Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Perkembangan Filsafat



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Kelahiran filsafat modern semenjak renaissance dan aufklaerung ialah reaksi terhadap pemikiran filsafat masa pertengahan. Gereja pada waktu menjadi satu-satunya menjadi otoritas yang mengakui kebenaran dan keabsahan pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan. Dibidang astronomi perkembangan ilmu pengetahuan diluar kontrol gereja sudah berjalan sangat pesat. Sehingga upaya mengontrol perkembangan ilmu pengetahuan mengalami kegagalan. Terjadilah serkularisasi ilmu, pemisahan antara aktifitas ilmiah dengan aktifitas keagamaan. Dan pada masa ke-20 postmodernisme juga sebagai reaksi terhadap pemikiran modern yang juga sudah berubah menjadi mitos baru. Filsafat modern yang lahir sebagai reaksi terhadap dogmatis masa pertengahan, berdasarkan kaum postmodermis sudah terjebak dalam membangun mitos-mitos baru. Mitos-mitos itu ialah suatu keyakinan bahwa dengan pemikiran filsafat, ilmu pengetahuan dan aplikasinya dalam teknologi, segala kasus kemanusiaan sanggup diselesaikan. Padahal kenyataannya banyak jadwal kemanusiaan yang masih membutuhkan pemikiran-pemikiran baru. Untuk lebih terang lagi mari kita bahas makalah ini bersama.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Perkembangan Pada Zaman Modern ?
2.      Bagaimana Perkembangan Pada Zaman Kontemporer ?


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Zaman Modern (17-19 M)
Filsafat barat modern yang kelahirannya dilampaui oleh suatu periode yang disebut dengan “renaissans” dan dimatangkan oleh “gerakan” Aufklaerung diabad ke-18 itu, didalamnya mengandung dua hal yang sangat penting. Pengaruh dari gerakan renaissans dan aufklaerung itu sudah menyebabkan peradaban dan kebudayaan barat modern berkembang dengan pesat, dan semakin bebas dari dampak otoritas dogma-dogma gereja.
Sejak itu kebenaran filsafat dan ilmu pengetahuan didasarkan atas kepercayaan dan kepastian intelektual (sikap ilmiah) yang kebenarannya sanggup dibuktikan berdasarkan metode, asumsi dan pemikiran yang sanggup diuji.
Filsafat barat modern dengan demikian mempunyai corak yang tidak sama dengan periode filsafat masa pertengahan. Pada zaman modern otoritas kekuasaan itu terletak kemampuan kebijaksanaan insan itu sendiri. Manusia pada zaman modern tidak mau diikat oleh kekuasaan serta raja dengan kekuasaan politiknya yang bersifat absolut.
Para filosof modern pertama-tama menegaskan bahwa pengetahuan tidak berasal dari kitab suci atau dogma-dogma gereja, juga tidak berasal dari kekuasaan feudal.  Semua filsuf apad zaman ini mengusut segi-segi subjek manusiawi ; “Aku” sebagai sentra pemikiran, sentra pengamatan, sentra kebebasan, sentra tindakan, sentra kehendak, dan sentra perasaan.
Wacana filsafat yang menjadi topic utama pada zaman modern, khususnya dalam masa ke-17, yaitu kasus epistemologi. Untuk menjawaban pertanyaan-pertanyaan yang bercorak epistemologis ini, maka dalam filsafat masa ke-17 muncullah dua anutan filsafat yang mempersembahkan jawabanan tidak sama, bahkan saling berperihalan. Aliran filsafat tersebut ialah rasionalisme dan empirisisme.
a.       Rasionalisme
Usaha insan untuk member kepada kebijaksanaan suatu kedudukan yang “ berdiri sendiri”, sudah dirintis oleh para pemikir “renaissans” berlanjut terus hingga abad  ke-17. Semakin usang mausia semakin menaruh kepercayaan yang besar terhadap kemampuan akal.
