Tafsir Ijmali
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an yakni kitab yang agung dan sempurna. Keagungan dan kesempurnaannya bukan spesialuntuk dirasakan oleh orang-orang yang memahami karakteristik bahasanya yaitu bahasa arab tetapi juga dirasakan oleh mereka yang mempercayai dan mengharapkan petunjuk-petunjuknya dan tiruana orang yang mengenalnya sebagai kitab yang diturunkan oleh Tuhan Yang Maha Tinggi.
Seseorang yang mempelajari dari aspek bahasanya akan ditemukan aneka macam keindahan bahasa Al-Qur’an dari susunan kata dan kalimatnya serta ketelitian dan keseimbangan redaksi-redaksinya. Keagungan dan kesempurnaan Al-Qur’an dari aspek kebahasaannya ini ialah salah satu bukti kebenaran Al-Qur’an sebagai wahyu Allah dan bukti kemukjizatan Nabi Muhammad Saw.
Keyakinan dan cita-cita untuk memperoleh petunjuk-petunjuk Al-Qur’an lebih dipahami dalam konteks bahwa Allah mempersembahkan hidayah kepada insan melalui Al-Qur’an dengan hidayah Aqidah dan syariat. Selain itu Allah juga akan mengangkat derajat suatu kaum atau merendahkan kaum yang lain dengan Al-Quran. ( H.R. Muslim dari Umar Ibn Khattab ).
Upaya memahami Al-Quran melalui acara tafsir sudah menjadi sesuatu yang amat penting. Hal ini dikarenakan bahwa Al-Quran yakni wahyu Allah yang tidak pernah habisnya untuk dikaji, diperdebatkan atau bahkan didekonstruksi. Selain itu, Al-Quran yakni kitab suci dan sumber pemikiran bagi umat Islam yang menjadi inspirator, pemandu dan pemadu gerakan-gerakan umat Islam sepanjang empat belas era sejarah pergerakan umat, sehingga pemahaman-pemahaman yang nyata dan kontekstual berperan penting bagi maju mundurnya umat Islam.
Ditinjau dari segi metode, penafsiran terhadap Al-Quran yang berkembang hingga ketika ini sanggup dibedakan menjadi empat macam, yaitu : metode tafsir tahlili ( al-manhaj al-tahlili ), metode tafsir ijmali ( al-manhaj al-ijmali ), metode tafsir muqarin ( al-manhaj al-muqarin ) dan metode tafsir maudhu’i ( al-manhaj al-maudhu’i ).
Dalam makalah ini, akan dikemukakan salah satu metode penafsiran di atas. yakni metode penafsiran ijmali pada cuilan selanjutnya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan tafsir Ijmali?
2. Bagaimana Sejarah Metode Tafsir Ijmali?
3. Apa saja langkah-langkah yang ditempuh dalam metode Tafsir Ijmali?
4. Bagaimana Analisis Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Ijmali?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Metode Tafsir Ijmali
Secara etimologi tafsir berasal dari akar kata al-fasr yang berarti menyingkap sesuatu yang tertutup, sedang kata at-tafsir berarti menyingkap maksud sesuatu lafadz yang musykil. Dan berdasarkan istilah banyak pendapat ulama dalam mendefinisikannya diantaranya adalah:
1. Al-Zarkasy dalam Al- Burhan mendefinisikan tafsir sebagai diberikut :
اﻋﻟﻢ ﯦﻌﺭﻑ ڊﻪ ﻔﻬﻡ ﻜﺗﺍﺏ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻠﻣﻧﺯﻞﻋﻟﻰ ﻧﺑﻴﮫ ﻣﺤﻣد ﺼﻟﻰ ﺍﻠﻟﮫ ﻋﻟﻳﮫ ﻮﺴﻟﻢ ﻮبيان معاﻧﻴﮫ واستخراج احكامه و حكمه.
“Tafsir yakni ilmu untuk memahami kitab Allah ( Al-Quran ) yang diturunkan kepada nabi-Nya Muhammad Saw serta menandakan makna Alquran dan mengeluarkan hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya.”
