Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Penafsiran Surah Al-Hujarat Ayat 13, Al-Maidah Ayat 8, Dan An-Nisa Ayat 86



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Ayat yang memerintahkan kepada orang mukmin biar melaksanakan amal dan pekerjaan mereka dengan cermat, jujur dan tulus lantaran Allah, baik pekerjaan yang bertalian dengan urusan agama maupun pekerjaan yang bertalian dengan urusan keduniawi. Karena spesialuntuk demikianlah mereka sanggup sukses dan memperoleh hasil atau akhir yang mereka harapkan. Dalam persaksian mereka harus adil membuktikan apa yang sebenarnya, tanpa memandang siapa orangnya, sekalipun akan menguntungkan lawan dan merugikan teman dekat kerabat.
Perintah untuk melaksanakan sopan santun dalam pergaulan biar terpelihara korelasi persaudaraan dengan jalan mengadakan tata tertib yang dilakukan saat bertemu dengan seseorang.seseorang harus membalas penghormatan yang didiberikan kepadanya berupa salam yang diterimanya dengan akhir yang setimpal atau dengan cara lebih baik.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana penafsiran surah al-Hujarat ayat 13 ?
2.      Bagaimana penafsiran surah al-Maidah ayat 8 ?
3.      Bagaimana penafsiran surah an-Nisa ayat 86 ?





