Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hadits Ihwal Iddah



BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Sumber utama aturan Islam ialah Al-Qur’an, maka aturan Islam berfungsi sebagai pemdiberi petunjuk, pemdiberi aliran dan batasan terhadap manusia. Jika sesuatu itu haram, maka aturan Islam berfungsi sebagai pemdiberi petunjuk  bahwa hal tersebut tidak boleh dikerjakan, sebaliknya kalau sesuatu itu wajib maka haruslah dikerjakan, dengan istilah lain ketentuan aturan Islam itu berarti hasil ijtihad fuqaha dalam  menjabarkan petunjuk dari wahyu itu.
Dari paparan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk menganalisis sebuah hadis dalam makalah ini dan menggali bagaimana hukumnya berdasarkan Al-Qur’an, Hadis, Ijma serta pendapat para mahir fiqih. Untuk itu supaya lebih jelasnya wacana ini akan dibahas dalam belahan selanjutnya.

B.       Rumusan Masalah
1.      Bagaimana nasib isteri yang ditinggal pergi suaminya dan berapa usang masa iddahnya?
2.      Bagaimana hukumnya bagi suami mencampuri isteri pada dikala masa iddahnya berlangsung baik itu isteri yang sedang hamil maupun tidak hamil?
3.      Bagaimana hukumnya seorang pria yang bermalam di rumah seorang perempuan yang bukan mahramnya?
4.      Bagaimana hukumnya seorang pria yang menyepi bersama orang yang bukan mahramnya?
5.      Bagaimana status anak dari kekerabatan perzinahan?

C.  Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui bagaimana nasib isteri yang ditinggal pergi suaminya dan berapa usang masa iddahnya.
2.      Untuk mengetahui bagaimana hukumnya bagi suami mencampuri isteri pada dikala masa iddahnya berlangsung baik itu isteri yang sedang hamil maupun tidak hamil.
3.      Untuk mengetahui bagaimana hukumnya seorang pria yang bermalam di rumah seorang perempuan yang bukan mahramnya.
4.      Untuk mengetahui bagaimana hukumnya seorang pria yang menyepi bersama perempuan yang bukan mahramnya.
5.      Untuk mengetahui bagaimana status anak dari kekerabatan perzinahan.








BAB II
PEMBAHASAN

A.  Hadis Tentang Iddah
1.      Iddah Isteri Yang Ditinggal Pergi Suaminya
وَعَنْ اَلْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( اِمْرَأَةُ اَلْمَفْقُودِ اِمْرَأَتُهُ حَتَّى يَأْتِيَهَا اَلْبَيَانُ )  أَخْرَجَهُ اَلدَّارَقُطْنِيُّ بِإِسْنَادٍ ضَعِيفٍ 
Artinya:
“Dari al-Mughirah Ibnu Syu'bah bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Istri yang ditinggal suaminya tanpa diberita tetap menjadi istrinya (suami yang pergi itu) hingga hadir kepadanya diberita." Dikeluarkan Daruquthni dengan sanad lemah. [1]
a.      Analisa Fiqih
Dalam buku Al-Umm (Kitab Induk) karangan Al-Imam Asy-Syafi’I ra, menyampaikan apabila ada suami yang hilang dan tidak terdengar diberita ia karam atau di mana dilihat ia tenggelam, tetapi tidak diyakini benar-benar ia tenggelam, maka isterinya tidak boleh diberiddah dan tidak boleh berkeluarga selama-lamanya hingga perempuan itu benar-benar yakin wacana meninggalnya suami kemudian ia diberiddah dari hari ia yakin wacana meninggalnya.[2] Para ulama mempunyai beberapa pendapat wacana nasib isteri yang kehilangan suaminya tanpa diberita yaitu:[3]
i)        Tidak boleh berkeluarga dengan pria lain, dan tidak berhak menuntut cerai walaupun waktunya usang hingga terang kematiannya atau talaknya.
ii)      Isteri menunggu empat tahun dari semenjak kepergiannya, kemudian divonis sudah meninggal, kemudian ia menjalani masa iddah selama empat bulan sepuluh hari.[4]
Dalam buku Fiqih Wanita dijelaskan juga bahwa kalau suaminya itu pulang kembali pada dikala ia sedang menjalani masa iddah atau sesudahnya dan belum ada pria yang berkeluargainya, maka suaminya itu masih berhak atas isterinya tersebut.[5] Akan tetapi, kalau sang isteri sudah berkeluarga dengan pria dan sudah berhubungkan badan, maka tidak diperbolehkan bagi suami pertamanya untuk kembali kepadanya.[6] Adapun masa iddah isteri yang ditinggal pergi suaminya berdasarkan Imam Syafi’i sama dengan masa iddah isteri yang ditinggal mati suaminya yaitu empat bulan sepuluh hari.[7]
b.      Analisa Hadis
Hadis dari al-Mughirah Ibnu Syu’bah diatas mengambarkan bahwa Nabi pernah berkata bahwa Apabila ada isteri yang ditinggal pergi suaminya tanpa diberita, maka ia dihentikan berkeluarga dengan pria lain lantaran statusnya masih sebagai isteri. Makara cita-cita untuk berkeluarga si isteri  tersebut terhalang, sebelum ia benar-benar yakin bahwa suaminya itu sudah meninggal. Dan berdasarkan pendapat para ulama dalam buku Shahih Fikih Sunnah diatas juga mensyaratkan bahwa si isteri yang ditinggal pergi oleh suaminya harus menunggu selama empat tahun dari semenjak kepergian suaminya, kemudian ia sanggup divonis sudah meninggal dunia. Sesudah suami divonis sudah meninggal dunia, maka si isteri tersebut akan menjalani masa iddah selama empat bulan sepuluh hari dan sehabis itu diperbolehkan berkeluarga dengan pria yang disukai.