Akibat dari keyakinan yang berlebihan terhadap kemampuan kebijaksanaan itu, ditetapkanlah perang terhadap mereka yang malas mempergunakan akalnya, terhadap kepercayaan yang bersifat dogmatis mirip yang terjadi pada masa pertengahan, terhadap tata-susila yang bersifat tradisi, terhadap apa saja yang tidak masuk akal, dan terhadap keyakinan-keyakinan dan anggapan-anggapan yang tidak masuka akal.
Corak berfikir dengan melulu mengandalkan atau berdasarkan atas kemampuan kebijaksanaan (Rasio), dalam filsafat dikenal dengan nama anutan ‘rasionalisme’.
Aliran filsafat  rasionalisme ini berpendapat, bahwa sumber pengetahuan yang memadai dan sanggup mengemban amanah yaitu kebijaksanaan (Rasio). Hanya pengetahuan yang diperoleh melalui akallah yang memenuhi syarat yang dituntut oleh sifat umum dan harus mutlak, yaitu syarat yang dituntut oleh tiruana pengetahuan ilmiah. Metode yang diterapkan oleh para filsuf rasionalisme ialah metode deduktif.
Secara ringkas dapatlah dikemukakan dua hal pokok yang ialah ciri dari tiruana bentuk rasionalisme, yaitu :
1.      Adanya pendirian bahwa kebenaran-kebenaran yang hakiki itu secara eksklusif sanggup diperoleh dengan menggunakan kebijaksanaan sebagai masukananya.
2.      Adanya suatu pembagian terstruktur mengenai secara logik atau deduksi.
Tokoh-tokoh anutan filsafat rasionalisme ini ialah Descartes, Spinoza, dan Leibniz, dari ketiga tokoh ini yang dibicarakan dalam rangka anutan ini yaitu Descartes.
Tokoh penting anutan filsafat rasionalisme yaitu Rene Descartes (1598-1650) yang juga yaitu pendiri filsafat modern.
Metode Descartes dimaksudkan bukan saja sebagai metode penelitian ilmiah, ataupun penelitian filsafat, melainkan sebagai metode penelitian rasional mana saja, lantaran kebijaksanaan sehat insan selalu sama.
Descartes memulai metodenya dengan megalaukan segala macam pernyataan kecuali pada satu pernyataan saja, yaitu bahwa ia sedang melaksanakan kegalauan sendiri menegaskan bahwa ia sanggup saja mencurigai segala hal, namun satu hal yang mustahil diragukan yaitu kegiatan megalaukan itu sendiri. Maka ia hingga pada kebenaran yang tak terbantahkan, yakni : saya berfikir, jadi saya ada (Cogito ergo sum). Pernyataan ini begitu kokoh dan menyakinkan, sehingga anggapan kaum skeptic yang paling ekstrim pun tidak akan bisa menggoyahkannya. Cogiti ergo sum ini oleh Descartes diterima sebagai prinsip pertama dari filsafat.
Segala sesuatu yang bersifat terang dan terang bagi kebijaksanaan pikiran amausia dapatlah digunakan sebagai dasar yang tidak perlu dibuktikan lagi kebenarannya untuk melaksanakan pembagian terstruktur mengenai terhadap pernyataan-pernyataan yang lain. Segenap ilmu pengetahuan haruslah didasarkan atas kepastian-kepastian yang tidak sanggup diragukan lagi akan kebenaranya yang secara eksklusif dilihat oleh kebijaksanaan pikiran manusia. Metode semacam ini dinamakan juga metode “Apriori“.
Sistem filsafat yang dikembangkan Descartes tak sanggup dipisahkan dari perilaku Koreksi yang berkembang dalam pergolakan renainsans, kebangkitan budaya yang sekaligus membawa suatu skeptisisme terhadap iman agama dan praktek politik yang hingga ketika itu menjamin ketahanan status gereja dan Negara.
b.      Empirisisme
Menurut penganut empirisisme  metode ilmu pengetahuan itu bukanlah bersifat a priori, tetapi a posteriori.