BAB II
PEMBAHASAN

A.    Al-Hujarat ayat 13
$pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.sŒ 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© Ÿ@ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ׎Î7yz ÇÊÌÈ  
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami membuat engkau dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan engkau berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya engkau saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara engkau disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara engkau. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”
·         Asbabun Nuzul al-Hujarat ayat 13
Ibn Abi Mulaikah ra. Menurunkan bahwa ayat ini diturunkan berkanaan dengan orang-orang yang saat Bilal ra naik keatas ka’bah untuk mengumandangkan azan setelah fushia pembebasan kota makkah, mengalami bilal ra. “Bagaimana mungkin budak hutan ini yang mengumandangkan azan diatas ka’bah ?”Sebagian yang lain berkata “apakah Allah akan marah kalau bukan ia yang mengumandangkan azan ?  (HR. Ibnu Abi Hatim. Lihat Qurthbi : 9/6390 & ad-durrul matsur : 7/97).[1]
Setiap muslim mempunyai hak atas saudaranya yang sesama muslim. Dalam hadits riwayat Bukhari dari Anas bin Malik, Rasulullah saw bersabda, “Orang muslim itu yaitu saudara orang muslim,tidakboleh berbuat aniaya kepadanya, tidakboleh membuka aibnya, tidakboleh menyerahkannya kepada musuh, dan tidakboleh meninggikan serpihan rumah sehingga menutup udara tetangganya kecuali dengan izinnya, tidakboleh mengganggu tetangganya dengan asap makanan dari periuknya kecuali kalau ia memdiberi segayung dari kuahnya. Jangan membeli buah-buahan untuk anak-anak, kemudian dibawa keluar (diperlihatkan) kepada belum dewasa tetangganya kecuali kalau mereka didiberi buah-buahan itu. “Kemudian Nabi saw bersabda, “Peliharalah (norma-norma pergaulan) tetapi (akung) spesialuntuk sedikit di antara engkau yang memeliharanya. “Dalam hadits shahih lain yang ditetapkan, “Apabila seorang muslim mendo’akan saudaranya yang ghaib, maka malaikat berkata ‘Amin’, dan semoga engkau pun menerima menyerupai itu.”
Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah, sabda Rasulullah saw,”Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada rupa dan hartamu tetapi Ia memandang kepada hati dan perbuatanmu.”
Pada ayat ini pula Allah sebut perempuan secara khusus sebagai peringatan terhadap kebiasaan tercela kaum perempuan dalam bergaul. Terdapat riwayat yang melatarbelakangi turunnya ayat ini ialah berkenaan dengan cerita Shafiyah binti Huyay bin Akhtab yang pernah hadir menghadap Rasulullah saw dan melaporkan bahwa beberapa perempuan di Madinah pernah menegur dia dengan kata-kata yang menyakitkan hati, seperti: “Hai perempuan Yahudi,Keturunan Yahudi dan sebagainya”, sehingga Nabi saw bersabda kepadanya, “Mengapa tidak engkau balasan saja, ayahku Nabi Harun, pamanku Nabi Musa, dan suamiku yaitu Muhammad.”
Pada ayat 13, Allah membuktikan bahwa insan diciptakan-Nya majemuk bangsa dan suku supaya saling mengenal dan saling menolong dalam kehidupan bermasyarakat dan tidak ada kemuliaan seseorang di sisi Allah kecuali dengan ketakwaannya.
Dalam suatu hadits riwayat Abu Hatim yang bersumber dari Ibnu Mulaikah berkenaan turunnya ayat ini ialah bahwa saat fathu Makkah, Bilal naik ke atas Ka’bah untuk adzan. Beberapa orang berkata, “Apakah pantas budak hitam adzan di atas Ka’bah?”. Maka berkatalah yang lain, “Sekiranya Allah membenci orang ini, niscaya Allah akan menggantinya. “Maka hadirlah malaikat Jibril memdiberitahukan kepada Rasulullah saw apa yang mereka ucapkan. Maka turunlah ayat ini yang melarang insan menyombongkan diri lantaran kedudukan,pangkat, kekayaan, dan keturunan dan bahwa kemuliaan seseorang di sisi Allah dinilai dari derajat ketakwaannya.
Persaudaraan ialah pilar masyarakat Islam dan salah satu basis kekuatannya. “Seorang mukmin terhadap mukmin yang lainnya bagaikan bangunan yang saling mengikat dan menguatkan serta bagaikan jalinan antara jari-jemari.” (HR.Muttafaq’alaih dari Abu Musa r.a.)
Rasulullah saw pernah menganggap persaudaraan antar umat Islam yaitu basis yang sangat penting sehingga hal yang dilakukan dia yaitu mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshar secara formal satu dengan yang lainnya saat hijrah ke Madinah.[2]
B.     Al-Maidah ayat 8
$pkšr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä (#qçRqä. šúüÏBº§qs% ¬! uä!#ypkà­ ÅÝó¡É)ø9$$Î/ ( Ÿwur öNà6¨ZtB̍ôftƒ ãb$t«oYx© BQöqs% #n?tã žwr& (#qä9Ï÷ès? 4 (#qä9Ïôã$# uqèd Ü>tø%r& 3uqø)­G=Ï9 ( (#qà)¨?$#ur ©!$# 4 žcÎ) ©!$# 7ŽÎ6yz $yJÎ/ šcqè=yJ÷ès? ÇÑÈ  
