Keadilan Dalam Ekonomi Islam
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara umum aliran Islam memperlihatkan nilai-nilai dasar atau prinsip-prinsip umum yang penerapannya dalam bisnis sesuai dengan perkembangan zaman dan pertimbangkan dimensi ruang dan waktu. Dalam Islam terdapat nilai-nilai dasar adat bisnis, diantaranya adalah tauhid, khilafah, ibadah, tazkiyah dan ihsan. Dari nilai dasar ini sanggup diangkat ke prinsip umum wacana keadilan, kejujuran, keterbukaan (transparansi), kebersamaan, kebebasan, tanggungjawaban dan akuntabilitas.
Keadilan ialah perkataan yang diagungkan dan di idamkan oleh setiap orang di manapun mereka berada. Keadilan sering dikaitkan dengan salah satu bidang pranata kehidupan yaitu hukum. Hukum dan keadilan ialah dua hal yang berjalan diberienteng dan tidak sanggup dipisahkan. Hukum dibentuk dan diputuskan ialah semoga orang yang berada dibawah naungan aturan tersebut menikmati dan mencicipi keadilan. Individu diperbolehkan menyebarkan hak pribadinya dengan syarat tidak mengganggu kepentingan masyarakat. Jadi, keadilan ialah sesuatu yang wajib di tegakkan lantaran dalam al-Qur’an wacana keadilan banyak sekali disebutkan. Agama Islam sangat menjunjung tinggi nilai keadilan baik itu dalam dunia perekonomian. Sehingga untuk lebih jelasnya wacana keadilan dalam dunia ekonomi Islam akan dibahas dalam penggalan selanjutnya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari keadilan?
2. Bagaimana keadilan dalam Islam?
3. Bagaimana prinsip-prinsip keadilan dalan ekonomi Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Keadilan
Keadilan adalah pengakuan dan perlakuan yang seimbang antara hak dan kewajiban. Keadilan juga sanggup berarti suatu tindakan yang tidak berat sebelah atau tidak memihak ke salah satu pihak, mempersembahkan sesuatu kepada orang sesuai dengan hak yang harus diperolehnya. Bertindak secara adil berarti mengetahui hak dan kewajiban, mengerti mana yang benar dan yang salah, bertindak jujur dan tepat berdasarkan peraturan dan aturan yang sudah diputuskan serta tidak bertindak sewenang-wenang.
Keadilan pada dasarnya terletak pada keseimbangan atau keharmonisan antara penuntutan hak dan menjalankan kewajiban. Berdasarkan segi etis, insan dibutuhkan untuk tidak spesialuntuk menuntut hak dan melupakan atau tidak melaksanakan kewajibannya sama sekali. Sikap dan tindakan insan yang semata-mata spesialuntuk menuntut haknya tanpa melaksanakan kewajibannya akan mengarah pada pemerasan atau perbudakan terhadap orang lain.
B. Keadilan Dalam Islam
Al-Qur’an sebagai manifestasi kalam Tuhan ialah kitab petunjuk Moral yang komprehensif dan sempurna, hadir dari Alam Ghaib untuk kebaikan insan dan alam semesta (QS. al-Baqarah [2] : 2, 97 dan 185). Fitrah (suci) dan Hanif (lurus dan benar) ialah dasar konstitusi kepribadian manusia, yang lantaran itu, ia merindukan tatanan kehidupan yang ramah dan damai, berdiri di atas prinsip-prinsip keadilan.
Puncak kasih akung Tuhan atas manusia, terbukti dengan diutusnya para Nabi, yang di satu sisi mempunyi misi menyeru insan kepada penyerahan diri, patuh-tunduk pada Tuhan Yang Maha Esa (Faham Tauhid) (QS. al-Ahzab [33]: 45-46), juga di sisi lain, berkaitan dengan tiruana Nabi, Tuhan menegaskan dalam Surah al-Hadid [57]: 25 yang berbunyi:
ôs)s9 $uZù=yör& $oYn=ßâ ÏM»uZÉit7ø9$$Î/ $uZø9tRr&ur ÞOßgyètB |=»tGÅ3ø9$# c#uÏJø9$#ur tPqà)uÏ9 â¨$¨Y9$# ÅÝó¡É)ø9$$Î/ (
Artinya: “Sesungguhnya kami sudah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata, dan sudah kami turunkan bersma mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya insan bisa melaksanakan keadilan” (QS. al-Hadid [57] : 25).
