Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pendekatan Bahasa Dalam Studi Al-Qur'an



Tugas Terstruktur                                                              Dosen Pengampu
Pengantar Studi Islam                                                          Bashori, M. Ag.,

PENDEKATAN BAHASA DALAM STUDI AL-QUR’AN
Oleh
Kelompok 3
Hayatun Nupus    : 1301421418
Rahma Wati                    : 1301421423
Khalifatun Nisa    : 1301421449
Siti Salmah           : 1301421454

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ANTASARI
FAKULTAS USHULUDIN DAN HUMANIORA
BANJARMASIN
 2013
BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Manusia ialah satu-satunya makhluk yang bertutur kata, apapun yang dilakukan manusia, baik sewaktu berkumpul dengan mitra bermain, bertengkar, bercumbu rayu atau gali kuburan mereka niscaya bertutur kata. Kemampuan bertutur kata atau berbahasa inilah yang menjadi anugerah sekaligus pembeda insan dengan makhluk lain dari ciptaan Allah, bahkan seringkali kita dengar istilah bahwa insan ialah speaking animal.
 Sesungguhnya penerapan linguistik (bahasa) dalam pengkajian Islam sudah usang dipraktekkan oleh para ulama klasik, spesialuntuk saja belum ada pendefenisian bahwa apa yang mereka lakukan ialah pendekatan linguistik, lihat saja bagaimana Ibnu Katsir menghadirkan buku tafsirnya, yang masih menjadi tumpuan utama hingga hari ini. Pada masa modern barulah kemudian dirumuskan bahwa apa yang di lakukan para ulama tersebut ialah pendekatan linguistik dalam upaya pengkajian Islam.
Kita tidak bisa menafikkan tugas ilmuan barat untuk memahami al-Qur’an sebagai sumber pedoman Islam. Pendekatan dan temuan mereka tidak jarang mecengangkan orang-orang yang hidup dalam tradisi yang dilahirkan atau dipengaruhi oleh al-Qur’an. Suka tidak suka harus diakui fenomena kemandulan pedoman agama dalam menghadapi masalah-masalah kontemporer. Meskipun kita tidak memungkiri kesempurnaan al-Qur’an dan hadis sebagai solusi untuk setiap problema namun lagi-lagi orang akan mengalami kebuntuan ketika metode dan pendekatan yang dipakai tidak tepat.
Dari pemaparan di atas penulis tertarik untuk menggali lebih dalam wacana pendekatan bahasa (linguistic) dalam studi Al-qur’an dalam belahan selanjutnya.


B.       Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian bahasa (linguistic)?
2.      Bagaimana pertolongan bidang linguistic ?
3.      Bagaimana pendekatan bahasa (linguistic) dalam kajian Al-Qur’an?
4.      Bagaimana aplikasi pendekatan linguistic dalam studi Islam?



















BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Bahasa (Linguistik)
Pada dasarnya insan ialah makhluk sosial yang saling diberinteraksi antara satu dengan yang lain, semoga komunikasi diantara mereka berjalan dengan baik dan lancar dibutuhkan masukana yang bisa menjembatani keinginan dan maksud yang akan disampaikan, dalam hal ini media komunikasi yang paling kuat dalam kehidupan insan ialah bahasa. Beberapa pakar berupaya mempersembahkan defenisi bahasa.[1]
Ibnu Jinni, seorang linguis Arab mendefinisikan bahasa sebagai bunyi yang dipakai oleh setiap kaum untuk memberikan maksudnya. Bunyi-bunyi bahasa berdasarkan Plato secara implisit mengandung makna-makna tertentu. Aminuddin mengartikan bahasa sebagai sistem lambang arbitrer yang dipergunakan suatu masyarakat untuk berkerja sama, diberinteraksi dan mengindentifikasi diri. Sebagai media komunikasi, bahasa harus sanggup dipahami dan dimengerti, untuk itu bahasa harus bersifat sistematis dan sistemis. Bahasa mesti bersifat sistematis lantaran bahasa mempunyai kaidah atau aturan tertentu, dan bersifat sistemis lantaran memilki subsistem, yaitu, subsistem fonologis, subsistem gramatikal dan subsistem leksikal.[2]
 Dalam mencari makna dari sebuah kata ketiga subsistem bahasa tersebut menjadi objek kajian semantik. Linguistik ialah studi bahasa secara ilmiah dengan serius utamanya ialah struktur bahasa, sedangkan tujuan dan objek utamanya ialah bagaimana orang memakai bahasa untuk berkomunikasi. Ahli linguistik yang disebut linguis berdasarkan Verhaar tidak berurusan dengan bahasa sebagai alat pengungkap afeksi atau emosi, atau bahasa sebagai sifat khas golongan sosial atau bahasa sebagai alat mekanisme pengadilan, hal tersebut menjadi urusan hebat psikologi, sosial dan aturan sedangkan yang menjadi kekhususan ilmu linguistik ialah bahasa sebagai bahasa.[3]

