Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Periwayatan Hadits



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
         Hadis merupakan rujukan kedua dalam kajian hukum Islam sehabis Al-Qur’an. Oleh lantaran itu, kedudukan hadis sangat signifikan dan urgen dalam Islam. Hanya saja urgensi dan signifikansi hadis tidak mempunyai makna, mabadunga eksistensinya tidak didukung oleh uji kualifikasi historis yang memadai dalam proses transmisinya (periwayatan). Mempelajari hadis yakni potongan dari keimanan umat terhadap kenabian Muhammad Saw. Hal ini lantaran figur Nabi Muhammad sebagai pembawa risalah Allah Swt. itu tidak bisa diteladani kecuali dengan pengetahuan yang memadai wacana diri dan sejarah hidupnya serta wacana sabda dan sikap hidupnya yang terkait sebagai pembawa risalah.
                        Kajian wacana sabda dan sikap Nabi oleh para hebat diformulasikan dalam wujud ilmu hadis (ulumul hadis). Dalam ulumul hadis, hadis Nabi yang dipelajari tidak spesialuntuk menyangkut sabda atau teks (matan) hadis, tetapi menyangkut seluruh aspek yang terkait dengannya, terutama menyangkut periwayatan hadis dan orang-orang yang meriwayatkannya.
                        Melakukan pengkajian secara khusus wacana periwayatan hadis itu sangat penting. melaluiataubersamaini menunjukkan macam-macam periwayatan hadis, adat atau tata cara periwayatan hadis, serta cara-cara mendapatkan dan memberikan hadis sanggup diketahui mana hadis yang shahih dan mana hadis yang dha’if. Maka pengkajian menyerupai yang sudah disebutkan di atas dirasa perlu untuk menambah pengetahuan dan ilmu-ilmu gres serta sebagai penunjang pemahaman terhadap hadis Nabi.
                        Hadis sanggup didefinisikan sebagai segala perbuatan, ucapan dan ketetapan yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. Faktanya hadis tidaklah eksklusif disampaikan dari Nabi eksklusif kepada periwayat hadis tersebut, lantaran mereka hidup di era yang tidak sama. Akan tetapi, hadis hingga kepada periwayat hadis melalui banyak cara yang dinamakan tahamul wal ada’ dan banyak perantara. Mulai dari teman dekat, tabi’in, tabi’uttabiin, syaikh dan hasilnya hingga pada  periwayat.
                        Pada makalah ini penulis akan mengulas wacana bentuk-bentuk  periwayatan hadis pada potongan selanjutnya.

B.       Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dari periwayatan hadits?
2.      Bagaimana ciri-ciri orang yang meriwayatkan dan mendapatkan hadits?
3.      Bagaimana bentuk periwayatan hadits?




















BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Periwayatan Hadits
Sebelum terhimpun dalam kitab-kitab hadis, hadis Nabi terlebih lampau sudah melalui proses acara yang dinamai dengan riwayatul hadis atau al-riwayah, yang dalam bahasa Indonesia sanggup diterjemahkan dengan periwayatan. Kata al-riwayah yakni masdar dari kata kerja rawa dan sanggup berarti al-naql (penukilan), al-zikr (penyebutan), al-fatl (pemintalan) dan al-istoqa’ (pemdiberian minum hingga puas). Sementara sesuatu yang diriwayatkan, secara umum juga biasa disebut dengan riwayat.[1]
Sementara secara istilah ilmu hadis, berdasarkan M. Syuhudi Ismail yang dimaksud dengan al-riwayah yakni acara penerimaan dan penyampaian hadis, serta penyandaran hadis itu kepada rangkaian para periwayatnya dengan bentuk-bentuk tertentu. Orang yang sudah mendapatkan hadis dari seorang periwayat, tetapi dia tidak menyampaiakan hadis itu kepada orang lain, maka dia tidak sanggup disebut sebagai orang yang sudah melaksanakan periwayatan hadis. Sekiranya orang tersebut menyampaiakan hadis yang diterimanya kepada orang lain, tetapi ketika memberikan hadis itu tidak sebut rangkaian para periwayatnya, maka orang tersebut juga tidak sanggup ditetapkan sebagai orang yang sudah melaksanakan periwayatan hadis.
