Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Gharar



BAB I
PENDAHULUAN

 Islam melarang tiruana bentuk transaksi yang mengandung unsur kejahatan dan penipuan. Di mana hak-hak tiruana pihak yang terlibat dalam sebuah sikap ekonomi yang tidak dijelaskan secara seksama (terbuka/jelas), akan menimbulkan sebagian dari pihak yang yang terlibat menarikdanunik keuntungan, akan tetapi dengan merugikan pihak yang lain.
Apapun bentuknya, segala acara dalam bidang ekonomi yang tidak dihalalkan dalam Islam yaitu suatu sikap ekonomi yang mengandung unsur yang tidak halal, atau melanggar dan merampas hak kekayaan orang lain.
Al-Qur’an diseriuskan untuk mengeleminasi tiruana bentuk kejahatan dan penipuan dalam kehidupan sehari-hari pada umumnya. Dalam ekonomi islam itu sendiri memiliki norma-norma sikap ekonomi yg di larang dan yg diperbolehkan. Adapun Norma Prilaku Ekonomi Yang Dilarang Dalam Islam yaitu sebagai diberikut,
1.Hakikat pelarangan
2.Tidak bermewah-mewah
3.Kriteria transaksi yang dilarang
4. Maysir (judi & spekulasi), dan
5. Gharar
            Perkembangan bisnis kontemporer demikian pesat, yang menjadi tujuan yaitu mendapatkan laba materi semata. Parameter agama dikesampingkan, yang menjadi ukuran yaitu mendulang materi sebanyak-banyaknya. Ini ialah ciri khas peradaban kapitalis ribawi yang memuja materi. Tidak mengherankan bila dalam praktek bisnis dalam bingkai ideologi kapitalis serba bebas nilai. Spekulasi, riba, manipulasi supply and demand serta aneka macam kegiatan yang dihentikan dalam Islam menjadi hal yang wajar.
            Salah satu praktek yang dihentikan dalam Islam, tetapi lazim dilakukan di bisnis kotemporer ribawi yaitu praktek gharar (uncertianty).




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian gharar
Gharar artinya keraguan, tipuan atau tindakan yang bertujuan untuk merugikan pihak lain.[1] Suatu janji mengandung unsur penipuan, lantaran tidak ada kepastian, baik terkena ada atau tidak ada objek akad, besar kecil jumlah maupun menyerahkan objek janji tersebut.
Menurut imam Nawawi, gharar ialah unsur janji yang dihentikan dalam syari’at Islam.
Imam Al-Qarafi mengemukakan gharar yaitu suatu janji yang tidak diketahui dengan tegas, apakah efek janji akan terealisasi atau tidak, menyerupai melaksanakan jual-beli ikan yang masih di dalam air (tambak).[2]
B.     Kategori-Kategori Gharar
Menurut mohd Bakir Haji Mansor, dalam bukunya Konsep-konsep syariah dalam perbamgkan dan keuangan Islam mengambarkan ada 2 kategori gharar.[3] Kategori-kategori gharar yang perlu diketahui Yaitu :
1)      gharar fahish (ketidakjelasan yang keterlaluan);
Adalah gharar yang berat dan dengannya sanggup membatalkan akad. Gharar ini timbul dua sebab:pertam,barang sebagai objek jual beli tidak ada dan kedua,barang boleh diserahkan tetapi tidak sama spesifikasinya menyerupai yang dijanjikan
2)      gharar yasir (ketidakjelasan yang minimum)
adalah gharar yang enteng,keberadaannya tidak membatalkan akad. Sekiranya terdapat bentuk gharar semacam ini dalam akadjual beli, maka jual beli tersebut tetap sah berdasarkan syara’
C.           Bentuk-bentuk jual-beli gharar
Menurut ulama fikih, bentuk-bentuk gharar yang dihentikan adalah:
a.       Tidak ada kemampuan penjual untuk menyerahkan objek janji pada waktu terjadi akad, baik objek janji itu sudah ada maupun belum ada. Umpamanya menjual janin yang masih dalam perut hewan ternak tanpa menjual induknya.
