Sejarah Terbentuknya Mahkamah Konstitusi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Konstitusi didefinisikan sebagai suatu kerangka masyarakat politik (negara) yang diorganisir dengan dan melalui aturan kehidupan secara umum yang dikerjakan oleh para budak yang berada di luar batas kewargguagaraan.[1] Sedangkan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yaitu suatu lembaga tertinggi negara yang gres yang sederajat dan sama tinggi kedudukannya dengan Mahkamah Agung (MA). Dan Indonesia ialah negara yang ke tujuh puluh delapan yang mempunyai lembaga pengadilan konstitusionalitas yang didiberikan kewenangan menguji materiil sebuah undang-undang. Sehingga dalam hal undang-undang Mahkamah Konstitusilah yang mempunyai wewenang penuh dalam menguji undang-undang tersebut. Selain itu Mahkamah Konstitusi juga mempunyai wewenang dalam membubarkan partai politik, memutuskan sengketa hasil pemilu dan pemecatan presiden dan wakil presiden apabila melaksanakan pelanggaran hukum.
Sehingga dari paparan latar belakang di atas, penulis tertarik untk menggali lebih dalam terkena Mahkamah Konstitusi ini, baik itu terkena sejarah terbentuknya, wewenangnya, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan Mahkamah Konstitusi. Untuk lebih detail lagi terkena Mahkamah Konstitusi ini akan dipaparkan dalam cuilan selanjutnya.
B. Rumusan Masalah
- Bagaimana sejarah terbentuknya Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut?
- Apa saja wewenang yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi (MK)?
- Apa saja kasus-kasus yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam menyelesaikannya?
C. Tujuan Penulisan Makalah
- Untuk mengetahui bagaimana sejarah terbentuknya Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut.
- Untuk mengetahui apa saja wewenang yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
- Untuk mengetahui apa saja kasus-kasus yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam menyelesaikannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Terbentuk Mahkamah Konstitusi (MK)
Sejarah berdirinya lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) dipertamai dengan diadopsinya wangsit MK (Constitutional Court) dalam amandemen konstitusi yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 2001 sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B Undang-Undang Dasar 1945 hasil Perubahan Ketiga yang disahkan pada 9 Nopember 2001. Ide pembentukan MK ialah salah satu perkembangan pemikiran aturan dan kenegaraan modern yang muncul di masa ke-20. Sesudah disahkannya Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 maka dalam rangka menunggu pembentukan MK, MPR memutuskan Mahkamah Agung (MA) menjalankan fungsi MK untuk sementara sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 hasil Perubahan Keempat.
DPR dan Pemerintah kemudian membuat Rancangan Undang-Undang terkena Mahkamah Konstitusi. Sesudah melalui pembahasan mendalam, DPR dan Pemerintah menyetujui secara bersama UU Nomor 24 Tahun 2003 ihwal Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003 dan disahkan oleh Presiden pada hari itu (Lembaran Negara Nomor 98 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316).Dua hari kemudian, pada tanggal 15 Agustus 2003, Presiden melalui Keputusan Presiden Nomor 147/M Tahun 2003 hakim konstitusi untuk pertama kalinya yang dilanjutkan dengan pengucapan sumpah jabatan para hakim konstitusi di Istana Negara pada tanggal 16 Agustus 2003.Lembaran perjalanan MK selanjutnya ialah pelimpahan kasus dari MA ke MK, pada tanggal 15 Oktober 2003 yang menandai mulai beroperasinya acara MK sebagai salah satu cabang kekuasaan kehakiman berdasarkan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945.[2]
B. Kewenangan Yang Di Miliki Mahkamah Konstitusi
Ada empat kewenangan dan satu kewajiban Mahkamah Konstitusi yang sudah ditentukan dalam Undang-Undang Dasar 1945 perubahan ketiga Pasal 24C ayat (1) yaitu:[3]
- Menguji (judicial review) undang-undang terhadap UUD.
- Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya didiberikan oleh UUD.
- Memutuskan pembubaran partai politik.
- Memutus perselisihan ihwal hasil pemilihan umum.
- Selain itu, Mahkamah Konstitusi juga mempunyai kewajiban mempersembahkan putusan atas pendapat DPR terkena dugaan pelanggaran aturan oleh presiden dan wakil presiden berdasarkan UUD.
melaluiataubersamaini demikian ada empat kewenangan dan satu kewajiban konstitusional bagi Mahkamah Konstitusi. Pengadilan yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi ialah pengadilan tinggal pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. Artinya, tidak ada upaya aturan lain atas putusan Mahkamah Konstitusi, ibarat yang terjadi pada pengadilan lain.
