tidak berperihalan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang berdasarkan aturan agama”
Ini berarti: berdasarkan hak ulayat yang bersumberkan aturan susila ini, masyarakat aturan yang bersangkutan dilarang mengalangi pemdiberian hak guna perjuangan yang hendak dilakukan oleh pemerintah.
Jika pemerintah contohnya hendak melaksanakan pembukaan hutan secara besar-bemasukan dan teratur dalam rangka proyek-proyek besar untuk penambahan materi makanan dan transmigrasi. Maka hak ulayat dari suatu masyarakat Hukum Adat dilarang dijadikan penghalang. Jika hak ulayat dari masyarakat aturan itu sanggup menghambat dan mengalangi sesuatu, maka kepentingan umum akan dikalahkan oleh kepentingan masyarakat-masyarakat aturan yang bersangkutan. Ini tidak sanggup dibenarkan; dengan kata lain: kepentingan suatu masyarakat aturan harus tunduk kepada kepentingan nasional dan Negara.
Di dalam Memori Penjelasan ditegaskan : "Tidaklah sanggup dibenarkan, jikalau di dalam alam bememgara sampaumur ini suatu masyarakat aturan masih mempertahankan isi dan pelaksanaan hak ulayatnya secara mutlak, seperti ia terlepas dari hubungan dengap masyarakat aturan dan daerah-daerah lainnya di dalam lingkungan Negara sebagai kesatuan.
Jika dipertahankan perilaku demikian, maka ini terang berperihalan dengan asas pokok yang tercantum dalam pasal 2 UUPA yang berbunyi: "Atas dasar ketentuan dalam pasal 33/3 Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal l, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu padi tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat" (ayat-l).
Terapi penguasaan ini memang harus “digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara Hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur,.(pasal 2/3 UUPA).
Ad. 2 + 3 : Perbedaan Hdk Warga Asli dan Penhadir
Penhadir yang ingin ikut mempergunakan tanah dalam lingkungan hak pertuanan, harus membayar uang-pemasukan (Aceh), mesi (jawa) sebagai bukti bahwa ia di situ yaitu orang asing. Ia dianggap sebagai penumpang, sehingga hak yang diperolehnya tidak sama dengan hak masyarakat asli. walaupun penhadir yang sudah usang menjadi penduduk wilayah yang bersangkutan mendapat hak-hak lebih berpengaruh yang mirip orang orisinil di wilayah tersebut, namun bila ia meninggalkan tempat kediamannya, maka kembalilah perilaku komplotan aturan itu terhadapnya mirip sikapnya tiruanla, yaitu orang tersebut kembali pula menjadi orang asing.
Di Jawa orang masih biasa membedakan antara keturunan penduduk orisinil dengan orang berasal dari tempat lain. Orang Batak membedakan anggota marga yang berkuasa daam suatu wilayah dari anggota marga penumpang (marga tanah - marga paripe).
Ad. 4. Soal tempat terjadinya peristiwa
1)      Sikap komplotan aturan ke luar terkena tanah purbanya ternyata dari adanya rasa tanggung balasan bersama atas segala sesuatu yang terjadi dalam lingkungan tanah purba tersebut. Pencurianatau pembunuhan yang tidak terang pelakunya menjadi tanggung balasan bersama seluruh komplotan aturan yang memiliki tanah purba tempat terjadinya kejahatan tersebut.
Jika hal itu terjadi di tapal batas wilayah, maka komplotan aturan yang berhak atas tanah tempat insiden itu boleh membebaskan diri dari tanggung-jawabannya, asal komplotan tersebut melepaskan hak-haknya atas bidang tanah yang bersangkutan.
Tentu saja orang berusaha tidakboleh hingga terjadi hal-hal semacam itu. Oleh lantaran itu penjagaan tapal batas termasuk kewajiban penting untuk masyarakat komplotan hukum, sehingga acapkali ditunjuk pejabat-pejabat istimewa untuk melahirkan kiprah tersebut.
Di Minangkabau penjaga batas itu disebut "Jaring", di Ambon = "Kepala kewang; di Minahasa = “Tererusan”.
2)      Di samping pertanggung-jawabanan tadi, ada pertanggung-jawabanan yang lain, dengan dasar yang tidak sama pula, ialah : pertanggung-jawabanan segolongan sanak-saudara atas tindakan salah seorang anggotanya. (Gayo, Batak, Jambi, Lampung, Toraja, Makasar, Seram : Tanggung-menanggung).
Dipandang sepintas lalu, mungkin kedua macam pertanggungan jawabanan itu jumbuh {identik}, bila suatu golongan sanak-saudara selaku komplotan aturan mendiami sendiri suatu wilayah tertentu.
Namun kedua macam pertanggung-jawabanan yang tidak sama mutlak itu didalam aturan susila terap nampak berdampingan.
Ad. 5 + 6 : lemah-kuatnya Hak Purba
1)        Hak purba yang lemah contohnya nampak pada transaksi tanah pertanian (jual gadai, lepas dan sebegainya) yang memerlukan menolongan dari Kepala komplotan aturan yang bersangkutan.
2)        Hak Purba yang berpengaruh nampak contohnya dalam pencabutan hak tanpa ganti kerugian, yaitu :
a. pada tanah yang ditinggalkan;
b. pada tanah masyarakat desa yang berpindah ke tempat lain;
c. pada tanah yang pemiliknya meninggal dengan tiada mahir waris.
Dalam ketiga hal itu tanahnya kembali kepada komplotan hukum, yang sanggup mempersembahkan hak atasnya kepada orang lain atau memakainya untuk kepentingan umum: sebagai tanah pekuburan, tempat menggembala ternak dan sebagainya.
Jelaslah kiranya bahwa hak purba itu ialah bingkai dan mengatur seluruh hak penduduk (perorangan) dan hak purba masyarakat yang berada di dalamnya, yang satu sama lain desak-mendesak atau batas-membatasi.
2.        Hak Perorangan
A.    Definisi beserta jenis-jenisnya
Hak perorangan ialah hak yang didiberikan kepada masyarakat desa ataupun orang luar atas sebidang tanah yang berada di wilayah hak purba komplotan aturan yang bersangkutan.