2. Al - Jurjaniy berkata:
التفسير في الاصل الكشف والاظهار, وفي الشرعي توضيخ معني الاية, شأنها وقصّتها والسبب الذي نزلت فيه بلفظ او يدل عليه دلالة ظاهرة.
“Tafsir pada asalnya yakni membuka dan menzahirkan. Pada istilah syara’ ialah menandakan makna ayat, urusannya, kisahnya dan alasannya yakni yang balasannya diturunkan ayat, dengan lafaz yang menunjuk kepadanya secara jelas.”
3. Al-Kilby dalam at Tashiel yang dikutip Hasbi Ash-Shiddieqy menyatakan:
التفسير: شرح القرآن وبيان معناه ولإفضاح بما يقتضيه بنصه او اشارته او نجواه.
“Tafsir ialah: Mensyarahkan Al-Quran, menandakan maknanya dan menandakan apa yang dikehendakinya dengan nashnya atau dengan isyaratnya, atau dengan tujuannya.”
Kata metode berasal dari bahasa Yunani, yang ialah adonan dua kata yakni metha, yang berarti menuju, melalui, mengikuti, dan kata hodos yang berarti jalan, perjalanan, cara, arah. Kata methodos sendiri berarti penelitian, metode ilmiah, hipotesa ilmiah, uraian ilmiah. Dalam bahasa Inggris, kata tersebut ditulis dengan method dan dalam bahasa Arab diterjemahkan dengan manhaj atau thariqah. Dalam bahasa Indonesia kata tersebut mengandung arti cara yang teratur terpikir baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan dan juga lainnya), cara kerja yang bersistem untuk megampangkan pelaksanaan suatu acara untuk mencapai sesuatu yang ditentukan. [1]
Kata Ijmali secara bahasa artinya ringkasan, ikhtisar, global dan penjumlahan. melaluiataubersamaini demikian tafsir ijmaliy adalah penafsiran Al-Quran yang dilakukan dengan cara mengemukakan isi kandungan Al-Quran melalui pembahasan yang bersifat umum ( global ) tanpa uraian apalagi pembahasan yang panjang dan luas, juga tidak dilakukan secara rinci.
Keterangan lain sebut bahwa metode tafsir ijmali berarti menafsirkan ayat Al-Quran yang dilengkapi dengan penjelasan yang menyampaikan bahwa sistematika penulisannya yakni berdasarkan urutan ayat dalam mushaf Al-Quran dengan bahasa yang populer, simpel dipahami, lezat dibaca dan mencakup beberapa aspek.
melaluiataubersamaini demikian, metode tafsir ijmali berarti cara sistematis untuk menerangkan atau menandakan makna-makna Al-Quran baik dari aspek hukumnya dan hikmahnya dengan pembahasan yang bersifat umum ( global ), ringkas, tanpa uraian yang panjang lebar dan tidak secara rinci tapi mencakup beberapa aspek sehingga simpel dipahami oleh tiruana orang mulai dari orang yang berpengetahuan rendah hingga orang-orang yang berpengetahuan tinggi.
Diantara beberapa kitab tafsir yang ditulis sesuai metode tafsir ijmali adalah;
1. Al-Tafsir al-farid li al-Qur’an al-Madjid, oleh Muhammad Abd. Al-Mun’im
2. Marah Labid Tafsir al-Nawawi/al-tafsir al-Munir li Ma’alim al-Tanzil, oleh Al-Syekh Muhammad nawawi al-jawi al-Bantani.
