Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Akidah Islam Dan Budaya Lokal



BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Akidah (kepercayaan) ialah bidang teori yang perlu dipercayai terlebih lampau sebelum yang lain-lain. Kepercayaan itu hendaklah lingkaran dan penuh, tiada bercampur dengan syak, ragu dan kesamaran. Akidah itu hendaklah : menurut ketetapan keterangan-keterangan yang terang dan tegas dari ayat-ayat Qur’an serta sudah menjadi komitmen kaum Muslimin semenjak penyiaran Islam dimulai, biarpun dalam hal yang lain-lain sudah timbul kemudiannya banyak sekali pendapat yang tidak sama-beda. Akidah itulah seruan dan penyiaran yang pertama dari Rasulullah, dan dimintanya supaya dipercayai oleh insan dalam tingkat pertama (terlebih lampau). Itu pula seruan setiap Rasul yang diutus Allah kepada umat insan dimasa yang lalu, sebagaimana diceritakan dalam Qur’an dalam menceritakan riwayat Nabi-nabi dan Rasul-rasul.

B.       Rumusan Masalah
  1. Bagaimana konsep kepercayaan Islam?
  2. Apa saja kebudayaan Banjar di Kalimatan Selatan?
  3. Bagaimana pemurnian kepercayaan Islam dari kebudayaan Banjar yang menyimpang dari Al-Qur’an dan Sunnah Nabi?

BAB II
PEMBAHASAN

A.      Konsep Akidah Islam
Akidah pokok yang perlu dipercayai oleh tiap-tiap muslimin, yang termasuk unsur pertama dari unsur-unsur keimanan ialah mempercayai:[1]
  1. Wujud (Ada) Allah dan Wahdaniat (Keesaan-Nya). Sendiri dalam menciptakan, mengatur dan mengurus segala sesuatu. Tiada bersekutu dengan siapapun wacana kekuasaan dan kemuliaan. Tiada yang menyerupai-Nya wacana sifat-Nya. Hanya Dia saja yang berhak disembah, dipuja dan dimuliakan secara istimewa. Kepada-Nya saja boleh menghadapkan permintaan dan menundukkan diri. Tidak ada Pencipta dan pengatur selain dari pada-Nya.
  2. Bahwa Tuhan menentukan diantara hamba-Nya, yang dipandangnya layak untuk memikul risalat-Nya (perutusan-Nya). Kepada Rasul-rasul itu disampaikan wahyu dengan perantaraan malaikat. Mereka berkewajiban menyeru insan kepada keimanan dan mengajak mengerjakan amal saleh (perbuatan baik). Karena itu, wajiblah diberiman kepada segenap Rasul-rasul yang disebutkan dalam Qur’an, semenjak dari Nuh hingga kepada Nabi Muhammad.[2]
  3. Adanya malaikat yang membawa wahyu dari Allah kepada Rasul-rasul-Nya. Juga mempercayai kitab-kitab suci yang ialah kumpulan wahyu Illahi dan isi risalat Tuhan.
  4. Selanjutnya mempercayai apa yang terkandung dalam risalat itu, diantaranya akidah dengan hari berbangkit dan pembalasan (kampung akhirat). Juga akidah kepada pokok-pokok syari’at dan peraturan-peraturan yang sudah dipilih Tuhan sesuai dengan keperluan hidup insan dan selaras dengan kesanggupan mereka, sehingga tergambarlah dengan aktual keadilan, rahmat, kebemasukan dan hikmat akal Illahi.[3]