C. Kasus-Kasus Yang Menjadi Kewenangan Mahkamah Konstitusi
- Perselisihan Hasil Pemilihan Umum
Berdasarkan Pasal 22E ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, pemilihan umum bertujuan untuk menentukan presiden dan wakil presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Preisden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Peserta Pemilihan Umum itu ada tiga, yaitu pertama, pasangan calon presiden/wakil presiden, kedua, partai politik penerima pemilihan umum anggota DPR dan DPRD, dan ketiga, (perorangan calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Sedangkan penyelenggara pemilihan umum ialah Komisi Pemilihan Umum yang diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan Umum (PANWASLU). Apabila timbul perselisihan pendapat antara penerima pemilihan umum dengan penyelenggara pemilihan umum, dan perselisihan itu tidak sanggup diselesaikan sendiri oleh para pihak, maka hal itu sanggup diselesaikan melalui proses peradilan di Mahkamah Konstitusi.
Yang menjadi duduk kasus yang diselesaikan di Mahkamah Konstitusi ialah soal perselisihan perhitungan perolehan bunyi pemilihan umum yang sudah dtetapkan dan diumumkan secara nasional oleh Komisi Pemilihan Umum, dan selisih perolehan bunyi dimaksud besar lengan berkuasa terhadap dingklik yang diperebutkan. Jika terbukti bahwa selisih peroleh bunyi tersebut tidak besar lengan berkuasa terhadap peroleh dingklik yang diperebutkan, maka kasus yang dimohonkan akan ditetapkan tidak sanggup diterima (niet ontvankelijk verklaard). Jika selisih yang dimaksud memang berpengaruh, dan bukti-bukti yang diajukan kuat dan beralasan, maka ajakan dikabulkan dan perolehan bunyi yang benar diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi sehingga perolehan dingklik yang diperebutkan akan jatuh ke tangan pemohon yang permintaannya dikabulkan. Sebaliknya, kalau ajakan tidak beralasan atau dalil-dalil yang diajukan tidak terbukti, maka ajakan pemohon akan ditolak. Ketentuan-ketentuan ini berlaku baik untuk pemilihan anggota DPR, DPD, DPRD, maupun untuk pasangan capres/cawapres.[4]
- Pembubaran Partai Politik
Kebebeasan Partai politik dan berpartai ialah cermin kebebasan berserikat yang dijamin dalam Pasal 28 jo Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Oleh lantaran itu, setiap orang, sesuai ketentuan Undang-Undang bebas mendirikan dan ikut serta dalam acara partai politik. Karena itu, pembubaran partai politik bukan oleh anggota partai politik yang bersangkutan ialah tindakan yang berperihalan dengan konstitusi atau inkonstitusional. Untuk menjamin dukungan terhadap prinsip kebebasan berserikat itulah maka disediakan mekanisme bahwa pembubaran suatu partai politik haruslah ditempuh melalui mekanisme peradilan konstitusi. Yang didiberi hak “standing” untuk menjadi pemohon dalam kasus pembubaran partai politik ialah Pemerintah, bukan orang per orang atau kelompok orang. Yang berwenang memutuskan benar tidaknya dalil-dalil yang dijadikan alasan tuntutan pembubaran partai politik itu ialah Mahkamah Konstitusi.
melaluiataubersamaini demikian, prinsip kemerdekaan berserikat yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar tidak dilanggar oleh para penguasa politik yang pada pokoknya juga ialah orang-orang partai politik lain yang kebetulan memenangkan pemilihan umum. melaluiataubersamaini mekanisme ini, sanggup pula dihindarkan timbulnya tanda-tanda dimana penguasa politik yang memenangkan pemilihan umum memberangus partai politik yang kalah pemilihan umum dalam rangka persaingan yang tidak sehat menjelang pemilihan umum tahap diberikutnya.
- Penuntutan Pertanggungjawabanan Presiden/Wakil Presiden
Perkara penuntutan pertanggungjawabanan presiden atau wakil presiden dalam istilah resmi Undang-Undang Dasar 1945 ditetapkan sebagai kewajiban Mahkamah Konstitusi untuk memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wapres sudah melaksanakan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya. Atau perbuatan tercela atau pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wapres tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan Wakil Pesiden.
