Sejarah Peraturan Aturan Keluarga
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Dalam aturan Indonesia perkawinan mendapat perhatian tersendiri. Secara substantif, aturan perkawinan Indonesia ialah klasifikasi aturan perkawinan dalam Islam. Sebagai negara dengan penduduk terbesar di dunia, masuk akal jikalau bangsa Indonesia menjadikan Islam sebagai referensi perundang-undangan, termasuk dalam perkawinan.
Dalam tujuannya, UU Perkawinan berfungsi sebagai guide bagi pelaksana perkawinan dalam rangka menjaga nilai luhur sebuah perkawinan. Dalam Islam perkawinan bertujuan membentuk keluarga yang harmonis, sejahtera, dan berkarakter; keluarga yang berkarakter. Secara spiritual dan juga material. Secara spiritual, keluarga yakni wadah yang mempersembahkan nuansa kesalehan spiritual dengan menjadikan anggotanya sebagai makhluk yang taat beragama.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana Sejarah Peraturan Hukum Keluarga?
2. Bagaimana Konsep Peraturan Hukum Keluarga?
BAB II
PEMBAHASAN
A. SEJARAH AWAL PERKEMBANGAN HUKUM KELUARGA
Beberapa mahir sebut aturan Islam yang berkembang di Indonesia bercorak syafiiyah. Ini ditunjukan dengan bukti-bukti sejarah diantarnya, Sultan Malikul Zahir dari Samudra Pasai yakni spesialis agama dan aturan Islam populer pada pertengahan kala ke XIV M. Melalui kerajaan ini, aturan islam Mazhab Syafi’i disebarkan ke kerajaan-kerajaan Islam lainnya ke kepulauan Nusantara. Bahkan para mahir aturan dari kerajaan Malaka (400-500 M) sering hadir ke Samudra Pasai untuk mencari kata putus permasalahan-permasalahan aturan yang muncul di Malaka.
Selanjutnya Nuruddin ar-Ramri (w.068 H/658 M) yang menulis aturan Islam berjudul Sirat al-Mustaqim pada tahun 682 sanggup disebut tokoh Islam kala XVII M. Kitab Sirat al-Mustaaqim ialah buku Islam yang pertama yang disebar luaskan keseluruh Nusantara. Kemudian pada kala XVIII M, tokoh Islam dalam bidang aturan Islam yakni Syekh Irsyah al-Basyari (70-82 M). Ia menulis kitab fikih yang berjudul Sabil al-Muhtadin Li Tafaqquh Fi Amr al-Din, yang bercorak Syafiiyah, ia dijadikan anutan untuk menuntaskan sengketa di Kesultanan Banjar.
Memasuki kala XIX M, Tokoh yang layak diperhitungkan yakni Syaikh Nawawi al-Bantani yang lahir di Banten (Serang) (83-879 M), karya Fikihnya yang sangat populer yakni Uqud al-Lujain (terkena kewajiban suami isteri) yang ialah kitab wajib bagi santri-santri di pesantren-pesantren di Indonesia hingga ketika ini. Corak Syafiiyyah tidak saja terlihat dari kitab-kitab yang ditulis dan digunakan, tetapi tampak pada praktik keagamaan umat Islam sehari-hari.
Menarik untuk dicermati, perkembangan aturan Islam di Indonesia pada masa-masa menjelang kala XVII,XVIII, dan XIX M baik pada tataran intelektual dalam bentuk pemikiran dan kitab-kitab juga dalam praktik-praktik keagamaan sanggup dikatakan cukup baik. Dikatakan cukup baik lantaran aturan Islam di praktikkan oleh masyarakat dalam bentuk yang hampir biasa dikatakan sempurna, mencangkup masalah muamalah, ahwal al-syakhsiyah (perkawinan,perceraian dan warisan), peradilan, dan tentu saja dalam masalah ibadah. Tidak itu saja, aturan Islam menjadi sistem aturan berdikari yang dipakai di Kerajaan-kerajaan Islam Nusantara. Tidaklah salah jikalau dikatakan pada masa itu jauh sebelum Belanda menancapkan kakinya di Indonesia. Hukum Islam menjadi aturan yang konkret di Nusantara.
B. KONSEP PERATURAN HUKUM KELUARGA
Pembentukan aturan di Indonesia, dalam arti pembangunan aturan Nasional bekerjsama sudah berlangsung semenjak tahun 1970-an dan hingga ketika ini belum dilakukan penilaian secara fundamental dan komprehensif terhadap kinerja model aturan sebagai masukana pembaharuan masyarakat. Selama ini ukuran keberhasilan pembangunan aturan selalu dilihat dari segi jumlah produk aturan yang sudah dihasilkan oleh forum yang berhak mengesahkan Undang-undang.