B.            Pembagian Bidang Linguistik (Bahasa)
Secara umum pembidangan linguistik di bagi atas:
1.      Menurut objek kajiannya dibagi menjadi dua belahan besar linguistik mikro dan makro. Objek kajian linguistik mikro ialah struktur internal bahasa itu sendiri yang mencakup beberapa aspek struktur fonologi, morfologi, sintaksis dan leksikon. Sedangkan linguistik makro mengkaji bahasa dalam hubungannya faktor di luar bahasa ibarat faktor sosiologis, psikologis, antropologi dan neurologi.
2.      Menurut tujuan kajiannya dibagi atas linguistik teoritis dan linguistik terapan. Linguistik teoritis bertujuan untuk mencari atau menemukan teori-teori linguistik belaka sedangkan kajian terapan ditujukan untuk menerapkan kaidah-kaidah linguistik dalam aktivitas simpel ibarat pengajaran bahasa, penerjemahan, penyusunan engkaus dan sebagainya.
3.      Linguistik sejarah dan sejarah linguistik. Linguistik sejarah mengkaji perkembangan dan perubahan suatu bahasa, sedangkan sejarah linguistik mengakaji perkembangan ilmu linguistik terkena tokoh-tokohnya, alira teorinya, amupun hasil kerjanya.
Verhaar merumuskan bidang-bidang dasar linguistik yang menyangkut struktur dasar tertentu dalam banyak sekali bagian: struktur bunyi dan bahasa (fonetik dan fonologi), struktur kata (morfologi), struktur antar kata dalam kalimat (sintaksis), arti atau makna (semantik), menyangkut siasat komunikasi antar orang (parole), pemakian bahasa dan korelasi tuturan bahasa dengan apa yang dibicarakan (pragmatik).
C.      Pendekatan Linguistik (bahasa) dalam kajian Al-Qur’an
Selain Ferdinand De Saussure yang sering disebut Bapak atau aktivis linguistik, ada beberapa tokoh yang serius dalam kajian lingustik ibarat Leonard Bloomfield, Jhon Rupert Firth, Noam Chomsky dan lain-lain. Dalam Islam ada beberapa nama ibarat bubuk Aswad ad-Duali, imam Khalil, Sibaweh, Ibnu Jinni, Ibnu Faris dan yang lainnya. Islam, Al-Qur’an dan Fenomena Linguistik Islam sering didefenisikan dengan wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw sebagai pedoman untuk kebahagian hidup di dunia dan di akhirat, wahyu terdiri atas dua macam: wahyu yang berbentuk al-Qur’an dan wahyu yang berbentuk hadis, sunnah Nabi Muhammad saw, menguatkan hal ini Baidan mengemukakan hadis yang diriwayatkan Al-Hakim dari Abu Hurairah: Saya sudah meninggalkan dua pusaka padamu. Kamu tidak akan sesat selama keduanya (dijadikan pedoman), yaitu kitab Allah dan Sunnahku.
Terkait dengan wahyu yang artinya perkataan (kalam) Allah, Menarik apa yang diungkapkan Toshihiko Izutsu, menurutnya Allah mewahyukan melalui bahasa, dan bukan dalam bahasa yang misterius melainkan dengan bahasa insan yang terang dan sanggup dimengerti. Itulah sebabnya insan sanggup mempelajari al-Qur’an dari banyak sekali aspek, termasuk bahasa atau linguistiknya.