Dari definisi di atas, sanggup ditarik beberapa point penting yang harus ada dalam periwayatan hadis Nabi, yaitu:
1.      Orang yang melaksanakan periwayatan hadis yang kemudian dikenal dengan ar-rawiy (periwayat).
2.      Apa yang diriwayatkan (al-marwiy)
3.      Susunan rangkaian pera periwayat (sanad/isnad)
4.      kalimat yang disebutkan sehabis sanad yang kemudian dikenal dengan matan.
5.      kegiatan yang berkenaan dengan proses penerimaan dan penyampaian hadis (at-tahamul wa ada al- Hadis).
Adapun metode mempelajari hadits / mendapatkan hadits yang biasa di pakai secara umum oleh ulama aneka macam generasi adalah:
  1. Al-Sima’, yaitu seorang guru membaca hadits yang dihafalnya atau yang ada di kitab tertentu di hadapan anakdidik, orang mendengarkan kata-katanya. Metode ini dipandang paling elok di antara metode yang ada berdasarkan para ulama hadits. Tetapi ada juga yang berpendapat, alangkah baiknya kalau disamping mendengar juga mencatat, ketimbang mendengar saja. Kedua metode yang menyatu ini mempersempit peluang tercecernya hadits.
  2. Al-Qira’ah ‘ala al-Syaikh. Yaitu seorang anakdidik membaca  hadits  (yang boleh jadi diperoleh dari guru yang lain) di depan guru. Agaknya metode ini diilhami oleh sebuah bencana ketika Dhammam ibn Tsa’labah memperoleh informasi dari orang lain, kemudian bertanya kepada Rasulullah, “apakah Allah memerintahkan semoga engkau sholat beberapa kali?” Rasulullah menjawaban “ya”.
  3. Al-Ijazah. Metode ini yakni sebuah metode dengan pemdiberian izin seorang guru kepada anakdidik untuk meriwayatkan buku hadits tanpa membaca hadits tersebut sata demi satu.
  4. Al-Munpertamaah. Yaitu seorang guru memdiberi sebuah atau beberapa hadits atau kitab utuk diriwayatkan. Metode ini menyerupai ijazah ada ungkapan eksplisit dari guru bahwa anakdidik didiberi ijazah boleh meriwayatkan hadits yang didiberikan.
  5. Al-Mukatabah  yaitu sorang guru menulis hadits untuk seseorang.misalnya goresan pena seorang ulama wacana hadits yang dikirimkan kepada ulama lain. Kelihatannya, metode ini secara implisit mengandung ijazah. Itu sebabnya, ada yang beropini bahwa metode ini dengan ijazah ini lebih baik. Menurut Prof, A’zami dalam terminologi modern, cara ini sanggup disebut korespodensi.
  6. I’lam al-Syaikh  yaitu pemdiberian informasi guru kepada anakdidik bahwa hadits-hadits yang ada dalam kitab tertentu itu hasil periwayatan yang diperoleh guru dari si fulan, tanpa menyebut izin / ijazah periwayatan si anakdidik kepada orang lain.
  7. Al-Wasyiyah yaitu seorang guru mewasiatkan buku-buku hadits kepada anakdidiknya sebelum pergi atau meninggal.
  8. Al-Wijada  yaitu ada orang yang menemukan catatan atau buku hadits yang ditulis oleh orang lain tanpa ada rekomendasi untuk meriwayatkan hadits di bawah bimbingan dan kewenangan seseorang. Metode ini disamping dilakukan orang pada masa kemudian banyak juga  dilakukan pada masa kini di mana banyak orang memperoleh hadits dari buku tanpa melalui proses menyerupai di atas.[2]

B.  Bentuk Periwayatan Hadits
a.    Bil Lafadzi
Dalam engkaus besar Indonesia, periwayatan yakni kata yang memberoleh pertamaan “me” dan akhiran “an” yang berasal dari kata “riwayat” yaitu kisah yang turun temurun. Periwayatan hadis dengan lafadz dimaksudkan yakni periwayatan hadis dengan memakai lafadz sebagaimana Rasulullah SAW tanpa ada penukaran kata, penambahan dan pengurangan sedikitpun walaupun spesialuntuk satu kata. Riwayat hadis dengan lafal ini bahwasanya tidak ada persoalan, lantaran teman erat mendapatkan eksklusif dari Nabi baik melalui perkataan maupun perbuatan dan pada ketika itu teman erat eksklusif menulis atau menghafalnya.