3. Tafsir al Wafiz fi Tafsir Alquran al Karim, oleh Syauq Dhaif.
4. Tafsir al Wadih oleh Muhammad Mahmud Hijazi.
5. Tafsir Alquran al Karim , oleh Mahmud Muhammad Hadan ‘Ulwan dan Muhammad Ahmad Barmiq.
6. Fath al-Bayan fi Maqashid al-Qur’an, oleh al-Mujtahid Shiddiq Hasan Khan,
7. Tafsir Alquran al- Karim, oleh Jalaluddin as Suyuthi dan Jalaluddin al Mahalliy.
Kitab-kitab tafsir di atas pada hakikatnya bukan saja bisa ditinjau dari segi metode penafsirannya saja sebagai bentuk tafsir dengan metode ijmali, tetapi boleh jadi kalau ditijnjau dari segi jenis/pendekatan maupun coraknya bisa tergolong pada jenis dan corak tafsir yang lain. Misalnya, meskipun tafsir al-Jalalain digolongan sebagai tafsir metode ijmali tapi dari segi jenis/pendekatanya digolongan pada jenis tafsir bil ra’yi.
B. Sejarah Metode Tafsir Ijmali
Ketika Al-Quran diturunkan kepada Rasulullah Muhammad Saw, fungsi dia yakni sebagai mubayyin ( pemdiberi klarifikasi ) kepada sahabat dekat-teman erat nabi wacana arti dan maksud dari kandungan al-Quran yang diwahyukan itu, terutama dalam kaitannya dengan ayat-ayat yang tergolong tidak dipahami ataupun samar artinya. Keadaan ini berlangsung sampai dengan wafatnya Rasul Saw. Posisi Rasulullah Saw dalam kaitannya dengan penafsiran Al-Quran ini dikatakan sebagai al-mufassir al-awwal ( mufassir pertama ).
Sesudah wafatnya Rasul Saw, para sahabat erat tidak mendapat lagi tempat bertanya yang selevel beliau. Akhirnya para sahabat erat melaksanakan ijtihad dalam memahami Al-Quran, khususnya mereka yang tergolong mempunyai kemampuan semacam Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, ‘Ubay bin Ka’ab dan Ibnu Mas’ud. Selain itu mereka juga tidak segan-segan untuk menanyakan suatu permasalahan sejarah, terutama sejarah nabi-nabi atau kisah-kisah yang tercantum dalam Al-Quran kepada tokoh-tokoh Ahlul kitab yang sudah memeluk Islam, menyerupai Abdullah bin Salam, Ka’ab al-Ahbar, dan lain-lain.
Perkembangan tafsir selanjutnya ditandai dengan tokoh-tokoh tafsir di atas yang mempunyai anakdidik dari kalangan tabi’in, khususnya di kota-kota tempat mereka tinggal. Sehingga lahirlah tokoh-tokoh tafsir gres dari para tabiin tersebut, diantaranya : Sa’id bin Jubair, Mujahid bin Jabr, di Makkah, yang ketika itu belajar kepada Ibnu Abbas, Muhammad bin Ka’ab, Zaid bin Aslam, di Madinah, yang belajar kepada Ubay bin Ka’ab dan Al-Hasan Al-Bashri, Amir Al-Sya’bi, di Irak, yang ketika itu belajar kepada Abdullah bin Mas’ud.
Ketiga golongan di ataslah yang pada hakikatnya sanggup disebut kelompok Tafsir bil Ma’tsur. Periode ini ialah perkembangan pertama penafsiran terhadap Al-Quran hingga sekitar tahun 150 H. Perkembangan tafsir selanjutnya berada di tangan generasi diberikutnya, yaitutabi’ al-tabi’in dengan tokoh-tokohnya antara lain Sufyan bin Uyainah, Waki’ al-Jarrah, Syu’bah al-Hajjaj, Zaid bin Harun dan Abd bin Humaid. Penulis tafsir yang terkenal pada periode ini yakni al-Waqidi ( w.207 H ), setelah itu Ibnu Jarir ath-Thabary ( w. 310 H ). Para penafsir yang hadir kemudian banyak mengutip dan mengambil materi dari tafsir ath-Thabary tersebut yang berjudul : Jami’al-Bayan.