Jenis hak perorangan yang terpenting ada 6 (enam):
I.       Hak milik, hak yasan (inlands bezitrecht);
II.    Hak wenang pilih, hak kinacek, hak menlampau (voor-keursrecht);
III. Hak menikmati hasil (genotrecht);
IV. Hak pakai (gebruiksrecht) dan hak menggarap/mengolah (ontginningsrecht);
V.    Hak imbalan jabatan (ambtelijk profijt recht);
VI. Hak wenang beli (naastingsrecht).
B. Uraian
I. Hak Milik
(1) Intensitas dan batasnya
Hak milik ialah hak terkuat di antara hak-hak perorangan. Pemilik tanah yang berhak penuh atasnya itu harus menghormati:
1.      Hak purba komplotan hukumnya;
2.      Kepentingan para pemilik tanah lainnya;
3.      Peraturan-peraturan, Hukum, inklusif Hukum Adat.
(II) Teknik memperolehnya,
Hak milik atas tanah sanggup diperoleh dengan jalan :
1.      membuka tanah hutan/tanah belukar;
2.      mewaris tanah;
3.      menerima tanah lantaran pembelian, penukaran, hadiah;
4.      daluwarsa (verjaring).
Keterangan :
1.      Membuka tanah
Seorang lndonesia orisinil masyarakat komplotan aturan memiliki hak membuka tanah hutan ataupun belukar yang termasuk lingkungan purba komplotan hukumnya. Untuk itu, cukuplah ia dengan diketahui kepala Persekutuan menentukan sebidang tanah, menempatkan tanda-tanda batas (sawen berupa janur kuning ataupun kepala kerbau) dan memdiberi sedekah berupa selamatan sekedar berdasarkan susila kebiasaan setempat.
melaluiataubersamaini demikian terciptalah suatu hubungan hukum-antara si pembuka tanah dengan tanahnya, dengan konsekwensi ia berhak mengolahnya, sedang orang lain dilarang mengganggunya.
Akan terapi lantaran tiruana tanah dalam lingkungan komplotan aturan itu bertujuan untuk dimanfaatkan demi kepentingan komplotan aturan beserta para masyarakatnya masing-masing, maka si pembuka tanah juga harus menandakan bahwa ia betul-betul memanfaatkan tanah yang dibukanya itu. Ia harus melanjutkan pekerjaan itu dengan mengolahnya sebagai tanah pertanian atau pekarangan untuk keperluan somahnya.
Andaikata tanah yang sudah didiberi sawen itu dibiarkan membelukar (kembali), maka ia sanggup ditegur oleh Kepala komplotan aturan dan dihadapkan kepada alternatif : mengolah tanah tersebut atau menyerahkannya kembali semoga sanggup digarap oleh orang lain.
melaluiataubersamaini mengolah tanah itu, si pembuka hutan/belukar memperoleh hak menikmati hasil; hak ini dengan sendirinya mengurangi  intensitas hak purba yang bersangkutan.
Hak menikmati hasil itu berlaku hingga dengan pguan pertama. Jika sehabis itu tanah tadi dibiarkan tidak terolah, ia masih memiliki hak wenang pilih sementara lamanya untuk menggarap tanah tersebut. Terapi sehabis tanah itu membelukar kembali, maka hapuslah hak tadi dan hak purba komplotan aturan tersebut, pulih kembali sepenuhnya.
Hak menikmati hasil itu lambat - laun sanggup menjadi hak milik, bila tanah tadi diolah secara kontinu dengan ditanami pohon-pohon, tumbuhan tahun, buah-buahan; karet, kopi dan sebagainya atau dijadikan persawahan.
2. Mewaris tanah
(I) Pengaruh hubungan hak purba - hak perorangan
Di mana hak purba komplotan aturan menipis, di situ mahir waris dari pemilik lanah yang meninggal, selalu mendapat hak milik atas tanah itu sebagai warisan. Tinggal lagi, tergantung kepada isi Hukum Adat di masing-masing wilayah, apakaha tanah warisan itu akan lekas-lekas dibagi-bagi diantara para ahliwaris ataukah dipertahankan keutuhannya untuk sementara waktu.
Di mana hak purba komplotan aturan masih kuat, di disitu terdapat peraturan istimewa terkena hak warisan "atas tanah. Juga di wilayah dengan hak purba yang sudah kurang kuat, adakalanya masih terdapat peraturan istimewa itu.
Misal:
1)   Jawa Barat ; Hak milik atas sebidang tanah kasikepan diwaris oleh anak laki-laki tertua. Kalau anak ini sudah memiliki tanah kasikepan sendiri, maka anak laki-laki kedualah yang mewaris; begitu seterusnya.
Kalau seorang ahliwaris masih sangat muda, sehingga boleh dikatakan belum "kuat gawe", maka harus ada seorang yang mewakilinya dalam melaksanakan pekerjaan untuk keperluan desa.
Dalam hal tidak ada anak-laki-laki, tanah kasikepan diwaris oleh jandanya atau menantu laki-laki, atau oleh anaknya perempuan dengan suaminya selaku wakilnya. Ketiruananya itu dengan syarat umum: si ahliwaris harus berdiam di wilayah komplotan aturan yang bersangkutan.
2) Jawa Pusat: Sebidang tanah pekulen diwaris oleh janda si pewaris. Kalau jandanya lebih dari seorang, oleh janda yang tertua. Dalam hal tiada janda, oleh anak laki-laki tertua dari yang belum memiliki tanah pekulen. Kalau tak ada anak laki-laki, oleh anak perempuan tertua. Itupun dengan syarat umum : si ahliwaris harus berdiam di wilayah komplotan aturan yang bersangkutan.