2.      Iddah Wanita Hamil dan Tidak Hamil
وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ رضي الله عنه أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ فِي سَبَايَا أَوْطَاسٍ: ( لَا تُوطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ, وَلَا غَيْرُ ذَاتِ حَمْلٍ حَتَّى تَحِيضَ حَيْضَةً )  أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ, وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ وَلَهُ شَاهِدٌ: عَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ فِي اَلدَّارَقُطْنِيِّ 
Artinya:
“Dari Abu Said Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda wacana tawanan perempuan Authas: "Tidak boleh bercampur dengan perempuan yang hamil hingga ia melahirkan dan perempuan yang tidak hamil hingga hadir haidnya sekali." (H.R Abu Dawud) [8]
a.    Analisa Fiqih
Dalam buku Tadzhib karangan Dr. Musthafa Daib Al-Bigha mengambarkan bahwa istibra’ adalah suatu ungkapan terkena masa menunggu yang wajib lantaran mempunyai hamba sahaya perempuan ketika terjadi hak (kekuasaan).[9] Iddah perempuan yang ditalak dalam keadaan hamil ialah dengan melahirkan kandungannya, baik itu talak ba’in maupun talak raj’i, baik itu perceraian dikala suaminya masih hidup maupun lantaran meninggal dunia. Wanita tersebut harus menjalani iddah dalam bentuk hingga melahirkan bayi yang dikandungannya, apabila ia sedang hamil. Ini berdasarkan firman Allah yang berbunyi:[10]
àM»s9'ré&ur ÉA$uH÷qF{$# £`ßgè=y_r& br& z`÷èŸÒtƒ £`ßgn=÷Hxq 4
Artinya:
“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah hingga mereka melahirkan kandungannya. (QS. At-Thalaq: 4)
Kalau yang dikandung itu lebih dari satu bayi, maka perempuan tersebut tidak akan keluar dari iddahnya hingga ia melahirkan bayinya yang terakhir. Demikian kesepakatan para ulama mazhab. Tetapi mereka tidak sama pendapat mabadunga perempuan tresebut mengalami keguguran, yaitu yang dikeluarkannya itu belum ialah bayi yang sempurna.[11] Hanafi, Syafi’i dan Maliki menyampaikan bahwa perempuan tersebut sudah keluar dari iddahnya sekalipun yang keluar dari rahimnya itu gres berupa sepotong kecil daging, sepanjang potongan tersebut ialah embrio manusia. Bagi Hanafi, batas terbaik kehamilan ialah dua tahun. Bagi Syafi’I dan Hambali empat tahun, sedangkan bagi Maliki lima tahun. Wanita hamil berdasarkan Hanafi fan Hambali mustahil mengalami haid, namun bagi Imamiyah, Syafi’I, dan Maliki mungkin saja.
Dan dalam buku Fiqh Wanita karangan Anshori Umar mengambarkan bahwa sang suami dihentikan mencampuri isterinya ketika haid, lantaran berdasarkan penelitian medis apabila suami mencampuri isteri ketika haid akan menimbulkan rahim isterinya tersebut berbau busuk sehingga akan merujung pada kemadulan.[12] Sedangkan efek ancaman bagi pria yaitu akan mengalami radang akses kencing yang menjalar hingga ke uneter terus kepertama ginjal, sehingga menghalangi keluarnya air kencing dan mengakibatkan keracunan darah dan berujung pada kematian.[13]
Menurut Imam Asy-Syafi’I dalam buku Al-Umm(Kitab Induk) menerangkan wacana mencampur isteri ketika haid sudah di sebutkan dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 222 yang berbunyi: “Mereka bertanya kepadamu wacana haid. Katakanlah: “Haid itu ialah suatu kotoran, oleh lantaran itu hendaklah engkau menjauhkan diri dari perempuan diwaktu haid dan tidakbolehlah engkau mendekati mereka sebelum mereka suci.”[14]
b.   Analisa Hadis
Hadis dari Abu Said ra bahwa Nabi sudah melarang seseorang untuk bercampur dengan perempuan tawanan Authas yang sedang hamil maupun yang tidak hamil sebelum habis masa iddah dari pentalakan suaminya. Sehingga berdasarkan para ulama mancampuri isteri yang belum selesai masa iddahnya itu tidak boleh, lantaran sesuai dengan dalil ayat Al-Qur’an surah At-Thalaq ayat 4 yang menegaskan bahwa masa iddah perempuan yang sedang hamil ialah sehabis melahirkan anak yang ada dalam kandungannya, sedangkan masa iddah perempuan yang tinggal hamil berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud ialah hingga hadir haidnya sekali. Makara mencampuri isteri yang belum selesai masih iddahnya baik itu perempuan yang sedang hamil maupun tidak itu dihentikan baik itu dalam dalil Al-Qur’an maupun sabda Nabi Saw.