Ayat tersebut menegaskan bahwa menegakan keadilan ialah tujuan dan misi utama kenabian. melaluiataubersamaini demikian terdapat dua tujuan utama misi kenabian, yaitu, mengajak insan untuk menyembah Allah, sekaligus memberantas kemusyrikan, dan menegakkan keadilan di tengah-tengah masyarakat, sekaligus memberantas kedlaliman.
Merujuk pada ayat 25 surat al-Haadid tersebut, Murtadha Mutahari menegaskan bahwa keadilan, dengan konsepsi sosialnya, ialah tujuan kenabian (nubuwwah). Nasehat Imam ‘Ali as. Kepada Gubernur Mesir, Muhammad Ibnu Abi Bakar; Para duta Illahi ialah para penegak keadilan yang sesungguhnya dalam masyarakat. Mereka ialah orang-orang yang sudah merencanakan jalan kesempurnaan insan bagi umat manusia.
melaluiataubersamaini kata lain, kesatuan umat, persaudaraan dan prinsip keadilan sosial ekonomi ialah unsur-unsur keadilan sebagian pengejawantahan dari sistem kepercayaan pada satu Tuhan (tauhidullah). Dalam al-Qur’an Allah dikatakan Maha Adil, dan bahwa dia menegakan keadilan atas dasar bahwa keadilan ialah sifat positif yang dimilikinya. Ditegaskan dalam al-Qur’an :
شَهِدَ اللهُ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ وَالْمَلئِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
Artinya: “Allah menyatakan bergotong-royong tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang diberilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. Ali Imran [3]: 14).
Ayat tersebut dengan terperinci menegaskan bahwa Allah menyuruh berbuat adil atau bahwa Dia ialah Pelaku keadilan. Pernyataan ini ialah duduk masalah asasi yang diatasnya agama-agama samawi membangun relasi insan dengan Allah. Kemudian, perintah Tuhan untuk mendirikan keadilan yang didasarkan atas kualitas monoteistik prinsip keesaan Tuhan yang sesuai dengan aliran Islam (tauhid).Penegakan keadilan ialah ialah manifestasi perbuatan yang paling mendekati taqwa atau keinsyafan ketuhanan dalam diri manusia. Seperti ditegaskan dalam al-Qur’an :
$pkr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãYtB#uä (#qçRqä. úüÏBº§qs% ¬! uä!#ypkà ÅÝó¡É)ø9$$Î/ ( wur öNà6¨ZtBÌôft ãb$t«oYx© BQöqs% #n?tã wr& (#qä9Ï÷ès? 4 (#qä9Ïôã$# uqèd Ü>tø%r& 3uqø)G=Ï9 ( (#qà)¨?$#ur ©!$# 4 cÎ) ©!$# 7Î6yz $yJÎ/ cqè=yJ÷ès? ÇÑÈ
Artinya: “Hai orang-orang yang diberiman, hendaklah engkau menjadi orang-orang yang selalu menjalankan (keadilan) lantaran Allah menjadi saksi dengan adil. Dan tidakbolehlah sekali-kali kebencian mu terhadap suatu kaum, mendorong engkau untuk berlaku tidak adil. Berlaku adilah lantaran adil itu lebih bersahabat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnay Allah Maha mengeahui apa yang engkau kerjakan”.(QS. al-Maidah [5] : 8).
Kesamaan derajat insan yang dilandaskan atas kualitas ketaqwaan, sudah begitu kuatnya mengikat mereka dalam kesadaran moralitas persaudaraan secara masif dan universal. Seperti ditegaskan oleh Wahbah Zuhaily bahwa persaudaraan kemanusiaan, mewujudkan saling mengasihi manusia, perasaan cinta kebaikan, yaitu taqwa kepada Allah, melaksanakan hukum-hukumnya dan menjauhi larangannya, mendukung pertumbuhan secara menyeluruh bagi kemanusiaan.
Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, sanggup ditegaskan bahwa di satu sisi pengertian keadilan sosial erat sekali hubungannya dengan aliran persamaan, dan perbedaan di sisi lain. Hal yang sedemikian itu lantaran dalam pandangan al-Qur’an perbedaan sesama insan ialah suatu hal yang alami, juga sekaligus mengandung banyak manfaat. Sekalipun demikian insan tetap tergolong ke dalam umat yang satu. Agama berfungsi untuk mengingatkan akan kesamaanya, sebagai landasan perteman dekatan, persaudaraan, dan tolong menolong dalam mewujudkan keadilan sosial.[1]
Begitulah, aksentuasi Islam pada penegakkan keadilan sosial ekonomi. Maka, sangatlah keliru klaim kapitalis maupun sosialis yang menyatakan, “Hanya ideologi kami yang berbicara dan bertindak tegas dalam kasus keadilan. “Setidaknya spesialuntuk kamilah yang memiliki komitmen berpengaruh wacana nilai-nilai keadilan”. Itulah klaim yang dilontarkan banyak sekali komponen masyarakat dunia dalam kerangka memperlihatkan keunggulan ideologi atau kepercayaan yang mereka anut.
Harus kita bedakan bahwa konsep kapitalis wacana keadilan sosial ekonomi dan pemerataan pendapatan, tidak didasarkan pada komitmen spiritual dan persaudaraan (ukhuwah) sesama manusia. Komitmen penegakkan keadilan sosial ekonomi lebih ialah tanggapan dari tekanan kelompok. Karenanya, sistem kapitalisme terutama yang berkaitan dengan uang dan perbankan, tidak dimaksudkan untuk mencapai tujuan – tujuan keadilan sosiol ekonomi yang berdasarkan nilai transendental (spritual) dan persaudaraan universal. Sehingga, tidak guah, apabila uang masyarakat yang ditarik oleh bank konvensional (kapitalis) mayoritas spesialuntuk dipakai oleh para pengusaha besar (konglomerat). Lembaga perbankan tidak dinikmati oleh rakyat kecil yang menjadi mayoritas penduduk sebuah negara. Fenomena ini semakin terperinci terjadi di Indonesia. Akibatnya yang kaya semakin kaya dan miskin makin miskin. Ketidakadilan pun semakin lebar.
sepertiyang disebut di atas, konversi ekonomi Barat (terutama kapitalisme) kepada penegakan keadilan sosiol ekonomi, ialah tanggapan tekanan-tekanan kelompok masyarakat dan tekanan-tekanan politik. Untuk mewujudkan keadilan sosiol ekonomi itu mereka mengambil beberapa langkah, terutama melalui pajak dan transfer payment. Meskipun ada perjuangan melalui instrumen pajak, namun langkah-langkah ini berdasarkan Milton Friedman, terbukti tidak cukup efektif untuk mengatasi ketidakadilan, lantaran nyatanya pajak selalu menguntungkan pengusaha, dan para penjabat pajak bersama kelompok-kelompoknya.
Jadi, konsep keadilan sosial ekonomi dalam Islam tidak sama secara fundamental dengan konsep keadilan dalam kapitalisme dan sosialisme. Keadilan sosial ekonomi dalam Islam, selain didasarkan pada komitmen spritual, juga didasarkan atas konsep persaudaraan universal sesama manusia. Al-Quran secara eksplisit menekankan pentingnya keadilan dan persaudaraan tersebut. Menurut M. Umer Chapra, sebuah masyarakat Islam yang ideal mesti mengaktualisasikan keduanya secara bersamaan, lantaran keduanya ialah dua sisi yang sama yang tak bisa dipisahkan. melaluiataubersamaini demikian, kedua tujuan ini terintegrasi sangat berpengaruh ke dalam aliran Islam sehingga realisasinya menjadi komitmen spritual (ibadah) bagi masyarakat Islam.