Pembagian tanah pekulen di beberapa wilayah di Jawa Pusat, mirip di Klaten dan Purwokerta, dilakukan dalam suatu Putusan Desa. Mahkamah Agung Indonesia dalam putusannya tanggal 8 - 1 - 1958 No. 307/K/Sip./1958 menentukan : Putusan Desa itu harus dipandang suatu persetujuan Desa wacana pemindahan hak atas tanah pekulen dan oleh lantaran itu tidak ialah suatu putusan yang takluk kepada suatu investigasi lanjutan, dengan kemungkinan sanggup dibatalkan. melaluiataubersamaini demikian maka Pengadilanpun tidak sanggup membatalkan Putusan Desa tersebut.
(II) Pelaksanaan bentuk-bentuk pengoperan harta kekayaan
(1) Konsepsi
Konsepsi pewarisan berdasarkan Hukum Adat menyimpulkan 3 asas pokok:
a.       Pemindahan, penerusan dan pengoperan harta kekayaan dari seseorang kepada generasi yang menyusulnya;
b.      Perpindahan itu sanggup terjadi selama pemiliknya masih hidup, atau dimulai waktu ia masih hidup dan diakhiri pada ketika ia meninggal;
c.       Dikenal adanya forum hidup waris.
(2) Pembagian semasa  hidup
Pembagian warisan dilakukan di kala belum dewasa mulai hidup mandiri, dengan membeli tanah pertanian, ternak, alat-alat kerja dan sebagainya kepada mereka. Ini bukan hibah (hukum fiqih), bukan schenking (BW), juga bukan pemdiberian yang bertujuan menutupi belum sempurnanya yang menempel pada beberapa sistem pewarisan seperti:
a.       pemdiberian kepada anak perempuan, lantaran anak tersebut spesialuntuk berhak mendapatkan seperdua kepingan anak laki-laki;
b.      penghadiahan kepada anak angkat; lantaran hak anak tersebut tak penuh atau sama sekali tidak memiliki hak;
c.       pemdiberian kepada belum dewasa kandung oleh seorang ayah, lantaran sesungguhnya ayah tersebut harus mewariskan kepada kemenakannya, yaitu belum dewasa dari saudara-saudaranya perempuan;
d.      penghadiahan kepada belum dewasa perempuan, lantaran mereka tidak berhak mewaris,
(3) Pembagian diberbagai paguyuban hidup
a.       Dalam tertib parental
Seluruh harta-kekayaan kepunyaan kedua orang renta diwariskan samarata-samarasa kepada tiruana anaknya. Jika salah spesialis waris meninggal lebih lampau daripada pewarisnya, maka secara pergantian tempat (representasi) tiruana anak si mati ini mendapatkan hak atas kepingan warisan mendiang ayahnya/ibunya itu.
Jika meninggal itu tidak memiliki anak, harta bersama itu jatuh ke tangan kelompok kerabat suami/isteri yang masih hidup. Dan sehabis yang terakhir ini meninggal pula, harta benda itu jatuh sebagai warisan kepada sanak-kerabat kedua belah pihak. Harta kepunyaan sendiri (gana, gawan) dari pihak masing-masing jatuh ke tangan sanak-kerabatnya sendiri-sendiri.
b.      dalam tertib patrilineal
Yang menjadi ahliwaris spesialuntuklah anak laki-laki, lantaran belum dewasa perempuan keluar dari kelompok kerabat gens/suku patrilinealnya tiruanla. Jika yang meninggal itu tidak memiliki anak laki-laki, maka warisannya jatuh he tangan bapak si pewaris. Dan bila bapaknya sudah tidak ada, maka warisan tersebut menjadi milik saudara laki-laki si pewaris.
c.       dalam tertib matrilineal
Semua anak mewaris harta kekayaan ibunya, lantaran bapaknya institusional terap tinggal dalam kelompok dan/suku matrilinealnya tiruanla.
Jika yang meninggal orang laki-laki, maka ahliwarisnya ialah saudara-saudaranya yang perempuan beserta belum dewasa mereka ini (kemenakan peweris laki-laki tadi).
(40 Amanat terakhir
Bentuk ini sanggup dilaksanakan dengan 3 cara :
a.       penetapan sebagian tertentu dari harta peninggalan kepada ahliwaris tertentu pula. Pernyataan kehendak terakhir ini biasanya dilakukan di hadapan dan oleh lantaran itu dengan persetujuan (tegas-tegas ataupun diam-diam) tiruana ahliwaris;
b.      pemdiberian suatu keterapan yang mengikat segenap ahliwaris, untuk menghindarkan kemungkinan timbulnya persengketaan kelak di antara mereka. Keterapan itu biasanya dibentuk bila calon pewaris meraaa ajalnya sudah menjelang. Ia menguraikan keadaan seluruh harta kekayaannya (aktiva maupun passivanya); cara pertolongan yang dikehendakinya, dengan memutuskan siapa-siapa yang menerimanya beserta kepingan masing-masing;
c.       pembuatan surat wasiat/testament, mirip yang lazim terdapat dikalangan orang yang tunduk kepada aturan perdata BW.
3. Menerima tanah karena pembelian, penukaran hadiah
a.       Di mana hak purba komplotan aturan yang bersangkutan tipis, di situ seorang pemilik sanggup menjual, menghadiahkan atau menukarkan tanahnya kepada orang Indonesia orisinil dengan bebas; Tinggal lagi harus ada campur-tangan dari Kepala komplotan Hukum, yang bersangkutan untuk menjaga supaya keadaannya serba "terang" dan tidak terjadi perkosaan terhadap hak-hak orang lain.
b.      Dalam hal hak purba komplotan aturan itu tebal, maka hak menjual tanah itu dibatasi.
Misal: Tanah spesialuntuk sanggup dijual kepada orang Indonesia orisinil yang berdiam sewilayah; atau spesialuntuk dengan pengakuan Rapat Desa.
4. Pengaruh Daluwarsa
a.       Hukum Adat terkena dampak lampaunya waktu (daluwarsa) terhadap berlangsung atau tidaknya suatu hak atau kewajiban. Daluwarsa sebagai upaya aturan untuk memperoleh hak atas tanah sanggup dilukiskan dengan misal yang diberikut;
A memegang sebidang tanah dengan sangkaan bahwa ia pemiliknya yang sah, umpamanya selaku mahir waris pemiliknya yang sudah meninggal. Padahal ahliwaris yang bersama-sama ialah B, terapi ia tidak melaksanakan teguran atas somasi kepada A hingga bertahun-tahun lamanya.