Bersamaan dengan masa tabi’in dan tabi’ al-tab’in, perluasan Islam ke aneka macam wilayah jazirah arab maupun luar arab semakin berkembang dan meluas mencapai daerah-daerah yang masyarakatnya heterogen dan mempunyai dasar-dasar kebudayaan kuno, menyerupai Persia, Messopotamia, India, Syiria, Turki, Mesir, dan Afrika Selatan, sehingga berkembanglah ilmu pengetahuan yang dipelajari oleh kaum muslimin, menyerupai ilmu logika, filsafat, ilmu eksakta, ilmu hukum, ilmu ketabiban. Ilmu-ilmu yang disebut terakhir ini besar lengan berkuasa terhadap perkembangan tafsir Al-Quran. Dalam menafsirkan Al-Quran, para hebat tafsir tidak lagi merasa cukup dengan spesialuntuk mengutip atau tepatnya menghafal riwayat dari generasi sahabat dekat, tabi’in dan tabi’ al-tabi’in menyerupai yang diwarisinya selama ini, akan tetapi sudah mulai berorientasi pada penafsiran Al-Quran yang didasarkan pada pendekatan ilmu-ilmu bahasa pada khususnya dan penalaran-penalatan ilmiah yang lain pada umumnya. Maka pada ketika ini berkembanglah apa yang disebut dengan tafsir bil ra’yi atau tafsir bi al-dirayah. Penulis tafsir jenis ini antara lain :
- Al-Zamakhsyari, dengan karyanya Tafsir al-Kasysyaf
- al-Qurthubi dengan tafsirnya al-Jami’ li Ahkam al-Quran
- Imam Ar-Razi dengan karyanya Mafatih al-Ghaib
- Abu Hayyan Muhammad bin Yusuf al-Andalusi karyanya al-Bahr al-Muhith
- Ibn al-‘Arabi dengan tafsirnya Ahkam al-Quran, dll.
Berdasarkan uraian di atas, periodesasi sejarah perkembangan tafsir pada umumnya dibagi menjadi 3 peiode, yaitu : Pertama, periode mutaqaddimin ( abad 1 H –abad 4 H ) ; kedua, periode muta’akhirin ( era 4 H – 12 H ) ; ketiga, peride gres ( era 13 H/19 M – kini ).[3]
Jika dicermati bentuk-bentuk penafsiran terhadap Al-Quran semenjak masa Rasul Saw, sahabat erat dan tabi’in sebagaimana yang digolongkan oleh M. Quraish Shihab sebagai tafsir bil ma’tsur, boleh dikatakan sebagai dasar-dasar bagi tafsir Al-Quran yang menerapkan metode Ijmali. Tafsir bil ma’tsur yakni jenis tafsir Al-Quran dengan Al-Quran, penafsiran Al-Quran dengan As-Sunnah atau penafsiran Al-Quran berdasarkan Atsar yang timbul dari kalangan sahabat dekat.
misal tafsir al-Quran pada masa sahabat erat sepeninggal Rasul Saw yang mengindikasikan dasar-dasar metode tafsir Ijmali yakni ketika Ibnu Abbas menafsirkan kata “aulamastum” dalam surah An-Nisa [4] : 43 dengan jima’ ( bersetubuh ). Ayat tersebut yakni :
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä w (#qç/tø)s? no4qn=¢Á9$# óOçFRr&ur 3t»s3ß 4Ó®Lym (#qßJn=÷ès? $tB tbqä9qà)s? wur $·7ãYã_ wÎ) ÌÎ/$tã @@Î6y 4Ó®Lym (#qè=Å¡tFøós? 4 bÎ)ur LäêYä. #ÓyÌó£D ÷rr& 4n?tã @xÿy ÷rr& uä!$y_ Ótnr& Nä3YÏiB z`ÏiB ÅÝͬ!$tóø9$# ÷rr& ãLäêó¡yJ»s9 uä!$|¡ÏiY9$# öNn=sù (#rßÅgrB [ä!$tB (#qßJ£JutFsù #YÏè|¹ $Y7ÍhsÛ (#qßs|¡øB$$sù öNä3Ïdqã_âqÎ/ öNä3Ï÷r&ur 3
Artinya: “Hai orang-orang yang diberiman, tidakbolehlah engkau shalat, sedang engkau dalam Keadaan mabuk, sehingga engkau mengerti apa yang engkau ucapkan, (tidakboleh pula hampiri mesjid) sedang engkau dalam Keadaan junub, terkecuali sekedar silam saja, hingga engkau mandi. dan kalau engkau sakit atau sedang dalam musafir atau hadir dari tempat membuang air atau engkau sudah menyentuh perempuan, kemudian engkau tidak mendapat air, Maka bertayamumlah engkau dengan tanah yang baik (suci); sapulah muengkau dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.