Komitmen Islam yang besar pada persaudaraan dan keadilan, menuntut semoga tiruana sumber daya yang menjadi amanat suci Tuhan, dipakai untuk mewujudkan maqashid syari’ah, yakni pemenuhan kebutuhan hidup manusia, terutama kebutuhan dasar (primer), menyerupai sandang, pangan, papan, pendidikan dan kesehatan. Persaudaraan dan keadilan juga menuntut semoga sumberdaya didistribusikan secara adil kepada seluruh rakyat melalui kebijakan yang adil dan instrumen zakat, infaq, sedekah, pajak, kharaj, jizyah, cukai ekspor-impor dan sebagainya.[2]
C. Prinsip-prinsip Keadilan dalam Ekonomi Islam
1. Berbasis Tauhid
Tauhid menjadi fondasi utama ekonomi Islam, memiliki relasi berpengaruh dengan konsep keadilan sosial ekonomi dan persaudaraan. Ekonomi Tauhid yang mengajarkan bahwa Allah sebagai pemilik mutlak dan insan spesialuntuklah sebagai pemegang amanah, memiliki konsekuensi, bahwa di dalam harta yang dimiliki setiap individu terdapat hak-hak orang lain yang harus dikeluarkan sesuai dengan perintah Allah, berupa zakat, infaq dan sedekah dan cara-cara lain guna melaksanakan pendistribusian pendapatan yang sesuai dengan konsep persaudaraan umat manusia.
Sistem keuangan dan perbankan serta kebijakan moneter, misalnya, dirancang tiruananya secara organis dan terkait satu sama lain untuk mempersembahkan sumbangan yang positif bagi pengurangan ketidak-adilan dalam ekonomi dalam bentuk pengucuran pembiayaan (kredit) bagi masyarakat dan mempersembahkan pinjaman lunak bagi masyarakat ekonomi lemah melalui produk qardhul hasan.[3]
2. Distribusi kesejahteraan yang merata (Justified Distribution of Welfare)
Selanjutnya, dalam rangka mewujudkan impian keadilan sosial ekonomi, Islam secara tegas mengecam serius asset kekayaan pada sekelompok tertentu dan memperlihatkan konsep zakat, infaq, sedekah, waqaf dan institusi lainnya, menyerupai pajak, jizyah, dharibah, dan sebagainya. Al-Quran dengan tegas mengatakan, “Supaya harta itu tidak beredar di kalangan orang kaya saja di antara engkau” (QS. 59:7), “Di antara harta mereka terdapat hak fakir miskin, baik peminta-minta maupun yang orang miskin malu meminta-minta” (QS. 70:24).
Berdasarkan prinsip ini, maka konsep pertumbuhan ekonomi dalam Islam tidak sama dengan konsep pertumbuhan ekonomi kepitalisme yang selalu memakai indikator PDB (Produk Dosmetik Bruto) dan perkapita. Dalam Islam, pertumbuhan harus seiring dengan pemerataan. Tujuan kegiatan ekonomi, bukanlah meningkatkan pertumbuhan sebagaimana dalam konsep ekonomi kapitalisme. Tujuan ekonomi Islam lebih memprioritaskan pengentasan kemiskinan dan pengurangan pengangguran. Karena itu, Islam menekankan keseimbangan antara petumbuhan dan pemerataan. Pertumbuhan bukan menjadi tujuan utama, kecuali dibarengi dengan pemerataan. Dalam konsep Islam, pertumbuhan dan pemerataan ialah dua sisi dari sebuah entitas yang tak terpisahkan, lantaran itu keduanya tak boleh dipisahkan.