Pada suatu ketika dapatlah dianggap bahwa lantaran daluwarsa, si B sudah tidak berhak lagi meminta kembali tanah itu dari A. Ketentuan ini perlu ditegaskan, lantaran masyarakat menghajatkan berhentinya ketidak-pastian wacana hak milik seseorang atas tanah, semoga selanjutnya kemudian lintas Hukum Adat sanggup berjalan lancar tanpa ragu.
b.      Sesuai dengan sifat Hukum Adat pada umumnya, tenggang daluwarsa itu tidak diterapkan secara tegas dalam jumlah tahun tertentu (seperti BW : 5-20-80 tahun), melainkan spesialuntuk dengan suatu jangka waktu yang dalam hal-hal tertentu dipandang cukup usang untuk mempengaruhi terap berlangsungnya atau lenyapnya suatu hak ataupun kewajiban. Dan jangka waktu yang spesialuntuk ialah pendekatan saja pada jumlah tahun tertentu itu tidak sama-beda pula di banyak sekali lingkungan aturan di Indonesia.
c.       Pada instansi terahhir maka Hakimlah yang menentukan untuk tiap-tiap wilayah, jangka waktu yang dipandang menimbulkan daluwarsa oleh Hukum Adat, berdasarkan rasa keadilan rakyat di wilayah yang bersangkutan.
II. Hak Wenang Pilih
Hak wenang plih bermanifestasi dalam 3 bentuk:
1.      Hak yang diperoleh seseorang lebih utama dari yang lain, untuk mengolah sebidang tanah yang sudah dipilihnya dengan memancangkan tanda-tanda larangan atau meninggalkan tanda-tanda pertama pengolahan di tanah itu, atas persetujuan: Kepala Persekutuan, Selama masih ada tanda-tanda batas, maka tanah itu masih ada hubungannya dengan orang yang akan menggarapnya.
Terapi hak pilih ini dilarang bertangsung lama: tanah itu harus dibuka dan diolah dalam waktu yang pantas, lantaran hak itu berlaku spesialuntuk untuk sementara saja. Jika pembukaan tanah itu tidak diselesaikan dalam waktu tertentu, meskipun sudah diperingatkan oleh Kepala Persekutuan - maka hak itu sanggup hilang/berakhir.
2.      Hak pengolahan yang diperoleh seorang pemilik tanah pertanian, lebih utama dari yang lain. atas tanah belukar yang terletak berbatasan dengan tanahnya (Sumatera Selatan, lingkungan aturan Melayu). Tanah demikian itu disebut “buntut sawah”, “kepala tanah”, “kepala kebun”.
3.      Hak yang diperoleh pengolah tanah, lebih utama dari yang lain, untuk mengerjakan sawah/ladangnya yang berangsur-angsur membelukar kembali sehabis pguan.
III + IV. Hak menikmati hasil, hak pakai dan hak menggarap
1.      Hak menggarap yang menyimpul hak pakai dan menikmati hasil ialah hak yang sanggup diperoleh, baik oleh masyarakat komplotan aturan sendiri maupun orang luar - dengan persetujuan para pemimpin persekutuan-untuk mengolah sebidang tanah selama satu atau beberapa kali pguan.
2.      Bagi masyarakat komplotan dimungkinkan untuk menyebarkan hak  menikmati hasil menjadi hak milik, sehingga ia diperkenankan mengolah tanahnya selama beberapa kali pguan berturut-turut, tanpa diselingi hak wenang pilih.
Di Minangkabau terdapat sawah pusaka yang hak miliknya berada di tangan suatu suku/clan, sedangkan anggota somah seperut yang de facto menggarapnya, spesialuntuk memiliki hak menggarap. Gejala semacam itu terdapat pula di Minahasa.
3.      Di wilayah yang aturan Adatnya menentang  jatuhnya hak-hak terap ke tangan orang luar/asing, kepada pengolah absurd itu tidak ' didiberikan, kemungkinan untuk mengusahakan supaya haknya itu berkembang/meningkat menjadi hak milik. Bagi orang luar, hak menikmati hasil itu. Pada umumnya spesialuntuk berjalan sepanjang satu pguan. Jika hak itu meliputi beberapa kali pguan, maka sehabis setiap pguan hak tersebut diselingi dengan suatu masa yang dikuasai oleh hak wenang pilih; ketiruananya itu untuk mencegah menjelmanya hak menikmati hasil menjadi hak milik.
V. Hak Imbalan Jabatan
1.      Hak imbalan jabatan ialah hak seorang pamong Desa atas tanah jabatan yang ditunjuk untuknya dan yang berarti bahwa ia boleh mengerjakan hasil dari tanah itu selama ia memegang jabatannya.
Peraturan wacana tanah jabatan itu terdapat di banyak sekali wilayah di Indonesia, terutama bila tidak banyak terdapat tanah yang sanggup diolah.
2.      Maksud pemdiberian hak itu ialah untuk menjamin penghasilan para pejabat tersebut. Isi hak itu ialah : pejabat yang bersangkutan boleh mengerjakan tanah jabatan itu atau menyewakannya kepada orang lain, terapi dilarang menjual atau menggadaikannya. Kaprikornus kalau ia diberhentikan dari jabatannya, tanah yang bersangkutan kembali kepada hak purba desanya, atau tegasnya: berpindah ke tangan pejabat yang menggantinya.
3.      Bila tanah jabatan masih dalam keadaan ditanami pada ketika pergantian pejabat yang bersangkutan, maka timbul kasus siapakah ymg berhak menikmati hasil tumbuhan itu: pejabat yang usang ataukah yang gres ?
Untuk lingkungan aturan Jawa Pusat, kesusahan itu diatasi dengan cara diberikut:
a.       Jika hasil tumbuhan itu sudah hampir sanggup dipetik, maka yang berhak memetik dan menikmati ialah pejabat lama;
b.      Kalau ketika memetik itu masih jauh, maka pejabat yang gres berhak memetik sebagian dari hasil tumbuhan tersebut. (Djojo-Tirta: “Hukum Privat Adat Jawa Pusat”).