Al-Qur’an sebagai kitab suci yang diwahyukan kepada nabi Muhammad mempunyai tugas yang sangat besar dalam kehidupan umat manusia. Bukan spesialuntuk diperuntukan bagi insan saja, bahkan makhluk selain manusiapun mencicipi arti penting akan kehadiran al-Qur’an. Sebagai kitab suci yang sempurna, didalam al-Qur’an termuat segala macam yang terkait dengan manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, alam semesta, alam ghaib dan yang lebih menarikdanuniknya lagi al-Qur’an bisa berbicara melewati waktunya. Sebagai sebuah mukjizat al-Qur’an bisa berbicara wacana kehidupan yang akan hadir, mengulas fenomena-fenomena ilmu pengetahuan yang belum pernah terfikirkan oleh insan yang hidup pada zaman al-Qur’an diturunkan , oleh lantaran itu tidak salah jikalau dikatakan al-Qur’an ialah mukjizat final zaman.[4]
Al-Qur’an sebagai hudan (petunjuk) sanggup dikaji dan diselami samudra hikmah dan keilmuanya dari banyak sekali aspek, sebagai kitab suci yang tepat sudah tentu al-Qur’an sanggup difahami dari sisi manapun, sepertiyang yang dikatakan oleh Izutsu bahwa al-Qur’an bisa didekati dengan sejumlah cara pandang yang bermacam-macam ibarat teologi, psikologi, sosiologi, tata bahasa, tafsir dan lain sebagainya. Dalam memahami kandungan al-Qur’an kaum muslimin senantiasa berpegang teguh pada keyakinannya bahwa al-Qur’an tidak ada keraguan di dalamnya, perkiraan yang dibangun dalam memahami al-Qur’an berpijak pada keyakinan akan kebenaran al-Qur’an bukan berangkat dari kegalauan. sepertiyang yang dilakukan oleh kaum orientalis dalam mengkaji al-Qur’an, perkiraan yang mereka berdiri berdasarkan pada keraguan akan kebenaran al-Qur’an.
Untuk sanggup memahami isi kandungan al-Qur’an dengan baik dan benar, berdasarkan Doktor A’isyah Abdurahman atau yang biasa dikenal dengan “Bintusy Syathi” paling tidak dibutuhkan kemampuan dalam memahami mufradat (kosakata) al-Qur’an dan uslub (gaya bahasa)-nya, dengan pemahaman yang bertumpu pada kajian metodologis-induktif dan menelusuri rahasia-rahasia ungkapannya. Issa J. Boullata dalam kata pengantarnya terhadap buku tafsir Bintusy-Syathi’ menunjukan bahwa, dalam mengkaji al-Qur’an Bintusy-Syathi’ memakai empat butir metode yang salah satunya disebutkan, “ lantaran bahasa Arab ialah bahasa yang dipakai dalam al-Qur’an, maka untuk memahami arti kata-kata yang termuat dalam kitab suci itu harus dicari arti linguistik aslinya yang memilki rasa keakraban kata tersebut dalam banyak sekali penerapan material dan figuratifnya”.[5]
Al-Qur’an sebagai sumber dari segala sumber, panduan hidup dan kehidupan, ia tidak sanggup dipisahkan dalam kehidupan umat Islam. Oleh lantaran itu, banyak para pakar yang mencoba menggali dan menyelami samudra ilmu yang terkandung didalamnya. Untuk sanggup memahaminya dibutuhkan keahlian dan kemampuan salah satunya ialah penguasaan bahasa. Menjadi problem bagi umat Islam dalam memahami al-Qur’an yang diwahyukan dengan memakai bahasa Arab, Islam sudah tersebar keseluruh penjuru dunia, dianut oleh tiruana bangsa dengan bahasa yang berguakaragam. Bahasa menjadi problem yang cukup fundamental bagi mereka yang ingin mendalami al-Qur’an. bahkan disyaratkan bagi seorang Faaqih dan hebat tafsir untuk menguasai bahasa Arab. Sesuai dengan firman Allah SWT yang berbunyi:[6]