Berdasarkan prinsip ini, maka paradigma tricle down effect, yang dikembangkan kapitalisme dan pernah diterapkan di Indonesia selama rezim orde baru, berperihalan dengan konsep keadilan ekonomi berdasarkan Islam. Selanjutnya, sistem ekonomi kapitalis dicirikan oleh menonjolnya tugas perusahaan swasta (private ownership) dengan motivasi mencari laba maksimum, harga pasar akan mengatur alokasi sumberdaya, dan efisiensi. Namun sistem ini selalu gagal dalam membuat pertumbuhan dan pemerataan berjalan dengan seiring.[4]
Sistem ekonomi kapitalis sudah menggoyahkan fondasi sopan santun manusia, lantaran sistem ini sudah menghasilkan insan yang tamak, boros dan angkuh. Sistem kapitalis juga sudah melahirkan sejumlah bankir hebat, beberapa industriawan yang kaya raya, sejumlah pengusaha yang sukses. Namun di pihak lain, sudah muncul banyak konsumen yang tidak bisa memenuhi kebutuhan minimumnya. Kesentidakboleh terjadi secara tajam. Perusahaan-perusahaan yang lemah akan tersingkir dan tersungkur.
Perlu ditegaskan, bahwa melekatnya hak orang lain pada harta seseorang bukanlah dimaksudkan untuk mematahkan semangat karya pada setiap individu atau menjadikan rasa malas bagi sebagian orang. Juga tidak di maksudkan untuk membuat kerataan pemilikan kekayaan secara kaku. Dalam perspektif ekonomi Islam, proporsi pemerataan yang betul-betul sama rata, sebagaimana dalam sosialisme, bukanlah keadilan, malah justru dipandang sebagai ketidakadilan. Sebab Islam menghargai prestasi, etos kerja dan kemampuan seseorang dibanding orang yang malas.
Dasar dari perilaku yang koperatif ini tidak terlepas dari prinsip Islam yang menilai perbedaan pendapatan sebagai sebuah sunnatullah. Landasannya, antara lain bahwa etos kerja dan kemampuan seseorang harus dihargai dibanding seorang pemalas atau yang tidak bisa berusaha. Bentuk penghargaannya ialah perilaku Islam yang memperkenankan pendapatan seseorang tidak sama dengan orang lain, lantaran perjuangan dan ikhtiarnya. Firman Allah dalam surah an-Nahl [16]:71 yang berbunyi:
ª!$#ur @Òsù ö/ä3Ò÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ Îû É-øÌh9$# 4
Artinya: “Dan Allah melebihkan rezeki sebagian engkau atas sebagian lain”. (QS. An-Nahl [16]:71).
Namun, orang yang didiberi kelebihan rezeki, harus mengeluarkan sebagian hartanya untuk kelompok masyarakat yang tidak bisa (dhu’afa). Sehingga seluruh masyarakat terlepas dari kemisikinan absolut. Konsep keadilan sosial ekonomi yang diajarkan Islam menginginkan adanya pemerataan pendapatan secara proporsional. Dalam tataran ini, sanggup pula dikatakan bahwa ekonomi Islam ialah ekonomi yang dilandaskan pada kebersamaan. Karena itu tidak guah, bila anggapan yang menyatakan bahwa prinsip keadilan social ekonomi Islam memiliki kemiripan dengan sistem sosialisme. Bahkan pernah ada pendapat yang menyatakan bahwa sistem sosialisme itu bila dimenambahkan dan dimasukkan unsur-unsur Islam ke dalamnya, maka ia menjadi islami.
melaluiataubersamaini demikian, pendapat dan pandangan yang menyatakan kemiripan sistem keadilan sosial Islam dengan sosialisme tidak sepenuhnya benar, malah lebih banyak keliruannya. Prinsip ekonomi sosialisme, yang menolak kepemilikan individu dan menginginkan pemerataan pendapatan, terperinci tidak sama dengan prinsip ekonomi Islam. Sosialisme sama sekali tidak mengakui hak milik individu. Reaksi masxisme dibungkus secara politis revolusioner dalam paham komunis yang pada dasarnya mengajarkan bahwa seluruh unit ekonomi dikuasakan kepada negara yang selanjutnya didistribusikan kepada seluruh masyarakat secara merata. Hal ini didasarkan semangat perperihalan terhadap pemilikan individu.