Bagi penganut empirisisme sumber pengetahuan yang memadai itu ialah pengalaman, oleh lantaran itu para penganut anutan empirisisme berkeyakinan bahwa insan tidak mempunyai ide-ide bawaan atau innate ideas. Bagi mereka insan itu menyerupai kertas putih yang belum terisi oleh apa-apa, dan gres terisi melalui pengalaman-pengalaman, baik pengalaman lahiriah maupun pengalaman batiniah.
Aliran empirisisme pertama kali berkembang di Inggris pada masa ke-15 dengan Prancis Bacon sebagai pelopornya. Menurut Bacon, insan melalui pengalaman sanggup menhgetahui benda-benda dan hukum-hukum korelasi antara benda-benda. Ia juga mempersembahkan sejumlah petunjuk supaya seorang ilmuan berhati-hati terhadap idol-idola, yaitu :
1)      Idola Tribus
2)      Idola Specus
3)      Idola Fori
4)      Idola Theatri
Filosof empiris lainnya yaitu Thomas Hobbes, ia juga meyakini bahwa pengenalan atau pengetahuan itu diperoleh dari pengalaman. Berbeda dari penlampaunya, John Locke lebih terdorong untuk mengemukakan ihwal asal mula gagasan manusia, kemudian memilih fakta-fakta, menguji kepastian pengetahuan dan mengusut batas-batas pengetahuan manusia.
Paham empirisime ini kemudian dikembangkan oleh David Hume (1611-1776), ia sangat menentang kaum rasionalisme yang berlandaskan pada prinsip a priori, yang bertitik tolak dari ide-ide bawaan. Ia mengajarkan bahwa insan tidak membawa pengetahuan bawaan kedalam hidupnya. Melalui pengamatan ini insan memperoleh dua hal yaitu : kesan-kesan (impression) dan pengertian-pengertian (ideas).
Pada hakikatnya pemikiran Hume bersifat analitis, kritis, dan skeptis. Sebab bagi Hume dunia spesialuntuk terdiri dari kesan-kesan yang terpisah-pisah, yang tidak sanggup disusun secara adil sistematis, lantaran tidak ada korelasi lantaran akhir antara kesan-kesan.
Secara ringkas dapatlah bahwa pengetahuan yang bersifat a priori terdiri dari proposisi analitik pola , tiruana belibis putih, tiruana jejaka itu laki-laki, es itu dingin, lingkaran itu bundar dan lain-lain. Dan pendapat ini ialah ini cirri khas pemikiran yang bercorak rasionalistik. Sabaliknya cirri khas dari empiristik yaitu a posteriori, dan proposisinya yaitu sintetik, tetapi harus di uji kebenarannya secara empiris. Misal : rumah mahal, motor gres dan lain-lain.
c.       Kritisisme
Seseorang filsuf Jerman yang berjulukan Immanuel Kant (1724-1804)sudah melaksanakan perjuangan untuk menjembatani pandangan-pandangan yang saling berperihalan,yaitu antara rasionalisme dan empirisisme.
Filsafat Imanuel kant, yang di sebut dengan anutan filsafat kritisisme.kritisisme yaitu sebuah teori pengetahuan yang berusaha untuk mempersatukan kedua macam unsur dalam filsafat rasionalisme dan empirisisme dalam suatu korelasi yang seimbang,yang satu tidak terpisahkan dari yang lain.Menurut Kant pengetahuan ialah hasil terakhir yang di peroleh dengan adanya kolaborasi di antaranya dua komponen,yaitu di satu pihak berupa bahan-bahan yang bersifat pengalaman inderawi, dan di lain pihak cara mengolah kesan-kesan yang bersangkutan sedemikian rupa sehingga terdapat suatu korelasi antara lantaran dan akibatnya.sesungguhya relasi-relasi antara lantaran dan akhir tidaklah terdapat di dalam dunia melainkan ialah bentuk-bentuk penafsiran insan yang gunanya ialah supaya gejala-gejala yang begitu berguaka ragam yang kita hadapi.