B.       Kebudayaan Banjar
Sebelum memeluk Islam, masyarakat Banjar memeluk kepercayaan animisme yang memuja roh atau percaya kepada sesuatu yang ghaib. Pangeran Surianata, pendiri kerajaan Banjar dan isterinya Junjung Buih serta raja-raja Nagara Dipa dan Nagara Daha mirip Pguambahan Batuah dan Pangeran Bagalung, bahkan pemuka-pemuka masyarakat dianggap masih hidup sebagai ‘orang ghaib”. Kepada orang ghaib ini didiberikan sesajen pada setiap tahun, yang diantar ke pegunungan Pematon, salah satu pegunungan yang terletak di Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan. Gunung Pematon ini dianggap sebagai tempat tinggal orang-orang ghaib ini hidup layaknya mirip masyarakat biasa. Mereka berkeluarga dan bermasyarakat dan pada suatu saat, orang ghaib ini sanggup berkomunikasi dengan orang biasa lewat orang “kesurupan” yang dalam pengakuannya, orang ghaib itulah yang menyerupainya dan menolongnya.[4]
Di bawah ini ada beberapa bentuk kepercayaan yang berkembang di masyarakat Banjar yaitu:
1.      Kepercayaan yang bersumber dari pedoman Islam
Isi kepercayaan ini yaitu wacana keyakinan kepada rukun akidah yang enam. Selain mereka percaya kepada adanya Allah swt., Zat Yang Mencipta dan Mengatur ala mini, mereka juga percaya kepada makhluk ynag ghaib, mirip malaikat, jin, setan atau iblis. Masyarakat Banjar mempercayai bahwa jin itu selain ada yang Muslim, juga ada yang kafir. Sementara setan atau iblis diciptakan untuk membelokkan perhatian insan sehingga berprilaku menyimpang dari agama yang benar. Kepercayaan wacana adanya hal-hal yang ghaib tersebut jikalau bersumber dari al-qur’an dan mengesankan bahwa duduk masalah ghaib itu juga sangat penting untuk diyakini mirip halnya keyakinan pokok akan adanya kerasulan Muhammad dan adanya Hari Akhir, sebagai hari pembalasan bagi tiruana perbuatan yang dilakukan oleh insan di dunia ini.
2.      Kepercayaan masyarakat zaman lampau
Kepercayaan ini mungkin ada kaitannya dengan struktur masyarakat Banjar pada masa raja-raja dan sultan-sultan Banjar. Orang-orang Banjar pada dikala itu hidup dalam rumah pada lingkungan keluarga yang luas, yang kemudian berubah menjadi lingkungan pemukiman tetap yang dinamakan bubuhan. Di antara kelompok bubuhan ini, ada yang bisa menarikdanunik asal keturunannya hingga kepada tokoh tertentu atau sultan dan raja tertentu yang sanggup berteman erat dengan jin, naga, macam, dan buaya sehingga kepercayaan ini diberimplikasi kepada keharusan untuk mengadakan aruh (selamatan) tahunan yang disertai dengan banyak sekali keharusan lainnya dan banyak sekali pantangan yang terkait dengan kepercayaan itu.
3.      Kepercayaan masyarakat yang berkaitan dengan alam sekitar
Kepercayaan ini ada keterkaitan pula dengan kepercayaan bubuhan terhadap pedatuannya. Misalnya, kepercayaan adanya hutan yang tidak spesialuntuk dihuni oleh hewan buas, tapi juga dihuni oleh orang-orang ghaib, macan ghaib, dan datu. Kepercayaan ini menyebabkan sebagian masyarakat melakukan upacara yang disebut dengan manyanggar, seperti manyanggar banua dan manyanggar padang. Kedua praktik upacara itu biasanya terkait dengan tujuan dilaksanakannya. Manyanggar banua dimaksudkan untuk menghindarkan banyak sekali ancaman dan ancaman terhadap kampung sementara manyanggar padang bertujuan untuk mempersembahkan sasajen lantaran pguan yang melimpah di sawah.
4.      Kepercayaan memmembuang pasilih
Pasilih artinya persalinan. Namun yang dimaksud di sini ialah upacara untuk menghilangkan banyak sekali petaka yang sudah menimpa keluarga yang katanya berteman erat dengan orang ghaib. Musibah ini terjadi disebabkan tidak melakukan upacara memmembuang pasilih. Satu keluarga yang katanya berteman erat dengan orang ghaib yang bentuknya mirip sebuntut buaya. Setiap tahun keluarga ini member sesajen dalam bentuk bubur putih, bubur merah, dan telur yang dihanyutkan di sungai pada waktu sore. Kalau sesajen itu tidak didiberikan pada waktunya, maka aka nada di antara anggota keluarga yang sakit dan untuk menyembuhkannya harus dilakukan upacara pemdiberian sesajen.
5.      Kepercayaan paham wahdah al-wujud
Kepercayaan lain yang berkembang di masyarakat Banjar ialah paham wahdah al-wujud atau ada juga yang menyamakannya dengan aliran wujudiyyah. Kedua istilah ini memang banyak mengandung persamaan, yakni sama-sama mengulas wacana wujud Allah sebagai Zat yang Wajib al-Wujud. Pembahasan wacana paham wujudiyyah dalam disiplin ilmu tauhid tidak terlepas dari istilah wujud yang membuat mawjud (ciptaan). Semua ciptaan ini berasal dari Allah swt. jadi, istilah wujudiyyah dalam ilmu tauhid menekankan kepada eksistensi Tuhan. Denga kata lain, istilah wahdah al-wujud dalam tasawuf memiliki kesamaan dengan istilah wujudiyyah dalam ilmu tauhid, tetapi tidak sama dengan istilah wujudiyyah dalam kajian difilsafat.
Pada dikala berkembangnya paham wujudiyyah itu di tempat Banjar, kondisi masyarakat pada umunya masih sederhana dan belum terpelajar. Oleh lantaran itu, sebagian masyarakat Banjar dengan praktis terpengaruh dan mengikuti aliran tasawuf ini, meskipun pedoman ini sejatinya memerlukan pemikiran yang filosofis. Karenanya, masyarakat Banjar dikhawatirkan keliru memahami pedoman tasawuf falsafi ini yang menganggap Tuhan cenderung immguan. Sementara di sisi lain, mereka juga memiliki kecenderungan meremehkan kepercayaan dan fikih sehingga tidak ada keseimbangan dalam memahami pedoman Islam, kemudian meremehkan pedoman kepercayaan dan fikih tersebut. Hal mirip ini yang sepertinya sanggup dinilai bid’ah atau sesat oleh ulama fikih. Karena, ulama fikih pada umumnya memandang Tuhan sebagai suatu yang transenden (tanzih).[5]