Dari perjalanan sejarah Indonesia, ia senantiasa berada dalam efek kekuatan politik. Oleh lantaran itu, kongfigurasi pembentukan aturan islam di Indonesia selalu diiringi dengan verted interest politik. Di Indonesia, proses pembentukan aturan Islam ke dalam aturan nasinonal ditandai dengan masuknya beberapa aspek Islam ke dalam Undang-undang, baik yang pribadi sebut dengan istilah aturan Islam, maupun yang tidak sebut langsung. Pembentukan aturan Islam ke dalam aturan nasional memang menjadikan masalah baru, artinya harus ada unifikasi aturan meskipun mempunyai sisi konkret dalam hal memenuhi kebutuhan aturan bagi umat Islam. Untuk itu, diharapkan unifikasi dan ini tidak sanggup terjadi dengan sendirinya, melainkan diharapkan kekuatan politik. Pembentukan aturan Islam ke dalam aturan nasional tidak perlu seluruhnya dilakukan. Ketentuan aturan Islam yang perlu dijadikan aturan nasional yakni aturan yang pelaksanaannya memerlukan menolongan kekuatan negara dan berkorelasi dengan ketertiban hukum. Adapun metode-metode pembaharuan aturan keluarga Islam yaitu ada dua, yaitu :
1. Metode Konvensional
Dalam penerapan metode konvensional, para ulam terlihad dalam diberijtihad dan menerapkan pandangan hukumnya dengan mencatat ayat Al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad. Para mahir menetapkan, ada beberapa ciri khas atau karakteristik metode penetapan aturan Islam (fiqih) yaitu :
Menggunakan pendepatan parsial (global), kurang mempersembahkan perhatian terhadap sejarah, terlalu menekankan pada kajian teks atau harfiah, metodologi fiqh seperti terpisah dengan metodologi tafsir, terlalu banyak dipengaruhi budaya-budaya dan tradisi-tradisi setempat, dan dalam beberapa masalah di dalamnya meresap praktek-praktek bid’ah dan kufarah, khususnya yang berkaitan dengan ibadah. Masuknya unsur politik di dalamnya atau efek kepentingan penguasa dalam menerapkan teori-teori fiqih.
2. Metode Kontemporer
Pada prinsipnya metode pembaharuan yang dipakai dalam melaksanakan kodifikasi aturan Islam Kontemporer ada empat, yaitu :
- Takhayyur yaitu menentukan pandangan salah satu ulama fiqih, termasuk ulama diluar madzhab, takhayyur secara substansial disebut tarjih.
- Talfiq, yaitu mengkombinasikan sejumlah pendapat ulama (dua atau lebih) dalam memutuskan aturan satu masalah.
- Takhshish al-Qadha, yaitu hak Negara membatasi kewenangan peradilan baik dari segi orang, wilayah, yuridiksi dan aturan program yang diputuskan.
- Siyasah syari’ah, yaitu kebijakan penguasamenerapkan peraturan yang bermanfaa bagi rakyat dan tidak berperihalan dengan syariah, reinterprestasi nash terhadap nash ( Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW).
Dasar pertimbangan yang dipakai dalam memakai metode-metode tersebut di atas ada minimal 2 yakni : mashlahah mursalah dan konsep yang lebih sejalan dengan tuntutan dan perubahan zaman. Adapun produk aturan nasional yang bersumber dari aturan Islam di bidang keluarga :
1. Undang-Undang no 1/1974 tentang perkawinan
Peranan aturan Islam dalam problem perkawinan bagi muslim Indonesia dengan terperinci tercantum pada pasal 2 ayat (1) yang berbunyi : “ perkawinan yakni sah apabila dilakukan berdasarkan aturan masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Bagi orang Islam di Indonesia, sahnya perkawinan yakni dilaksanakan sejalan dengan prinsip-prinsip aturan dalam Islam. Perkawinan yang ialah perjanjian suci antara seorang laki-laki dengan seorang wanita, berdasarkan Islam seharusnya didasarkan atas asas :
- Kesuka-relaan,
- Persetujuan kedua belah pihak,
- Kebebasan memilih,
- Kemitraan suami dan isteri,
- Untuk selamanya.
Adapun tujuan dari pernikahan yakni untuk membentuk rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan warahmah, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an Surah Ar-Rum ayat 21.
