Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Adopsi



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah

Keinginan menyebarkan keturunan yakni naluri setiap manusia. Untuk  kepentingan itu insan perlu melaksanakan pernikahan. Dari ijab kabul tersebut terjalinlah sebuah ikatan suami isteri yang pada gilirannya terbentuk sebuah keluarga diberikut keturunannya berupa anak-anak. melaluiataubersamaini demikian kehadiran anak tidak spesialuntuk dipandang sebagai konsekuensi adanya hubungan biologis antara jenis kelabuin pria dan perempuan, tetapi lebih dari itu, juga ialah harapan yang sudah melembaga sebagai naluri setiap manusia. Oleh karenanya, rasanya kurang lengkaplah sebuah keluarga tanpa kehadiran seorang anak. Bahkan, dalam masalah tertentu tanpa kehadiran seorang anak dianggap sebagai malu yang menjadikan rasa kurang percaya diri bagi pasangan suami istri. Akan tetapi, lantaran aneka macam hal atau alasan tertentu harapan memperoleh anak tidak sanggup tercapai. Dalam keadaan demikian aneka macam perasaan dan pikiran akan timbul dan pada tataran tertentu tidak jarang perasaan dan pikiran tersebut bermetamorfosis kecemasan. Kecemasan tersebut, selanjutnya diekspresikan oleh salah satu pihak atau kedua pihak, suami istri, dalam bentuk tindakan-tindakan tertentu. Salah satu tindakan suami istri, ketika keturunan berupa anak yang didambakan tidak diperoleh secara natural yakni dengan cara mengambil alih anak orang lain. Selanjutnya, anak tersebut dimasukkan ke dalam anggota keluarganya sebagai pengganti anak yang tidak bisa diperoleh secara alami tersebut. Teknik memperoleh anak dengan cara ini, dalam istilah aturan Perdata Barat lazim disebut sebagai adopsi yang dalam goresan pena ini disebut penulis sebut sebagai pengangkatan anak.
Pengangkatan anak yang ada di Indonesia sekarang, memang sudah dimulai semenjak lama. Dalam masyarakat yang mempunyai tabiat tertentu, sudah usang dijumpai praktek pengangkatan anak ini. Hanya saja, motivasi dan cara serta akhir pengangkatan anak tersebut tidak sama-beda antara masyarakat yang satu dengan yang lain.






B.     Rumusan Masalah

Tulisan diberikut, dimaksudkan untuk mengulas seputar pengangkatan anak dengan mencari jawabanan atas rumusan masalah sebagai sebagai diberikut :
1.      Apa pengertian adopsi dan pengangkatan anak ?
2.      Bagaimana tata cara mengadopsi anak ?
3.      Apa saja syarat pengangkatan anak ?
4.      Bagaimana pandangan Hukum Barat, Hukum Adat, dan Hukum Islam terhadap adopsi ?
5.      Apa akhir aturan pengangkatan anak ?
6.      Apa saja aturan aturan yang berkaitan dengan pengangkatan anak ?