!$¯RÎ) çm»oYø9tRr& $ºRºuäöè% $wŠÎ/ttã öNä3¯=yè©9 šcqè=É)÷ès? ÇËÈ  
Artinya:
“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Alquran dengan berbahasa Arab, semoga engkau memahaminya.” (QS. Yusuf : 2)

Dan Allah juga berfirman lagi dalam ayat lain:

y7Ï9ºxx.ur çm»oYø9tRr& $¸Jõ3ãm $wŠÎ/{tã 4
Artinya:
“Dan Demikianlah, Kami sudah menurunkan Al Alquran itu sebagai peraturan (yang benar) dalam bahasa Arab . . . “ (QS. Ar-Ra’d : 37)

Mengulang kembali apa yang diungkapkan Shihab setidaknya ada beberapa hal yang menjadikan al-Qur’an istimewa selain kemukjizatan dan kedalaman maknanya, yakni:
1.      Nada dan langgamnya. Huruf dari pilihan kata yang dipilih melahirkan keserasian bunyi, kumpulan kata melahirkan pula keserasian irama dan rangkaian kalimat ayat-ayatnya.
2.      Singkat dan padat. Susunan kalimatnya terlihat singkat namun padat makna.
3.      Memuaskan para pemikir dan orang kebanyakan lantaran kedalaman kandungan maknanya.
4.      Memuasakan kebijaksanaan dan jiwa.
5.      Keindahan dan ketepatan maknanya.
Sepanjang sejarah pemikiran Islam, dari doloe hingga kini duduk masalah terkena apakah wahyu turun dalam bentuk lisan atau wangsit masih terus menimbulkan perdebatan, Sugiyono menyebutnya dengan istilah misteri teologis, lantaran ia ialah sesuatu yang misterius, susah dipahami oleh pikiran insan namun harus diimani. Sebagai fenomena verbal, wahyu susah dipahami lantaran pembicaranya Tuhan dan pendengarnya justru manusia.[7]
Hal senada juga diungkapkan Al-A’zami bahwa penerimaan wahyu al-Quran ada di luar jangkauan daypikir kebijaksanaan insan sehingga dalam memahami daypikir wahyu kita semata-mata merujuk pada laporan authentic dari Nabi Muhammad dan orang-orang kepercayaan yang menyaksikan kehidupan beliau. Tetapi sehubungan diturunkannya al-Quran yang hingga kehadapan kita dalam bentuk teks, maka pengkajian al-Qur’an tidak luput dari pendekatan linguistik. Allah swt sudah mempersembahkan keberkahan kepada bangsa Arab dengan diutusnya seorang nabi yang membawa risalah agama Islam, dengan al-Qur’an sebagai kitab sucinya sehingga dengan demikian secara otomatis bahasa Arab menjadi bahasa pengantar al-Qur’an.
melaluiataubersamaini tersebarnya agama Islam keseluruh dunia menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa yang dipelajari dan diajarkan dengan tujuan untuk sanggup memahami al-Qur’an lebih mendalam. Penggunaan bahasa Arab sebagai bahasa al-Qur’an bukan tanpa alasan, bahasa Arab belahan dari rumpun bahasa yang besar yaitu rumpun bahasa Samiyah (Semit), yang terbagi menjadi Syarqiyah (Timur) dan Gharbiyah (Barat), Syamiyah Gharbiyah dibagi lagi menjadi Gharbiyah Syimaliah dan Gharbiyah Janubiyah, sedangkan Syamiyah Syarqiyah dibagi menjadi Akadiyah dengan cabangnya yaitu Babiliyah (Babiloni) dan Asy-Syuriyah (Suriah). Dari jalur Gharbiyah Janubiyah inilah lahir bangsa Arab dan Habasyah.
Pada pertamanya bangsa Arab bukanlah bangsa yang dikenal dan tidak ada yang sanggup dibanggakan darinya, bahkan sejarahnya pun tidak jelas. Meskipun demikian, keberadaanya sudah ada semenjak zaman purba dan hal itu sanggup ditemukan di dalam banyak sekali sumber, ibarat di dalam kitab suci Perjanjian Lama dan dalam karya-karya sastra klasik bangsa Arab. Dalam hal ini Sayid Muzaffaruddin, ada empat sumber pola yang ia gunakan dalam melihat historis bangsa Arab yaitu literatur Islam, literatur Yahudi, literatur Klasik, dan inovasi Arkelogi.[8]
sepertiyang fungsi bahasa pada umumnya bertujuan sebagai masukana untuk mengungkapkan ekspresi perasaan dan pikiran yang dituangkan dalam simbol suara, gerak, abjad dan kata. Begitupula halnya dengan bahasa Arab, namun bahasa Arab yang menjadi medium bahasa al-Qur’an sudah berproses menjadi bahasa Agama yang memilki fungsi dan tugas yang lebih dari sekedar sebagai bahasa insan pada umumnya.