C.      Pemurnian Akidah Islam Terhadap Kebudayaan Banjar
Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari hidup pada kurun ke-18 dan permulaan kurun ke-19 M di Kalimatan Selatan.[6] Menurut catatan sejarah ada dua kepercayaan yang berkembang di masyarakat Banjar waktu itu. Pertama, manyanggar banua dan mammembuang pasilih, dan kedua, pedoman wujudiyah atau wahdah al-wujud. Menurut al-Banjari, kedua upacara tersebut ialah bid’ah dhalalah yang amat keji. Orang yang mengerjakannya wajib segera bertobat, dan para raja serta para pembesar lainnya wajib menghentikan upacara tersebut. Al-Banjari dengan sangat terang berupaya memberantas upacaya tersebut untuk memurnikan kepercayaan umat Islam dari segala unsure bid’ah dhalalah. Karena sifat Islam mengajak orang ke jalan kebenaran tanpa paksaan.[7] Dalam upayanya itu, al-Banjari meminta menolongan para raja dan para pembesar lainnya untuk ikut memberantas upacara-upacara tersebut.
Untuk memperkuat pendapatnya bahwa kedua upacara tradisional itu bid’ah dhalalah, al-Banjari menegaskan bahwa keduanya mengandung tiga macam kemungkaran, sebagai diberikut:
1.      Tabdzir (Pemborosan)
Tabdzir ialah memmembuang-membuang harta atau membelanjakannya untuk kegiatan yang sia-sia atau diharamkan agama. Tabdzir ialah kemungkaran yang dihentikan Allah swt. dalam surat al-Isra’ [17]: 26-27.
Ÿwur . . . öÉjt7è? #·ƒÉö7s? ÇËÏÈ   ¨bÎ) tûïÍÉjt6ßJø9$# (#þqçR%x. tbºuq÷zÎ) ÈûüÏÜ»u¤±9$# ( tb%x.ur ß`»sÜø¤±9$# ¾ÏmÎn/tÏ9 #Yqàÿx. ÇËÐÈ  
Artinya: ”Dan tidakbolehlah engkau menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu ialah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu ialah sangat ingkar kepada Tuhannya.”
2.      Mengikuti undangan setan
Kemungkaran yang terkandung dalam upacara manyanggar banua dan mammembuang pasilih adalah bahwa upacara ini mengikuti jejak langkah setan dan tipu dayanya. Firman Allah swt.:
Ÿwur . . . Nä3¯R§äótƒ «!$$Î/ ârátóø9$# ÇÎÈ   ¨bÎ) z`»sÜø¤±9$# ö/ä3s9 Arßtã çnräσªB$$sù #rßtã 4 $yJ¯RÎ) (#qããôtƒ ¼çmt/÷Ïm (#qçRqä3uÏ9 ô`ÏB É=»ptõ¾r& ÎŽÏè¡¡9$# ÇÏÈ  
Artinya: “Dan sekali-kali tidakbolehlah syaitan yang pintar menipu, memperdayakan engkau wacana Allah. Sesungguhnya syaitan itu ialah musuh bagimu, Maka anggaplah ia musuh(mu), lantaran Sesungguhnya syaitan-syaitan itu spesialuntuk mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.”
            Banyak ayat membuktikan bahwa setan itu musuh yang aktual dan perlu diwaspadai godaannya. Perlu juga ditegaskan di sini bahwa apabila setan sudah kewalahan menarik hati insan untuk berbuat dosa, maka sebagai senjata pamungkasnya, beliau mengotak-atik hawa nafsu serta pikiran picik insan sehingga insan tak ubahnya mirip kerbau yang ditarik hidungnya. Hal itu bisa dilihat pada upacara-upacara adat, penerima upacara banyak yang kesurupan termasuk dukunnya. Para pejabat yang beragama Islam, sarjana, termasuk ulama tradisionalnya turut menghadiri upacara tersebut yang sudah niscaya menyediakan tumbal, sesajen, dan kurban-kurban untuk apa yang mereka yakini sebagai roh halus penunggu serta penguasa hutan, pegunungan, sungai, lautan, dan tempat-tempat yang dianggap keramat atau angker.
Tentang orang-orang yang ikut serta dalam upacara manyanggar banua dan mammembuang pasilih tersebut, berdasarkan al-Banjari ada tiga kemungkinan aturan bagi mereka:
1.      Orang yang menghalalkan upacara tersebut dinilai kafir murtad.
2.      Orang yang tidak menghalalkannya, melainkan spesialuntuk meyakini bahwa marabahaya tidak akan tertolak kecuali dengan upacara atau dengan kekuatan yang ada pada upacara tersebut, dinilai kafir.
3.      Terdapat perbedaan evaluasi ulama wacana orang yang tidak menghalalkannya, tetapi spesialuntuk meyakini bahwa tertolaknya ancaman ialah lantaran kekuatan yang diciptakan Allah pada upacara tersebut. Sebagian ulama menilainya kafir, tetapi sebagian lainnya menilainnya bid’ah fasiq.
Dari paparan di atas terlihat terang bahwa al-Banjari sudah berupaya memurnikan kepercayaan Islam di tanah Banjar, mulai dengan pendekatan normative dengan mengajarkan aturan Islam dan pedoman kepercayaan yang benar kepada para pelaku upacara-upacara tradisional, hingga pendekatan dialogis imajinatif guna meruntuhkan argumentasi mereka. Al-Banjari juga meminta partisipasi kaum aristokrat dan pembesar negeri untuk tolong-menolong memberantas tradisi itu. Upaya al-Banjari yang terakhir ini sempurna alasannya upacara-upacara tersebut seringkali dilakukan oleh kalangan bangsawan.[8]