Demikianlah penafsiran Rasul Saw terhadap ayat-ayat Al-Quran, demikian pula tafsir para sahabat erat nabi pada umumnya dijelaskan secara mujmal ( global ) dalam arti tidak panjang-panjang, tidak secara rinci yang bisa mengakibatkan bertele-tele. Hal ini dilakukan oleh Rasul Saw dan para sahabat erat semoga simpel dipahami oleh orang-orang yang bertanya atau pada umumnya kaum muslimin pada ketika itu. Muhammad Amin Suma menandakan bahwa salah satu karakteristik tafsir, khususnya pada masa sahabat erat yakni lebih menekankan pendekatan pada al-ma’na al-ijmali, dan tidak melakukannya dengan panjang lebar dan mendetail serta membatasi diri pada klarifikasi makna-makna lughawi ( etimologis ) dalam ungkapan sederhana dan singkat.
melaluiataubersamaini demikian metode tafsir ijmali secara historis muncul semenjak pertama perkembangan Islam, yakni zaman Rasul Saw hingga pada masa sahabat erat ( era I H ).
C. Langkah-Langkah Yang Ditempuh Dalam Metode Tafsir Ijmali
sepertiyang sudah dijelaskan pada cuilan terlampau bahwa Tafsir al-Ijmali ialah metode menandakan dan menandakan ayat-ayat Al-Quran secara global, tanpa uraian panjang lebar dan tidak rinci. Metode ini ditempuh dengan cara menafsirkan ayat-ayat Alquran berdasarkan susunan ayat-ayat yang ada di dalam mushaf Usmaniy.
Seorang mufassir memaparkan ayat demi ayat, surat demi surat secara teratur dengan klarifikasi sederhana sehingga memungkinkan seorang pembaca sanggup memahaminya, baik pembaca tersebut orang-orang yang istimewa, menyerupai tinggi ilmu pengetahuannya atau orang lain yang awam. Dalam menafsirkan ayat-ayat Al Qur'an mufassir memakai hadist Nabi, atsar salaf shalih, insiden sejarah, kisah-kisah yang termaktub di dalam Al Qur'an dan juga sebut sebab-sebab diturunkan ayat kalau ada. Tujuan asasi penafsiran dengan metode ini yakni memakai bahasa yang dipergunakan oleh jumhur untuk mendekatkan makna semoga sanggup dipahami pembaca.
melaluiataubersamaini demikian langkah-langkah yang ditempuh oleh para mufassir yang tergolong dalam metode ini antara lain :
1. Menentukan ayat Al-Quran yang akan ditafsirkan berdasarkan urutannya dalam mushaf atau berdasarkan urutan turunnya.
2. Menjelaskan makna mufradat ( kosa kata ) dengan bahasa yang sederhana dan simpel dipahami.
3. Menjelaskan makna ayat-ayat tersebut berdasarkan kaidah- kaidah bahasa arab, menyerupai menandakan aturan dhamir dan susunan kalimatnya.
4. Kadangkala juga menandakan asbabun nuzulnya dan munasabahnya.
5. Dalam penafsirannya dijelaskan dengan hadis, atsar para sahabat erat dan orang-orang shaleh terlampau atau pendapat penafsir sendiri. [4]
D. Analisis Kelebihan Dan Kekurangan
Dalam menganalisa metode tafsir ijmali, muncul pertanyaan apa keistimewaan atau kelebihan dan kelemahan metode tafsir ini ?