Dalam hal ini, harus diingat bahwa Mahkamah Konstitusi bukanlah lembaga yang memberhentikan Presiden atau Wakil Presiden. Yang memberhentikan dan kemudian menentukan penggantinya ialah Majelis Permusyawaratan Rakyat. Mahkamah Konstitusi spesialuntuk memutuskan apakah pendapat DPR yang meliputi tuduhan (a) bahwa Presiden dan/atau Wapres sudah melanggar hukum, (b) bahwa Presiden dan/atau Wapres sudah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, terbukti benar secara konstitusional atau tidak. Jika terbukti, Mahkamah Konstitusi akan menyatakan bahwa pendapat DPR tersebut ialah benar dan terbukti, sehingga atas dasar itu, DPR sanggup melanjutkan langkahnya untuk mengajukan usul pemberhentian atas Presiden dan/atau Wapres tersebut kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Sejauh menyangkut pembuktian aturan atas unsur kesalahan lantaran melaksanakan pelanggaran aturan atau kenyataan bahwa Presiden dan/atau Wapres sudah tidak lagi memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945, maka putusan Mahkamah Konstitusi itu bersifat final dan mengikat. DPR dan MPR tidak berwenang mengubah putusan final MK dan terikat pula untuk menghormati dan mengakui keabsahan putusan MK tersebut. Namun, kewenangan untuk meneruskan tuntutan pemberhentian ke MPR tetap ada di tangan DPR, dan kewenangan untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wapres yang bersangkutan tetap berada di tangan MPR.
INI yang banyak dipersoalkan orang lantaran ada saja kemungkinan bahwa MPR ataupun MPR tidak meneruskan proses pemberhentian itu sebagaimana mestinya, mengingat baik DPR maupun MPR ialah lembaga politik yang sanggup bersifat dinamis. Akan tetapi, sejauh menyangkut putusan MK, kedudukannya sangat terperinci bahwa putusan MK itu secara aturan bersifat final dan mengikat dalam konteks kewenangan MK itu sendiri, yaitu memutus pendapat DPR sebagai pendapat yang mempunyai dasar konstitusional atau tidak, dan berkenaan dengan pembuktian kesalahan Presiden/Wakil Presiden sebagai pihak termohon, yaitu benar-tidaknya yang bersangkutan terbukti bersalah dan bertanggungjawaban.
- Pengujian Undang-Undang dan Pemisahan MK dan MA
Kewenangan terakhir dan yang justru yang paling penting dari keempat kewenangan ditambah satu kewajiban (atau sanggup pula disebut kelima kewenangan) yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ialah kewenangan menguji konstitusionalitas undang-undang. Tanpa harus mengecilkan arti pentingnya kewenangan lain dan apalagi tidak cukup ruang untuk mengulasnya dalam makalah singkat ini, maka dari kelima kewenangan tersebut, yang sanggup dikatakan paling banyak mendapat sorotan di dunia ilmu pengetahuan ialah pengujian atas konstitusionalitas UU.
Pengujian atas Undang-Undang dilakukan dengan tolok ukur Undang-Undang Dasar. Pengujian sanggup dilakukan secara materiel atau formil. Pengujian materiel menyangkut pengujian atas materi UU, sehingga yang dipersoalkan harus terperinci cuilan mana dari UU yang bersangkutan berperihalan dengan ketentuan mana dari UUD. Yang diuji sanggup terdiri spesialuntuk 1 bab, 1 pasal, 1 kaimat ataupun 1 kata dalam UU yang bersangkutan. Sedangkan pengujian formil ialah pengujian terkena proses pembentukan UU tersebut menjadi UU apakah sudah mengikuti mekanisme yang berlaku atau tidak.