b.      Menjual sesuatu yang belum berada di bawah penguasaan penjual. Apabila barang yang sudah dibeli dari orang lain belum diserahkan kepada pembeli, maka pembeli itu belum boleh menjual barang itu kepada pembeli lain.
c.       Tidak ada kepastian tentang jenis pembayaran atau jenis benda yang dijual.
d.      Tidak ada kepastian tentang tertentu dari barang yang dijual. Umpamanya penjual berkata: “Saya menjual sepeda yang ada di rumah saya kepada anda”, tanpa menentukan ciri-ciri seepeda tersebut secara tegas. Termasuk ke dalam bentuk ini yaitu menjual buah-buahan yang masih di pohon dan belum layak dikonsumsi.
e.       Tidak ada kepastian tentang jumlah harga yang harus dibayar. Umpamanya: orang berkata “Saya jual beras kepada anda sesuai dengan harga berlaku hari ini”. Padahal jenis beras juga macam-macam dan harganya tidak sama.
f.       Tidak ada kepastian tentang waktu penyerahan objek akad. Umpamanya: setelah seseorang meninggal. Jual-beli semacam ini termasuk gharar, lantaran objek janji dipandang belum ada.
g.      Tidak ada ketegasan bentuk transaksi, yaitu dua macam atau lebih yang tidak sama dalam satu objek janji tanpa menegaskan bentuk transaksi mana yang dipilih waktu terjadi akad. Umpamanya: Sebuah motor dijual seharga Rp. 10.000.000,- dengan harga tunai dan Rp. 12.000.000- dengan harga kredit. Namun sewaktu terjadi akad, tidak ditentukan bentuk transaksi mana yang akan dipilih.
h.      Tidak ada kepastian objek akad, lantaran ada dua objek janji yang tidak sama dalam satu transaksi. Umpamanya; salah satu dari dua potong pakaian yang tidak sama mutunya dijual dengan harga yang sama.
i.        Kondisi objek akad, tidak sanggup dijamin kesesuaiannya dengan yang ditentukan dalam transaksi. Umpamanya: menjual sebuntut kuda pacuan yang sedang sakit. Di dalamnya terdapat jual-beli gharar, lantaran baik penjual maupun pembeli bespekulasi dalam transaksi ini.
j.        Dalam transaksi disebutkan kualitas barang yang berkarakter nomor satu, sedangkan dalam realisasinya kualitasnya tidak sama. Hal ini mungkin diketahui kedua belah pihak (ada kerja sama) atau sepihak saja (pihak pertama).
k.      Jual-beli dengan cara undian dalam aneka macam bentuk.
l.        Mempermainkan harga. Dalam transaksi, harga barang dicantumkan dua kali atau tiga kali lipat dari harga pamasukan.
m.    Teknik lain yaitu menginport atau mengeksport barang, tidak sesuai dengan dokumen yang ada.
n.      Menyamakan barang tiruan dengan orisinil menyerupai arloji, mas murni, dan imitasi dianggap sama, yaitu termasuk penipuan dalam jual-beli. Tentu masih banyak lagi contoh-contoh lain, yang intinya ada mengandung unsur penipuan di dalamnya. Hal ini salah satu alasannya yaitu merusak ekonomi masyarakat dan kemorosotan moral dalam bermuamalah. melaluiataubersamaini demikian tidak menerima rahmat dari Allah.
D.    Macam Gharar :
1)      Gharar dalam transaksi, contoh : saya jual rumah ini kepada si A tapi si A harus jual rumahnya kepada saya (terkadang mengandung sesuatu tidak jelas).