4.      Menurut Ter Haar (“Asas-asas dan susunan Hukum Adat”), tanah jabatan itu di wilayah batak disebut “saba na bolak”, di Sulawesi Selatan: “galung arajang”, di Ambon: “dusun dati raja”, di Bali: “bukti”, di Jawa: “tanah bengkok”/ “lunggah”.
VI.   Hak Wenang Beli
1.      Hak wenang beli ialah hak seseorang, lebih utama daripada yang lain, untuk mendapai peluang membeli tanah (juga empang) tetangganya dengan harga yang sama
2.      Di banyak sekali lingkungan hukum, hak wenang beli itu didiberikan kepada:
a.       Pemilik tanah atas bidang tanah yang berbatasan dengan tanah miliknya (sempadan);
b.      Anggota-anggota sekerabat (parental, matrilineal, patrilineal) dari si pemilik tanah;
c.       Para masyarakat sedesa.
Jika orang-orang ad. a-b-c tidak mempergunakan hak tersebut barulah peluang membeli itu didiberikan kepada orang lain/asing.
3.      Jika terjadi pembukaan tanah secara besar-bemasukan kadang-kadang hak wenag beli itu didiberikan juga kepada orang-orang yang ikut bekerja (biasanya mereka ini juga sempadan).
3.        Pengaruh Terhadap Hukum Tanah Adat
Faktor-faktor extern yang mempengaruhi Hukum Tanah Adat hadirnya dari :
a.         Raja-raja:      1. Yang merusak
2.    Yang memperkuat
b.         Pemerintah kolonial, Gubernemen
A.       Pengaruh Raja-Raja
1)        Yang merusak: ini terutama menipa persekutuan-persekutuan aturan yang terletak di wilayah sekitar sentra kerajaan, di lingkungan wilayah kediaman raja-raja dan kaum ningrat (negaragung) dampak itu berupa:
a.         Penggantian kepala-kepala komplotan aturan ;
b.        Pengambil-alihan tanah komplotan Hukum oleh Raja;
c.         Pemdiberian hak kepada wangsa atau pegawai Raja untuk mengambil, pajak persekutuan-persekutuan aturan yang bersama-sama harus dipungut oleh Raja (lungguh apanage).
Sistem apanage ini mendesak hak ulayat dan hak milik perorangan. Sesudah sistem ini hapus, hak-hak yang terdesak itu berkembang kembali.
2)        Yang memperkuat : dampak ini bermanifestasi dalam
a.         Penguatan susunan organisasi persekutuan-persekutuan aturan yang terletak di luar wilayah negaragung, di lingkungan periferi kerajaan jauh dari wilayah kediaman Raja-raja (mancguagara), semoga kewajiban menyetor pajak dan mengerahkan tenaga pekerja (untuk keperluan “kerig-aji”) sanggup ditunaikan sebaik-baiknya;
b.        Pembentukan “desa perdikan”,
B.       Pengaruh Pemerintah Kolonial
Pengaruh Pemerintah kolonial terhadap Hukum Tanah Adat pada umumnya dan hak ulayat pada khususnya ternyata dari tindakannya dalam politik agrarianya. Yang terpenting di antaranya ialah :
I.         Pajak Bumi (landrent) dari Raffles
II.      Cultuutstelsel dari Gubernur-Jenderal Van den Bosch
III.   Agrarische Wet, Agrarisch Besluit, Domeinverklaring;
IV.   Verveemdingsverbood (S. 1875-179).
I.         Landrent
Berdasarkan penyelidikannya wacana keadaan agraria di Jawa (tahun 1811), Raffles menarikdanunik kesimpulan bahwa tiruana tanah yaitu kepunyaan Raja atau Gubernemen (selaku penjajah) yang menyewakannya kepada Kepala Desa, sedang desa menyewakannya kembali kepada para petani. Dan berdasarkan teori ini, Raffles membuat suatu sistem pajak bumi yang disebut “landrent”.
Untuk memperoleh uang, Raffles menjual tanah kepada orang-orang partikelir, yaitu tanah di sebelah Barat Cimanuk,  yang diatur dengan “Reglement untuk tanah-tanah partikelir di sebelah Barat Cimanuk” (tahun 1836, diperbaharui tahun 1912). melaluiataubersamaini demikian maka tanah-tanah partikelir di sebelah Timur tunduk kepada Hukum Adat, sedang yang di sebelah Barat tunduk kepada Reglement tersebut.
II.      Cultuurstelsel
“Stelsel Tanam Paksa” yang diadakan oleh Van den Bosch (tahun 1830) itu bertumpu kepada teori Raffles tersebut di atas. melaluiataubersamaini para pemilik sawah dibentuk perjanjian bahwa mereka tidak usah membayar pajak bumi lagi akan terapi l/5  (seperlima) dari tanahnya harus ditanami dengan tumbuh-tumbuhan yang laris sekali di pamasukan Eropah (nila, kopi, tembakau, teh dan lain-lain).
Apabila harga dari hasil tanah yang diserahkan kepada Gubernemen itu lebih besar daripada jumlah landrent, maha kelebihannya akan dikembalikan kepada si penyetor; jikalau eksploitasi tumbuhan perdagangan itu mengalami kegagalan di luar kesalahan petani, Pemerintah menjanjikan ganti kerugian.
Petani dalam prakteknya yang dipentingkan spesialuntuklah Kas Negara Belanda. Oleh lantaran itu banyak terjadi ketidakjujuran, bahkan kekejaman di luar batas perikemanusiaan, sehingga tidak spesialuntuk sangat merugikan kemakmuran dan keselamatan rakyat, terapi bahkan menghancur-lumatkan sendi-sendi kehidupan dan penghidupan rakyat, terutama di Jawa.