“Hai orang-orang yang diberiman hendaklah engkau Kaprikornus orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) lantaran Allah, menjadi saksi dengan adil. dan tidakbolehlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong engkau untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, lantaran adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang engkau kerjakan”.
            Firman Allah SWT bermaksud antara misi islam diutuskan kepada seluruh alam untuk membuatkan pesan keadilan dan keseksamaan dalam kehidupan insan sejagat. Pesan ini yang mengiringi perutusan nabi dan rasul kepada kaum masing-masing. Justru, islam menganjurkan umatnya melaksanakan keadilan dalam setiap aspek kehidupan mereka. Perintah itu hadir seienteng dengan sifat Allah sendiri yang maha adil dan mengharamkan Zat-nya daripada melaksanakan kezhaliman, dalam hadist : Wahai hamba Ku ! sesungguhnya Aku teah mengharamkan sifat kezhaliman dalam Zat Ku dan Aku juga mengharamkan sifat itu dikalangan engkau. Oleh lantaran itu tidakboleh lah engkau zalim menzalimi antara sesama engkau. (hadis riwayat muslim)
            Adil membawa arti melekatkan sesuatu pada tempatnya, bukan menyerupai difahami kebanyakan umat islam sekarang bahwa adil itu sama rata atau persamaan hak. Dalam al-Qur’an ada banyak ayat suci membicarakan terkena keadilan supaya sanggup dijulang untuk mendasari setiap ruang hidup insan sejagat. Keadilan yang ditawar-tawarkan islam tidak terhadap kepada golongan pemimpin saja tetapi tiruana lapisan masyarakat islam terdiri daripada suami isteri, penjual dan pembeli, sesama Muslim dan antara pemimpin dengan rakyatnya. Oleh itu, setiap masyarakat Muslim yang melafazkan dua kalimah syahadah sewajarnya menjulang tinggi perintah Ilahi ini supaya konsep keadilan sanggup direalisasikan dan ditegakkan dalam masyarakat sejagat. Pada masa sama, Allah memdiberi amaran kepada umat Islam supaya tidakboleh terperangkap dengan penyakit hati menyerupai dengki dan kebencian yang akan menyebabkan keruntuhan serta kehancuran bangsa itu sendiri.[3]
Kemudian imam syafi’i sebut sejumlah ayat wacana mati syahid dan kesaksian. Imam syafi’i, pelajaran yang saya petik dalam setiap keterangan ulama yang saya dengar wacana ayat ini yaitu bahwa ayat ini berbicara wacana saksi yang sudah dikenai kewajiban untuk bersaksi, dia wajib mempersembahkan kesaksian atas kedua orang bau tanah dan anaknya, kerabatnya yang dekat maupun jauh, dan kepada orang yang dia benci (dekat maupun jauh), dia dilarang menyembunyikan kesaksian dari seorang pun, dilarang berat sebelah, dan dilarang mencegah kesaksian orang lain. Dalam surah al-maidah ayat 12 :
ôs)s9ur xyzr& ª!$# t,»sWÏB û_Í_t/ Ÿ@ƒÏäÂuŽó Î) $uZ÷Wyèt/ur ÞOßg÷YÏB óÓo_øO$# uŽ|³tã $Y7É)tR ( tA$s%ur ª!$# ÎoTÎ) öNà6yètB ( ÷ûÈõs9 ãNçFôJs%r& no4qn=¢Á9$# ãNçF÷s?#uäur no4qŸ2¨9$# NçGYtB#uäur Í?ßãÎ/ öNèdqßJè?ö¨tãur ãNçGôÊtø%r&ur ©!$# $·Êös% $YZ|¡ym ¨btÏeÿŸ2c{ öNä3Ytã öNä3Ï?$t«Íhy öNà6¨Zn=Åz÷Š_{ur ;M»¨Yy_ ̍øgrB `ÏB $ygÏFøtrB ㍻yg÷RF{$# 4 `yJsù txÿŸ2 y÷èt/ šÏ9ºsŒ öNà6YÏB ôs)sù ¨@|Ê uä!#uqy È@Î6¡¡9$# ÇÊËÈ
Dan Sesungguhnya Allah sudah mengambil Perjanjian (dari) Bani Israil dan sudah Kami angkat diantara mereka 12 orang pemimpin dan Allah berfirman: "Sesungguhnya saya beserta engkau, Sesungguhnya kalau engkau mendirikan shalat dan menunaikan zakat serta diberiman kepada rasul-rasul-Ku dan engkau menolong mereka dan engkau pinjamkan kepada Allah pinjaman yang baik Sesungguhnya saya akan menutupi dosa-dosamu. dan Sesungguhnya engkau akan Kumasukkan ke dalam nirwana yang mengalir air didalamnya sungai-sungai. Maka Barangsiapa yang kafir di antaramu setelah itu, Sesungguhnya ia sudah tersesat dari jalan yang lurus”.[4]
            Surah an-nisa ayat 135 mempunyai redaksi yang serupa dengan ayat diatas, spesialuntuk saja disana ditetapkan :
( كو نوا قوامين لله شهداء بالقسط شهداء الله
Sedangkan ayat di atas berbunyi
كو نوا قوامين لله شهداء بالقسط
            Perbedaan redaksi boleh jadi disebabkan lantaran ayat surah an-nisa diatas dikemukakan dalam konteks ketetapan aturan dalam pengadilan yang disusul dalam pembicaraan wacana perkara seorang muslim yang menuduh seorang Yahudi secara tidak sah, selanjutnya dikemukakan uraian wacana korelasi laki-laki dengan wanita, sehingga yang ingin digaris bawahi oleh ayat ini yaitu pentingnya keadilan, kemudian disusul dengan kesaksian. Karena itu redaksinya menlampaukan kata al-qisth (adil), gres kata syuhada (saksi-saksi). Adapun pada ayat maidah ini, maka ia dikemukakan setelah mengingatkan perjanjian-perjanjian dengan Allah dan Rasulnya, sehingga orang ingin digaris bawahi yaitu pentingnya melaksanakan secara tepat seluruh perjanjian itu, dan itulah yang dikandung oleh kata qawwamin lillah. Ada juga yang beropini bahwa ayat surah an-nisa dikemukakan dalam konteks kewajiban berlaku adil terhadap diri, kedua orang bau tanah dan kerabat, sehingga masuk akal kalau kata al-qisth/keadilan yang dilampaukan, sedang ayat al-maidah di atas dikemukakan dalam konteks permusuhan dan kebencian, sehingga perlu lebih lampau diingatkan yaitu keharusan melaksanakan sesuatu demi lantaran Allah, lantaran hal ini akan lebih mendorong meninggalkan permusuhan dan kebencian.