2)      Gharar dalam objek transaksi, dalam barangnya, contoh : jual tumbuh-tumbuhan yang buahnya ada di dalam tanah.
v  Gharar dalam objek transaksi :
1)      Ketidakjelasan jenis objek transaksi (الجهالة في جنس المعقودعليه)
Mengetahui jenis obyek janji secara terang yaitu syarat sahnya jual beli. Maka jual beli yang obyeknya tidak diketahui tidak sah hukumnya lantaran terdapat gharar yang banyak di dalamnya. Seperti menjual sesuatu dalam karung yang mana pembeli tidak mengetahui dengan terang jenis barang apa yang akan ia beli. Namun demikian terdapat pendapat dari Mazhab Maliki yang membolehkan transaksi jual beli yang jenis obyek transaksinya tidak diketahui, kalau disyaratkan kepada pembeli khiyar ru’ya (hak melihat komoditinya).[4] Begitu juga dalam mazhab Hanafi menetapkan khiyar ru’yah tanpa dengan adanya syarat, berdasarkan hadis diberikut:
Siapa yang membeli sesuatu yang belum ia lihat, maka ia berhak khiyar apabila sudah melihat barang itu”.
            Akan tetapi ulama Syafi’iyah menyampaikan bahwa jual beli barang yang mistik tidak sah, baik barang itu disebutkan sifatnya waktu janji maupun tidak. Oleh alasannya yaitu itu, berdasarkan mereka, khiyar ru’yah tidak berlaku, lantaran janji itu mengandung unsure penipuan (gharar)
2)      Ketidakjelasan dalam macam objek transaksi (الجهالة في نوع المعقودعليه)
Gharar dalam macam obyek janji sanggup menghalangi sahnya jual beli sebagaimana terjadi dalam jenis obyek akad. Tidak sahnya janji menyerupai ini lantaran mengandung unsure ketidakjelasan dalam obyeknya. Seperti seorang penjual berkata, “aku jual kepada anda hewan dengan harga sekian” tanpa mengambarkan hewan apa dan yang mana. Oleh lantaran itu obyek janji disyaratkan harus ditentukan secara jelas. Dasar ketentuan ini yaitu larangan Nabi saw. mengenahi jual beli kerikil (bai’ al-Hashah) yang menyerupai judi dan biasa dilakukan oleh orang jahiliyyah. Yaitu jual beli dengan cara melemparkan watu kerikil kepada obyek jual beli, dan obyek mana yang terkena lemparan watu tersebut maka itulah jual beli yang harus dilakukan. Dalam hal ini pembeli sama sekali tidak sanggup menentukan apa yang seharusnya dinginkan untuk dibeli.[5]
Dari Abu Hurairah diceritakan, ia berkata: Rasulullah Saw melarang jual beli lempar krikil dan jual beli gharar. (HR. Muslim)
3)      Ketidakjelasan dalam sifat dan abjad objek transaksi ( (الجهالة في الصفة المعقودعليه
            Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama fiqh tentang persyaratan dalam sebut sifat-sifat obyek transaksi dalam jual beli, akan tetapi lebih banyak didominasi ulama fiqh beropini untuk mensyaratkannya. Diantara perbedaan itu adalah; Mazhab Hanafiyah melihat, bahwa kalau obyek transaksinya terlihat dalam transaksi, baik itu komoditi ataupun uang, maka tidak perlu untuk mengetahui sifat dan karakternya. Tetapi kalau obyek transaksinya tidak terlihat oleh penjual dan pembeli, maka para ulama fiqh mazhab Hanafiyah berselisih pendapat.
            Sebagian mensyaratkan klarifikasi sifat dan abjad obyek akad, dan sebagian tidak. Mereka yang tidak mensyaratkan beropini bahwa ketidaktahuan sifat tidak menimbulkan perselisihan, disamping itu pembeli juga memiliki hak khiyar ru’yah. Silang pendapat di atas yaitu yang berkaitan dengan komoditi bukan harga, adapun tentang harga (tsaman) tiruana ulama setuju untuk disebutkan sifat dan karakternya.