Suatu metode yang dilahirkan seorang manusia, selalu saja memliki kelemahan dan keistimewaan. Demikian halnya juga dengan metode tafsir ijmali ini. Namun perlu disadari keistimewaan dan kelemahan yang dimaksud disini bukanlah suatu hal yang negatif, akan tetapi referensi dalam ciri-ciri metode yang lain. Metode ijmali, sebagai salah satu metode penafsiran Alqur'an mempunyai beberaa kelebihan yang tidak dimiliki oleh tafsir-tafsir lainnya, diantara kelebihan ini adalah:
1. Jelas dan cepatdangampang di pahami.
Sesuai dengan sebutannya, tafsir ijmali ini ialah penafsiran yang dalam menafsirkan suatu ayat tidak terbelit-belit, ringkas, terang dan simpel dipahami oleh pembacanya. Selain itu juga pesan-pesan yang terkandung dalam tafsir ini, sangat simpel ditangkap oleh pembaca.
2. Bebas dari penafsiran Israiliyat.
Peluang masuknya penafsiran Israiliyat dalam metode penafsiran ini dapatdihindarkan, bahkan sanggup dikatakan sangat jarang sekali ditemukan. Hal ini disebabkan uraiannya yang singkat spesialuntuk mengemukakan tafsir dari kata-kata dalam suatu ayat dengan ringkas dan padat.
3. Akrab dengan bahasa Alquran
Uraiannya yang singkat dan padat mengakibatkan tidak dijumpainya penafsiran ayat-ayat Alquran yang keluar dari kosa kata ayat tersebut. Metode ini lebih mengedepankan makna sinonim dari kata-kata yang bersangkutan, sehingga bagi pembacanya merasa dirinya sedang membaca Alquran dan bukan membaca suatu tafsir.[5]
Adapun kelemahan yang dimiliki metode penafsiran ini diantaranya adalah:
1. Menjadikan petunjuk Al-Quran tidak utuh.
Penafsiran yang ringkas dan pendek membuat pesan Al-Quran tersebut tidak utuh dan terpecah-pecah. Padahal Al-Quran, berdasarkan Subhi As-Shaleh mempunyai keistimewaan dalam hal kecermatan dan cakupannya yang menyeluruh. Setiap kita menemukan ayat yang bersifat umum yang memerlukan makna lebih lanjut, kita niscaya menemukan pada cuilan lain, baik yang bersifat membatasi maupun memperjelas secara rinci.
2. Penafsiran dangkal atau tidak mendalam.
Metode tafsir ini tidak menyediakan ruangan untuk mempersembahkan uraian atau pembahasan yang mendalam dan memuaskan pembacanya berkenaan dengan pemahaman suatu ayat. Ini boleh disebut suatu kelemahan yang harus disadari para mufassir yang akan memakai metode ijmali ini. Akan tetapi, kelemahan yang dimaksud di sini tidaklah bersifat negatif melainkan spesialuntuklah ialah karakteristik atau ciri-ciri metode penafsiran ini.
E. misal Penafsiran Ijmali
misal dalam penafsiran Ijmali ini sanggup kita lihat pada tafsir al Jalalain, yang spesialuntuk membutuhkan beberapa baris saja ketika menafsirkan lima ayat pertama di dalam surat al Baqarah. Al Jalalain ketika menafsirkan Firman Allah QS al-Baqarah 1 memaparkan “الم” contohnya dia berkata Allah Yang Maha Tahu maksudnya.
Demikian pula halnya ketika menafsirkan Firman Allah “الكتاب” spesialuntuk menyatakan yang dibaca oleh Muhammad SAW. “لا ريب فيه” berfungsi sebagai predikat dan subjeknya yakni “ذالك”. “هدى” berfurngsi sebagai predikta kedua bagi “ذالك” yang mengandung arti memdiberi petunjuk bagi orang yang bertaqwa.