Sahabat yang populer ketat dalam menjaga otentisitas redaksi hadis yakni Abdullah bin Umar. Ia tidak memperkenankan adanya pengurangan atau penambahan satu karakter pun dari redaksi hadis. Dalam sebuah kasus, ia pernah menegur ‘Ubaid bin Amir ketika meletakkan puasa dalam lima prinsip Islam pada urutan nomor tiga yang seharusnya ada pada urutan nomor empat.
            Dikisahkan pula bahwa Barrā’ ibn ‘Āzib pernah diajari oleh Rasulullah saw. sebuah do’a sebelum pulas yang didalamnya ada kata “bi nabiyyika” dan ketika itu al-Barra’ menyakan apakah kata itu bisa diganti dengan “bi rasūlika” dia menolak, dan tetap meneruskan dengan kata “bi nabiyyik”. Tingkat kepedulian para teman erat dalam menjaga otentisitas hadis ini tergambar terang ketika mereka tidak gegabah dalam meriwayatkan hadis sebelum mereka yakin betul kebenaran lafal dan ketepatan karakter serta memahami maknanya. Jika mereka menemukan keraguan untuk meriwayatkan sebuah hadis, mereka menentukan diam. Hal demikian dilakukan lantaran mengingat peringatan keras Nabi saw yang akan memasukkan mereka pada golongan pendusta hadis. Sikap demikian tidak spesialuntuk terjadi di tingkatan pada teman erat tetapi sanggup dijumpai pula dari pendapat segolongan ulama fiqh, ulama ushul dan ulama hadis yang tidak mempersembahkan ruang sedikitpun pada periwayatan hadis secara makna. Mereka mewajibkan periwayatan hadis dengan lafal dan tidak memperbolehkan periwayatan dengan makna sama sekali.
Akan tetapi dalam kenyataannya periwayatan hadis dengan lafal ini sangat sedikit jumlahnya. Ciri-ciri hadis yang memang harus diriwayatkan dengan lafal ini spesialuntuk terbatas pada antara lain:
a.    Hadis yang ialah lafal-lafal ibadah (ta’abbudiyyah), menyerupai wacana bacaan azan, zikir, doa, syahadat. Hadis yang bisa dijadikan pola untuk lafal ibadah ini menyerupai bacaan dzikir yang diriwayatkan dari Shaddad bin Aus ra. bahwa




Rasulullah saw.bersabda:

سيد الاستغفار: اللهم أنت ربي، لا إله إلا أنت، خلقتني وأنا عبدك، وأنا على عهدك ووعدك ما استطعت، أبوء لك بنعمتكّ عليّ، وأبوء لك بذنبي فاغفر لي، فإنه لا يغفر الذنوب إلا أنت، أعوذ بك من شر ما صنعت. إذا قال حين يمسي فمات دخل الجنة، أو كان من أهل الجنة، وإذا قال حين يصبح فمات من يومه مثله.
Artinya: “Paling tingginya ucapan istighfar adalah: ‘Ya Allah Engkaulah Tuhanku, tiada Tuhan selain Engkau, Engkau menciptakanku maka saya yakni hamba-Mu. Dan atas akad dan ancaman-Mu saya lakukan semampuku. Aku akui segala nikmat-Mu bagiku, dan ku akui segala dosa ini pada-Mu maka ampunilah saya lantaran tiada yang bisa mengampuni segala dosaku selain Engkau. Aku berlindung pada-Mu dari keburukan apa yang saya lakukan’. Jika ini dibaca pada waktu sore kemudian ia mati maka ia eksklusif masuk nirwana atau ia termasuk dari penduduk surga, demikian juga bila dibaca pada waktu pagi.”