BAB III
PEMBAHASAN

A.      Hadis Tentang Ihdad
1.      Larangan Bermalam di Rumah Bukam Mahram
وَعَنْ جَابِرٍ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( لَا يَبِيتَنَّ رَجُلٌ عِنْدَ امْرَأَةِ, إِلَّا أَنْ يَكُونَ نَاكِحًا, أَوْ ذَا مَحْرَمٍ )  أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ 
Artinya:
“Dari Jabir Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: Janganlah sekali-kali seorang pria bermalam di rumah seorang perempuan kecuali ia kawin atau sebagai mahram." (H.R. Muslim).[15]
a.      Analisa Fiqih
Menikah berdasarkan Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim dalam bukunya Shahih Fiqih Sunnah, ialah perkara sunah yang paling ditekankan dan berkeluarga ialah sunah para rasul, sebagaimana sudah dijelaskan dari sejumlah ayat dan hadis yang menganjurkan untuk berkeluarga yang sebagiannya sudah disebutkan. Sehingga tidak diragukan lagi wacana kewajibannya bagi siapa yang khawatir jatuh dalam perbuatan zina, terlebih lagi kalau ia bisa untuk berkeluarga.[16]
Hukum berkeluarga dikalangan para ulama ada tiga pendapat yaitu:[17]
1). Hukumnya wajib atas setiap orang yang bisa berkeluarga sekali seumur hidup, ini berdasarkan pendapat mazhab Dawud azh-Zhahiri dan Ibnu Hazm.
2). Hukumnya mustahab (dianjurkan), ini ialah pendapat secara umum dikuasai dan jumhur ulama dari kalangan imam yang empat dan selainnya.
3). Berbeda-beda hukumnya berdasarkan perbedaan kondisi tiap-tiap orang. Ini pendapat masyhur di kalangan ulama Malikiyah, ulama Syafi’iyah dan Hanabilah.[18]
Dalam buku Fatwa-Fatwa Kontemporer karangan Yusuf Qardhawi mengambarkan bahwa seorang perempuan yang sudah dipinang atau dilamar tetap ialah orang gila (bukan mahram) bagi si pelamar, sehingga tidak boleh si perempuan diajak hidup serumah kecuali sehabis dilaksanakan ijab kabul yang benar berdasarkan syara’ dan rukun asasi dalam kesepakatan ini ialah ijab dan kabul.[19] Dan selama ijab kabul ini belum terealisasi maka perempuan tunangannya tetap sebagai orang gila bagi si peminang (pelamar) yang tidak halal bagi mereka untuk berduaan di rumah maupun bepergian keluar rumah tanpa disertai salah seorang mahramnya menyerupai ayahnya atau saudara laki-lakinya.[20]
b.      Analisa Hadis
Hadis dari Jabir ra menyampaikan bahwa Nabi melarang pria bermalam di rumah seorang perempuan yang bukan mahramnya, kecuali mereka sudah berkeluarga atau sebagai mahramnya. Yang dimaksud sebagai mahram di sini ialah perempuan itu ialah isterinya atau ibunya atau saudara perempuannya. Makara dalam hadis di atas berkeluarga dalam kondisi menyerupai ini ialah wajib supaya pria yang bermalam di rumah perempuan tadi tidak dinilai masyarakat sudah melaksanakan perbuatan zina dalam rumah tersebut. Sehingga dengan adanya pernikahan kekerabatan mereka di dalam rumah menjadi sah sesuai Islam dan dalil-dalil serta hadis wacana suami isteri. Adapun tujuan dari berkeluarga ini ialah supaya mereka terhindar dari perbuatan zina yang dilaknat oleh Allah.
2.      Larangan Menyepi melaluiataubersamaini Yang Bukan Mahramnya
وَعَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا, عَنْ اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِاِمْرَأَةٍ, إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ )  أَخْرَجَهُ اَلْبُخَارِيُّ 
Artinya:
“Dari Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Jangan sekali-kali seorang pria menyepi bersama seorang perempuan kecuali bersama mahramnya." (H.R Bukhari)[21]
a.      Analisa Fiqih
Dalam buku Fiqih Imam Syafi’i Jilid 3, karangan Prof Dr. Wahbah Zuhaili mengambarkan bahwa pria yang berkhalawat dengan seorang perempuan yang bukan mahram di kawasan sunyi itu diharamkan, lantaran akan lebih berpotensi mendorong terjadinya perbuatan zina.[22] Karena sesuai sabda Rasulullah Saw dari Amir bin Rabi’ah dalam buku Nailul Authar karangan Mu’ammal Hamidy dkk, yang artinya “Hendaknya seorang pria tidak menyendiri dengan seorang perempuan yang tidak halal baginya lantaran sesungguhnya ketiganya ialah syetan, kecuali perempuan itu mahramnya.[23]
  1. Analisa Hadis
Hadis dai Ibnu Abbas ra bahwa Nabi pernah melarang seorang laki -laki dan perempuan yang bukan mahramnya berduaan ditempat yang sunyi, lantaran akan sanggup mengudang terjadinya perbuatan zina, sesuai dengan sabda Nabi dalam buku Nailul Authar karangan Mu’ammal Hamidy dan dkk yaitu “Hendaknya seorang pria yang menyendiri dengan perempuan yang tidak halal baginya lantaran sesungguhnya ketiganya ialah syetan, kecuali perempuan itu mahramnya. Dari ini sanggup kita tanggap maknanya bahwa apabila seorang pria dan perempuan menyepi berdua maka syaitan selalu mengikuti mereka dan membujuk rayu mereka untuk melaksanakan hal-hal yang dihentikan oleh Allah dan Rasul, lantaran syaitan akan tetap merusaha untuk menyesat umat Islam supaya menjadi pengikutnya di darul abadi kelak. Untuk itu Nabi melarang pria dan perempuan yang bukan mahramnya menyepi berduaan yang akan sanggup mengundang perbuatan dosa besar yang dilaknat oleh Allah bagi yang melakukannya.
3.      Anak Dari Hasil Perzinahan
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه عَنْ اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( اَلْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ, وَلِلْعَاهِرِ اَلْحَجَرُ )  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ مِنْ حَدِيثِهِ وَمِنْ حَدِيثِ عَائِشَةَ فِي قِصَّة وَعَنْ اِبْنِ مَسْعُودٍ, عِنْدَ النَّسَائِيِّ وَعَنْ عُثْمَانَ عِنْدَ أَبِي دَاوُدَ
Artinya:
“Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Anak itu milik kawasan pulas (suami) dan bagi yang berzina dirajam."[24]
  1. Analisa Fiqih
Dalam buku Fiqih Wanita karangan Anshori Umar mengambarkan bahwa orang yang sudah pernah bersuami atau diberisteri, meski kini sudah kembali menduda atau menjanda, apabila berbuat zina hukumnya lain dengan yang belum pernah kawin. Dalam istilah fiqih mereka disebut muhshan (yang lelaki) atau muhshanat (yang perempuan) sehingga hukumannya ialah rajam, yakni dilempar watu hingga mati.[25]  Dan dalam buku Fiqih Islam Wa Adillatuhu karangan Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili mengambarkan bahwa para ulama selain Khawarij bersepakat bergotong-royong eksekusi bagi pezina yang berstatus muhshan ialah rajam. Hal ini berdasarkan sejumlah dalil dari As-Sunnah yang mutawatir, dalil ijma’, serta dalil logika.[26] Sedangkan nasab anak zina dalam buku Shahih Fiqih Sunnah yaitu diputuskan dari pihak ibunya dan mewarisi dari pihaknya, lantaran hubungannya dengan ibunya ialah kekerabatan yang hakiki, tidak mengandung keraguan. Adapun wacana penasabannya kepada orang yang menzinai ibunya, berdasarkan jumhur ulama tidak diputuskan dan keduanya tidak saling mewarisi walaupun ia mengakuinya sebagai anaknya dari penzinaan.[27] Adapun dalam buku Fiqih Lima Mazhab karangan Muhammad Jawad Mughniyah mengambarkan bahwa mazhab empat setuju bahwa anak zina sama hukumnya dengan anak hasil mula’anah dalam kaitannya dengan duduk perkara hak waris, mewarisi antara dirinya dengan ayahnya, dan adanya hak mewarisi antara ia dengan ibunya. Sedangkan berdasarkan Imamiyah menyampaikan bahwa tidak ada hak waris-mewarisi antara anak zina dengan ibu zinanya, sebagaimana halnya dengan ia dan ayah zinanya. Sebab, faktor penyebab dari keduanya ialah sama, yaitu perzinnaan.[28]
  1. Analisa Hadis
Hadis dari Abu Hurairah ra. bahwa Nabi Saw pernah berkata bahwa anak dari kekerabatan haram ialah hak milik pria yang sudah menzinai ibunya, sehingga eksekusi bagi orang yang sudah berzina tersebut ialah rajam yaitu dilempar dengan watu hingga pelakunya mati. Hadis ini berdasarkan saya dikategorikan bagi pelaku zina yang muhsan yaitu para pezina yang pernah mencicipi pernikahan yaitu baik itu pria dan perempuan yang masih mempunyai isteri dan suami atau para duda atau janda yang sudah cerai hidup atau mati dengan pasangannya masing-masing sesuai dengan analisa Fiqih di atas. Sehingga bagi pelaku zina yang muhsan diberlakukan eksekusi rajam hingga mati.
BAB IV
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Menurut para ulama, isteri yang ditinggal mati oleh suaminya tidak boleh berkeluarga dengan pria lain dan tidak berhak menuntut cerai hingga ada kejelasan diberita suaminya, dan batas menunggu isteri ialah selama empat tahun terhitung dari kepergian suaminya. Apabila selama empat tahun ini tidak ada diberita wacana janjkematian suaminya, maka isteri tersebut diberiddah selama empat bulan sepuluh hari, sehabis itu boleh berkeluarga dengan pria lain yang ia sukai. Sedangkan masa iddah bagi perempuan yang sedang hamil ialah hingga mereka melahirkan anak yang ada dalam kandungannya dan bagi mereka yang tidak hamil yaitu hingga haid sekalinya.
Laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya dihentikan keras berduaan dirumah atau pergi berdua ditempat yang sunyi tanpa dikawani oleh salah satu mahramnya, menyerupai orang bau tanah atau saudaranya. Karena sesuai dengan hadis Nabi yang artinya “Hendaknya seorang pria tidak menyendiri dengan seorang perempuan yang tidak halal baginya lantaran sesungguhnya ketiganya ialah syetan, kecuali perempuan itu mahramnya”. Dari hadis ini maka untuk menghindari pontensi terjadinya perbuatan zina, maka mereka dianjurkan untuk berkeluarga sehingga kekerabatan mereka dikatakan sah dalam Islam. karena zina di sini ialah perbuatan dosa besar yang dilaknat oleh Allah dan rasul-Nya, sehingga eksekusi pelaku zina yang muhsan ialah dirajam, hal ini berdasarkan sejumlah dalil dari As-Sunnah yang mutawatir, dalil ijma dan dalil logika.

