Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hukum Perkawinan



HUKUM PERKAWINAN

A.  Pengertian Perkawinan
Perkawinan berdasarkan aturan watak ialah ialah urusan kerabat, keluarga, persekutuan, martabat, sanggup ialah urusan pribadi, bergantung kepada tata susunan masyarakat yang bersangkutan. Namun di dalam lingkungan persekutuan-persekutuan kerabat itu perkawinan juga selalu ialah cara meneruskan garis keturunan tertentu yang menjadi urusan keluarga, urusan bapak-ibunya selaku inti keluarga yang bersangkutan. Pada tata susunan kerabat yang berkonsekuensi unilateral, perkawinan itu juga ialah masukana yang mengatur kekerabatan semenda di antara kelompok-kelompok yang bersangkutan, perkawinan ialah bab dari kemudian lintas clan, sehingga bagian-bagian clan sanggup mempertahankan atau memperbaiki posisi keseimbangan di dalam suku, di dalam keseluruhan masyarakat suku. Oleh lantaran itu maka sengketa-sengketa aturan antara dua kerabat, permusuhan kerabat yang sudah berlangsung lama, kadang kala diselesaikan dengan jalan perkawinan seorang laki-laki dari kerabat yang satu dengan seorang perempuan dari kerabat yang lain.

B.  Bentuk-Bentuk Perkawinan
1.      Perkawinan patrilineal dengan perkawinan matrilineal
Yang ialah pembedaan terpenting di antara banyak sekali bentuk perkawinan ialah antara bentuk perkawinan untuk mempertahankan sistem kewangsaan patrilineal dan sistem kewangsaan matrilineal secara konsekuen. Di dalam tertib patrilineal, si perempuan dilepaskan dari kelompok kewangsaannya dan berpindah ke dalam kelompok kewangsaan suaminya sebagai anggota kerabat semenda, sehingga anak-anaknya termasuk di dalam gens ayahnya, ini contohnya ialah bentuk perkawinan asasi di kalangan orang Batak-Toba. Sebaliknya di dalam tertib matrilineal, si perempuan dan si laki-laki masing-masing tetap tinggal di dalam kelompok kewangsaannya sendiri-sendiri, sedangkan anak-anaknya termasuk dalam clan ibunya. Ini ialah bentuk perkawinan asasi di Minangkabau.
Jadi pada bentuk perkawinan ini terdapat sifat rangkap:
a.       Dari satu sudut, si perempuan dan pembayaran-pembayaran itu ialah bab dari system tukar menukar antar clan, pertukaran nilai-nilai yang menggerakkan segala sesuatu.
b.      Dari sudut lain, pembayaran berupa uang atau barang-barang itu ialah masukana magis untuk melepaskan si perempuan dan memindahkannya tanpa mengganggu keseimbangan kosmis dan sosial.
Perkawinan matrilineal juga disertai pertukaran hadiah-hadiah. Tetapi dalam situasi ini si perempuan bukanlah ialah bab dari pertukaran nilai, ia tidak dilepaskan dari kelompok kewangsaannya dengan jalan pembayaran uang/barang-barang tadi. Makara pertukaran hadiah-hadiah itu berkedudukan sekunder di dalam masyarakat yang bersistem matrilineal.
2.      Perkawinan jujur dengan perkawinan ambil anak
Suatu kebalikan dengan konsekuansi tidak seberapa jauh terdapat di dalam lingkungan tertib patrilineal sendiri antara perkawinan jujur dengan perkawinan ambil anak (adoptive marriage): suatu perkawinan tanpa jujur yang (kadang-kadang) bermaksud mengadopsi si menantu laki-laki, sehingga belum dewasa si perempuan itu kemudian lahir sebagai penyambung garis gens patrilineal dari ibu dan kakeknya (bukan gens asal dari si menantu pria). Kadang-kadang si laki-laki (menantu) dilepaskan dari ikatan sukunya menyerupai yang dilakukan terhadap si perempuan (menantu) di dalam perkawinan jujur yaitu dengan pembayaran jujur untuk mempelai pria. Kadangkala si laki-laki diadapsi secara formal di dalam gens patrilineal isterinya, tetapi kebanyakan si laki-laki diizinkan masuk ke dalam gens patrilineal isterinya tanpa suatu pembayaran.