b.    Jawāmi’ al-kalimah (ungkapan-ungkapan Nabi saw yang sarat makna) lantaran Nabi saw mempunyai faṣaḥaḥ dalam perkataan yang tidak dimiliki yang lainnya.Bisa diambil pola menyerupai sabda Nabi saw wacana umat Islam. Dari Abū Hurairah ra. bahwa Rasulullah bersabda
المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده . والمهاجر من هجر ما نهى الله عنه
artinya: “Orang Islam itu yakni orang yang orang-orang Islam lainnya selamat dari pengecap dan tangannya.”
c.    Hadis yang berkaitan dengan masalah aqidah menyerupai wacana dzat dan sifat Allah, rukun Islam, rukun iman, dan sebagainya. Untuk kategori ini penulis mengambil pola hadis wacana sifat Allah.
يقبض الله الأرض يوم القيامة، ويطوي السماء بيمينه، ثم يقول: أنا الملك، أين ملوك الأرض؟      

Artinya: “Pada hari tamat zaman Allah menggenggam bumi dan melipat langit dengan tangan kanan-Nya. Kemudian Dia berfirman; ‘Akulah yang Raja Diraja, dimanakah para raja dunia itu?’”
Namun ketika dihadapkan pada masalah bahwa hadis bukan spesialuntuk berbentuk perkataan saja tetapi juga dengan perbuatan dan ketetapan Nabi saw, para ulama yang bersikeras mempertahankan riwayat hadis secara lafal, menyerupai Abu Bakar al-Arabi, Muhammad bin Sirin, Raja’ bin Haywah, Qasim bin Muhammad, dan Sa’lab bin Nahwiy, mereka beropini bahwa periwayatan redaksi hadisnya secara makna sepenuhnya spesialuntuk diperbolehkan pada tingkatan teman dekat, mengingat lantaran para teman erat mempunyai pengetahuan bahasa Arab yang tinggi (faṣaḥaḥ), meskipun tidak setingkat dengan susunan kalimat Nabi saw. dan mereka sudah menyaksikan secara eksklusif keadaan dan perbuatan Nabi saw. Periwayatan secara lafal mustahil seluruh hadis bisa dilaksanakan mengingat pengertian hadis itu sendiri ialah segala sesuatu yang disandarkan pada Nabi saw, baik perkataan, perbuatan, penetapan, tekad dan impian Nabi saw, yang tidak tiruana dalam bentuk perkataan sehingga keharusan periwayatan hadis harus dengan lafal itu tidak bisa terjadi. Tentunya hal ini tetap dalam batasan-batasan yang sudah diungkapkan oleh para ulama di atas, yaitu dihentikan masuk pada ranah hadis yang berbau aqidah, ibadah dan yang mengandung kalimat-kalimat yang sarat makna dari Nabi saw.
sepertiyang yang terdapat dalam suatu riwayat bahwa Nabi memberikan hadisnya dengan bentuk-bentuk/cara-cara sebagai diberikut:
1.      Teknik verbal dimuka orang banyak yang terdiri dari kaum laki-laki.
2.      Penpenghasilanan rutin dikalangan kaum laki-laki.
3.      Penpenghasilanan diadakan juga dikalangan kaum perempuan sehabis kaum perempuan memintanya.
            Selain itu masih ada riwayat lain yang menyatakan cara-cara Nabi Menyampaikan hadisnya melalui yaitu:
1.      melaluiataubersamaini verbal dan perbuatan dihadapan orang banyak, di mesjid pada waktu malam dan subuh.
2.      Hadis Nabi disampaikan sebagai teguran terhadap orang yang melaksanakan “korupsi” berupa penerimaan hadiah dari masyarakat.
3.      Hadis Nabi disampaikan dengan cara lisan, tidak dihadapan orang banyak, meliputi jawabanan yang diajukan oleh teman erat dan bentuk jawabanan Nabi itu berupa tuntutan tekhnis suatu acara yang berkaitan dengan agama.
4.      Teknik Nabi juga memberikan hadisnya selain cara verbal juga secara seruan klarifikasi terhadap teman dekat, berupa taqrir atas amalan ibadah teman erat yang belum dicontokan eksklusif oleh Nabi.