B.       Saran
  1. Perceraian ialah hal yang tidak sanggup dihindari bagi pasangan suami isteri yang tidak cocok lagi dalam melanjutkan perahu rumah tangga mereka. Sehingga perceraianlah menjadi jalan yang terbaik dalam menuntaskan duduk perkara ini. Wanita yang sudah diceraikan suaminya tersebut akan menjalani masa iddah sesuai dengan aturan agama Islam, sehingga perempuan yang dalam masa iddah tersebut harus benar-benar menjaga segala perbuatan yang dihentikan dalam proses masa iddah tersebut.
  2. Perzinahan ialah hal yang sangat dilaknat oleh Allah, untuk itu kita sebagai kaum cukup umur harus benar-benar menjaga sikap baik itu berpakaian, bergaul maupun berkawan dengan lawan jenis yang sanggup menhadirkan perbuatan tersebut.




DAFTAR PUSTAKA

Al-Ashqolani, Al-Hafidz Ibnu Hajar, Terjemahan Bulughul Marom, tt.
Al-Bigha, Musthafa Daib, Tadzhib (Kompilasi aturan Islam ala mazhab Syafi’i), Cet. 1, Surabaya: Al-Hidayah, 2008.
Az-Zuhaili, Wahbah, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, jilid 7, Jakarta: Gema Insani, 2010.
Hamidy, Mu’ammal, dkk, Nailul Authar Himpunan Hadis-Hadis Hukum, Jilid 5, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2001.
Kamal, Abu Malik, bin As-Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah, Jilid 4, Jakarta: Pustaka At-Tazkia, 2006.
Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqih Lima Mazhab, Cet. 20, Jakarta: Lentera, 2007.
Muhammad, Syaikh Kamil ‘Uwaidah, Fiqih Wanita, Cet. 1, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1998.
Qardhawi, Yusuf, Fatwa-Fatwa Kontemporer, Jilid 1, Jakarta: Gema Insani Press, 1995.
Syafi’I, Al-Imam, Al-Umm (Kitab Induk), Jilid 8, Kuala Lumpur: Victory Agencie, 1984.
Umar, Anshori, Fiqih Wanita,  Semarang: CV. Asy Syifa, 1981.
Zuhaili, Wahbah, Fiqih Imam Syafi’I, jilid 3, Jakarta: Alahlia, 2010.


[1] Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Ashqolani, Terjemahan Bulughul Marom, h. 288
[2] Al-Imam Syafi’I ra, Al-Umm (Kitab Induk), Jilid 8, (Kuala Lumpur: Victory Agencie, 1984), h. 417
[3] Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah, Jilid 4, (Jakarta: Pustaka At-Tazkia, 2006), h. 558
[4] Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah, Jilid 4, (Jakarta: Pustaka At-Tazkia, 2006), h. 559
[5] Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Fiqih Wanita,Cet. 1, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1998), h. 435 
[6] Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Fiqih Wanita,Cet. 1, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1998), h. 436
[7] Al-Imam Syafi’I ra, Al-Umm (Kitab Induk), Jilid 8, (Kuala Lumpur: Victory Agencie, 1984), h. 344
[8]  Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Ashqolani, Terjemahan Bulughul Marom, h. 288
[9] Dr. Musthafa Daib Al-Bigha, Tadzhib (Kompilasi aturan Islam ala mazhab Syafi’i), Cet. 1, (Surabaya: Al-Hidayah, 2008), h. 465
[10] Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah, Jilid 4, (Jakarta: Pustaka At-Tazkia, 2006), h.  441
[11] Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah, Jilid 4, (Jakarta: Pustaka At-Tazkia, 2006), h.  450
[12] Anshori Umar, Fiqih Wanita,  (Semarang: CV. Asy Syifa, 1981), h. 57
[13] Anshori Umar, Fiqih Wanita,  (Semarang: CV. Asy Syifa, 1981), h. 58
[14] Al-Imam Syafi’I ra, Al-Umm (Kitab Induk), Jilid 8, (Kuala Lumpur: Victory Agencie, 1984), h.  200
[15] Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Ashqolani, Terjemahan Bulughul Marom, h. 288
[16] Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah, Jilid 4, (Jakarta: Pustaka At-Tazkia, 2006), h.  101
[17] Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah, Jilid 4, (Jakarta: Pustaka At-Tazkia, 2006), h.  99
[18] Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah, Jilid 4, (Jakarta: Pustaka At-Tazkia, 2006), h.  100
[19] Dr. Yusuf Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, Jilid 1, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h. 557
[20] Dr. Yusuf Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, Jilid 1, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h. 558
[21] Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Ashqolani, Terjemahan Bulughul Marom, h. 288 
[22] Prof. Dr. Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’I, jilid 3, (Jakarta: Alahlia, 2010),h. 268
[23] Mu’ammal Hamidy, dkk, Nailul Authar Himpunan Hadis-Hadis Hukum, Jilid 5, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2001), h. 2146
[24] Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Ashqolani, Terjemahan Bulughul Marom, h. 288  
[25] Anshori Umar, Fiqih Wanita, (Semarang: CV. Asy Syifa, 1981), h. 474
[26] Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, jilid 7, (Jakarta: Gema Insani, 20110, h. 317
[27]  Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah, op.cit., h. 630
[28] Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Cet. 20, (Jakarta: Lentera, 2007), h. 578


BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Sumber utama aturan Islam ialah Al-Qur’an, maka aturan Islam berfungsi sebagai pemdiberi petunjuk, pemdiberi aliran dan batasan terhadap manusia. Jika sesuatu itu haram, maka aturan Islam berfungsi sebagai pemdiberi petunjuk  bahwa hal tersebut tidak boleh dikerjakan, sebaliknya kalau sesuatu itu wajib maka haruslah dikerjakan, dengan istilah lain ketentuan aturan Islam itu berarti hasil ijtihad fuqaha dalam  menjabarkan petunjuk dari wahyu itu.
Dari paparan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk menganalisis sebuah hadis dalam makalah ini dan menggali bagaimana hukumnya berdasarkan Al-Qur’an, Hadis, Ijma serta pendapat para mahir fiqih. Untuk itu supaya lebih jelasnya wacana ini akan dibahas dalam belahan selanjutnya.