BAB II
PEMBAHASAN

  1. Adopsi dan Pengangkatan Anak
Pengangkatan anak dalam istilah Hukum Perdata Barat disebut Adopsi. Dalam engkaus aturan kata adopsi yang bersasal dari bahasa latin adoption didiberi arti pengangkatan anak sebagai anak sendiri.
Adopsi yakni penciptaan hubungan orang renta anak oleh perintah pengadilan antara dua pihak yang biasanya tidak mempunyai hubungan/ keluarga.
Pengangkatan anak yakni suatu perbuatan aturan yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung balasan atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut, kedalam lingkungan keluarga orang renta tersebut, kedalam lingkungan keluarga orang renta angkat.
Secara terminologi para jago mengemukakan beberapa rumusan ihwal definisi adopsi antara lain:
Dalam engkaus umum bahasa indonesia dijumpai arti kata anak angkat yaitu anak orang lain yang diambil dan disamakan dengan anaknya sendiri.
Dalam ensiklopedia umum disebutkan Adopsi, suatu cara untuk mengadakan hubungan antara orang renta dan anak yang diatur dalam pengaturan perundang-undangan. Biasanya adopsi dilakukan untuk mendapatkan pewaris atau untuk mendapatkan anak bagi orang renta yang tidak beranak. Akibat adopsi yang demikian itu ialah bahwa anak yang di adopsi kemudian mempunyai status sebagai anak kandung yang sah dengan segala hak dan kewajiban. Sebelum melaksanakan adopsi itu calon orang renta harus memenuhi syarat-syarat untuk benar-benar sanggup menjamin kesejahteraan bagi anak.
Selanjutnya sanggup dikemukakan pendapat Hilman Hadi Kusuma, SH. : anak angkat yakni anak orang lain yang dianggap anak sendiri oleh orang renta angkat dengan resmi berdasarkan aturan setempat, dikarenakan dengan tujuan untuk kelangsungan keturunan atau pemeliharaan atas harta kekayaan rumah tangga.
Sedangkan pengangkatan (adopsi) tidak di kenal dalam kitab undang-undang aturan perdata tetapi spesialuntuk dikenal dalam Stbl. 1917 no. 129 yo. 1924 no. 557. Menurut peraturan tersebut, pengangkatan anak atau adopsi yakni pengangkatan seorang anak pria sebagai anak oleh seorang pria yang sudah diberistri atau sudah pernah diberistri, yang tidak mempunyai keturunan laki-laki. Kaprikornus disini spesialuntuk anak pria yang sanggup di angkat ( tetapi berdasarkan perkembangan yurisprudensi kini ini, anak perempuan pun boleh diangkat sebagai anak oleh seorang ibu yang tidak mempunyai anak.
Dalam engkaus besar bahasa Indonesia pengasuhan yakni proses, perbuatan, atau cara mengasuh. pengasuhan sering disebut pula sebagai child-rearing yaitu pengalaman, keterampilan, kualitas, dan tanggung balasan sebagai orangtua dalam mendidik dan merawat anak. Pengasuhan atau disebut juga parenting yakni proses menumbuhkan dan mendidik anak dan kelahiran anak hingga memasuki usia dewasa.atau biasa disebut juga dengan melaksanakan pemeliharaan belum dewasa yang masih kecil, baik pria maupun perempuan, atau yang sudah besar tetapi belum mumayyiz, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya, supaya bisa bangun sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawaban.
Adopsi anak yakni salah satu cara mulia bagi pasangan yang belum dikaruniai anak. Kehadiran anak adopsi diharapkan sanggup mengisi hari-hari sepi pasangan suami istri tersebut, bahkan tak jarang banyak pasangan yang menjadikan anak adopsi sebagai “pancingan” supaya kelak mereka memiliki keturunan kandung mereka sendiri. Apapun alasannya, ketika anda dan pasangan memutuskan akan mengadopsi anak hendaknya didasari dengan niat baik dan keikhlasan serta rasa kasih akung yang tulus untuk merawat si anak. dalam perkembangan kemudian sejalan dengan perkembangan masyarakat, tujuan pengangkatan anak sudah bermetamorfosis untuk kesejahteraan anak. Hal ini tercantum pula dalam pasal 12 ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia No.4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak yang berbunyi: “Pengangkatan anak berdasarkan tabiat kebiasaan dilaksanakan dengan mengutamakan kepentingan kesejahteraan anak”.
Dalam pelaksanaan pengangkatan anak ternyata masih terdapat adanya ketentuan hukumnya yang masih belum seragam. Ketentuan aturan terkena pengangkatan anak tersebar ke dalam beberapa peraturan hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Keadaan yang demikian tentu menimbulkan permasalahan diantaranya terkena akhir aturan dari pengangkatan anak terutama sekali bagi anak yang diangkat. Dalam perkembangan kemudian, setelah diundangkannya Undang-Undang No.4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak pada tanggal 23 Juli 1979 maka diharapkan pelaksanaan pengangkatan anak diarahkan untuk mewujudkan kesejahteraan bagi anak yang diangkat. Meskipun hingga ketika ini masih terdapat bermacam-macam peraturan yang mengatur terkena pengangkatan anak, sehingga di dalam pelaksanaannya timbul permasalahan-permasalah dan hambatan-hambatan walaupun tujuan selesai pelaksanaan pengangkatan anak adalah mewujudkan kesejahteraan anak.
Sampai ketika ini belum ada peraturan khusus dan tersendiri terkena pengangkatan anak. Karena Kitab Undang-undang Hukum Perdata tidak mengatur terkena pengangkatan anak ini, sedangkan dalam kenyataannya pengangkatan anak ini banyak terjadi, oleh karenanya pengaturannya kemudian diatur dalam Staatsblad 1917 Nomor 129 yang ialah penggalan dari keseluruhan aturan yang ada dalam Staatsblad tersebut dan khusus berlaku untuk masyarakat Tionghoa.
Karena sebagian besar Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut berlaku bagi masyarakat Tionghoa. Namun pengaturan di dalam Staatsblad ini secara prinsip spesialuntuk berdasarkan pada hubungan kekeluargaan yang spesialuntuk menarikdanunik garis keturunan dari pihak bapak, sehingga di dalam aturannya spesialuntuk memperbolehkan pengangkatan anak bagi anak laki-laki. Sedangkan pengangkatan anak perempuan yakni tidak sah. Sejalan dengan perkembangan jaman dan budaya yang berkembang dalam masyarakat, karenanya pengangkatan anak bagi anak perempuan diperbolehkan berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta Nomor 907/1963/P tanggal 29 Mei 1963 juncto nomor 588/1963/G tanggal 17 Oktober 1963. Sekarang ini pengaturan terkena pengangkatan anak diatur sebagian dalam beberapa peraturan. Diantaranya yakni Undang-undang ihwal Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 yaitu diatur dalam pasal 39, 40 dan pasal 41. Dalam pasal-pasal tersebut ditentukan bahwa pengangkatan anak tersebut harus seagama dan tidak memutuskan hubungan darah anak angkat dengan orang renta kandungnya. melaluiataubersamaini demikian pengaturan terkena pengangkatan anak yang diatur dalam Staatsblad Tahun 1917 Nomor 127 dan peraturan lain yang berkaitan dengan pengangkatan anak ditetapkan tidak berlaku apabila berperihalan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tersebut. Pengaturan serta syarat-syarat terkena Pengangkatan Anak lebih lanjut diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 1983 Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 1989 ihwal Pengangkatan anak dan Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 41/HUK/KEP/VII/1984.[1]