            Sedang Ulama Mazhab Maliki mensyaratkan penyebutan sifat dan abjad baik terhadap komoditi maupun harga (tsaman). Karena tidak adanya kejelasan dalam sifat dan abjad komoditi dan harga yaitu ialah gharar yang dihentikan dalam akad. Begitu juga ulama mazhab Syafi’I mensyaratkan penyebutan sifat dan abjad komoditi dan menyampaikan bahwa jual beli yang tidak terang sifat dan abjad komoditinya hukumnya tidak sah kecuali kalau pembeli didiberi hak untuk melaksanakan khiyar ru’yah. Mazhab Hambali juga tidak membolehkan jual beli yang obyek transaksinya tidak terang sifat dan karakternya.
4)      Ketidakjelasan dalam dosis objek transaksi (الجهالة في القدر المعقودعليه)
Tidak sah jual beli sesuatu yang kadarnya tidak diketahui, baik kadar komoditinya maupun kadar harga atau uangnya. Illat (alasan) aturan dilarangnya yaitu lantaran adanya unsur gharar sebagaimana para ulama andal fiqh dari mazhab Maliki dan Syafi’i dengan terang memaparkan pendapatnya.
misal dari transaksi jual beli yang dihentikan lantaran unsure gharar yang timbul tanggapan ketidaktahuan dalam kadar dan dosis obyek transaksi yaitu bai’ muzabanah. Yaitu jual beli tukar barang antara buah yang masih berada di pohon dengan kurma yang sudah dipguan, anggur yang masih lembap dengan zabib (anggur kering), dan tumbuhan dengan makanan dalam dosis tertentu. Adapun illat dari pengharamannya yaitu adanya unsure riba yaitu aspek penambahan dan gharar lantaran tidak konkritnya ukuran dan obyek atau komoditi.
5)      Ketidakjelasan dalam zat objek transaksi (الجهالة في الذات المعقودعليه)
Ketidaktahuan dalam zat obyek transaksi yaitu bentuk dari gharar yang terlarang. Hal ini lantaran dzat dari komoditi tidak diketahui, walaupun jenis, macam, sifat, dan kadarnya diketahui, sehingga berpotensi untuk menimbulkan perselisihan dalam penentuan. Seperti jual pakaian atau kambing yang bermacam-macam.
Mazhab Syafi’i, Hambali, dan Dhahiri melarang transaksi jual beli semacam ini, baik dalam kuantitas banyak maupun sedikit lantaran adanya unsur gharar. Sedang mazhab Maliki membolehkan baik dalam kuantitas banyak maupun sedikit dengan syarat ada khiyar bagi pembeli yang menjadikan unsure gharar tidak besar lengan berkuasa terhadap akad. Adapun mazhab Hanafiyah membolehkan dalam jumlah dua atau tiga, dan melarang yang melebihi dari tiga.
6)     Ketidakjelasan dalam waktu objek transaksi (الجهالة في الزمن المعقودعليه)
            Jual beli tangguh (kredit), kalau tidak dijelaskan waktu pembayarannya, maka ia termasuk jual beli gharar yang terlarang.
            Seperti jual beli habl al-hablah, yaitu jual beli dengan sistem tangguh bayar sampai sebuntut unta melahirkan anaknya, atau sampai sebuntut unta melahirkan anak dan anak tersebut melahirkan juga anaknya. Jual beli semacam ini dikategorikan dalam jual beli gharar yang terlarang lantaran tidak ada kejelasan secara kongkrit dalam penentuan penangguhan pembayaran.
7)      Ketidakjelasan dalam penyerahan objek transaksi (عدم الفدرة على تسليم)
            Kemampuan menyerahkan obyek transaksi yaitu syarat sahnya dalam jual beli. Maka kalau obyek transaksi tidak sanggup diserahkan, secara otomatis jual belinya tidak sah lantaran terdapat unsur gharar (tidak jelas). Seperti menjual onta yang lari atau hilang dan tidak diketahui tempatnya.Nabi Saw melarang jual beli menyerupai ini lantaran mempertimbangkan bahwa barang itu tidak sanggup dipastikan apakah akan sanggup diserahkan oleh penjual atau tidak.[6]
            Dari Hakim Ibn Hizam, ia berkata: Aku bertanya kepada Nabi Saw. kataku: wahai Rasulullah, seseorang hadir kepadaku minta saya menjual suatu yang tidak ada padaku. Lalu saya menjualnya kepadanya, kemudian saya membelinya di pasar untuk saya serahkan kepadanya. Beliau menjawaban : tidakboleh engkau menjual barang yang tidak ada padamu. (HR. An-Nasa’i).