B.       Rumusan Masalah
1.      Bagaimana nasib isteri yang ditinggal pergi suaminya dan berapa usang masa iddahnya?
2.      Bagaimana hukumnya bagi suami mencampuri isteri pada dikala masa iddahnya berlangsung baik itu isteri yang sedang hamil maupun tidak hamil?
3.      Bagaimana hukumnya seorang pria yang bermalam di rumah seorang perempuan yang bukan mahramnya?
4.      Bagaimana hukumnya seorang pria yang menyepi bersama orang yang bukan mahramnya?
5.      Bagaimana status anak dari kekerabatan perzinahan?

C.  Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui bagaimana nasib isteri yang ditinggal pergi suaminya dan berapa usang masa iddahnya.
2.      Untuk mengetahui bagaimana hukumnya bagi suami mencampuri isteri pada dikala masa iddahnya berlangsung baik itu isteri yang sedang hamil maupun tidak hamil.
3.      Untuk mengetahui bagaimana hukumnya seorang pria yang bermalam di rumah seorang perempuan yang bukan mahramnya.
4.      Untuk mengetahui bagaimana hukumnya seorang pria yang menyepi bersama perempuan yang bukan mahramnya.
5.      Untuk mengetahui bagaimana status anak dari kekerabatan perzinahan.








BAB II
PEMBAHASAN

A.  Hadis Tentang Iddah
1.      Iddah Isteri Yang Ditinggal Pergi Suaminya
وَعَنْ اَلْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( اِمْرَأَةُ اَلْمَفْقُودِ اِمْرَأَتُهُ حَتَّى يَأْتِيَهَا اَلْبَيَانُ )  أَخْرَجَهُ اَلدَّارَقُطْنِيُّ بِإِسْنَادٍ ضَعِيفٍ 
Artinya:
“Dari al-Mughirah Ibnu Syu'bah bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Istri yang ditinggal suaminya tanpa diberita tetap menjadi istrinya (suami yang pergi itu) hingga hadir kepadanya diberita." Dikeluarkan Daruquthni dengan sanad lemah. [1]
a.      Analisa Fiqih
Dalam buku Al-Umm (Kitab Induk) karangan Al-Imam Asy-Syafi’I ra, menyampaikan apabila ada suami yang hilang dan tidak terdengar diberita ia karam atau di mana dilihat ia tenggelam, tetapi tidak diyakini benar-benar ia tenggelam, maka isterinya tidak boleh diberiddah dan tidak boleh berkeluarga selama-lamanya hingga perempuan itu benar-benar yakin wacana meninggalnya suami kemudian ia diberiddah dari hari ia yakin wacana meninggalnya.[2] Para ulama mempunyai beberapa pendapat wacana nasib isteri yang kehilangan suaminya tanpa diberita yaitu:[3]
i)        Tidak boleh berkeluarga dengan pria lain, dan tidak berhak menuntut cerai walaupun waktunya usang hingga terang kematiannya atau talaknya.
ii)      Isteri menunggu empat tahun dari semenjak kepergiannya, kemudian divonis sudah meninggal, kemudian ia menjalani masa iddah selama empat bulan sepuluh hari.[4]
Dalam buku Fiqih Wanita dijelaskan juga bahwa kalau suaminya itu pulang kembali pada dikala ia sedang menjalani masa iddah atau sesudahnya dan belum ada pria yang berkeluargainya, maka suaminya itu masih berhak atas isterinya tersebut.[5] Akan tetapi, kalau sang isteri sudah berkeluarga dengan pria dan sudah berhubungkan badan, maka tidak diperbolehkan bagi suami pertamanya untuk kembali kepadanya.[6] Adapun masa iddah isteri yang ditinggal pergi suaminya berdasarkan Imam Syafi’i sama dengan masa iddah isteri yang ditinggal mati suaminya yaitu empat bulan sepuluh hari.[7]
b.      Analisa Hadis
Hadis dari al-Mughirah Ibnu Syu’bah diatas mengambarkan bahwa Nabi pernah berkata bahwa Apabila ada isteri yang ditinggal pergi suaminya tanpa diberita, maka ia dihentikan berkeluarga dengan pria lain lantaran statusnya masih sebagai isteri. Makara cita-cita untuk berkeluarga si isteri  tersebut terhalang, sebelum ia benar-benar yakin bahwa suaminya itu sudah meninggal. Dan berdasarkan pendapat para ulama dalam buku Shahih Fikih Sunnah diatas juga mensyaratkan bahwa si isteri yang ditinggal pergi oleh suaminya harus menunggu selama empat tahun dari semenjak kepergian suaminya, kemudian ia sanggup divonis sudah meninggal dunia. Sesudah suami divonis sudah meninggal dunia, maka si isteri tersebut akan menjalani masa iddah selama empat bulan sepuluh hari dan sehabis itu diperbolehkan berkeluarga dengan pria yang disukai.