3.      Kawin bertukar (Exchange Marriage)
Kawin bertukar ini lazim diwilayah dengan hubungan-hubungan perkawinan timbale balik, sebaliknya mustahil di dalam lingkungan aturan dengan asymmetrisch connubium”. Bila kita menjumpai kenyataan bahwa kawin bertukar itu terlarang atau ditakuti di dalam tertib parental, maka kita harus mengarahkan perhatian kita kepada system perkawinan yang sudah ditinggalkan, daerah larangan itu mempunyai makna. Di Jawa contohnya perbesanan rangkap itu dihindari dan ditakuti, alasannya dipandang membawa malapetaka.
4.      Kawin meneruskan (sorotan)
Perkawinan sorotan ialah suatu perkawinan dari seorang balu dengan saudara perempuan mandiang isterinya yang di situ isteri kedua itu tanpa pembayaran jujur tambahan seolah-olah meneruskan fungsi dengan menduduki daerah isteri pertama.
5.      Kawin mengganti (levirate)
Perkawinan levirate terjadi bila seorang janda yang menetap di lingkungan kerabat mendiang suaminya, kawin dengan adik laki-laki suami tersebut dalam arti klassifikatoris (menurut abunya). Jenis perkawinan ini termasuk khas di dalam system patrilineal selaku serana embel-embel perkawinan jujur. Ia kadang kala dimaksudkan untuk memperoleh anak laki-laki dari janda tersebut sebagai pengganti berdasarkan aturan dari sang suami yang meninggal tadi.


C.  Pemutusan Perkawinan
  1. System Patrilineal
Di dalam tata kewangsaan patrilineal, pemutusan perkawinan jujur berarti kembalinya isteri dan uang jujurnya. Keadaan menyerupai kemajiran/kemandulan, cacat-cacat jasmani dan sebagainya yang menghalangi/menghambat berlakunya fungsi perkawinan sebagai urusan paguyuban hidup, sanggup menjadi alasan pertama dan utama untuk perceraian, bercerai berdasarkan alasan-alasan tersebut yaitu suatu proses yang sanggup dibenarkan sepenuhnya dan lantaran itu diurus oleh para pengetua kerabat dan kepala komplotan hukum. Hubungan kewangsaan yang dikuatkan lantaran perkawinan itu sanggup dilanjutkan dan bila diinginkan sanggup diperbarui dengan perkawinan lain lagi. Pemutusan perkawinan ambil anak berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas ialah suatu hal yang wajar, alasannya perkawinannya tidak menemui samasukannya. Bila di dalam perkawinan jenis itu terdapat kemungkinan terbentuknya kebersamaan harta perkawinan, maka lantaran perceraian itu bagian-bagian harta tersebut kemudian dibagi antara suami dan isteri tadi.
  1. Khusus Kalimantan
Khususnya dari Kalimantan didiberitakan bahwa demi kepentingan komplotan hukum, perkawinan harus diputuskan berdasarkan keadaan yang magis membahayakan, hal ini khususnya terbukti dari adanya mimpi jelek dari salah seorang di antara suami isteri. Pada ketika perceraian itu tidak dilakukan pembayaran-pembayaran dan segala sesuatunya sanggup pulih kembali sehabis magis yang jahat itu silam.
  1. Alasan umum
Pada umumnya yang diakui sebagai alasan perceraian ialah zina dari si isteri. melaluiataubersamaini perbuatannya itu si isteri merongrong kepentingan masyarakat yang bersangkut paut dengan perkawinan maupun perasaan suaminya, yang disetiap lingkungan aturan berpretensi atas perlindungan. Hanya sesekali sanggup di baca bahwa sehabis denda atas tindakan asusila itu terbayar, maka tindakan tersebut tidak lagi mengandung alasan untuk perceraian. Tetapi pada tata kewangsaan umumnya, berdasarkan zina si isteri, sang suami sanggup tetap melanjutkan pemutusan perkawinannya yang dalam segala aspek merugikan pihak isteri, kalau ia tertangkap lembap dan dibunuh, maka tidak perlulah dibayar uang perdamaian baginya. Jika ia tidak terbunuh maka ia harus melaksanakan pembayaran delik.