Kant yang mencoba untuk mempersatukan rasionalisme dan empirisisme menyampaikan bahwa dengan spesialuntuk mementigkan salah satu dari kedua asfek sumber pengetahuan (rasio dan empiri) tidak akan diporoleh pengetahuan yang kebenarannya bersifat universal sekaligus sanggup mempersembahkan informasi baru. Pengetahuan yang rasional yaitu pengetahuan yang analitis priori, sedangkan pengetahuan yang empiris yaitu pengetahuan yang sintesis a posteriori. Pengetahuan nasional yaitu pengetahuan yang bersifat universal, tapi tidak mempersembahkan informasi baru. Sebaliknya pengetahuan empiris (sintetis a posteriori) sanggup mempersembahkan informasi baru, tetapi kebenarannya tidak universal.
Kant menyampaikan bahwa pengetahuan selalu bersifat sintetis. Pengetahuan dari kebijaksanaan ialah sintetis dari data indrawi dan dukungan dari kategori-kategori. Kant sudah mempersembahkan pembetulan terhadap perilaku berat sebelah yang dikemukakan oleh penganut rasionalisme dan empirisisme. Sehingga ia sudah membuka jalan bagi perkembangan filsafat dikemudian hari.
d.      Idealisme
Permulaan pemikiran idealism dalam sejarah filsafat barat biasanya selalu dihubungkan dengan Plato (427-347 SM). Aliran filsafat idealism dalam masa ke-19 ialah kelanjutan dari pemikiran filsafat rasionalisme pada masa ke-17.
Bagi Hegel pikiran yaitu essensi dari alam dan alam yaitu keseluruhan jiwa yang di obyektifkan. Alam yaitu proses pemikiran yang memudar, yaitu juga kebijaksanaan yang mutlak (absolute reason) yangb mengeksprsikan dirinya dalam bentuk luar. Oleh lantaran itu berdasarkan Hegel hukum-hukum pikiran yang ialah hukum-hukm realitas. Sejarah yaitu cara zat yang mutlak ( absolute) itu berubah menjadi dalam waktu dan pengalaman manusia. Tahap-tahap keberadaan spiritual dalam suatu tata tertib yang mencakup beberapa aspek segala-galanya, pada itulah kita membicarakan ihwal yang mutlak, jiwa yang mutlak atau Tuhan.
Hegel secara sepintas sepertinya mengingkari adanya realitas luar atau realitas obyektif. Akan tetapi bekerjsama ia tidak mengingkari realitas luar atau realitas obyektif tersebut.
Hegel percaya bahwa hal ini ditemukan bukan sekedar dipahami dalam alam. Menurul Hegel sudah ada sebelum insan ada, tetapi adanya arti dalam dunia, mengandung arti bahwa ada sesuatu mirip kebijaksanaan atau pikiran ditengah-tengah idealitas. Tata tertib realitas yang sangat berarti didiberikan kepada insan supaya ia memikirakan dan berpartisipasi didalamnya. Keyakinan terhadap arti dan pemikiran dalam struktur dunia ialah intuisi dasar yang menjadi asas idealisme.
Era Hegel sudah muncul beberapa filsuf menyebut dirinya sebagai penganut anutan idealisme. Diantaranya ialah F.H. Bradley dari Inggris dan anutan filsafatnya kadang kala disebut juga Neo Hegelianisme Inggris. Filsafat idealism F,H. Bradley ini sangat kuat terhadap munculnya filsafat anlitik pada masa ke-20.
e.       Positivisme
Pendiri tokoh terpenting dari anutan filsafat positivisme yaitu Auguste Comte (1798-1857) ialah spesialuntuk mendapatkan fakta-fakta yang ditemukan secara positif-ilmiah, dan menjauhkan diri dari tiruana pertanyaan yang mengatasi bidang ilmu-ilmu positif. Semboyan Comte yang populer yaitu savoir pour prevoir.