III.    Agrarische Wet, Agrarisch Besluit Domeinverklaring
(I)      Aturan Pokok
Aturan pokok terkena agraria pada jaman Belanda ialah pasal 51 IS yang meliputi 8 ayat :
1.        Gubernur-Jenderal dilarang menjual tanah;
2.        Di dalam larangan ini tidak termasuk tanah-tanah kecil untuk ekspansi kota dan desa serta untuk mendirikan perusahaan-perusahaan:
3.        Gubernur Jenderal sanggup menyewakan tanah berdasarkan peraturan undang-undang. Di dalam peraturan itu tidak termasuk tanah-tanah yang sudah dibuka oleh rakyat asli, atau yang digunakannya sebagai lapangan umum penggembala ternak, ataupun masuk lingkungan desa untuk keperluan lain;
4.        melaluiataubersamaini peraturan undang-undang akan didiberikan tanah-tanah dengan hak erfpacht untuk paling usang 75 tahun;
5.        Gubernur-Jenderal menjaga tidakboleh hingga pemdiberian tanah-tanah itu melanggar hak rakyat asli;
6.        Gubernur-Jenderal tidak akan mengambil kekuasaan atas tanah-tanah yang sudah dibuka oleh rakyat asli:
a.       Yang digunakan untuk keperluan pribadi
b.      Yang masuk lingkungan ulayat desa untuk lapangan umum penggembala ternak;
c.       Idem ad.b untuk keperluan lain;
Kecuali untuk
(1)   Kepentingan umum berdasarkan pasal 133 IS (pencabutan hak untuk kepentingan umum dengan pampas);
(2)   keperluan perkebunan yang diselenggarakan atas perintah atasan berdasarkan peraturan yang berlaku untuk itu: segala sesuatu suatu dengan pemdiberian pampas yang pantas.
7.        Tanah-tanah yang dimiliki rakyat orisinil didiberikan kepada mereka itu dengan hak eigendom, disertai syarat-syarat pembatasan yang diatur dalam undang-undang. Dalam suart tanda eigendom yang bersangkutan harus dicantumkan;
a.       Kewajiban-kewajiban pemilik kepada Negara dan Desa;
b.      Hak menjualnya kepada orang bukan golongan Bumiputra.
8.        Penyewaan tanah oleh rakyat orisinil kepada orang-orang bukan Bumiputra berlaku berdasarkan peraturan undang-undang.
Catatan:
1)        Pasal 51 IS berasal dari pasal 62 RR usang (1854) yang terdiri atas 3 ayat; pada tahun 1870 ditambah dengan isi Agrarische Wet yang meliputi 5 ayat, sehingga menjadi 8 ayat; dan pada tahun 1925 ketiruananya itu berubah menjadi menjadi pasal 51 IS.
2)        Untuk pelaksanaan pasal tersebut dibentuk Agrarische Besluit (S 1870-118), yang di dalam konsideransnya mengulangi pasal-pasal dari Agrarische Wet. Pasal 1 Agrarische Besluit memuat Domeinverklaring (pernyataan milik) yang meliputi Domeinbeginsel (Asas  Milik), yang menyatakan: “Semua tanah yang di atasnya tidak terbukti adanya hak eigendom orang/badan lain, yaitu milik negeri (landsdomein)”
3)        melaluiataubersamaini adanya ketentuan tadi maka tanah yang diatasnya terdapat hak milik Bumiputra (jadi bukan eigendom) yaitu Landsdomein juga dengan sebutan: “onvrij Landsdomein”, “milik negeri dengan beban”, “milik negeri tidak bebas”
Sebaliknya terdapat “Vrij Landsdomein”, “milik negari bebas” yang berarti : di atas tanah tersebut orang lain tidak memiliki hak eigendom berdasarkan BW, hak eigendom agraria berdasarkan pasal 51/7 IS ataupun hak milik Bumiputra berdasarkan Hukum Adat.
(II)        Isi Agrarische Wet
Isi Agrarische Wet yang utama ialah
1.        Melindungi kepentingan perusahaan partikelir (asing) dengan jalan:
a.       Memperkenankan pemdiberian tanah Gubernemen kepada perusahaan swasta dengan hak erfpacht untuk maksimum 7,5 tahun, berdasarkan peraturan yang diterapkan dengan undang-undang (ordonnantie);
(hak erfpacht itu yaitu hak kebendaan yang sanggup dibebani Hypotheek IS pasal 51/4)
b.      Memperkenankan rakyat menyewakan tanah kepada orang absurd (perusahaan swasta) berdasarkan peraturan yang diterapkan dengan undang-undang (Gropdhuur Ordonnantie) (IS pasal 51/8)
2.        Melindungi kepentingan orang Indonesia orisinil cq hak miliknya dengan jalan:
a.       Memdiberikan peluang bagi orang Indonesia orisinil untuk memperoleh hak baru, yaitu: hak eigendom agraris (agrarisch eigendomsrecht) atas tanahnya, sehingga sanggup dihipotikkan (IS pasal 51/7);
b.      Memperkenankan rakyat menyewakan tanah kepada orang absurd (sub 1 di atas), supaya dengan demikian rakyat yang hemat lemah mendapat sumbangan terhadap orang absurd yang hemat berpengaruh (sebab harus dilaksanakan berdasarkan peraturan undang-undang IS pasal 5l/8).
(III)     Tujuan Agrarische Wet
1.        Dari sub (II) di atas jelaslah kiranya bahwa tujuan Agrarische Wet ialah : memdiberi kemungkinan kepada modal besar swasta absurd (terutama Belanda) untuk berkembang di Indonesia. Untuk itu pertama-tama akan didiberikaa tanah dengan hak erfpacht  (guna usaha) silama 75 tahun.
2.        Perlu dicatat bahwa erfpacht yaitu hak yang paling luas dan paling berpengaruh yang sanggup dipunyai seseorang atas tanah orang lain. Di dalam wewenang penerapan tanahnya, hak erfpacht yaitu sama dengan hak eigendom. Hak erfpacht, sanggup dibebani hipotik, sehingga megampangkan si pengusaha untuk memperoleh kredit. Dan pembatasan jangka waktu hingga 75 tahun itu memdiberi kemungkinan untuk mengeksploitasikan tanaman-tanaman keras yang memerlukan waktu yang cukup lama.