  1. Bercerai atas persetujuan
Kemungkinan bercerai berdasarkan musyawarah dan kata sepakat suami isteri rupanya ialah tanda-tanda umum di dalam aturan adat. Namun perlu dicatat bahwa para kepala kerabat dan hakim selalu berusaha mengurungkan niat suami isteri yang bersangkutan, asal tidak terdapat alasan-alasan sosial menyerupai kamandulan, zina si isteri, dan mimpi buruk. Sebagai konsekuensinya, maka perceraian jenis itu jarang terjadi di sementara wilayah. Tetapi kesudahannya kata sepakat suami isteri itu sanggup juga menghasilkan perceraian, sehabis segala urusan financial dan pengaturan harta kekayaan demi kesejahteraan belum dewasa sanggup diselesaikan dengan musyawarah bersama. Pada hakekatnya cara tersebut lain sama sekali daripada jalan perceraian yang ditempuh suami isteri spesialuntuk beralaskan damba hati pribadi semata, aturan watak tidak sanggup mempersembahkan ratifikasi sosial kepada sikap yang demikian itu.
  1. Paksaan sepihak
Pada umumnya terbuka kemungkinan bagi salah seorang di antara suami isteri untuk memaksakan perceraian berdasarkan alasan yang bertalian dengan kekerabatan pribadi. Justru sebagai urusan pribadi, perceraian itu selalu bersangkut paut dengan problem kesalahan. Kadang-kadang hak menuntut cerai itu ditentukan oleh problem kesalahan tersebut. Pada perkawinan jujur di Pasemah misalnya, si isteri spesialuntuk sanggup menuntut perceraian kalau suaminya mempunyai kesalahan, lantaran sudah melanggar salah satu larangan adat, kalangan kue, contohnya memotong perangkat tenun, menggunting rambut isterinya. Di wilayah lain kadang kala si isteri secara teoretis mustahil menuntut perceraian dari perkawinan jujur, meskipun seringkali ia sanggup membuat situasi de factor, sehingga terkabullah keinginannya. Akan tetapi problem kesalahan itu terutama berfungsi memilih terhadap akhir perceraian di lapangan harta kekayaan, seperti:
  1. Siapa yang harus melaksanakan pembayaran delik selaku reaksi watak terhadap sikap yang tidak baik.
  2. Apakah uang jujur harus dikembalikan ataukah tetap tinggal di kelompok kewangsaan si isteri.
  3. Apa yang harus dikerjakan dengan harta bersama dalam perkawinan.
Di dalam keretakan hidup berumah tangga itu pada asasnya pihak yang satu berusaha menyudutkan pihak lainnya pada posisi yang bersalah, contohnya dengan jalan:
  1. Si suami bepergian dalam waktu lama.
  2. Si isteri bertingkah laris provokatif.
Sering juga proses perceraian itu dilampaui oleh pulangnya si isteri ke rumah orang tuanya, sehingga suami isteri itu hidup berpisah dalam waktu yang lama. Para hakim dan kepala rakyat kesudahannya harus mengambil keputusan tentang soal kesalahan dan menguraikan ikatan perkawinan tersebut, sehabis perjuangan mereka untuk mempertahankan kelangsungan hidup dua sejoli tadi tidak berhasil. Sepanjang ada kemungkinan untuk memaksakan perceraian berdasarkan rasa benci sepihak tanpa alasan yang sanggup dipertanggungjawabankan, maka pihak yang bertindak demikian itu terkena akhir di dalam harta kekayaan dibutuhkan sebagai pihak yang bersalah. Konsekuensi ini contohnya menimpa si suami di dalam perkawinan jujur. Sebaliknya, perempuan yang dengan cara demikian memutuskan ikatan perkawinan ambil anak, tidak menderita kerugian sedikitpun. Fakta perceraian kadang kala dilengkapi dengan perbuatan-perbuatan simbolis, menyerupai menjatuhkan sepotong bambu tiga kali, memotong rotan dan pemdiberian tanda faktual sejenis itu.