B.     Tata Teknik Mengadopsi
Surat Edaran Mahkamah Agung RI No.6/83 yang mengatur ihwal cara mengadopsi anak menyatakan bahwa untuk mengadopsi anak harus terlebih lampau mengajukan seruan pengesahan/pengangkatan kepada Pengadilan Negeri di tempat anak yang akan diangkat itu berada. Bentuk seruan itu bisa secara lisan atau tertulis, dan diajukan ke panitera. Permohonan diajukan dan ditanhadirani oleh pemohon sendiri atau kuasanya, dengan dibubuhi materai secukupnya dan dialamatkan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang kawasan hukumnya mencakup tempat tinggal/domisili anak yang akan diangkat .
C.    Syarat-syarat
Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang untuk sanggup melaksanakan pengangkatan anak adalah:
1.      Seorang pria yang sudah atau pernah berkeluarga, tetapi tidak mempunyai anak laki-laki.
2.      Suami istri bersama-sama.
3.      Seorang perempuan yang sudah menjadi janda, dengan ketentuan tidak ada larangan untuk melaksanakan pengangkatan anak oleh almarhum suaminya dalam wasiat yang ditinggalkannya dan ia tidak sudah kawin lagi.
Selain syarat-syarat tersebut di atas maka dibutuhkan pula kata sepakat (persetujuan) dari orang-orang yang bersangkutan:
1)      Apabila yang diangkat itu seorang anak sah, maka ada kata sepakat dari kedua orang tuanya.
2)      Jika yang diangkat itu seorang anak diluar kawin, tetapi diakui oleh kedua orang tuanya, maka dibutuhkan persetujuan dari kedua orang renta tersebut.
3)      Bagi anak yang sudah berumur 15 tahun, kata sepakat dibutuhkan juga dari anak yang bersangkutan, apakah anak yang akan di angkat itu bersedia atau tidak.
4)      Bagi seorang perempuan janda yang akan melaksanakan pengangkatan anak, maka dibutuhkan kata sepakat dari para saudara pria yang sudah cukup umur dan bapak mendiang suaminya.
Apabila mereka tidak ada atau tidak berkediaman di Indonesia, cukup kata sepakat dari dua orang renta diantara keluarga sedarah pria yang terdekat dari pihak bapak si suami yang sudah meninggal dunia itu hingga dengan derajat ke empat, yang sudah cukup umur dan bertempat tinggal di Indonesia.
Disamping itu perbedaan umur antara anak yang akan di angkat dengan ayah angkatny, sekurang-kurangnya 18 tahun dan dengan ibunya sekurang-kurangnya 15 tahun.[2]