5.      Riwayat lain juga menyampaikan cara Nabi memberikan hadisnya dengan bentuk tulisan.
6.      Dalam bentuk lain juga Nabi memberikan hadisnya tidak dalam bentuk acara melainkan berupa keadaan.
            Itulah tadi bentuk-bentuk periwayatan hadis dari Nabi dengan beberapa bentuk baik melalui perkataan, berbuatan, taqrir dan ihwal lainnya.
            Adapun bentuk atau cara-cara Para Sahabat Meriwayatkan Hadis sebagai diberikut:
a.      Adakala dengan lafal asli, yakni berdasarkan lafal yang mereka terima dari Nabi yang mereka hafal benar lafal dari Nabi itu.
b.      Adakala dengan maknanya saja, yakni mereka maeriwayatkan maknanya bukan lafalnya, lantaran mereka tidak hafal lafalnya yang orisinil lagi dari Nabi SAW.
            Yang penting dari hadis ialah isi, bahasa dan lafal, boleh disusun dengan kata-kata lain, asal isinya sudah ada dan sama. Berbeda dengan Periwayatan Alqur’an, yakni harus dengan lafal dan maknanya yang orisinil tidak sedikitpun boleh diadakan perubahan dalam riwayat itu.[3]

b.      Bil Ma’na
Dalam sejarah perjalanan hadits diketahui bahwa sepeninggal Rasulullah SAW. periwayatan hadits itu diperketat semoga tidak terjadi periwayatan sesuatu yang bukan dari Nabi SAW tetapi disandarkan kapada Nabi. Disamping itu, hadits harus dilakukan apa adanya, tidak ada penambahan atau pengurangan. Diharapkan, redaksi hadits tidak mengalami perubahan.
Tetapi dalam kenyataan, banyak dijumpai hadits yang dimaksudkannya sama diungkapkan dengan redaksi yang tidak sama-beda. Karena itu, kita menjumpai komentar hadits “muttafaq ‘alaih, wal-lafdzu li muslim, atau wa lafzu lil- bukhori”. Tampaknya peluang riwayat hadits dengan makna itu memang ada. Bukankah hadits itu tidak spesialuntuk berupa ucapan, tetapi terkadang berupa tingkah laris nabi. Dalam mendeskripsikan tingkah laris nabi yang diskasikan oleh para teman dekat, boleh jadi akan muncul redaksi yang tidak sama kendati maksudnya sama. Bahkan, lantaran kemampuan daya tangkap masing-masing teman erat tidak sama, maka boleh jadi kesimpulannya juga tidak sama.
Ada sebuah hadits yang menggambarkan bahwa riwayat dengan redaksi yang tidak sama itu ditolelir. Abdullah ibn Sulaiman al-laits memberikan keterbatasan kemampuannya mendapatkan hadits secara utuh. Artinya ia mengaku tidak bisa menangkap hadits persis menyerupai apa yang didengarnya. Hurufnya terkadang bertambah, terkadang juga berkurang.
Meskipun terjadi perbedaan dikalangan para fukaha wacana kebolehan tidaknya   meriwayatkan dengan makna, tapi hal ini ialah ilmu riwayah hadis yang penting, . Diantara kewajiban para perawi, ialah menandakan cara tahammul  ialah dengan cara itu dia mendapatkan apa yang diwahnyukannya. sepertiyang para ulama sangat memerlukan dengan cara-cara tahammul di waktu memberikan hadis kepada orang lain, begitu pula sangat memerlukan penyampaian hadis itu sebagaimana mereka dengar tampa menukar ataupun menggati kalimat-kalimatnya. Bahkan sebahagian hebat hadis, hebat fiqh, dan hebat ushul mengharuskan para rawi meriwayatkan hadis dengan lafalnya yang didengar, dihentikan dia meriwayatkan dengan maknanya sekali-kali. Demikian juga yang dinukilkan oleh Ibnush Shalah dan An Nawawi, Ibnu Sirien, Tsailab, dan Abu Bakar Ar Razi. mereka beropini bahwa perawi-perawi harus meriwayatkan persis sebagai lafadz yang ia dengar.