Undang-undang perkawinan juga mengatur hal ihwal tentang perkawinan dengan norma, kaidah, dan prinsip aturan Islam, menyerupai dalam masalah menentukan calon, khitbah, janji nikah, nafkah, perceraian, rujuk, dan sebagainya.
2. Undang-undang No 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
Dalam Islam, wakaf dipandang sebagai salah satu instrumen ekonomi yang sangat potensial untuk menopang kesejahteraan umat. Namun hingga ketika ini tugas dan fungsi wakaf belum optimal. Salah satu penyebabnya yakni belum terbaiknya peraturan perundang-undangan yang mengatur problem ini. Membutuhkan waktu yang cukup usang peraturan wakaf di Indonesia yang masih berada pada level di bawah Undang-undang, yakni Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Agama, Peraturan Dirjen Bimas Islam Depag RI, dan beberapa aturan lain. Kehadiran Undang-undang No 41 Tahun 2004 menjadi angin segar bagi umat Islam dalam hal perwakafan.
Undang-undang ini mengandung beberapa aspek :
a. Hukum Islam sudah menjadi serpihan yang teritegrasi dan terunifikasi dalam aturan nasional.
b. Benda wakaf dalam Undang0undang ini sudah di perluas.
c. Persyaratan nazir ditambah dengan pengelola harta wakaf ditinjau dari aspek penyalurannya.
d. Konsekuensi aturan bagi penyimpangan dalam pengelola harta wakaf sudah diatur dalam Undang-undang.
3. Undang-undang No 3 Tahun 2006 Tentang perubahan Undang-undang No 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
Gelombang pasang surut institusi peradilan Agama (Al-Qada’ fi al-Islam) di Indonesia berjalan seiring dengan pasang surut tugas politik umat Islam. Terjadi tarik menarikdanunik antara kepentingan politik penguasa dengan kepentingan umat Islam. Di satu sisi motivasi politik penguasa yang ada membuat legal policy yang mengedepankan nilai sekularisme, dengan dalih aturan Islam tidak relevan dengan kondisi sosial serta pertimbangan pluralisme masyarakat. Di sisi lain, umat Islam mempersepsikan bahwa aturan Islam dan forum Peradilan Agama yakni serpihan dari kewajiban agama yang hukumnya wajib kifayah untuk dipertahankan dan dilaksanakan. Sejalan dengan kesadaran politik aturan umat Islam dan meluasnya kebutuhan umat Islam terhadap forum Peradilan Agama sebagai media untuk menuntaskan perkara, serta perkembangan aturan Islam di Indonesia yang begitu cepat, masyarakat Indonesia yang lebih banyak didominasi beragama Islam mendorong supaya dibuat Undang-undang Peradilan Agama, hasilnya terwujud pada tahun 1989, selanjutnya untuk menyesuaikan perkembangan, diadakan perubahan terhadap undang-undang ini dengan undang-undang no 3 tahun 2006. Kewenangan Peradilan Agama pun menjadi kian luas mencakup sejumlah bidang pekerjaan, pertama : ekspansi kewenangan dalam memeriksa, memutus, dan menuntaskan masalah di bidang, perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, zakat, sadaqah, infaq, dan ekonomi Islam (Syariah). Kedua : penyelesaian sengketa hak milik atau keperdataan lainnya. Ketiga : mempersembahkan isbat kesaksian rukyah hilal dalam penentuan pertama tahun hijriah.
BAB III
KESIMPULAN
Hukum Islam di bidang keluarga menempati posisi sangat penting dalam aturan Islam, hal ini berkaitan dengan kontribusinya yang amat signifikan di dalam upaya membuat kehidupan masyarakat yang tertib dan harmonis. Itulah sebabnya di negara Islam atau yang lebih banyak didominasi arganya beragama Islam, utamanya Indonesia, bidang aturan ini senantiasamendapatkan apresiasi tinggi yang dimanifestasikan dalam bentuk upaya berkelanjutan untuk melegalkan/legeslasi aturan Islam menjadi aturan konkret ke dalam banyak sekali produk peraturan perundang-undangan RI, antara lain sanggup disebutkan : Undang-undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Undang-undang No 41 Tahun 2004 Tentang Perwakafan, Undang-undang No 7 Tahun 1989 yang dirubah dengan undang-undang No 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama, dan sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Cik Hasan Bisri. 1997. Peradilan Islam dalam Tantangan Masyarakat Indonesia. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Posting Komentar untuk "Sejarah Peraturan Aturan Keluarga"