Dalam kitab Undang-undang Hukum Perdata /BW
Dalam kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW), kita tidak menemukan satu kesatuan yang mengatur masalah pengangkatan anak. Hanya terkena legalisasi terhadap belum dewasa luar nikah terkena legalisasi terhadap belum dewasa luar nikah dalam Buku 1BW penggalan XII penggalan ketiga. Kita tidak menemukan satu ketentuan yang mengatur masalah adopsi atau anak angkat ini, yang ada spesialuntuklah ketentuan-ketentuan ihwal legalisasi anak diluar kawin, yaitu menyerupai yang diatur dalam buku 1BW penggalan XII penggalan ketiga, pasal 280 hingga 289, ihwal legalisasi terhadap belum dewasa luar kawin. Ketentuan ini boleh dikatakan tidak ada sama sekali hubungan denagn masalah adopsi ini. Oleh lantaran kitab undang-undang Hukum perdata tidak mengenal hal pengangkatan anak ini.[3]
D.    Adopsi Menurut Hukum Islam, Hukum Adat, dan Hukum Barat.
Dalam hal ini akan dikemukan prinsip anak angkat berdasarkan Hukum Islam, Hukum Adat dan KUHPerdata Belanda.
a.     Menurut Hukum Islam
Islam sudah usang mengenal istilah tabbani, yang di masa modern ini disebut adopsi atau pengangkatan anak. Rasulullah SAW bahkan mempraktikkannya langsung, yakni ketika mengangkat Zaid bin Haritsah sebagai anaknya.
Tabanni secara harfiah diartikan sebagai seseorang yang mengambil anak orang lain untuk diperlakukan menyerupai anak kandung sendiri. Hal ini itu dilakukan untuk memdiberi kasih akung, nafkah pendidikan dan keperluan lainnya. Secara aturan anak itu bukanlah anaknya. Adopsi dinilai sebagai perbuatan yang pantas dikerjakan oleh pasangan suami istri yang luas rezekinya, namun belum dikaruniai anak.
Oleh lantaran itu, sangat baik jikalau mengambil anak orang lain yang kurang mampu, supaya menerima kasih akung ibu-bapak (karena yatim piatu), atau untuk mendidik dan mempersembahkan peluang berguru kepadanya. Di Indonesia, peraturan terkait pengangkatan anak terdapat pada Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 ihwal Perlindungan Anak. Demikian pula Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang turut memerhatikan aspek ini (Republika.Co.Id, Jakarta). Pasal 171 aksara h KHI sebut :
Anak angkat yakni anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya, beralih tanggung jawabannya dari orangtua asal kepada orangtua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan”.
MUI mengharapkan supaya adopsi dilakukan atas rasa tanggung balasan sosial untuk memelihara, mengasuh dan mendidik anak dengan penuh kasih akung, menyerupai anak sendiri.
Para ulama di Tanah Air sudah memfatwakan bahwa pengangkatan anak Indonesia oleh Warga Negara Asing, selain berperihalan dengan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 34, juga merendahkan martabat bangsa. Ulama Nahdlatul Ulama (NU) dalam Munas Alim Ulama di Situbondo, Jawa Timur pada 21 Desember 1983 juga sudah memutuskan fatwa ihwal Adopsi. Dalam fatwanya, ulama NU menyatakan bahwa "Mengangkat anak orang lain untuk diperlakukan, dijadikan, diakui sebagai anak sendiri hukumnya tidak sah."
Sebagai dasar hukumnya, ulama NU mengutip hadis Nabi SAW :
"Barang siapa mengaku orang lain sebagai bapaknya, dan ia tahu bahwa orang tersebut bukan bapaknya, maka nirwana diharamkan terhadap dirinya”
Pengangkatan anak tak bisa menjadikan anak itu sederajat dengan anak sendiri di dalam nasab, mahram maupun hak waris. Kalangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) semenjak usang sudah memfatwakan ihwal adopsi. Pada salah satu butir pertimbangannya, para ulama memandang, bahwa Islam mengakui keturunan (nasab) yang sah, yaitu anak yang lahir dari perkawinan (pernikahan). Hanya saja, MUI mengingatkan ketika mengangkat (adopsi) anak, tidakboleh hingga si anak putus hubungan keturunan (nasab) dengan ayah dan ibu kandungnya. Sebab, hal ini berperihalan dengan syariat Islam. Banyak dalil yang mendasarinya. Seperti surat al-Ahzab ayat 4:
"Dan, beliau tidak menjadikan belum dewasa angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri); yang demikian itu spesialuntuklah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah menyampaikan yang sebetulnya dan Dia menyampaikan jalan yang benar."
Begitu pula surat al-Ahzab ayat 5:
"Panggilan mereka (anak angkat) itu dengan menggunakan nama bapak-bapak mereka, itulah yang paling adil dihadapan Allah. Jika engkau tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudaramu seagama dan maulamaula (hamba sahaya yang di merdekakan".
Surat al-Ahzab ayat 40 kembali menegaskan : "Muhammad itu sekalikali bukanlah bapak dari seorang pria diantaramu, tetapi ia yakni Rasulullah dan epilog nabi-nabi”.
Anak angkat dalam arti memelihara, mendidik dan mengasuh seseorang anak orang lain yakni sangat dianjurkan dalam islam. Tetapi penamaan anak angkat tidak menjadikan seseorang menjadi mempunyai hubungan dengan seseorang lain menyerupai hubungan yang terdapat dalam hubungan darah. Oleh lantaran itu , penamaan dan penyebutan anak angkat tidak diakui dalam aturan Islam untuk dijadikan sebagai dasar dan alasannya yakni mewaris, lantaran prinsip pokok dalam kewarisan yakni hubungan darah atau arham. Hubungan antara anak angkat dengan orang yang mengangkatnya bukanlah hubungan anak sulbi. Anak sulbi asalnya anak shulbi artinya ialah anak kandung yang berasal dari sumsum tulang sulbi atau tulang punggung engkau.
Jadi dalam aturan islam pada prinsipnya anak angkat itu tidak dihentikan sepanjang hal itu menyangkut memelihara, mendidik dan mengasuhnya akan tetapi anak angkat itu tidak dikenal bila dihubungkan atau dikaitkan dengan kedudukan hukumnya dalam hal ini apabila menjadi jago waris atau memperoleh kewarisan.
b.    Menurut Hukum Adat
Menurut catatan Ter Haar, sebagaimana dikutip oleh J. Satrio, pengangkatan anak di dalam Hukum Adat bukan ialah sesuatu forum yang asing. Lembaga ini dikenal luas hampir di seluruh Indonesia. Alasan yang menjadi pertimbangan pengangkatan anak juga bermacam-macam. Ada yang lantaran untuk kepentingan pemeliharaan di hari renta dan ada yang kerana kasihan terhadap anak yatim piatu. Bahkan, ada kalanya pengangkatan anak dilakukan dengan pertimbangan yang menyerupai dengan adopsi yang diatur oleh ketentuan adopsi ( Stb Nomor 129 tahun 1917 ) yaitu untuk menghindari punahnya suatu keluarga. Tentang siapa yang boleh mengangkat anak tidak ada ketentuannya. Akan tetapi berdasarkan R. Soeroso, dijumpai ketentuan minimal tidak sama 15 tahun. Demikian juga ihwal siapa yang boleh diadopsi juga tidak ada ketentuan harus anak laki-atau anak perempuan. Batas usia anak yang sanggup diangkat juga tidak sama antara dearah aturan yang satu dengan kawasan aturan yang lain.
Hal ini masuk akal mengingat perbedaan-perbedaan tabiat di suatu tempat juga memungkinkan terjadinya perbedaan nilai-nilai aturan mereka.
Dalam aturan tabiat justru anak angkat atau pengangkatan anak ini diakuli dan harus dilakukan secara jelas, tegas dan terang atau tunai, yaitu dilakukan dengan upacara-upacara adat. Hal ini berkaitan dengan hubungan atau kedudukan aturan antara anak angkat dengan orang renta angkat serta orang renta kandungnya.
Dalam masyarakat aturan tabiat , dengan pengangkatan anak, maka putuslah hubungan keluarga antara anak tersebut dengan orang renta kandungnya. Dalam hal pewarisan anak tersebut mewaris dari orang renta angkatnya menyerupai halnya anak kandung. Kaprikornus kedudukan aturan antara anak angkat dengan anak kandung sama dalam hal pewarisan.