2.      Iddah Wanita Hamil dan Tidak Hamil
وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ رضي الله عنه أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ فِي سَبَايَا أَوْطَاسٍ: ( لَا تُوطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ, وَلَا غَيْرُ ذَاتِ حَمْلٍ حَتَّى تَحِيضَ حَيْضَةً )  أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ, وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ وَلَهُ شَاهِدٌ: عَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ فِي اَلدَّارَقُطْنِيِّ 
Artinya:
“Dari Abu Said Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda wacana tawanan perempuan Authas: "Tidak boleh bercampur dengan perempuan yang hamil hingga ia melahirkan dan perempuan yang tidak hamil hingga hadir haidnya sekali." (H.R Abu Dawud) [8]
a.    Analisa Fiqih
Dalam buku Tadzhib karangan Dr. Musthafa Daib Al-Bigha mengambarkan bahwa istibra’ adalah suatu ungkapan terkena masa menunggu yang wajib lantaran mempunyai hamba sahaya perempuan ketika terjadi hak (kekuasaan).[9] Iddah perempuan yang ditalak dalam keadaan hamil ialah dengan melahirkan kandungannya, baik itu talak ba’in maupun talak raj’i, baik itu perceraian dikala suaminya masih hidup maupun lantaran meninggal dunia. Wanita tersebut harus menjalani iddah dalam bentuk hingga melahirkan bayi yang dikandungannya, apabila ia sedang hamil. Ini berdasarkan firman Allah yang berbunyi:[10]
àM»s9'ré&ur ÉA$uH÷qF{$# £`ßgè=y_r& br& z`÷èŸÒtƒ £`ßgn=÷Hxq 4
Artinya:
“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah hingga mereka melahirkan kandungannya. (QS. At-Thalaq: 4)
Kalau yang dikandung itu lebih dari satu bayi, maka perempuan tersebut tidak akan keluar dari iddahnya hingga ia melahirkan bayinya yang terakhir. Demikian kesepakatan para ulama mazhab. Tetapi mereka tidak sama pendapat mabadunga perempuan tresebut mengalami keguguran, yaitu yang dikeluarkannya itu belum ialah bayi yang sempurna.[11] Hanafi, Syafi’i dan Maliki menyampaikan bahwa perempuan tersebut sudah keluar dari iddahnya sekalipun yang keluar dari rahimnya itu gres berupa sepotong kecil daging, sepanjang potongan tersebut ialah embrio manusia. Bagi Hanafi, batas terbaik kehamilan ialah dua tahun. Bagi Syafi’I dan Hambali empat tahun, sedangkan bagi Maliki lima tahun. Wanita hamil berdasarkan Hanafi fan Hambali mustahil mengalami haid, namun bagi Imamiyah, Syafi’I, dan Maliki mungkin saja.
Dan dalam buku Fiqh Wanita karangan Anshori Umar mengambarkan bahwa sang suami dihentikan mencampuri isterinya ketika haid, lantaran berdasarkan penelitian medis apabila suami mencampuri isteri ketika haid akan menimbulkan rahim isterinya tersebut berbau busuk sehingga akan merujung pada kemadulan.[12] Sedangkan efek ancaman bagi pria yaitu akan mengalami radang akses kencing yang menjalar hingga ke uneter terus kepertama ginjal, sehingga menghalangi keluarnya air kencing dan mengakibatkan keracunan darah dan berujung pada kematian.[13]
Menurut Imam Asy-Syafi’I dalam buku Al-Umm(Kitab Induk) menerangkan wacana mencampur isteri ketika haid sudah di sebutkan dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 222 yang berbunyi: “Mereka bertanya kepadamu wacana haid. Katakanlah: “Haid itu ialah suatu kotoran, oleh lantaran itu hendaklah engkau menjauhkan diri dari perempuan diwaktu haid dan tidakbolehlah engkau mendekati mereka sebelum mereka suci.”[14]
b.   Analisa Hadis
Hadis dari Abu Said ra bahwa Nabi sudah melarang seseorang untuk bercampur dengan perempuan tawanan Authas yang sedang hamil maupun yang tidak hamil sebelum habis masa iddah dari pentalakan suaminya. Sehingga berdasarkan para ulama mancampuri isteri yang belum selesai masa iddahnya itu tidak boleh, lantaran sesuai dengan dalil ayat Al-Qur’an surah At-Thalaq ayat 4 yang menegaskan bahwa masa iddah perempuan yang sedang hamil ialah sehabis melahirkan anak yang ada dalam kandungannya, sedangkan masa iddah perempuan yang tinggal hamil berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud ialah hingga hadir haidnya sekali. Makara mencampuri isteri yang belum selesai masih iddahnya baik itu perempuan yang sedang hamil maupun tidak itu dihentikan baik itu dalam dalil Al-Qur’an maupun sabda Nabi Saw.