Bukan kah kalau anda merasa kasihan kepada seorang penjahat, anda tidak akan menghukumnya ? adil yaitu menempatkan segala sesuatu pada tempatnya. Jika seseorang memerlukan kasih maka dengan berlaku adil anda sanggup mencurahkan kasih kepadanya.  Jika seorang melaksanakan pelanggaran dan masuk akal menerima hukuman yang berat, maka saat itu kasih dilarang berperanan lantaran ia sanggup menghambat jatuhnya ketetapan aturan atasnya, saat itu yang dituntut yaitu adil, yakni menjatuhkan eksekusi setimpal atasnya.[5]
·         Munasabah Al-Maidah ayat 8
Sesudah Allah memerintahkan kepada Hamba-Nya yang mukmin supaya memenuhi akad secara umum, kemudian sebut karunia-Nya dengan menghalalkan bagi mereka makanan yang baik dan mengharamkan makanan yang tidak baik serta membolehkan mereka makan sembelihan Ahli kitab dan mengawini wanita-wanitanya, maka pada ayat ini Allah membuktikan wacana bagaimana sebaiknya kita berlaku terhadap orang lain, baik mereka Ahli Kitab, musuh, maupun teman dekat dan kerabat.[6]
C.     An-Nisaa ayat 86
#sŒÎ)ur LäêŠÍhãm 7p¨ŠÅstFÎ/ (#qŠyssù z`|¡ômr'Î/ !$pk÷]ÏB ÷rr& !$ydrŠâ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. 4n?tã Èe@ä. >äóÓx« $·7ŠÅ¡ym ÇÑÏÈ        
Apabila engkau didiberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa) Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu”.[7]
            Ayat ini mengajarkan cara lain untuk menjalin korelasi yang lebih bersahabat lagi. Demikian Sayyid Muhammad Tanthawi menghubungkan ayat ini dengan ayat sebelumnya.
            Kata tahiyyah terambil dari kata hayat (hidup). Kata tahiyyah berarti “do’a untuk memperpanjang usia”. Kata ini kemudian dipakai untuk menggambarkan segala macam penghormatan, baik dalam bentuk ucapan maupun selainnya.
            Ucapan yang diajarakan dan dianjurkan islam bila bertemu dengan sesama, bukan sekedar assalamu’alaikum, tetapi ditambah lagi dengan warahmatullahi wabarakatuh. Salam/damai yang dipersembahkan harus dinilai sebagai satu penghormatan dari yang mempersembahkannya. Disisi lain, tenang yang didambakan yaitu perdamaian yang abadi dan tidak tiruan. Perlu dicatat bahwa ada petunjuk Nabi saw yang melarang memulai salam kepada orang Yahudi dan Katolik (HR. Muslim dari Abu Hurairah).
            Asy-Sya’rawi menggaris bawahi kata hayyitum dalam konteks ucapan salam ini. Menurutnya tiruana makhluk Allah hidup dengan kehidupan yang sesuai dengan kodratnya. Maka kalau hadir seseorang mengucapkan tahiyyah, yakni salam kepadanya dan bermohon biar ia hidup dalam keadaan damai, maka ia akan merasa sangat bergembira dan ia bagaikan didiberi hidup yang menenangkan. Assalamu’alaikum menjadikan tenang dan meraskan nilai hidupnya. Kata hayyu yang diperintahkan oleh ayat ini menurutnya yaitu perintah untuk mempersembahkan kepada siapa yang dihadapan kehidupan yang tenang, mantap dan penuh damai.
            Dapat ditambah bahwa ucapan salam mengandung juga makna persamaan kemanusiaan. Itu sebabnya terhadap belum dewasa kecil pun Nabi saw mengucapkan salam.
Kata hasiban yang akarnya terdiri dari huruf-huruf Ha, Sin dan Ba mempunyai empat kimasukan makna, yakni : menghitung, mencukupkan, bantal kecil dan penyakit yang menimpa kulit sehingga memutih. Tentu saja makna ketiga dan empat tidak mungkin dikaitkan atau disandang oleh Allah swt. dalam al Qur’an, kata hasib terulang sebanyak empat kali, tiga diantaranya menjadi sifat Allah dan yang ketempat tertuju kepada manusia.
Seseorang yang meyakini bahwa Allah yaitu hasib terhadap dirinya akan selalu merasa tentram, tidak terusik oleh gangguan, tidak kecewa oleh kehilangan bahan atau peluang, lantaran selalu merasa cukup dengan Allah. Kalau kata hasib dipahami dalam arti menghitung, maka Allah antara lain yaitu yang melaksanakan perhitungan menyangkut amal-amal baik dan jelek insan secara amat teliti lagi amat cepat, termasuk dalam konteks ayat ini, kualitas dan kuantitas tahiyyah/ucapan dan pemdiberian salam.[8]
·         Munasabah An-nisa ayat 86
Perintah dalam ayat yang kemudian kepada Nabi biar menggalakkan kaum muslimin untuk menangkis serangan orang kafir, maka ayat ini membuktikan bahwa barang siapa yang mempersembahkan pertolongan, niscaya akan ditolong pula dan menerima pahala dari Allah.[9]