Berkaitan dengan istilah “bahasa agama”, Komaruddin Hidayat sebut bahasa agama ialah kalam tuhan yang kemudian terawetkan dalam kitab suci. Disini Tuhan dan kalam-Nya lebih ditekankan, sehingga pengertian bahasa agama yang paling fundamental ialah bahasa kitab suci. Pengertian yang kedua, bahasa agama ialah ungkapan serta sikap keagamaan dari seseorang atau sebuah kelompok sosial. Makara bahasa agama berdasarkan pengertian yang kedua ialah wacana keagamaan yang dilakukan oleh umat beragama maupun sarjana hebat agama, meskipun tidak selalu menunjuk serta memakai ungkapan-ungkapan kitab suci.
Lebih lanjut Komaruddin memaparkan bahwa kehadiran teks al-Qur’an di tengah umat Islam sudah melahirkan sentra pumasukan wacana keislaman yang tak pernah berhenti. melaluiataubersamaini kata lain, al-Qur’an yang terkandung di dalamnya banyak sekali macam khazanah keilmuan sudah menjadi poros ilmu pengetahuan. Al-Qur’an sudah melahirkan banyak sekali macam disiplin keilmuan sehingga tidaklah salah jikalau dikatakan al-Qur’an menjadi semacam ledakan nuklir yang radiasinya memancar ke segala pelosok kehidupan. 
Bahasa Agama, dalam hal ini al-Qur’an, ialah sesuatu yang bersifat transenden dan universal. Ia memilki kelebihan dan keistimewaan tersendiri dibandingkan bahasa-bahasa yang ada. Syed M. Naquib al-Attas, sebagaimana yang dukutip oleh Sugeng, sebut bahwa bahasa Arab tidak termasuk dalam kategori bahasa-bahasa lainnya berkenaan dengan struktur semantiknya disebabkan kenyataan sebagai diberikut.
1.      Struktur linguistiknya dibangun atas suatu sistem akar-akar kata yang tegas.
2.      Struktur semantiknya diatur oleh sistem medan semantik tertentu yang memilih struktur konseptual yang terdapat dalam kosakatanya dan dimantapkan secara permguan oleh hal-hal yang disebut diatas
3.      Kata, makna, tata bahasa, dan persajakannya sudah direkam dan dimantapkan secara ilmiah sedemikian rupa sehingga sanggup dipelihara ketetapan semantiknya
Susunan bahasa al-Qur’an mengandung unsur keindahan bahasa Ilahi yang sanggup membuat insan terkagum dan terpesona jikalau mendengar atau membacanya lantaran bahasa al-Qur’an terpadu secara serasi antara isi dan maknanya.  melaluiataubersamaini keberadaan al-Qur’an bangsa Arab sudah diuntungkan, paling tidak oleh tiga aspek, Pertama aspek bahasa, dengan dipakai bahasa Arab sebagai bahasa al-Qur’an menjadikan bahasa Arab terjaga dari kepunahan dan menjadi bahasa populer diseluruh dunia sehingga Doktor Ramdan Abu Tawab menulis satu belahan dalam bukunya, law la al-Qur’an ma kanat arabiyah (Kalaulah bukan lantaran al-Qur’an, musnah sudah bahasa Arab). Kedua , aspek politik. Dimana sebelum kehadiran Islam, bangsa Arab tidak ada artinya, mereka masih menjadi bangsa yang terbelakang, bangsa yang bar-bar hingga Allah mengangkat derajat mereka dengan hadirnya seorang nabi yang membawa pedoman Islam. Bersamaan dengan penyebaran dakwah, Islam sudah mengenalkan bangsa Arab ke seluruh dunia dan menjadikannya bangsa yang mempunyai kemuliaan dengan Islam. Kalaulah bukan Islam bangsa Arab lebih hina dari bangsa yang tidak beradab, ketiga, aspek ekonomis.
melaluiataubersamaini disyari’atkannya ibadah haji menjadikan kaum Muslimin
berbondong-bondong hadir ke Baitullah sehingga secarah hemat mempersembahkan pemasukan devisa yang cukup besar bagi kerajaan Saudi Arabia setiap tahunya. Hal tersebut belum lagi ditambah dengan ibadah Umrah. Disamping itu, berkat do’a nabi Ibrahim, tanah Arab sudah didiberi keberkahan dengan sumber minyak bumi yang melimpah, dan berkat do’a nabi Muhammad tanah Arab diakhir zaman kelak tidak akan tersentuh oleh Dajjal.