BAB III
PEMBAHASAN

A.      Hadis Tentang Ihdad
1.      Larangan Bermalam di Rumah Bukam Mahram
وَعَنْ جَابِرٍ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( لَا يَبِيتَنَّ رَجُلٌ عِنْدَ امْرَأَةِ, إِلَّا أَنْ يَكُونَ نَاكِحًا, أَوْ ذَا مَحْرَمٍ )  أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ 
Artinya:
“Dari Jabir Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: Janganlah sekali-kali seorang pria bermalam di rumah seorang perempuan kecuali ia kawin atau sebagai mahram." (H.R. Muslim).[15]
a.      Analisa Fiqih
Menikah berdasarkan Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim dalam bukunya Shahih Fiqih Sunnah, ialah perkara sunah yang paling ditekankan dan berkeluarga ialah sunah para rasul, sebagaimana sudah dijelaskan dari sejumlah ayat dan hadis yang menganjurkan untuk berkeluarga yang sebagiannya sudah disebutkan. Sehingga tidak diragukan lagi wacana kewajibannya bagi siapa yang khawatir jatuh dalam perbuatan zina, terlebih lagi kalau ia bisa untuk berkeluarga.[16]
Hukum berkeluarga dikalangan para ulama ada tiga pendapat yaitu:[17]
1). Hukumnya wajib atas setiap orang yang bisa berkeluarga sekali seumur hidup, ini berdasarkan pendapat mazhab Dawud azh-Zhahiri dan Ibnu Hazm.
2). Hukumnya mustahab (dianjurkan), ini ialah pendapat secara umum dikuasai dan jumhur ulama dari kalangan imam yang empat dan selainnya.
3). Berbeda-beda hukumnya berdasarkan perbedaan kondisi tiap-tiap orang. Ini pendapat masyhur di kalangan ulama Malikiyah, ulama Syafi’iyah dan Hanabilah.[18]
Dalam buku Fatwa-Fatwa Kontemporer karangan Yusuf Qardhawi mengambarkan bahwa seorang perempuan yang sudah dipinang atau dilamar tetap ialah orang gila (bukan mahram) bagi si pelamar, sehingga tidak boleh si perempuan diajak hidup serumah kecuali sehabis dilaksanakan ijab kabul yang benar berdasarkan syara’ dan rukun asasi dalam kesepakatan ini ialah ijab dan kabul.[19] Dan selama ijab kabul ini belum terealisasi maka perempuan tunangannya tetap sebagai orang gila bagi si peminang (pelamar) yang tidak halal bagi mereka untuk berduaan di rumah maupun bepergian keluar rumah tanpa disertai salah seorang mahramnya menyerupai ayahnya atau saudara laki-lakinya.[20]
b.      Analisa Hadis
Hadis dari Jabir ra menyampaikan bahwa Nabi melarang pria bermalam di rumah seorang perempuan yang bukan mahramnya, kecuali mereka sudah berkeluarga atau sebagai mahramnya. Yang dimaksud sebagai mahram di sini ialah perempuan itu ialah isterinya atau ibunya atau saudara perempuannya. Makara dalam hadis di atas berkeluarga dalam kondisi menyerupai ini ialah wajib supaya pria yang bermalam di rumah perempuan tadi tidak dinilai masyarakat sudah melaksanakan perbuatan zina dalam rumah tersebut. Sehingga dengan adanya pernikahan kekerabatan mereka di dalam rumah menjadi sah sesuai Islam dan dalil-dalil serta hadis wacana suami isteri. Adapun tujuan dari berkeluarga ini ialah supaya mereka terhindar dari perbuatan zina yang dilaknat oleh Allah.
2.      Larangan Menyepi melaluiataubersamaini Yang Bukan Mahramnya
وَعَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا, عَنْ اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِاِمْرَأَةٍ, إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ )  أَخْرَجَهُ اَلْبُخَارِيُّ 
Artinya:
“Dari Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Jangan sekali-kali seorang pria menyepi bersama seorang perempuan kecuali bersama mahramnya." (H.R Bukhari)[21]
a.      Analisa Fiqih
Dalam buku Fiqih Imam Syafi’i Jilid 3, karangan Prof Dr. Wahbah Zuhaili mengambarkan bahwa pria yang berkhalawat dengan seorang perempuan yang bukan mahram di kawasan sunyi itu diharamkan, lantaran akan lebih berpotensi mendorong terjadinya perbuatan zina.[22] Karena sesuai sabda Rasulullah Saw dari Amir bin Rabi’ah dalam buku Nailul Authar karangan Mu’ammal Hamidy dkk, yang artinya “Hendaknya seorang pria tidak menyendiri dengan seorang perempuan yang tidak halal baginya lantaran sesungguhnya ketiganya ialah syetan, kecuali perempuan itu mahramnya.[23]
  1. Analisa Hadis
Hadis dai Ibnu Abbas ra bahwa Nabi pernah melarang seorang laki -laki dan perempuan yang bukan mahramnya berduaan ditempat yang sunyi, lantaran akan sanggup mengudang terjadinya perbuatan zina, sesuai dengan sabda Nabi dalam buku Nailul Authar karangan Mu’ammal Hamidy dan dkk yaitu “Hendaknya seorang pria yang menyendiri dengan perempuan yang tidak halal baginya lantaran sesungguhnya ketiganya ialah syetan, kecuali perempuan itu mahramnya. Dari ini sanggup kita tanggap maknanya bahwa apabila seorang pria dan perempuan menyepi berdua maka syaitan selalu mengikuti mereka dan membujuk rayu mereka untuk melaksanakan hal-hal yang dihentikan oleh Allah dan Rasul, lantaran syaitan akan tetap merusaha untuk menyesat umat Islam supaya menjadi pengikutnya di darul abadi kelak. Untuk itu Nabi melarang pria dan perempuan yang bukan mahramnya menyepi berduaan yang akan sanggup mengundang perbuatan dosa besar yang dilaknat oleh Allah bagi yang melakukannya.
3.      Anak Dari Hasil Perzinahan
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه عَنْ اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( اَلْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ, وَلِلْعَاهِرِ اَلْحَجَرُ )  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ مِنْ حَدِيثِهِ وَمِنْ حَدِيثِ عَائِشَةَ فِي قِصَّة وَعَنْ اِبْنِ مَسْعُودٍ, عِنْدَ النَّسَائِيِّ وَعَنْ عُثْمَانَ عِنْدَ أَبِي دَاوُدَ
Artinya:
“Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Anak itu milik kawasan pulas (suami) dan bagi yang berzina dirajam."[24]
  1. Analisa Fiqih
Dalam buku Fiqih Wanita karangan Anshori Umar mengambarkan bahwa orang yang sudah pernah bersuami atau diberisteri, meski kini sudah kembali menduda atau menjanda, apabila berbuat zina hukumnya lain dengan yang belum pernah kawin. Dalam istilah fiqih mereka disebut muhshan (yang lelaki) atau muhshanat (yang perempuan) sehingga hukumannya ialah rajam, yakni dilempar watu hingga mati.[25]  Dan dalam buku Fiqih Islam Wa Adillatuhu karangan Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili mengambarkan bahwa para ulama selain Khawarij bersepakat bergotong-royong eksekusi bagi pezina yang berstatus muhshan ialah rajam. Hal ini berdasarkan sejumlah dalil dari As-Sunnah yang mutawatir, dalil ijma’, serta dalil logika.[26] Sedangkan nasab anak zina dalam buku Shahih Fiqih Sunnah yaitu diputuskan dari pihak ibunya dan mewarisi dari pihaknya, lantaran hubungannya dengan ibunya ialah kekerabatan yang hakiki, tidak mengandung keraguan. Adapun wacana penasabannya kepada orang yang menzinai ibunya, berdasarkan jumhur ulama tidak diputuskan dan keduanya tidak saling mewarisi walaupun ia mengakuinya sebagai anaknya dari penzinaan.[27] Adapun dalam buku Fiqih Lima Mazhab karangan Muhammad Jawad Mughniyah mengambarkan bahwa mazhab empat setuju bahwa anak zina sama hukumnya dengan anak hasil mula’anah dalam kaitannya dengan duduk perkara hak waris, mewarisi antara dirinya dengan ayahnya, dan adanya hak mewarisi antara ia dengan ibunya. Sedangkan berdasarkan Imamiyah menyampaikan bahwa tidak ada hak waris-mewarisi antara anak zina dengan ibu zinanya, sebagaimana halnya dengan ia dan ayah zinanya. Sebab, faktor penyebab dari keduanya ialah sama, yaitu perzinnaan.[28]
  1. Analisa Hadis
Hadis dari Abu Hurairah ra. bahwa Nabi Saw pernah berkata bahwa anak dari kekerabatan haram ialah hak milik pria yang sudah menzinai ibunya, sehingga eksekusi bagi orang yang sudah berzina tersebut ialah rajam yaitu dilempar dengan watu hingga pelakunya mati. Hadis ini berdasarkan saya dikategorikan bagi pelaku zina yang muhsan yaitu para pezina yang pernah mencicipi pernikahan yaitu baik itu pria dan perempuan yang masih mempunyai isteri dan suami atau para duda atau janda yang sudah cerai hidup atau mati dengan pasangannya masing-masing sesuai dengan analisa Fiqih di atas. Sehingga bagi pelaku zina yang muhsan diberlakukan eksekusi rajam hingga mati.
BAB IV
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Menurut para ulama, isteri yang ditinggal mati oleh suaminya tidak boleh berkeluarga dengan pria lain dan tidak berhak menuntut cerai hingga ada kejelasan diberita suaminya, dan batas menunggu isteri ialah selama empat tahun terhitung dari kepergian suaminya. Apabila selama empat tahun ini tidak ada diberita wacana janjkematian suaminya, maka isteri tersebut diberiddah selama empat bulan sepuluh hari, sehabis itu boleh berkeluarga dengan pria lain yang ia sukai. Sedangkan masa iddah bagi perempuan yang sedang hamil ialah hingga mereka melahirkan anak yang ada dalam kandungannya dan bagi mereka yang tidak hamil yaitu hingga haid sekalinya.
Laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya dihentikan keras berduaan dirumah atau pergi berdua ditempat yang sunyi tanpa dikawani oleh salah satu mahramnya, menyerupai orang bau tanah atau saudaranya. Karena sesuai dengan hadis Nabi yang artinya “Hendaknya seorang pria tidak menyendiri dengan seorang perempuan yang tidak halal baginya lantaran sesungguhnya ketiganya ialah syetan, kecuali perempuan itu mahramnya”. Dari hadis ini maka untuk menghindari pontensi terjadinya perbuatan zina, maka mereka dianjurkan untuk berkeluarga sehingga kekerabatan mereka dikatakan sah dalam Islam. karena zina di sini ialah perbuatan dosa besar yang dilaknat oleh Allah dan rasul-Nya, sehingga eksekusi pelaku zina yang muhsan ialah dirajam, hal ini berdasarkan sejumlah dalil dari As-Sunnah yang mutawatir, dalil ijma dan dalil logika.