c.     Menurut KUHPerdata Barat
Yang dimaksud Hukum Barat di sini yakni Kitab Undang-undang Hukum Perdata / BW. sepertiyang sudah dikemukakan di atas, bahwa pengangkatan anak dalam istilah Hukum Perdata Barat disebut adopsi. Dasar aturan adopsi yakni Staatsblad Tahun 1917 nomor 129. Oleh lantaran itu pembicaraan terkena adopsi Hukum Perdata Barat spesialuntuk bersumber dari Staatsblad tersebut, alasannya yakni keberadaannya ialah satu-satunya embel-embel bagi BW yang di dalamnya memang tidak mengenal masalah adopsi.
Sudah barang tentu hal ini perlu ditegaskan supaya tidakboleh hingga salah pengertian, bahwa Hukum Barat itu spesialuntuk KUH Perdata/BW. J. Satrio menulis dalam bukunya HukumKeluarga ihwal Kedudukan Anak dalam Undang-undang, bahwa tidak adanya ketentuan ihwal adopsi dalam BW lantaran ketentuan tersebut memang sengaja dikeluarkan. Ada yang mengatakan, forum itu memang hendak dihapus. Menurut pikiran yang berlaku pada masa pembentukan BW tiang dasar mesyarakat Eropa yakni keluarga, yang diwujudkan dalam hubungan suami istri, orang renta anak menyerupai yang diletakkan dalam BW. melaluiataubersamaini dasar pikiran menyerupai itu, maka adopsi ialah hubungan tiruan yang spesialuntuk memalsukan hubungan orang renta anak. melaluiataubersamaini mengutip pernyataan Ali Afandi beliau mengemukakan, dalam catatan kaki, latar belakang tidak dikenalnya adopsi atau pengangkatan anak luar kawin. Yang perlu dicatat yakni bahwa adopsi yang diatur dalam ketentuan Staatsblad tersebut yakni spesialuntuk berlaku bagi masyarakat Tionghoa.
Ketentuan yang berkaitan dengan pengangkatan anak versi Hukum Barat ini diatur dalam Staatsblad Pasal 5 s.d. 15 antara lain:
a.    Suami istri atau duda yang tidak mempunyai anak pria yang sah dalam garis pria baik keturunan dari kelahiran atau keturunan lantaran pengangkatan. Orang demikian diperbolehkan mengangkat anak pria sebagai anaknya.
b.    Seorang janda (cerai mati ) yang tidak mempunyai anak pria dan tidak
dilarang oleh bekas suaminya dengan suatu wasiat. (Pasal 5 )
c.    Yang boleh diangkat yakni anak Tionghoa pria yang tidak diberistri dan tidak beranak dan tidak sedang dalam status siangkat oleh orang lain. (Pasal 6)
d.   Usia yang diangkat harus 18 tahun lebih muda dari suami dan 15 tahun lebih muda dari istri. (Pasal 7 ayat 1);
e.    Adopsi harus dilakukan atas kata sepakat;
f.     Pengangkatan anak harus dilakukan dengan sertifikat notaris. (Pasal 10)
g.    Pengangkatan terhadap anak perempuan dan pengangkatan dengan cara tidak membuat sertifikat otentik batal demi hukum. ( Pasal 15 ayat Di samping itu adopsi, atas tuntutan oleh pihak yang berkepentingan juga sanggup ditetapkan batal.
h.    Suatu adopsi tidak sanggup dibatalkan dengan kesepakatan para pihak. ( Pasal 15 ayat 1 ). Pasal tersebut ialah penyimpangan dari ketentuan Pasal 1338 ayat KUH Perdata (BW ) yang menyatakan bahwa suatu perjanjian yang dibentuk secara sah sanggup dibatalkan dengan sepakat para pihak yang membuat perjanjian yang bersangkutan.
i.      Secara yuridis formal, motif tidak ada ketentuannya,. Akantetapi, secara culturalmotif pengangkatan anak dalam system tabiat Tionghoaagar sanggup meneruskan keturunan, supaya sanggup mendapatkan bubuk leluhur, dan sebagai pancingan supaya sanggup memperoleh keturunan pria dalam BW, yaitu lantaran BW memandang suaitu perkawinan sebagai bentuk hidup bersama, bukan untuk mengadakan keturunan.
KUHPerdata Belanda yang usang tidak mengenal forum adopsi sehingga KUHPerdata Indonesia pun tidak mengenalnya meskipun Code Civil Prancis mengenal adopsi. Hal ini disebabkan lantaran pandangan orang-orang Belanda yang menganggap anak spesialuntuk mereka yang bekerjasama darah semata-mata. Akan tetapi , perkembangan selanjutnya yakni bahwa adopsi sudah dikenal dalam KUH Perdata Belanda yang gres yaitu semenjak tahun 1956.[4]
E.     Akibat Hukum Pengangkatan Anak
Pengangkatan anak berdampak pula pada hal perwalian dan waris.
a.    Perwalian
Dalam hal perwalian, semenjak putusan diucapkan oleh pengadilan, maka orang renta angkat menjadi wali dari anak angkat tersebut. Sejak ketika itu pula, segala hak dan kewajiban orang renta kandung beralih pada orang renta angkat. Kecuali bagi anak angkat perempuan beragama Islam, bila beliau akan berkeluarga maka yang bisa menjadi wali nikahnya spesialuntuklah orangtua kandungnya atau saudara sedarahnya.