D.      Aplikasi Pendekatan Lingustik Dalam Studi Islam
Linguistik dalam hal ini memegang tugas yang cukup penting dalam memahami teks-teks keagamaan. Tidak spesialuntuk yang termaktub dalam al-Qur’an tetapi juga terhadap hadist nabi. Dalam pedoman Islam banyak aturan dan ritual keagamaan yang berkaitan dengan trem-trem kebahasaan, ibarat konsep kepercayaan yang terwakili oleh istilah, iman, Islam, mukmin, kafir, fasik, murtad dan sebaginya. Lalu ada juga istilah-istilah keagamaan yang berkaitan dengan kekerabatan Tuhan dan manusia, ibarat konsep Ibadah, jihad, hijrah, haji, zakat dan lain sebagainya.
Pemahaman wacana konsep-konsep keagamaan dipertamai dari pemahaman dari sudut kebahasaan sangat diperlukan, ibarat contoh kata zakat, pada pertamanya kata zakat merujuk pada makan tumbuh/berkembang secara umum, namun setelah hadir Islam, kata zakat mempunyai makna yang lebih menyempit merujuk kepada, batasan yang sudah diwajibkan untuk dikelurkan dan didiberikan kepada yang berhak dari harta yang sudah hingga pada nasab yang sudah ditentukan.
 Secara teori kebahasaan, suatu bahasa akan sanggup mengalami perkembangan, pergeseran atau bahkan perubahan makna, hal tersebut bisa dalam bentuk meluas ataupun menyempit. Perubahan makna sanggup juga berarti penggantian rujukan, tumpuan yang pernah ada diganti dengan tumpuan yang baru. Kata hijrah contohnya secara leksikal ia memilki makna “keluar dari sutu negeri ke negeri yang lain”. Namun ketika kata hijrah sudah terhubung dengan kata iman dan jihad dalam sebuah kalimat maka makna yang terkandung didalamnya tidak spesialuntuk sekedar sebuah aktifitas perpindahan tubuh dari satu daerah ketempat yang lain.
Dalam konteks ini kata hijrah akan mengalami perkembangan makna yang bisa jadi mengarah kepada ekspansi maupun penyempitan. Islam sebagai agama wahyu sudah mempersembahkan pencerahan dan pembaharuan dari segala bidang, baik itu kebudayaan, kepercayaan, tatanan hidup bermasyarakat, bernegara dan termasuk juga didalamnya pembaharuan dari segi kebahasaan.
Beberapa kunci terminologi etika Jahiliyah sudah mengalami transformasi semantik yang spesifik, ibarat karīm yang ialah derivasi dari tenggelam dan lawan dari bakhīl terdapat dalam al-Qur'an sebanyak 47 kali dengan banyak sekali derivasinya. Pada pertamanya karīm ialah impian Jahiliyah tertinggi dalam hal kedermawanan tanpa perhitungan sebagai manifestasi pribadi dari kemuliaan. Kemudian menghadapi transformasi ke dalam sesuatu semantik yang mendalam, pada ketika yang sama, dan dalam kaitannya dengan hal itu, kata karim kemudian diterapkan kepada seseorang yang sungguh-sungguh percaya dan taat, yang bukannya menghabiskan kekayaannya dengan membabi buta, tanpa berpikir panjang dan semata-mata untuk pamer, namun sama sekali tidak gundah untuk memakai kekayaannya untuk tujuan yang terang dan benar-benar mulia berdasarkan konsep yang baru, yakni membelanjakan kekayaanya di jalan Allah .
Masih banyak lagi konsep-konsep keagamaan yang harus difahami secara utuh dan mendalam, hal tersebut bertujuan semoga tidak terjadinya kesalahan pemahaman yang akan berakibat pada kesalahan dalam pengamalan. Dapat dibayangkan contohnya apabila umat Islam memahami kata sholat sebagaimana pengertiannya dimasa jahiliyah. Kata sholat pada mulanya oleh bangsa Arab diartikan sebagai “do’a”, padahal setelah kata sholat dipakai dan dimasukan dalam trem yang sangat pokok dalam pedoman Islam, kata sholat sudah mengalami pemaknaan yang lebih khusus lebih dari sekedar do’a, yaitu sebuah aktifitas yang dipertamai dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Sholat juga menjadi pokok atau tiang dari agama Islam, sebagaimana yang disampaikan oleh hadits-hadits nabi saw. Untuk sanggup mengetahui makna dari istilah-istilah dalam ibadah, mua’amalah dan iman secara mendalam dan benar, tidak berlebihan kiranya jikalau dikatakan bahasa memegang tugas yang sangat besar.[9]