BAB III
PENUTUP

Simpulan :
Ayat ini juga menyatakan bahwa persaudaraan Islam berlaku untuk seluruh umat insan tanpa dibatasi oleh bangsa, warna kulit, kekayaan dan wilayah melainkan didasari oleh ikatan aqidah. Persaudaraan ialah pilar masyarakat Islam dan salah satu basis kekuatannya. “Seorang mukmin terhadap mukmin yang lainnya bagaikan bangunan yang saling mengikat dan menguatkan serta bagaikan jalinan antara jari-jemari.
Diatas ditetapkan adil bahwa adil lebih dekat kepada taqwa. Perlu dicatat bahwa keadilan sanggup ialah kata yang menunjuk subtansi pedoman islam. kalau ada agama yang menjadikan kasih sebagai tuntutan tertinggi, islam tidak demikian. Ini, lantaran kasih dalam kehidupan langsung apalagi masyarakat, sanggup berdampak buruk. Dan kalau didiberi penghormatan hendaknya membalas dengan demikian juga, akhir yang setimpal atau yang lebih baik sanggup berbentuk ucapan yang sangat senang dengan bunyi yang lemah lembut atau dengan gerik-gerik yang menarikdanunik hati, memperhatikan kehidupan dalam menegakkan sopan santun yang memperkuat korelasi persaudaraan antara sesama mereka.
Allah membuat kita majemuk dan berbangsa-bangsa supaya saling mengenal, saling tolong menolong, saling menghormati, dan berlaku adil dalam kehidupan bermasyarakat. Bahwasanya Allah mengukur kemulian dengan ketaqwaannya disisi Allah.





DAFTAR PUSTAKA

Buku :
Ahmad Mustafa al-Farran,Syaikh Tafsir Imam Syafi’I Surah An-nisa-surah Ibrahim, Jakarta : alahlia, 2008.
Hatta Ahmad, Tafsir Qur’an Perkata dilengkapi dengan Asbabun nuzul & Terjemah, Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2009.
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid II, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010.

Artikel :



[1] Ahmad Hatta, Tafsir Qur’an Perkata dilengkapi dengan Asbabun nuzul & Terjemah, (Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2009),  cet. 3, h. 517.
[2] http://mentoring98.wordpress.com/2008/08/06/tadabur-ayat-qs-al-hujurat-10-13/, diakses pada hari Rabu, 30 Oktober 2013, jam 15:00 Wita.

[3] http://www.slideshare.net/embunsiang/86198048-tafsirayatperihalakhlak, pada hari Rabu, 30 Oktober 2013, jam 12:00 Wita.

[4] Syaikh Ahmad Mustafa al-Farran, Tafsir Imam Syafi’I Surah An-nisa-surah Ibrahim, (Jakarta : alahlia, 2008), h. 326.

[5] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 33.
[6] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid II, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010),  h.365.
[7] http://www.alquran-indonesia.com/web/quran/listings/details/4/80, diakses pada hari Kamis, 31 Oktober 2013, jam 08:30 Wita.

[8] Shihab, Tafsir Al-Misbah, Op.Cit, h. 513-517.
[9] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid II,Op. Cit, h. 228.

Posting Komentar untuk "Penafsiran Surah Al-Hujarat Ayat 13, Al-Maidah Ayat 8, Dan An-Nisa Ayat 86"