Filsafat positivisme Comte disebut juga paham empirisisme-kritis, bagi Comte pengamatan mustahil dilakukan tanpa melaksanakan penafsiran atas dasar sebuah teori dan pengamatan juga tidak mengkin dilakukan secara “ Terisolasi”, dalam arti harus dikaitkan dengan suatu teori. Metode positif Auguste Comte juga menekankan pandanganya juga korelasi antara fakta yang satu dengan fakta yang lain. 
Filsafat Auguste Comte terutama penting sebagai pencipta ilmu sosiologi. Kebanyakan konsep prinsip dan metode yang kini digunakan dalam sosiologi, dan berasal dari Comte. Comte membagi masyarakat atas “statika sosial” dan “ dinamika sosial”. sosiologi ini sekaligus suatu “ filsafat sejarah”, lantaran Comte mempersembahkan kawasan kepada fakta-fakta individual sejarah dalam suatu teori umum, sehingga terjadi sintesis yang mengambarkan fakta-fakta itu. Fakta-fakta itu sanggup bersifat politik, yuridis, ilmiah, tetapi juga falsafi, relegius atau kultural.
f.       Marxisme
Pendiri anutan filsafat ini yaitu Kall Marx (1818-1883), filsafat Marx yaitu perpanduan antara metode dialektika Hegel dan filsafat materialism Feuerbach. Filsafat abnormal harus ditinggalkan, lantaran teori interperstasi, spekulasi dan sebagainya tidak mengahasilkan perubahan dalam masyarakat.
Marx mengajarkan bahwa sejarah dijalankan oleh suatu logika tersendiri. Pemikiran Marx menghubungkan dengan sangat erat ekonomi dengan filsafat. Bagi Marx kasus filsafat bukan spesialuntuk maslah pengetahuan dan kasus kehendak murni yang utama, melainkan kasus tindakan. Para filosof berdasarkan Marx selama ini spesialuntuk sekedar menafsirkan dunia banyak sekali cara, namun berdasarkan yang terpenting yaitu mengubahnya. Menurut Marx kaum, proletar harus merebut peranan kaum Borjuis dan Kapitalis itu melalui revolusi. Berkembangnya aliran-aliran epistemologi, filsafat modern juga mengantarkan lahirnya revolusi industri di abad  ke-18 dan Negara-negara kebangsaan. Serta ideologi-ideologi dunia mirip Liberalisme/Kapitalisme dan Sosialisme/Komunisme.[1]


B.     Zaman Kontemporer (Abad ke-20 dan seterusnya)
Tema yang menguasai refleksi filosofis dalam masa ke-20 ini yaitu pemikiran ihwal bahasa. Sebagian besar pemikir masa ke-20 pernah menulis ihwal bahasa.
            Menurut Wittgenstein, apa yang dihasilkan oleh sebuah karya filsafat melulu sederetan ungkapan filsafati, melainkan upaya membuat ungkapan-ungkapan menjadi jelas. Para filsuf analitik ini tidak lain sebagai reaksi atau respons terhadap kegiatan filsafat yang dilakukan oleh para penganut anutan filsafat idealisme. lantaran anutan filsafat idealisme lebih menekankan pada upaya mengintrodusir ungkapan-ungkapan filsafati. Ungkapan-ungkapan filsafati yang di introdusir oleh penganut idealisme itu berdasarkan filsuf analitik kebanyakan bermakna ganda kubur dan tidak terpahami oleh kebijaksanaan sehat. Hal-hal semacam itulah yang perlu diatasi dengan analisis bahasa. Perkembangan filsafat masa ke-20 juga ditandai oleh munculnya banyak sekali anutan filsafat kebanyakan anutan itu ialah kelanjutan dari aliran-aliran filsafat yang sudah berkembang pada masa modern.