8)     Objek transaksi yang spekulatif
Gharar yang sanggup mensugesti sahnya jual beli yaitu tidak adanya (ma’dum) obyek transaksi. Yaitu keberadaan obyek transaksi bersifat spekulatif, mungkin ada atau mungkin tidak ada, maka jual beli menyerupai ini tidak sah. Seperti transaksi jual beli anak unta yang belum lahir dan buah sebelum dipguan. Sebuntut unta yang mengandung bisa jadi melahirkan dan ada kemungkinan tidak (keguguran), begitu juga buah terkadang berbuah dan terkadang juga tidak ada.
v  Macam Gharar ditinjau dari hukumnya :
1.      Gharar banyak aturan haram, contoh : menjual ikan diair
2.      Gharar sedikit aturan mubah, contoh :pondasi rumah dikala dibeli orang lain
3.      Gharar sedang aturan masih diperselisihkan para ulama
misal :
a.       Masalah Asuransi
b.      Wc umum (tidak ada kejelasan apakah mau beli airnya atau sewa tempatnya, contoh lain ; penjualan rumah, itu sudah pasti sama pondasinya, walaupun tidak disebutkan, memancing ikan, kalau niatnya ingin membeli ikan maka tidak boleh, lantaran ada unsure gharar, tetapi kalau menyewa daerah hal itu diperbolehkan.
c.       seperti restoran, dimana makan sekenyangnya, pokoknya sekali makan, hal ini tidak ada kejelasan masing-masing.
v  Macam Gharar ditinjau dari kandungannya ;
1.      Jual beli yang belum ada dan masih diragukan keberadaannya.
2.      Jual beli sesuatu yang tidak sanggup atau mungkin diserahterimakan.
3.      Jual beli al majhul (sesuatu yang tidak terang atau tidak diketahui).
v  Gharar dalam Transaksi :
1.      Kesepakatan satu transaksi
2.      Jual beli dengan hilangnya uang muka
3.      Jual beli jahiliyah (dengan sentuhan, lemparan batu)
4.      Jual beli bergantung
5.      Jual beli al-Mudhof, contoh : si A menjual barang, kalau kontan haraganya Rp 1000 tetapi kalau kredit harganya Rp 1200, kemudian si pembeli menyampaikan saya beli barang ini, tapi disini si pembeli tidak menentukan 2 kesepaktan itu. ini termasuk gharar kabir, contoh lain jual rumah dengan jual rumah lagi.
E.     Kriteria Gharar Yang Diharamkan    
Bai' al-Gharar yaitu setiap jual beli yang mengandung ketidak jelasan dan perjudian.Gharar dihukumi haram bilamana terdapat salah satu kriteria diberikut:
1.      Jumlahnya besar.
Jika gharar yang sedikit tidak mensugesti keabsahan akad, seperti: pembeli kendaraan beroda empat yang tidak mengetahui serpihan dalam mesin atau pembeli saham yang tidak mengetahui rincian aset perusahaan.
Ibnu Qayyim berkata, "gharar dalam jumlah sedikit atau mustahil dihindari pasti tidak mensugesti keabsahan akad, tidak sama dengan gharar besar atau gharar yang mungkin dihindari".
Al Qarafi berkata, gharar dalam bai' ada 3 macam:
-          Gharar besar membatalkan akad, menyerupai menjual burung di angkasa.
-          Gharar yang sedikit tidak membatalkan janji dan hukumnya mubah, menyerupai ketidakjelasan pondasi rumah atau ketidakjelasan jenis benang qamis yang dibeli.