Berbeda halnya dengan imam Qurthubiy dalam tafsirnya al Jami’ Liahkamil Qur’an, yang membutuhkan tiga halaman dalam menandakan atau menafsirkan Firman Allah QS Al Baqarah 1. Imam memulai penafsiran ayat ini dengan mengemukakan pentakwilan huruf-huruf muqattha’ah di dalam Alquran. didalamnya ada beberapa pendapat diantaranya yang dikemukakan ‘Amir as Sya’biy dan Sufyan at Tsauriy beserta sekelompok muhaddistin yang menyatakan huruf-huruf muqattha’ah yakni bentuk rahasia-rahasia Allah, yang spesialuntuk Allah Mengetahuinya dan kita tidak perlu untuk mengulas dan membicarakannya. Dalam pendapat ini Qurthubiy memaparkan beberapa perkataan sahabat erat yang berkenaan dengan persoalan ini, diantaranya perkataan Abu Laist ats Tsamarqadiy dari Umar, Ustman dan Ibnu Mas’ud yang berkata: “ Huruf -huruf muqattha’ah tidak perlu untuk ditafsirkan.
Kemudian pada pendapat lainnya, imam memaparkan pendapat yang mengharuskan orang mukmin untuk mengulas dan membicarakan wacana huruf-huruf muqattha’ah, untuk mengambil faedah-faedah yang tersirat di dalamnya. Dalam pendapat ini terdapat aneka macam perbedaan pendapat lain diantaranya menyatakan bahwa huruf-huruf muqattha’ah ialah Asma Allah. Pendapat lainnya menyatakan huruf-huruf muqattha’ah ini yakni arahan dari abjad hijaiyah yang spesialuntuk Allah mengetahui maksud yang tersirat di dalamnya. Pendapat selanjutnya yakni pendapat sekelompok ulama yang menyatakan bahwa huruf-huruf muqattha’ah ini yakni diambil dari Asma Allah yang sebagian dari kata-katanya dihapus. Misalnya abjad alif diambil dari kata Allah, abjad laam diambil dari kata Jibril, dan abjad miim diambil dari kata Muhammad. Dan juga ada yang beropini lain bahwa huruf-huruf muqattha’ah ini diambil dari dari Asma Allah ketiruananya. Huruf aliif dari Allah, abjad laam dari Asma Allah Latif, dan abjad miim diambil dari Asma Allah Majiid.
Kemudian pada selanjutnya imam memaparkan pendapat lain terkena huruf-huruf muqattha’ah ini yaitu yang dikemukakan oleh Zaid bin Aslam yang menyatakan bahwa huruf-huruf muqattha’ah ini yakni nama-nama surat di dalam Alquran. selanjutnya al Kalbiy menyampaikan bahwa huruf-huruf muqattha’ah ini yakni bentuk sumpah Allah. Juga dalam pendapat-pendapat diatas imam Qurthubiy juga memaparkan beberapa perbedaan dan perdebatan ulama dalam ikhtilaf ini.
Kemudian imam mengulas kata dzalika dan kata kitab. Dalam persoalan ini imam memaparkan penafsirkan dzalika dengaan arahan kepada Alquran, yang dilakukan oleh Abu Ubaidah dan Akramah.
Megenai kata Kitab, terdapat beberapa pendapat dalam penafsirannya, diantaranya Dzalika kitab yakni kitab yang sudah Aku tulis atas makhluk-makhluk, dengan aneka macam bentuk kesedihan, kegembiraan, kematian rezeki yang tidak ada keraguan di dalamnya. Ada juga yang beropini dzalikal kitabu yakni suatu arahan kepada Lauhul Mahfuz. Yang lainnya beropini dzalikal kitabu yakni Kitab yang dijanjikan Allah kepada Nabi-Nya yang tidak akan terhapus oleh air. Juga ada yang beropini maksudnya yakni arahan kepada apa yang termaktub di dalam Taurat dan Injil, serta juga ada yang beropini kata tersebut maksudnya yakni suatu arahan akan apa yang sudah diturunkan Allah di Makkah atau yang lazim disebut surat-surat Makkiy. Serta bermacam-macam pendapat lainnya yang tidak sanggup ditulis penulis ketiruananya.