Sedangkan dalam ekonomi Islam, penegakkan keadilan sosial ekonomi dilandasi oleh rasa persaudaraan (ukhuwah), saling menyayangi (mahabbah), pundak membahu (takaful)dan saling tolong menolong (ta’awun), baik antara si kaya dan si miskin maupun antara penguasa dan rakyat.[5]
3. Prinsip Jaminan sosial (Social Security)
Dalam sistem ekonomi Islam, keadilan sosial dipandang tidak akan mungkin tercapai tanpa adanya prinsip ini. Prinsip Jaminan sosial atau at Takaful ijtima’i yang dimaksud dalam hal ini ialah keadaan dimana setiap orang dalam masyarakat saling menjamin dan menanggung beban kemaslahatan sesama. Prinsip ini banyak disebutkan dalam al Qur’an maupun Hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, diantaranya, “Tidakkah Kamu melihat orang yang mendustakan agama? Mereka ialah orang-orang yang membiarkan anak yatim dan mereka juga tidak member makan orang-orang miskin” (QS. Al-Ma’un [107]:1-3). Rasulullah juga bersabda, “perumpamaan orang-orang diberiman itu dalam kasih akung, sebagaimana batang tubuh, bila salah satu anggota badan itu sakit, maka anggota badan yang lain juga mencicipi demam” (HR. Bukhori dan Muslim).
Namun begitu, Menurut Chapra mengutip pendapat Imam Ghazali, sekalipun ilmu ekonomi Islam tetap berserius pada aspek alokasi dan distribusi sumber-sumber daya, menyerupai halnya pada ilmu ekonomi konvensional, namun tujuan utama ekonomi Islam ialah harus tetap merealisasikan maqashid, sebab tujuan utama syari’ah ialah mendorong kesejahteraan manusia, yang terletak dalam tunjangan terhadap agama mereka (diin), diri (nafs), logika (‘aql), keturunan (nasl), harta benda (maal). Apa saja yang menjamin terlindungnya lima masalah tersebut berarti melindungi kepentingan dan kemaslahatan umum. Tentang kaitan antara hukum-hukum syariah dengan kemaslahatan insan banyak dibahas oleh para ulama diantaranya Imam Al-Izz bin Abdul Salam, dalam kitab dia Qawaid al-Ahkam fi Masalih al-Anam. [6]
BAB III
PENUTUP
Simpulan:
Keadilan adalah pengakuan dan perlakuan yang seimbang antara hak dan kewajiban. Ada empat nilai utama yang bisa ditarik dari sistem ekonomi Islam dalam membentuk keadilan sosial yaitu:
- Tauhid dan Maslahah Syari’yyah sebagai landasan pemikiran dan tujuan aplikasi dari ekonomi Islam untuk mewujudkan keadilan sosial dari tiruana aspek kehidupan.
- Moralitas menjadi pembatas atas kebebasan yang dimiliki, sehingga setiap individu dalam melaksanakan aktivitasnya selalu mempertimbangkan dampaknya bagi orang lain.
- Kesetaraan (equality) kewajiban dan hak, hal ini bisa menyeimbangkan antara hak yang diterima dan kewajiban yang harus dilaksanakan.
- Peranan positif dari negara, sebagai regulator yang bisa memastikan kegiatan ekonomi berjalan dengan baik sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain. Berusaha untuk selalu bermusyawarah , bekerja sama, dan saling menyokong alasannya ialah hal ini menjadi salah satu serius utama dalam ekonomi Islam.
DAFTAR PUSTAKA
· Sayyid Qutb, Keadilan Sosial dalam Islam, alih bahasa Afif Muhamad, cet. II, Bandung: Pustaka, 1994.
· https://tombakilmukita.blogspot.com//search?q=konsep-keadilan-dalam islam.
· Muhammad, Ekonomi Syari’ah, cet. I, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2008.
[1] Sayyid Qutb, Keadilan Sosial dalam Islam, alih bahasa Afif Muhamad, (Bandung: Pustaka, 1994), cet. II, h. 37.
[6] http://puzzleminds.com/ekonomi-islam-dan-keadilan-sosial/ (Selasa, tanggal 26 Maret 2013 pada jam 10.48 WIT).
Posting Komentar untuk "Keadilan Dalam Ekonomi Islam"