B.       Saran
  1. Perceraian ialah hal yang tidak sanggup dihindari bagi pasangan suami isteri yang tidak cocok lagi dalam melanjutkan perahu rumah tangga mereka. Sehingga perceraianlah menjadi jalan yang terbaik dalam menuntaskan duduk perkara ini. Wanita yang sudah diceraikan suaminya tersebut akan menjalani masa iddah sesuai dengan aturan agama Islam, sehingga perempuan yang dalam masa iddah tersebut harus benar-benar menjaga segala perbuatan yang dihentikan dalam proses masa iddah tersebut.
  2. Perzinahan ialah hal yang sangat dilaknat oleh Allah, untuk itu kita sebagai kaum cukup umur harus benar-benar menjaga sikap baik itu berpakaian, bergaul maupun berkawan dengan lawan jenis yang sanggup menhadirkan perbuatan tersebut.




DAFTAR PUSTAKA

Al-Ashqolani, Al-Hafidz Ibnu Hajar, Terjemahan Bulughul Marom, tt.
Al-Bigha, Musthafa Daib, Tadzhib (Kompilasi aturan Islam ala mazhab Syafi’i), Cet. 1, Surabaya: Al-Hidayah, 2008.
Az-Zuhaili, Wahbah, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, jilid 7, Jakarta: Gema Insani, 2010.
Hamidy, Mu’ammal, dkk, Nailul Authar Himpunan Hadis-Hadis Hukum, Jilid 5, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2001.
Kamal, Abu Malik, bin As-Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah, Jilid 4, Jakarta: Pustaka At-Tazkia, 2006.
Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqih Lima Mazhab, Cet. 20, Jakarta: Lentera, 2007.
Muhammad, Syaikh Kamil ‘Uwaidah, Fiqih Wanita, Cet. 1, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1998.
Qardhawi, Yusuf, Fatwa-Fatwa Kontemporer, Jilid 1, Jakarta: Gema Insani Press, 1995.
Syafi’I, Al-Imam, Al-Umm (Kitab Induk), Jilid 8, Kuala Lumpur: Victory Agencie, 1984.
Umar, Anshori, Fiqih Wanita,  Semarang: CV. Asy Syifa, 1981.
Zuhaili, Wahbah, Fiqih Imam Syafi’I, jilid 3, Jakarta: Alahlia, 2010.


[1] Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Ashqolani, Terjemahan Bulughul Marom, h. 288
[2] Al-Imam Syafi’I ra, Al-Umm (Kitab Induk), Jilid 8, (Kuala Lumpur: Victory Agencie, 1984), h. 417
[3] Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah, Jilid 4, (Jakarta: Pustaka At-Tazkia, 2006), h. 558
[4] Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah, Jilid 4, (Jakarta: Pustaka At-Tazkia, 2006), h. 559
[5] Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Fiqih Wanita,Cet. 1, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1998), h. 435 
[6] Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Fiqih Wanita,Cet. 1, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1998), h. 436
[7] Al-Imam Syafi’I ra, Al-Umm (Kitab Induk), Jilid 8, (Kuala Lumpur: Victory Agencie, 1984), h. 344
[8]  Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Ashqolani, Terjemahan Bulughul Marom, h. 288
[9] Dr. Musthafa Daib Al-Bigha, Tadzhib (Kompilasi aturan Islam ala mazhab Syafi’i), Cet. 1, (Surabaya: Al-Hidayah, 2008), h. 465
[10] Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah, Jilid 4, (Jakarta: Pustaka At-Tazkia, 2006), h.  441
[11] Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah, Jilid 4, (Jakarta: Pustaka At-Tazkia, 2006), h.  450
[12] Anshori Umar, Fiqih Wanita,  (Semarang: CV. Asy Syifa, 1981), h. 57
[13] Anshori Umar, Fiqih Wanita,  (Semarang: CV. Asy Syifa, 1981), h. 58
[14] Al-Imam Syafi’I ra, Al-Umm (Kitab Induk), Jilid 8, (Kuala Lumpur: Victory Agencie, 1984), h.  200
[15] Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Ashqolani, Terjemahan Bulughul Marom, h. 288
[16] Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah, Jilid 4, (Jakarta: Pustaka At-Tazkia, 2006), h.  101
[17] Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah, Jilid 4, (Jakarta: Pustaka At-Tazkia, 2006), h.  99
[18] Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah, Jilid 4, (Jakarta: Pustaka At-Tazkia, 2006), h.  100
[19] Dr. Yusuf Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, Jilid 1, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h. 557
[20] Dr. Yusuf Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, Jilid 1, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h. 558
[21] Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Ashqolani, Terjemahan Bulughul Marom, h. 288 
[22] Prof. Dr. Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’I, jilid 3, (Jakarta: Alahlia, 2010),h. 268
[23] Mu’ammal Hamidy, dkk, Nailul Authar Himpunan Hadis-Hadis Hukum, Jilid 5, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2001), h. 2146
[24] Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Ashqolani, Terjemahan Bulughul Marom, h. 288  
[25] Anshori Umar, Fiqih Wanita, (Semarang: CV. Asy Syifa, 1981), h. 474
[26] Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, jilid 7, (Jakarta: Gema Insani, 20110, h. 317
[27]  Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah, op.cit., h. 630
[28] Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Cet. 20, (Jakarta: Lentera, 2007), h. 578

Posting Komentar untuk "Hadits Ihwal Iddah"