Sejarah pengujian (judicial review) sanggup dikatakan dimulai semenjak kasus Marbury versus Madison dikala Mahkamah Agung Amerika Serikat dipimpin oleh John Marshall pada tahun 1803. Sejak itu, wangsit pengujian UU menjadi terkenal dan secara luas didiskusikan dimana-mana. Ide ini juga mempengaruhi sehingga ‘the fouding fathers’ Indonesia dalam Sidang BPUPKI tanggal 15 Juli 1945 mendikusikannya secara mendalam. Adalah Muhammad Yamin yang pertama sekali mengusulkan biar MA didiberi kewenangan untuk membanding undang-undang. Akan tetapi, wangsit ini ditolak oleh Soepomo lantaran dinilai tidak sesuai dengan paradigma yang sudah disepekati dalam rangka penyusunan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu bahwa Undang-Undang Dasar Indonesia itu menganut sistem supremasi MPR dan tidak menganut pedoman ‘trias politica’ Montesquieu, sehingga tidak memungkinkan wangsit pengujian UU sanggup diadopsikan ke dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Namun, sekarang, setelah Undang-Undang Dasar 1945 mengalami perubahan 4 kali, paradigma pemikiran yang terkandung di dalamnya terperinci sudah berubah secara mendasar. Sekarang, Undang-Undang Dasar 1945 tidak lagi mengenal prinsip supremasi DPR ibarat sebelumnya. Jika sebelumnya MPR dianggap sebagai pelaku kedaulatan rakyat sepenuhnya dan sebagai penjelmaan seluruh rakyat yang mempunyai kedudukan tertinggi dan dengan kekuasaan yang tidak terbatas, maka kini setelah Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar 1945 MPR itu bukan lagi lembaga satu-satunya sebagai pelaku kedaulatan rakyat.
Karena Presiden dan Wapres dipilih secara eksklusif oleh rakyat, maka di samping MPR, DPR dan DPD sebagai pelaku kedaulatan rakyat di bidang legislatif, kita harus pula memahami kedudukan Presiden dan Wapres juga sebagai pelaku kedaulatan rakyat di bidang direktur dengan mendapat mandat eksklusif dari rakyat melalui pemilihan umum. Di samping itu, lantaran semenjak Perubahan Pertama hingga Keempat, sudah terjadi proses pergeseran kekuasaan legislatif dari tangan Presiden ke tangan DPR, maka mau tidak mau kita harus memahami bahwa Undang-Undang Dasar 1945 kini menganut prinsip pemisahan kekuasaan yang tegas antara cabang-cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan judiktif dengan mengandaikan adanya relasi ‘checks and balances’ antara satu sama lain. Oleh lantaran itu, tiruana argumen yang digunakan oleh Soepomo untuk menolak wangsit pengujian undang-undang ibarat tergambar di atas, cukup umur ini, sudah mengalami perubahan, sehingga fungsi pengujian undang-undang itu tidak sanggup lagi dihindari dari penerapannya dalam sistem ketatguagaraan Indonesia di bawah Undang-Undang Dasar 1945.
D. Susunan Organisasi Dalam Mahkamah Konstitusi
Organisasi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia terdiri atas tiga komponen yaitu:
- Para hakim
Para hakim konstitusi yang terdiri atas 9 (sembilan) orang sarjana aturan yang mempunyai kualifikasi negarawan yang menguasai konstitusi ditambah dengan syarat-syarat kualitatif lainnya dengan masa dedikasi untuk lima tahun dan sesudahnya spesialuntuk sanggup dipilih kembali spesialuntuk untuk satu periode lima tahun diberikut. Dari antara para hakim itu dipilih dari dan oleh mereka sendiri seorang Ketua dan seorang Wakil Ketua, masing-masing untuk masa jabatan 3 tahun. Untuk menjamin independensi dan imparsialitas kinerjanya, kesembilan hakim itu ditentukan oleh tiga lembaga yang tidak sama, yaitu 3 orang sipilih oleh DPR, 3 orang ditunjuk oleh Mahkamah Agung, dan 3 orang lainnya ditentukan oleh Presiden. Sesudah terpilih, kesembilan orang tersebut diputuskan sebagai hakim konstitusi dengan Keputusan Presiden. Mekanisme rekruitmen yang demikian itu dimaksudkan untuk menjamin biar kesembilan hakim Mahkamah Konstitusi itu benar-benar tidak terikat spesialuntuk kepada salah satu lembaga Presiden, DPR ataupun MA. Dalam menjalankan tugasnya, Mahkamah Konstitusi diperlukan benar-benar sanggup bersifat independen dan imparsial.