Dalam penafsirkan “فيه هدي للمتقين” juga terdapat beberapa permasalahan, dan pada makalah ini penulis akan memaparkan sebagian dari ketiruananya. Pertama, hudaa yakni petunjuk yang didapat oleh para Rasul beserta para pengikut mereka. Kedua, ada yang menafsirkan hudaa disini yakni salah satu nama sungai, lantaran sungai ialah suatu tempat yang sangat diharapkan insan dalam kehidupan sehari-harinya, sebagaimana juga hidayah/petunjuk sangat diharapkan insan untuk menemukan kebahagian hidup.
Kemudian imam memaparkan makna taqwa berdasarkan beberapa ulama, diantaranya ada yang menafsirkan taqwa yakni kebaikan, juga ada yang menafsirkan taqwa disini dengan sedikit cakap. Karena kata taqwa asalnya yakni sedikit cakap. Serta aneka macam permasalahan lainnya yang diutarakan imam Qurthubiy dalam menafsirkan ayat pertama surat al Baqarah ini.
Dari pemaparan pola dari kedua bentuk penafsiran ini, sanggup dilihat perbedaan fundamental dalam penafsiran ayat Alquran dengan memakai metode ijmali dengan perbedaannya dengan metode tafsir tahlili. Tafsir ijmali memakai metode yang ringkas dengan bahasa yang populer, simpel dimengerti, yang polanya yakni meletakkan tafsir di dalam rangkaian ayat-ayat menyerupai klarifikasi kata yang kemudian disimpulkan dengan klarifikasi yang umum.[6]
BAB III
PENUTUP
Simpulan:
Metode tafsir ijmali berarti cara sistematis untuk menerangkan atau menandakan makna-makna Al-Quran baik dari aspek hukumnya dan hikmahnya dengan pembahasan yang bersifat umum ( global ), ringkas, tanpa uraian yang panjang lebar dan tidak secara rinci tapi mencakup beberapa aspek sehingga simpel dipahami oleh tiruana orang mulai dari orang yang berpengetahuan rendah hingga orang-orang yang berpengetahuan tinggi.
Semua jenis, metode dan corak tafsir Al-Quran mempunyai kelebihan dan belum sempurnanya. Maka, metode tafsir Ijmali niscaya juga mempunyai kelebihan dan belum sempurnanya.
Adapun kelebihannya antara lain :
· Jelas dan cepatdangampang di pahami.
· Bebas dari penafsiran Israiliyat.
· Akrab dengan bahasa Alquran
Sedangkan belum sempurnanyanya antara lain :
· Menjadikan petunjuk Al-Quran bersifat parsial.
· Terlalu dangkal dan berwawasan sempit
DAFTAR PUSTAKA
· M. Hasybiy as Shiddiqiy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al Qur'an dan Tafsir, Jakarta: Bulan Bintang Indonesia, 1992.
· Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Quran, Cet.I, Yogyakarya : Pustaka Pelajar, 1998.
· Rosihan Anwar, Ilmu Tafsir, Cet.III, Bandung : Pustaka Setia, 2005.
· https://tombakilmukita.blogspot.com//search?q=metode-tafsir-ijmali (Tanggal 19 Maret 2013, Selasa pada jam 11.05 Wit).
· https://tombakilmukita.blogspot.com//search?q=metode-tafsir-ijmali (Tanggal 21 maret 2013, Kamis pada jam 11.00 Wit).
[1] M. Hasybiy as Shiddiqiy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al Qur'an dan Tafsir (Jakarta: Bulan Bintang Indonesia, 1992), h. 178.
[2] Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Quran, Cet.I, (Yogyakarya : Pustaka Pelajar, 1998), h. 13.
https://tombakilmukita.blogspot.com//search?q=metode-tafsir-ijmali (Tanggal 19 Maret 2013, Selasa pada jam 11.05 Wit).
https://tombakilmukita.blogspot.com//search?q=metode-tafsir-ijmali (Tanggal 21 maret 2013, Kamis pada jam 11.00 Wit).
Posting Komentar untuk "Tafsir Ijmali"