  1. Waris
Khazanah aturan kita, baik aturan adat, aturan Islam maupun aturan nasional, mempunyai ketentuan terkena hak waris. Ketiganya mempunyai kekuatan yang sama, artinya seseorang bisa menentukan aturan mana yang akan digunakan untuk menentukan pewarisan bagi anak angkat.[5]
Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat, Hukum Islam dan Hukum Barat.
1.      Menurut Hukum Adat
Adapun akhir aturan pengangkatan anak berdasarkan adat, berdasarkan J.Satrio, bahwa anak itu mempunyai kedudukan menyerupai anak yang lahir dari perkawinan suami istri yang mengangkatnya dan hubungannya dengan keluarga asal menjadi putus. Penerimaan anak angkat sebagai keluarga adoptan hadir tidak spesialuntuk dari keluarga adoptan, tetapi juga dari masyarakat lingkungannya.
Tentang akhir aturan pengangkatan anak berdasarkan Hukum Adat ini R. Soeroso, S.H. menulis :
“ melaluiataubersamaini demikian, khususnya masalah pengangkatan anak atau adopsi mempunyai sifat-sifat yang sama antara aneka macam kawasan hukum, meskipun karakteristik masing-masing kawasan tertentu mewarnai kebhinekaan cultural suku bangsa Indonesia”. Bertitik tolak dari yang dikemukakan R. Soeroso tersebut sanggup dikemukakan, bahwa sebagai akhir kebhinekaan kultural,
Perbedaan akhir aturan adopsi berdasarkan Hukum Adat pun juga dimungkinkan terjadi. melaluiataubersamaini kalimat lain, akhir aturan adopsi yang berdasarkan J. Satrio melepas hubungan anak angkat dengan orang renta asalnya tersebut, belum tentu terjadi di tiruana di kawasan aturan Adat. Masih dimungkinkan terjadi akhir aturan yang tidak mengakibatkan terputusnya hubungan antara anak angkat dengan orang renta asalnya. Perkiraan menyerupai ini didukung oleh yang ditulis oleh R. Soeroso, bahwa di Bali perbuatan pengangkatan anak melepaskan anak itu dari pertalian keluarganya dengan orang tuanya sendiri dengan memasukkan anak itu ke dalam keluarga pihak bapak angkat. Sedangkan, di Jawa pengangkatan anak tidak mengakibatkan putusnya hubungan pertalian keluarga. Di samping itu, berdasarkan penulis, di daerah-daerah aturan yang komunitas masyarakatnya muslim yang taat tentu tidak membenarkan pengangkatan anak yang mengakibatkan putusnya hubungan nasab dengan orang renta asalnya. Sebab, akhir aturan menyerupai itu terperinci dihentikan dalam fatwa Islam.
2.      Menurut Hukum Islam
Dalam aturan Islam, pengangkatan anak tidak membawa akhir aturan dalam hal hubungan darah, hubungan wali-mewali dan hubungan waris mewaris dengan orang renta angkat. Ia tetap menjadi jago waris dari orang renta kandungnya dan anak tersebut tetap menggunakan nama dari ayah kandungnya.[6]
3.      Menurut Hukum Barat
Akibat Hukum pengangkatan anak tersebut, antara lain :
1)      Pasal 12 mempersembahkan ketentuan, bahwa adopsi mengakibatkan anak angkat tersebut berkedudukan sama dengan anak sah dari perkawinan yang orang renta yang mengangkatnya. Termasuk, jikalau yang mengangkat anak tersebut seorang janda, anak angkat ( adoptandus) tersebut harus dianggap dari hasil perkawinan dengan almarhum suaminya.
2)      Adopsi menghapus tiruana hubungan kekeluargaan dengan keluarga asal, kecuali dalam hal:
- Penderajatan kekeluargaan sedarah dan semenda dalam bidang perkawinan;
- Ketentuan pidana yang didasarkan atas keturunan;
- Mengenai perhitungan biaya perkaradan penyanderaan;
- Mengenai pembuktian dengan saksi,
- Menganai saksi dalam pembuatan sertifikat autentik.
3) Oleh lantaran akhir aturan adopsi mengakibatkan hubungan kekeluargaan dengan keluarga asalnya menjadi hapus, maka hal ini berakibat juga pada aturan waris, yaitu: Anak angkat tidak lagi mewaris dari keluarga sedarah asalnya, sebaliknya kini mewaris dari keluarga ayah dan ibu yang mengadopsi dirinya. Ketentuan-ketentuan asal terkena adopsi tersebut kini memang tidak berlakusecara konsisten. Seiring dengan perkembanagan zaman pelaksanaannyapun mengalami perubahan.