BAB III
PENUTUP

A.      Simpulan
Akidah artinya kepercayaan. Adapun  bentuk kepercayaan yang berkembang di masyarakat Banjar yaitu:
1.      Kepercayaan yang bersumber dari pedoman Islam
2.      Kepercayaan masyarakat zaman lampau (masa raja-raja dan sultan-sultan Banjar)
3.      Kepercayaan masyarakat yang berkaitan dengan alam sekitar,seperti manyanggar banua dan manyanggar padang.
4.      Kepercayaan memmembuang pasilih
5.      Kepercayaan paham wahdah al-wujud

B.       Saran
1.      Kepercayaan yang sudah membumi di masyarakat sekarang, sebaiknya kita cermati lagi asal-usul kepercayaan itu, biar kita tiruana tidak terjerumus ke dalam kesesatan.
2.      Al-qur’an dan Sunnah ialah pedoman dalam hidup kita, sebaiknya kita tetap terus berpegang pada kedua pedoman itu biar kita selalu di jalan yang benar dan diridha oleh Allah swt.
DAFTAR PUSTAKA

Syaltut, Syekh Mahmud, Akidah dan Syari’ah Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1994.
Hanafi, A., Ketuhanan (Sepanjang Ajaran Agama dan pemikiran Manusia),Yogyakarta: Sumbangsih, 1969.
Anwar, Khairil, Teologi Al-Banjari, Bandung: Global House Publications, 2009.
Sjarifuddin, et.al, Sejarah Banjar, Banjarmasin: Badan Penelitian dan pengembangan Daerah Propinsi Kalimantan Selatan, 2007.
Barjie B, Ahmad, Refleksi Banua Banjar (Kumpulan Tulisan Seputar Kesultanan Banjar, Sejarah Agama dan Sosial Budaya), Banjarmasin: Pustaka Agung Kesultanan Banjar, 2011.



[1]Syekh Mahmud Syaltut, Akidah dan Syari’ah Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), h. 3
[2]A. Hanafi, Ketuhanan (Sepanjang Ajaran Agama dan pemikiran Manusia),( Yogyakarta: Sumbangsih, 1969), h. 260
[3]Syekh Mahmud Syaltut, Akidah dan Syari’ah Islam,op. cit., h. 4
[4]Khairil Anwar, Teologi Al-Banjari, (Bandung: Global House Publications, 2009), h. 38-39
[5]Ibid, h. 46
[6]Sjarifuddin, et.al, Sejarah Banjar, (Banjarmasin: Badan Penelitian dan pengembangan Daerah Propinsi Kalimantan Selatan, 2007), h. 195
[7]Ahmad Barjie B, Refleksi Banua Banjar (Kumpulan Tulisan Seputar Kesultanan Banjar, Sejarah Agama dan Sosial Budaya), (Banjarmasin: Pustaka Agung Kesultanan Banjar, 2011), h. 62
[8]Khairil Anwar, Teologi Al-Banjari op.cit., h. 130

Posting Komentar untuk "Akidah Islam Dan Budaya Lokal"