BAB II
PENUTUP

Simpulan:
Islam bukan agama yang menutup rapat-rapat kebenaran yang ada di dalamnya. Kajian-kajian mutakhir yang sudah dilakukan para ilmuwan meski dengan orientasi yang tidak sama tidak mengurangi hakikat kebenaran dalam Islam justru membuat orang-orang yang berpikiran positif akan semakin yakin dengan agama ini. Meski makalah ini lebih banyak mengungkapkan wacana al-Qur’an namun tidak juga menafikkan bahwa pendekatan linguistik (bahasa) juga bisa terhadap hadis. Pendekatan lingustik (bahasa) amat besar kiprahnya dalam mempersembahkan pemahaman terhadap teks-teks keagamaan sehingga fenomena kemandulan pedoman sanggup di atasi secara cerdas dan bijak.















DAFTAR PUSTAKA

Buku :
Khaeruman, Badri, Memahami Pesan Al-Qur’an, Bandung: Pustaka Setia, 2004.
lwasilah Chaedar A. Beberapa Madhab dan Dikotomi Teori Linguistik, Bandung: Angkasa, 1993.
Muhammad, Syeikh, Studi Al-Qur’an Al-Karim, Bandung: Pustaka Setia, 2002.
Qardhawi, Yusuf, Berinteraksi dengan Al-Qur’an, Jakarta: Gema Insani, 1999.
Shihab, Quraish M. Mukjizat Al-Qur’an: Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah dan Pemdiberitaan Gaib, Bandung: Mizan, 2007.

Artikel :
Abu Syakir, https://tombakilmukita.blogspot.com//search?q=pendekatan-linguistik-dalam-studi-islam_16 diakses Rabu, 14 November 2013.



[1] Alwasilah Chaedar A. Beberapa Madhab dan Dikotomi Teori Linguistik, (Bandung: Angkasa, 1993), h. 67
[2] ibid
[3] Jogja Camp, http://carapedia.com/pengertian_definisi_linguistik_menurut_para_ahli_info952.html diakses Rabu, 14 November 2013, jam 18:00 Wib.
[4] Muhammad, Syeikh, Studi Al-Qur’an Al-Karim, (Bandung: Pustaka Setia, 2002), h.14
[5] Khaeruman, Badri, Memahami Pesan Al-Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), h. 19
[6] Qardhawi, Yusuf, Berinteraksi dengan Al-Qur’an, (Jakarta: Gema Insani, 1999), h. 1311
[7] Shihab, Quraish M. Mukjizat Al-Qur’an: Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah dan Pemdiberitaan Gaib, (Bandung: Mizan, 2007), cet. ke-2, h. 120
[8]  Muhammad, Syeikh, Studi Al-Qur’an Al-Karim, op.cit., h. 18
[9] Abu Syakir, https://tombakilmukita.blogspot.com//search?q=pendekatan-linguistik-dalam-studi-islam_16 diakses Rabu, 14 November 2013, jam 19:30 Wib.

Posting Komentar untuk "Pendekatan Bahasa Dalam Studi Al-Qur'an"