Menurut J. Satrio setidaknya ada dua perubahan fundamental dari penerapan ketentuan adopsi tersebut, yaitu :
a.         Keberlakuan Staatsblad nomor 129 tahun 1917 kini tidak lagi berlaku bagi golongan Tionghoa;
b.         Anak yang diangkat tidak spesialuntuk anak pria saja tetapi juga anak perempuan.

F.     Aturan Hukum Yang Berkaitan melaluiataubersamaini Pengangkatan Anak.
sepertiyang sudah dikemukakan pada pembahasan terlampau bahwa adopsi ialah istilah yang dikenal dari forum aturan yang berasal dari aturan perdata Barat (Belanda ). Oleh lantaran hingga ketika ini, Indonesia sebagian aturan perdatanya juga masih memberlakukan Hukum Perdata Barat, dalam hal ini Burgelijk wet Boek ( BW ), maka ketentuan-ketentuan menganai pengangkatan anak tersebut, sanggup dilihat pada ketentuan-ketantuan yang ada dalam BW. Akan tetapi kenyataannya BW sendiri tidak mengatur terkena adopsi sebagaimana yang terjadi dalam praktek. sepertiyang dikemukakan oleh R. Soeroso, adopsi yang diatur dalam BW spesialuntuk adopsi atau pengangkatan anak luar kawin, yaitu sebagaimana termuat pada Buku I Bab XII Bagian III pasal 280 hingga dengan 290. Sedangkan, pengangkatan anak sebagaimana terjadi dalam praktek di masyarakat dan dunia peradilan sekarang, tidak spesialuntuk terbatas pada pengangkatan anak luar kawin, tetapi sudah mencakup beberapa aspek pengangkatan anak dalam arti luas. melaluiataubersamaini demikian, sebenarnya, BW  tidak mengatur pengangkatan anak sebagaimana dikenal sekarang. Hanya saja kemudian, untuk memenuhi tuntutan masyarakat, oleh Pemerintah Belanda dikeluarkan Stb. 1917 Nomor 129 yang mempersembahkan ketantuan terkena adopsi bagi masyarakat Tionghoa, dalam hal ini diatur dalam ketentuan Pasal 5 hingga dengan Pasal 15. Di dalamnya diatur ihwal siapa yang boleh mengangkat, siapa yang boleh diangkat sebagai anak angkat, dan tatacara pengangkatan anak, termasuk di dalamnya syarat-syarat pengangkatan anak.
Menurut R Soeroso Staatsblad tersebut ialah satu-satunya embel-embel dari BW. Oleh lantaran itu, segala masalah menyangkut adopsi versi Barat semata-mata harus beranjak dari Staatsblaad tersebut. Melihat praktek seruan pengangkatan anak di peradilan dari hari ke hari semakin marak, terlepas dari motivasi yang melatarbelakangi pemohon, dan aturan yang mengatur terkena hal itu masih dirasa kurang, maka Mahkamah Agung memandang perlu untuk mempersembahkan tambahan aturan yang bersifat teknis terkena pengangkatan anak tersebut. Kepedulian Mahkamah Agung tersebut diwujudkan dengan mengeluarkan aturan dalam bentuk Surat Edaran.[7]