-          Gharar sedang, hukumnya diperselisihkan oleh para ulama, apakah boleh atau tidak.Al Baji berkata, "gharar besar yaitu rasionya dalam janji terlalu besar snehingga orang menyampaikan bai' ini gharar".
2.      Keberadaannya dalam janji mendasar.
Jika gharar dalam janji spesialuntuk sebagai pengikut tidak merusak keabsahan akad. melaluiataubersamaini demikian menjual hewan ternak yang bunting, menjual hewan ternak yang menyusui dan menjual sebagian buah yang belum matang dalam satu pohon dibolehkan. Walaupun janin, susu dan sebagian buah tersebut tidakjelas, lantaran keberadaanya spesialuntuk sebagai pengikut.
3.      Akad yang mengandung gharar bukan termasuk janji yang diperlukan orang banyak.
Jika suatu janji mengandung gharar dan janji tersebut diperlukan oleh orang banyak hukumnya sah dan dibolehkan. Ibnu Taimiyah berkata," mudharat gharar di bawah riba, oleh lantaran itu didiberi rukhsah (keentengan) kalau diperlukan oleh orang banyak, lantaran kalau diharamkan mudharatnya lebih besar daripada dibolehkan". melaluiataubersamaini demikian dibolehkan menjual barang yang tertimbun dalam tanah, seperti: wortel, bawang, umbi-umbian dan menjual barang yang dimakan serpihan dalamnya, seperti: semangka telur dan lain-lain sekalipun terdapat gharar. Karena kebutuhan orang banyak untuk menjual dengan cara demikian tanpa dibuka terlebih lampau serpihan dalamnya atau dicabut dari tanah.
4.      Gharar terjadi pada janji jual-beli.
Jika gharar terdapat pada janji hibah hukumnya dibolehkan.
Misalnya:
-       Seseorang bersedakah dengan uang yang ada dalam dompetnya padahal ia tidak tahu berapa jumlahnya. Atau seseorang yang menghadiahkan bingkisan kepada orang lain, orang yang mendapatkan tidak tahu isi dalam bingkisan tersebut, maka akadnya sah walaupun mengandung gharar.




BAB III
PENUTUP
Gharar artinya keraguan, tipuan atau tindakan yang bertujuan untuk merugikan pihak lain. Suatu janji mengandung unsur penipuan, lantaran tidak ada kepastian, baik terkena ada atau tidak ada objek akad, besar kecil jumlah maupun menyerahkan objek janji tersebut.
Macam Gharar :
·         Gharar dalam transaksi, contoh : saya jual rumah ini kepada si A tapi si A harus jual rumahnya kepada saya (terkadang mengandung sesuatu tidak jelas).
·         Gharar dalam objek transaksi, dalam barangnya, contoh : jual tumbuh-tumbuhan yang buahnya ada di dalam tanah.














Daftar Pustaka

Abdul Wahid,Nazaruddim.2010. Sukuk (memahami & membedah  Obligasi pada Perbankan Syariah).Yogyakarta:Ar-Ruzz Media 
Anwar,Syamsul.2007. Hukum Perjanjian Syariah: Studi tentang Teori Akad dalam Fiqh Muamalah,Jakarta: Rajpertamai Pers
Haroun,Nasroun.2000. Fiqh Muamalah,Jakarta: Gaya Media Pratama,
M. Ali Hasan,2003 Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam, Jakarta: Rajpertamai Pers,
                                                          




[1] M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam….Hal.147
[2] Ibid,Hal.147
[3] Nazaruddin Abdul Wahid,SUKUK …..Hal.68
[4] Khiyar ru’yah adalah hak pilih bagi pembeli untuk menyatakan berlaku atau batal jual beli yang ia lakukan terhadap suatu obyek yang belum ia lihat dikala janji berlangsung. Nasroun Haroun, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), h. 137
[5] Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah: Studi tentang Teori Akad dalam Fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajpertamai Pers, 2007), h. 191
[6] Ibid,hal.191

Posting Komentar untuk "Gharar"