Beberapa anutan dan tokoh yang paling kuat pada masa ke-20 yaitu Edmund Husserl (1859-1938), selaku pendiri anutan Fenomenologi, ia sudah mempengaruhi pemikiran filsafat masa ke-20 ini secara amat mendalam.
Eksistensialisme dan fenomenologi ialah dua gerakan yang sangat erat dan menyampaikan pemberontakan pemanis terhadap metode-metode dan pandangan-pandangan barat. Terdapat perbedaan-perbedaan yang besar antara para pengikut anutan ini namun terdapat tema-tema yang sama sebagai cirri khas anutan ini yang tampak pada para penganutnya. Mengidentifikasi ciri anutan eksistensialisme sebagai diberikut :
1.      Eksistensialisme yaitu pemberontakan dan protes terhadap rasionalisme dan masyarakat modern, khususnya terhadap idealism Hegel.
2.      Eksistensialisme yaitu suatu protes atas nama individualis terhadap konsep-konsep, filsafat akademis yang jauh dari kehidupan konkret.
3.      Eksistensialisme juga ialah pemberontakan terhadap alam yang impersonal (tanpa kepribadian) dari zaman industri modern dan teknologi, serta gerakan masa. Masyarakat industry cenderung untuk menundukkan orang seorang kepada mesin.
4.      Eksistensialisme ialah protes terhadap gerakan-gerakan totaliter baik gerakan pasis, komunis, yang cenderung menghancurkan atau menenggelamkan perorangan didalam kolektif atau masa.
5.      Eksistensialisme menekankan situasi insan dan prospek insan didunia.
6.      Eksistensialisme menekankan keunikan dan kedudukan pertama eksistensi, pengalaman kesadaran yang dalam dan langsung.
Salah seorang tokoh eksistensialisme yang popular yaitu Jean Paul Sartre (1905-1980) ia membedakan dialektis dengan rasio analitis.
Aliran filsafat eksistensialisme yang menjadi mode berfilsafat pada pertangahan masa ke-20 menerima reaksi anutan strukturalisme. Jika eksistensialisme menekankan pada peranan pada individu, maka strukturalisme justru melihat insan “terkukung” dalam banyak sekali struktur dalam kehidupannya. Secara garis besar ada dua pengertian pokok yang sangat erat kaitannya dengan strukturalisme sebagai anutan filsafat.
Pertama, strukturalisme yaitu metode atau metodelogi yang digunakan untuk mempelajari ilmu-ilmu kemanusiaan dengan bertitik tolak dari prinsip-prinsip linguistic yang dirintis oleh Ferdinand de Saussure,
Kedua,   strukturalisme ialah anutan filsafat yang hendak memahami kasus yang muncul dalam sejarah filsafat. Disini metodelogi struktural digunakan untuk mengulas ihwal manusia, sejarah kebudayaan, serta korelasi antara kebudayaan dan alam.
            Para strukturalis filosofis yang menerapkan prinsip-prinsip strukturalisme linguistic dalam berfilsafat bereaksi terhadap anutan filsafat fenomenologi dan eksistensialisme yang melihat insan dari sudut pandang yang subjektif. Para penganut anutan filsafat strukturalisme ini mempunyai kesamaan.
            Tokoh kuat dalam anutan filsafat struktulisme yaitu Michel Foucault (1926-1984) Kesudahan ‘manusia’ sudah bersahabat itulah pendirian Foucalt yang sudah populer ihwal ‘kematian’ manusia. Maksud Foucault bukanya bahwa nanti tidak ada insan lagi, melainkan bahwa akan hilang konsep ‘manusia’ sebagai suatu kategori istimewa dalam pemikiran kita.         