3.        Di samping itu Agrarische Wet juga mempersembahkan kemungkinan bagi pengusaha untuk menyewa tanah dari rakyat, terutama untuk tumbuhan tebu dan tembakau (IS pasal 51/8).
4.        Kecuali dengan hak erfpacht, pemerintah Hindia-Belanda sanggup pula memdiberi izin kepada seseorang untuk menggunakan tanah dengan hak opstal, sewa, hak pinjam dan pakai. Di dalam tiruana hal itu pemerintah Hindia Belanda bertindak selaku pemilik tanah.
5.        Juga wacana tanah yang sudah dimiliki rakyat, Belanda berpendirian bahwa spesialuntuk Negaralah yang berhak menjual atau memdiberi hak opstal di atasnya.
melaluiataubersamaini demikian, rakyat pemilik tanah yang menjual sebidang tanahnya; tidak mendapatkan uang penjualan dan pembeli asing, melainkan spesialuntuk mendapatkan uang pampas, uang tebusan hak berdasarkan nilai tanah dikalangan, rakyat sendiri. Adapun harga eigendom masuk ke dalam Kas Negeri Hindia-Belanda selaku uang penjualan tanah yang resmi, sehabis dipotong uang pampas tersebut. melaluiataubersamaini begitu maka banyaklah tanah hak Bumiputra yang jatuh ke tangan orang bukan Bumiputra dengan hak Barat.
(IV)     Fungsi Domeinverklaring
Di dalam praktek agraria, Domeinverklaring memiliki beberapa fungsi. Yang terpenting ialah :
1.        Dipakai sebagai landasan bagi Pemerintah (Negera) untuk sanggup mempersembahkan tanah dengan hak-hak Barat, yaitu hak-hak yang diatur dalam BW, mirip ; hak eigendom, erfpacht, opstal dan lain-lain.
Pembentuk perundang-undangan agraria kolonial berpendirian: yang wenang mempersembahkan hak-hak tersebut spesialuntuklah eigenaar, pemilik. Oleh lantaran itu maka Negara ditetapkan (menyatakan diri) sebagai eigenaar.
Sebenarnya untuk sanggup mempersembahkan tanah dengan suatu hak, Negara tidak perlu bertindak sebagai eigenaar. Cukuplah kalau ada undang-undang yang mempersembahkan wewenang kepadanya untuk berbuat demikian ; tidak selaku eigenaar melainkan selaku Penguasa (Overheid).
UUPA-pun bertumpu pada pendapat demikian. Di dalam Penjelasan Umum angka 2 di antaranya ditetapkan: UUPA berpertama pada pendirian bahwa untuk mencapai apa yang ditentukan dalam pasal 33/3 UUD, tidak perlu dan tidak pula pada tempatnya bahwa bangsa Indonesia ataupun Negara bertindak sebagai pemilik tanah. Adalah lebih tepat jikalau Negara, sebagai organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat (bangsa), bertindak selaku “Badan Penguasa”.
Kebenaran tindakan itu sudah ternyata pula dalam perundang-undangan agraria lampau, yang memungkinkan Pemerintah Swapraja mempersembahkan tanah-tanah Swapraja (tanah Indonesia) dengan hak-hak Barat, seperti: hak eigendom, opstal dan erfpacht. Hal itu dimungkinkan bukan lantaran Swapraja itu eigenaar tanah tersebut, melainkan lantaran dimungkinkan oleh suatu peraturan khusus yang memdiberi wewenang kepada Pemerintah Swapraja untuk berbuat demikian (S. 1915 – 474).
2.        Sebagai alat bukti
Domeinverklaring dirumuskan sedemikian rupa sehingga Negara tidak perlu menandakan hak eigendomnya dalam suatu proses perkara. Sebaiknya, pihak lainnya yang selalu harus menandakan haknya. Kaprikornus dengan Domeinverklaring itu kewajiban pembuktian kemudian dibebankan kepada pihak lain (omgekeerde bewijslast, beban pembuktian terbalik).
Ini penting artinya dalam hak Negara menuntut pengosongan suatu bidang tanah melalui proses perdata. Jelaslah kiranya bahwa ketentuan yang selalu membebankan kewajiban pembuktian kepada rakyat itu kurang memenuhi syarat keadilan.
Atas dasar pertimbangan tersebut diatas maka pernyataan domein itu tidak sanggup dipertahankan lagi di dalam negara kita.
(V)        Hak Eigendom Agraris
1.        Hak ciptaan Pemerintah Belada disebut di dalam IS pasal 51/7 dengan tujuan: akan mempersembahkan suatu hak yang berpengaruh atas tanah kepada orang-orang Bumiputra. Hak eigendom agraris ini diatur dalam agrarisch Besluit pasal 4, dalam S. 19872-117 dan S. 1873-38 dengan sebutan “eigendom”.
Di dalam praktek, istilah “eigendom agraria” digunakan untuk membedakannya dari “eigendom” berdasarkan pengertian BW. Sebab eigendom agraris yaitu hak Indonesia, bukan hak Barat, sehingga tidak dikuasai oleh ketentuan-ketentuan yang bersangkutan dalam BW (Agrarisch besluit pasal 4/3).
2.        Menurut IS pasal 51/7 tanah yang dipunyai orang Indonesia orisinil dengan hak milik Bumiputra, atas seruan si pemilik yang sah sanggup diserahkan kepadanya sebagai eigendom, dengan pembatasan-pembatasan seperlunya yang akan diterapkan  dengan Ordonansi. Dan dalam surat eigendom itu dijelaskan terkena:
a.       Kewajiban-kewajibannya terhadap Negara dan Desa
b.      Hak menjualnya kepada orang-orang bukan bumiputra
3.        Untuk sanggup menjadi pemilik agraris, seorang bumiputra harus sudah “pemilik individual turun temurun” (erfelijk individueel bezitter). Karena harus dipastikan bahwa si pemohon itu pemegang hak milik bumiputra, maka sebelum penggantian hak tersebut dengan hak eigendom agraris, harus ada suatu proses untuk menentukan sahnya hak milik individual turun temurun dari orang yang mengajukan seruan tadi. Terhadap pihak ketiga harus diterapkan sahnya hak si pemohon, sedang yang harus menetapkannya ialah Pengadilan Negeri, dan dengan dmeikian selesailah kiprah Hakim tersebut. Berdasarkan ketatapan hakim itu, Bupati kepada Daerah atas nama Gubernur-Jenderal menyerahkan hak eigendom agraris atas tanah yang bersangkutan kepada pemiliknya. Akte eigendom agraris itu dimasukkan dalam register khusus.