BAB III
PENUTUP


Simpulan :

Adopsi anak yakni salah satu cara mulia bagi pasangan yang belum dikaruniai anak. Kehadiran anak adopsi diharapkan sanggup mengisi hari-hari sepi pasangan suami istri tersebut, bahkan tak jarang banyak pasangan yang menjadikan anak adopsi sebagai “pancingan” supaya kelak mereka memiliki keturunan kandung mereka sendiri.
Dalam aturan islam pada prinsipnya anak angkat itu tidak dihentikan sepanjang hal itu menyangkut memelihara, mendidik dan mengasuhnya akan tetapi anak angkat itu tidak dikenal bila dihubungkan atau dikaitkan dengan kedudukan hukumnya dalam hal ini apabila menjadi jago waris atau memperoleh kewarisan.
Dalam masyarakat aturan tabiat , dengan pengangkatan anak, maka putuslah hubungan keluarga antara anak tersebut dengan orang renta kandungnya. Dalam hal pewarisan anak tersebut mewaris dari orang renta angkatnya menyerupai halnya anak kandung. Kaprikornus kedudukan aturan antara anak angkat dengan anak kandung sama dalam hal pewarisan.
KUHPerdata Belanda yang usang tidak mengenal forum adopsi sehingga KUHPerdata Indonesia pun tidak mengenalnya meskipun Code Civil Prancis mengenal adopsi. Hal ini disebabkan lantaran pandangan orang-orang Belanda yang menganggap anak spesialuntuk mereka yang bekerjasama darah semata-mata. Akan tetapi , perkembangan selanjutnya yakni bahwa adopsi sudah dikenal dalam KUH Perdata Belanda yang gres yaitu semenjak tahun 1956.
Akibat Pengangkatan anak berdampak pula pada hal perwalian dan waris. Dalam perwalian, Sejak putusan diucapkan oleh pengadilan, maka orang renta angkat menjadi wali dari anak angkat tersebut. Sejak ketika itu pula, segala hak dan kewajiban orang renta kandung beralih pada orang renta angkat. Kecuali bagi anak angkat perempuan beragama Islam, bila beliau akan berkeluarga maka yang bisa menjadi wali nikahnya spesialuntuklah orangtua kandungnya atau saudara sedarahnya. Dalam waris Khazanah aturan kita, baik aturan adat, aturan Islam maupun aturan nasional, mempunyai ketentuan terkena hak waris. Ketiganya mempunyai kekuatan yang sama, artinya seseorang bisa menentukan aturan mana yang akan digunakan untuk menentukan pewarisan bagi anak angkat.

DAFTAR PUSTAKA


Buku :
Zaini Muderis, Adopsi, Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2007.

Artikel :


[1] Zaini Muderis, Adopsi, Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007) h. 125.

https://tombakilmukita.blogspot.com//search?q=pengangkatan-anak-menurut-berbagai, diakses pada hari Rabu, 28 Mei 2014, jam 16 :00 Wita.
https://tombakilmukita.blogspot.com//search?q=pengangkatan-anak-menurut-berbagai,  diakses pada hari Rabu,  28 Mei 2014, jam 16: 00 Wita.
https://tombakilmukita.blogspot.com//search?q=pengangkatan-anak-menurut-berbagai, diakses pada hari Rabu 28 Mei 2014, jam 16 : 00 wita.
https://tombakilmukita.blogspot.com//search?q=pengangkatan-anak-menurut-berbagai, di susukan pada hari Selasa, 27 Mei 2014, jam 06 : 00 Wita.
[6] http://www.lbh-apik.or.id/adopsi.htm, diakses pada hari Kamis, 29 Mei 2014, jam 10: 00 Wita.
[7]Asmu’i Syarkowi, http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/Lembaga%20Pengangkatan%20Anak%20-%20asmui.pdf, diakses pada hari Kamis, 29 Mei 2014, pada jam 12 : 00 Wita.

Posting Komentar untuk "Adopsi"