Pada masa ke-20 ada anutan filsafat yang pengaruhnya dalam dunia mudah cukup besar, yaitu anutan filsafat pragmatisme. Aliran filsafat ini ialah suatu perilaku metode dan filsafat yang menggunakan akibat-akibat mudah dari pikiran dan kepercayaan sebagai ukuran untuk memutuskan nilai kebenaran.                                               
Salah seorang tokoh pragmatisme yaitu Willam Jasme (1842-1910),ia memandang pemikirannya sendiri sebagai kelanjutan empirisme Inggris, namun empirismenya bukan ialah upaya untuk menyusun kenyataan berdasar atas fakta-fakta lepas sebagai hasil pengamatan. James membedakan dua macam bentuk pengetahuan :
1)      Pengetahuan yang eksklusif diperoleh dengan jalan pengamatan.
2)      Merupakan pengetahuan tidak eksklusif yang diperoleh dengan melalui pengertian.
Suatu wangsit sanggup menjadi benar apabila didukung oleh peristiwa-peristiwa sebagai akhir atau buah dari wangsit itu.
Pada pertamanya postmodernisme lahir sebagai reaksi terhadap kegagalan modernism. Dalam modernisme, filsafat memang berpusat pada Epistemologi yang bersandar pada gagasan ihwal subjektivitas dan objektivitas murni yang satu sama lain terpisah tak saling berkaitan. Tugas pokok filsafat yaitu mencari fondasi segala pengetahuan dan kiprah pokok subjek yaitu mempresentasikan kenyataan adil.
Wacana postmodern menjadi popular setelah Francois Lyotard (1924) menerbitkan bukunya The Postmodern Condition : A Report on Knowledge (1979). Modernitas berdasarkan Lyotard ditandai oleh kisah-kisah besar yang mempunyai fungsi mengarahkan serta menjiwai masyarakat modern, mirip dengan mitos-mitos yang mendasari masyarakat masyarakat primitif doloe.[2]














BAB III
  PENUTUP

Simpulan :
            Demikian dengan kelahiran filsafat modern yang dirintis semenjak renaissance dan aufklaerung ialah reaksi terhadap pemikiran filsafat masa pertengahan yang bersifat teologis dogmatis. Gereja sebagai institusi pada waktu menjadi satu-satunya menjadi otoritas yang mengakui kebenaran dan keabsahan pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan. Padahal perkembangan ilmu pengetahuan diluar kontrol gereja sudah berjalan sangat pesat, terutama bidang astronomi. Sehingga upaya mengontrol perkembangan ilmu pengetahuan kedalam sekat-sekat agama mengalami kegagalan. Terjadilah serkularisasi ilmu, yakni pemisahan antara aktifitas ilmiah dengan aktifitas keagamaan.
            Pada masa ke-20 postmodernisme juga sebagai reaksi terhadap pemikiran modern yang juga sudah berubah menjadi mitos baru. Filsafat modern yang lahir sebagai reaksi terhadap dogmatis masa pertengahan, berdasarkan kaum postmodermis sudah terjebak dalam membangun mitos-mitos baru. Mitos-mitos itu ialah suatu keyakinan bahwa dengan pemikiran filsafat, ilmu pengetahuan dan aplikasinya dalam teknologi, segala kasus kemanusiaan sanggup diselesaikan. Padahal kenyataannya banyak jadwal kemanusiaan yang masih membutuhkan pemikiran-pemikiran baru. Disinilah postmodernisme “menggugat” modernism yang sudah mandeg dan berubah menjadi mitos baru.



DAFTAR PUSTAKA

Rizal Mustansyir  & Misnal Munir, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Muhadjir Neong, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: PT. Rake Sarasin, 2001.


[1] Rizal Mustansyir & Misnal Munir, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. 71-89.
[2] Neong Muhadjir, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: PT. Rake Sarasin, 2001), h. 197-198.

Posting Komentar untuk "Perkembangan Filsafat"