4.        Pembatasan-pembatasen yang bertalian dengan penyerahan hak milik agraris itu ialah :
a.         Tanah yang diperoleh dengan hak milik agraris dilarang diasingkan kepada orang bukan Bumiputra, dengan bahaya kebatalan;
b.         Tidak ada hak lain yang sanggup dibebankan atas tanah itu selain daripada hipotik. Namun hak hipotik yang sanggup dibebankan kepada hak milik agraris itu tidak sama dengan hak hipotik yang diatur dalam BW, lantaran hak eigendom agraris yaitu hak Indonesia (vide sub 1 diatas).
5.        Kewajiban pemilik agraris terhadap Pemerintah Hindia-Belanda dan komplotan hukumnya sama dengan ketika ia berstatus Pemilik individual turun-temurun: membayar pajak dan melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang diwajibkan. Kaprikornus ia terap tinggal dalam ikatan aturan yang sama mirip sediakala.
6.        Perbedaan simpel antara hak milik agraris dan hak milik individual bebuyutan ialah bahwa dari hak atas tanah jenis pertama itu dibutuhkan tanda bukti tertulis dan pemasukannya ke dalam register khusus. Sedangkan perbedaan teoretis ialah bahwa tanah dengan hak milik individual bebuyutan itu termasuk domein Negeri, sedang tanah dengan hak milik agraris justru tidak termasuk tanah domein (dalam arti sempit).
7.        Di dalam praktek, peluang merubah hak milik Bumiputra menjadi hak milik agraris itu tidak banyak digunakan; karena:
a.         Acara prosesnya susah;
b.         Rakyat belum mencicipi perlunya memiliki hak tersebut
8.        Tidak jarang seseorang meminta hak eigendom agraris atas desakan suatu perusahaan yang ingin menyewa tanahnya untuk jangka waktu yang lama. Mungkin pula atas muslilat seorang bukan Bumiputra yang ingin menguasai tanah itu dengan hak eigendom Barat; Sebab hak eigendom agraris yang secara sah jatuh ke tangan orang bukan Bumiputra, ipso iure menjadi hak eigendom Barat.
9.        Pada asasnya hak eigendom agraris dilarang dipindah-tangankan kepada orang bukan bumiputra kecuali dengan izin penguasa. Dalam larangan ini tidak termasuk peralihan hak lantaran warisan tanpa wasiat, percampuran harta lantaran perkawinan dan perubahan status personil. Oleh lantaran itu maka pendirian pemerintah Hindia Belanda tersebut banyak disalahgunakan oleh orang-orang bukan Bumiputra yang ingin memiliki tanah yang luas dengan hak eigendom barat.
Tekniknya : Seoraag laki-laki bukan Bumiputra yang tunduk kepada aturan perdata BW menyuruh seorang perempuan Bumiputra membeli tanah milik Indonesia. Wanita itu disuruhnya meminta hak eigendom agraris dan kesannya perempuan tersebut diperisterikannya. Karena perkawinannya, perempuan itu mengikuti status suaminya: ia masuk golongan bukan Bumiputra. melaluiataubersamaini demikian tanahnya ipso iure menjadi tanah eigendom. Dan dengan berlakunya asas kebersamaan harta (BW pasal 119), maka tanah itu menjadi milik sang suami pula.
(VI)     Vervreemdingsverbod
1.        Ketentuan dalam S. 1875-179 meliputi larangan pemindah-tanganan, pengasingan (penjual, penukaran, penghibahan, pemdiberian dengan wasiat) tanah dan segala perjanjian yang bertujuan pengasingan tersebut oleh orang Indonesia orisinil kepada bukan Indonesia asli, dengan bahaya kebatalan lantaran hukum.
2.        Tujuan larangan ini ialah untuk melindungi rakyat Indonesia orisinil yang hemat lemah, tidakboleh hingga mereka lambat laun sama sekali kehilangan miliknya, terutama yang berupa tanah. Terapi larangan ini banyak dilanggar dengan macam-macam muslihat:
a.         Pembelian atau gadai tanah secara petang oleh orang bukan bumiputra;
b.         Pemakaian orang Bumiputra sebagai boneka (strooman) oleh pembeli bukan Bumiputra;
c.         Perkawinan tidak sah antara laki-laki bukan Bumiputra dengan perempuan Bumiputra.
3.        Yang dikecualikan dari larangan pengasingan itu ialah pemindahtanganan dengan jalan pewarisan ab intestato.
Misal : seorang perempuan Bumiputra memiliki tanah hak milik Bumiputra. Ia kawin dengan seorang laki-laki golongan Timur Asing Cina. Dari perkawinan itu lahir seorang anak. Anak tersebut memperoleh status ayahnya, yaitu : golongan Timur Asing Cina. Kemudian, jikalau ayah dan ibunya meninggal, maka tanah milik Bumiputra itu jatuh sebagai warisan ke tangan anak tersebut. melaluiataubersamaini demikian maka orang yang termasuk golongan Timur Asing Cina sanggup memperoleh hak milik atas tanah Indonesia dengan jalan pengasingan yang berupa pewarisan ab intestato;
4.        Di samping itu, peralihan hak milik atas tanah Indonesia juga sanggup terealisasi dengan jalan perkawinan adonan dengan seorang laki-laki kaulguagara golongan bukan Bumiputra yang dikuasai oleh aturan perdata BW.

Posting Komentar untuk "Hukum Tanah"