D.  Hukum Harta Perkawinan
Pada umumnya harta kekayaan keluarga itu sanggup dibedakan dalam empat bab yaitu:
  1. Harta warisan
Suatu asas aturan watak Indonesia, yang berlaku umum ialah bahwa warisan yang diperoleh dari kerabat sendiri tetap menjadi milik suami atau isteri berasal dari kerabat yang mempersembahkan warisan tersebut. Makara pada pembubaran perkawinan lantaran perceraian, harta itu tetap mengikuti suami atau isteri selaku pemilik tiruanla, sehabis pemiliknya meninggal, harta tersebut tidak berpindah ke luar, jadi tidak jatuh ke tangan isteri atau suami yang masih hidup, dan di Jawa juga tidak diwariskan kepada belum dewasa angkatnya, kata orang semoga harta tersebut tidak hilang
  1. Harta yang diperoleh atas perjuangan dan untuk diri sendiri oleh suami atau isteri masing-masing sebelum atau selama perkawinan.
Kemungkinan buat seorang suami atau seorang isteri semasa perkawinan untuk mempunyai harta pribadi bagi dirinya, di satu pihak bersangkut paut dengan daya serap (harta) kerabat, dipihak lain bertalian dengan daya serap harta bersama dari keluarga. Bila ikatan kekerabatan masih kuat, maka barang-barang yang gres diperoleh itu semenjak tiruanla diperuntukkan bagi yang memperoleh dan para wangsanya yang ialah kesatuan sosial dengannya, kecuali kalau ia sanggup mewariskannya kepada belum dewasa kandungnya yang termasuk dalam ikatan kerabat tadi. Suami atau istri si pemilik barang tadi berdasarkan aturan watak tidak turut mempunyai barang-barang serupa itu meskipun ia selaku masyarakat somah sebrayat sanggup turut menikmati hasilnya dan penguasaan atas barang-barang tersebut memerlukan persetujuan, setidak-tidaknya harus diketahui oleh para waris, yaitu para masyarakat yang bersangkutan. Baik benda-benda yang diperoleh sebelum maupun selama ikatan perkawinan, sanggup berposisi aturan demikian
  1. Harta yang diperoleh suami isteri selama perkawinan atau perjuangan dan sebagai milik bersama.
Harta bersama suami istri ialah harta kekayaan yang diperoleh selama masa perkawinan, sedangkan baik suami atau istri bekerja untuk kepentingan keluarganya. Syarat terakhir ini kadang kala juga ditiadakan, sehingga harta benda yang diperoleh masa perkawinan itu selalu menjadi harta bersama keluarga. Mabadunga perkawinan putus lantaran meninggalnya suami atau istri, maka patner yang ditinggalkan menguasai harta bersama menyerupai semasa perkawinan, ia berhak atas harta tersebut untuk penghidupannya. Bila kebutuhan hidupnya terpenuhi secara pantas, maka harta bersama itu sanggup dibagi antara ia dengan para andal waris si meninggal. Dalam hal anak-anak, maka mereka ini kesudahannya mewaris harta kekayaan itu selaku barang asal. Jika tidak ada anak, maka sepeninggal patner yang menjanda/membalu ini, harta kekayaan tersebut harus dibagi antara sanak saudara si suami di satu pihak dengan sanak saudara si istri dilain pihak dengan patokan yang sama menyerupai kalau suami isrtri membaginya semasa mereka masih hidup.
  1. Harta yang dihadiahkan pada ketika ijab kabul kepada suami isteri bersama.
Di Madura terdapat kebiasaan bahwa ketika berlangsungnya ijab kabul dihadiahkan benda-benda (barang pembawaan) yang pertolongannya tidak sama dengan harta yang diperoleh selama masa diperoleh. Mengenai barang pembawaan, bab suami dan istri sama, sedangkan terkena harta perkawinan bab mereka dua berbanding satu.

Posting Komentar untuk "Hukum Perkawinan"