Kesembilan orang hakim itu bahkan sanggup dipandang sebagai sembilan institusi yang bangkit sendiri secara otonom mencerminkan 9 pilar atau 9 pintu kebenaran dan keadilan. Dalam bekerja, kesembilan orang itu bahkan diperlukan sanggup mencerminkan atau mewakili ragam pandangan masyarakat luas akan rasa keadilan. Jikalau dalam masyarakat terdapat 9 aliran pemikiran ihwal keadilan, maka kesembilan orang hakim konstitusi itu hendaklah mencerminkan kesembilan aliran pemikiran tersebut. Keadilan dan kebenaran konstitusional justru terletak dalam proses perdebatan dan bahkan pertarungan kepentingan untuk mencapai putusan selesai yang akan dijatukah dalam persidangan Mahkamah Konstitusi. Karena itu, persidangan Mahkamah Konstitusi selalu harus dihadiri 9 orang dengan pengecualian kalau ada yang berhalangan, maka jumlah hakim yang bersidang dipersyaratkan sekurang-kurangnya 7 orang. Karena itu pula, sanggup dikatakan bahwa Mahkamah Konstitusi spesialuntuk mengenal satu majelis hakim, tidak ibarat di Mahkamah Agung.
b. Sekretariat jenderal.
Sekretariat jenderal Mahkamah Konstitusi yang berdasarkan ketentuan UU No. 24 Tahun 2003 dipisahkan dari organisasi kepaniteraan. Pasal 7 UU ini menyatakan: “Untuk kelancaran pelaksanaan kiprah dan wewenangnya, Mahkamah Konstitusi dimenolong oleh sebuah Sekretariat Jenderal dan kepaniteraan. Penjelasan pasal ini menegaskan bahwa Sekretariat Jenderal menjalankan kiprah teknis administratif.
- Kepaniteraan.
Kepaniteraan menjalankan kiprah teknis manajemen justisial. Pembedaan dan pemisahan ini tidak lain dimaksudkan untuk menjamin biar manajemen peradilan atau manajemen justisial di bawah kepaniteraan tidak tergabung aduk dengan manajemen non justisial yang menjadi tanggungjawaban sekretariat jenderal. Baik sekretariat jenderal maupun kepaniteraan masing-masing dipimpin oleh seorang pejabat tinggi yang diputuskan dengan Keputusan Presiden. melaluiataubersamaini demikian, Sekretaris Jenderal dan Panitera sama-sama mempunyai kedudukan sebagai Pejabat Eselon 1a. Panitera dan Panitera Pengganti memang ialah jabatan fungsional, bukan struktural. Akan tetapi, khusus untuk Panitera diangkat dengan Keputusan Presiden dan lantaran itu disetarakan dengan Pejabat Struktural Eselon 1a. Untuk menjamin kemandirian MK di bidang finansial, maka UU No.24/2003 juga menegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) mempunyai mata anggaran tersendiri dalam APBN.
E. Mahkamah Konstitusi Penjaga Demokrasi Konstitusional
Demokrasi Indonesia yang akan ditata ialah demokrasi yang dibingkai dengan norma-norma kostitusi yang terdapat daalm Undang-Undang Dasar 1945. Demokrasi Indonesia tidak identik dengan vox populi vox dei (suara rakyat ialah bunyi Tuhan) dan juga demokrasi Indonesia tidak sinonim dengan bunyi dominan ialah suatu kebenaran. Ukuran kebenaran dalam demokrasi Indonesia ialah norma aturan konstitusi. Oleh lantaran itu biar derap demokrasi sanggup berupa sesuai sumbu kostitusi, maka demokrasi itu harus dijaga. Di sinilah posisi Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai penjaga konstitusi harus senantiasa menjaga demokrasi sebagai pelaksana dari norma kostitusi.[5]
Pelaksanaan demokrasi konstitusi terlihat dalam perwujudan antara lain:
1. Pelaksanaan pemilihan umum (pemilihan umum DPR, DPD, DPRD, Presiden, Wapres dan Kepala Pemerintahan Daerah).
2. Pelaksanaan norma-norma konstitusi dalam bentuk undang-undang (UU).
3. Pelaksanaan kewenangan lembaga Negara.
Dalam penyelengaraan pemilihan umum akan muncul sengketa hasil perhitungan perolehan bunyi dalam pelaksanaan norma undang-undang muncul pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar dan dalam pelaksanaan kewenangan sanggup muncul sengketa kewenangan antar lembaga negara. Norma undang-undang yang sudah disahkan oleh DPR dan Presiden secara demokratis apabila ternyata mekanisme pembentukannya atau substansi norma tersebut berperihalan dengan konstitusi, maka oleh Mahkamah Konstitusi norma undang-undang tersebut sanggup ditetapkan tidak mempunyai kekuatan aturan mengikat, alias dibatalkan. Jadi, dalam demokrasi tidak dibenarkan muncul akad yang berperihalan dengan konstitusi.[6]
Demikian halnya sebuah kewenangan yang dimiliki oleh suatu lembaga Negara dilarang digunakan seenaknya, alasannya ialah kalau kewenangan tersebut menabrak rambu konstitusi, maka Mahkamah Konstitusi berwenang mencabutnya, tentu saja setelah melalui proses persidangan Mahkamah Konstitusi. Pemilihan umum sebagai perwujudan system demokrasi konstitusional dalam praktiknya sering kali menimnulkan perselisihan hasil perhitungan pemilu antara KPU sebagai penyelenggara pemilihan umum dengan penerima pemilu. Apabila terjadi perselisihan demikian, maka Mahkamah Konstitusilah yang akan memutus perhitungan yang benar.[7]
Selain itu Mahkamah Konstitusi didiberi kewenangan membubarkan partai politik atas ajakan pemerintah, serta Mahkamah Konstitusi wajib memutuskan pendapat DPR yang menganggap presiden atau wakil presiden sudah melaksanakan pelanggaran aturan berupa pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan wakil presiden (Pasal 7A Undang-Undang Dasar 1945).[8]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sejarah berdirinya lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) dipertamai dengan diadopsinya wangsit MK (Constitutional Court) dalam amandemen konstitusi yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 2001. DPR dan Pemerintah kemudian membuat Rancangan Undang-Undang terkena Mahkamah Konstitusi. Sesudah melalui pembahasan mendalam, DPR dan Pemerintah menyetujui secara bersama UU Nomor 24 Tahun 2003 ihwal Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003 dan disahkan oleh Presiden pada hari itu (Lembaran Negara Nomor 98 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316).
Ada empat kewenangan dan satu kewajiban Mahkamah Konstitusi yang sudah ditentukan dalam Undang-Undang Dasar 1945 perubahan ketiga Pasal 24C ayat (1) yaitu menguji (judicial review) undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya didiberikan oleh UUD, memutuskan pembubaran partai politik, memutus perselisihan ihwal hasil pemilihan umum, dan memberhentikan presiden dan wakil presiden apabila melanggar hukum.
B. Saran
Negara Indonesia ialah negara yang demokrasi, sepatutnya kita sebagai masyarakat negara Indonesia harus benar-benar menjunjung tinggi nilai demokrasi. Seperti halnya dalam pemilihan Pemilu presiden dan wakil presiden, harus dilakukan dengan jujur tanpa adanya niat iming-iming atau suap yang sanggup merusak nilai gambaran negara.
DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie, Jimly, Kedudukan Mahkamah Konstitusi, http://www.jimly.com/makalah/namafile/23/KEDUDUKAN_MK.doc diakses Senin, tanggal 23 Desember 2013.
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.ProfilMK&id=1 diakses Minggu, tanggal 22 Desember 2013.
Soehino, Ilmu Negara, Yogyakarta: tt, 1983.
Strong, C.F., Konstitusi-Konstitusi Politik Modern, Bandung: Nusa Media, 2011.
Syahuri, Taufiqurrohman, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum, Cetakan I, Jakarta: Kencana, 2011.
[1] C.F. Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern, (Bandung: Nusa Media, 2011), h 24
[2] http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.ProfilMK&id=1 diakses Minggu, tanggal 22 Desember 2013 jam 16:00 Wita.
[3] Taufiqurrohman Syahuri, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum, Cetakan I, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 111
[4] Jimly Asshiddiqie , Kedudukan Mahkamah Konstitusi, http://www.jimly.com/makalah/namafile/23/KEDUDUKAN_MK.doc diakses Senin, tanggal 23 Desember 2013, jam 19:00 Wita.
[5] Soehino, Ilmu Negara, (Yogyakarta: tt, 1983), h. 50
[6] Taufiqurrohman Syahuri, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum, op.cit., h. 176
[7] ibid
[8] Ibid, h. 177
Posting Komentar untuk "Sejarah Terbentuknya Mahkamah Konstitusi"