Dalam bukunya Ahmad Muhammad Šakir yang berjudul Ihtišar Ulum Al-Hadis, dalam kaitanya dengan Periwayatan dengan makna. Bahwa seorang perawi yang tidak mengetahui makna hadis sesungguhnya dihentikan baginya meriwayatkan hadis dengan sifatnya itu. Namun demikian Jumhur Ulama yang lain berpendapat, bahwa: boleh bagi perawi hadis menyebut makna bukan lafal, atau meriwayatkan hadis dengan makna apabila dia seorang yang mengetahui bahasa Arab dengan tepat dan cara-cara orang arab menyusun kalimat-kalimatnya, lagi dia sangat mengetahui makna-makna lafal dan mengetahui pula hal-hal yang bisa merobahkan makna dan yang tidak merobahkannya, Jika ia bersifat demikian, bolelah dia menukilkan lafal hadis dengan makna, lantaran dia dengan pengertiannya mendalam sanggup memelihara riwayatnya dari perobahan makna tersebut. begitu juga dengan pendapat Malik berdasarkan nukilan Al-Khalil ibn Ahmad dan Al-Baihaqi dalam Al-Madkhal boleh kalau yang diriwayatkan itu bukan hadis marfu’. Bukti yang lebih empiris yang lebih akurat yakni kesepakatan umat memperbolehkan spesialis hadis memberikan hadis dengan maknanya saja bahkan dengan selain bahasa arab.
Bukti lain yakni bahwa periwayatan hadis dengan maknanya sudah dilakukan oleh para teman erat dan ulama salaf periode pertama. Seringkali mereka mengemukakan suatu makna dalam suatu masalah dengan beberapa redaksi yang tidak sama-beda. Hal ini terjadi lantaran mereka berpegang kepada makna hadis bukan kepada lafalnya. Intinya bahwa periwayatan hadis dengan lafal di utamakan dari pada periwayatan hadis dengan makna. Karena apabila si perawi bukan seorang yang mengetahui hal-hal yang memalingkan makna, maka dihentikan baginya meriwayatkan hadis dengan makna. Semua ulama sependapat menetapkan, bahwa orang yang demikian itu wajib memberikan dengan hadis persis sebagaimana yang ia dengarnya.
Al- Imam Asy Syafi’i sudah menandakan wacana sifat-sifat perawi yaitu:
“Hendaklah orang yang memberikan hadis itu seorang yang kepercayaan wacana agamanya lagi dikenal bersifat benar dalam pembicaraannya, memahami apa yang diriwayatkan, mengetahui hal-hal yang memalingkan makna dari lafal dan hendaklah dia dari orang yang memberikan hadis persis sebgaimana yang didengar, bukan diriwayatkannya dengan makna,  karena apabila dia meriwayatkan dengan makna sedang ia orang tidak mengetahui hal-hal yang memalingkan makna, niscanya tidaklah sanggup kita mengetahui boleh jadi dia memalingkan yang halal kepada yang haram. Tetapi apabila dia memberikan hadis secara yang didengarnya, tidaklah lagi kita khwatir bahwa dia memalingkan hadis kapada yang bukan maknanya, dan hendaklah ia benar-benar meriwayatkan hadis yang diriwayatkan itu apabila dia meriwayatkan dari lafalnya dan benar-benar memelihara kitabnya bila dia meriwayatkan hadis itu dari kitabnya”.
Seluruh ulama sependapat menetapkan, bahwa orang yang tidak mengetahui hal-hal yang merisaukan makna hadis yang diriwayatkan dengan makna, dihentikan meriwayakan hadis dengan makna. Adapun orang-orang yang mengetahui hal-hal yang merusakkan makna dan yang tidak merusakkannya, maka jumhur ulama membolehkan dia meriwayatkannya hadis dengan makna dengan memenuhi syarat-syarat yang sudah diterangkan itu. melaluiataubersamaini demikian sebagaimana pendapat para ulama maka untuk lebih hati-hati dan menghidari kesalahan dalam meriwayatkan hadis, maka meriwayatkan hadis dengan lafal lebih utama dari pada dengan makna.[4]





BAB III
PENUTUP

Simpulan:
              Sebuah periwayatan hadits ialah potongan proses kodifikasi hadits yang sangat urgen, penting. Karena dalam proses inilah letak kesahihan hadits, apakah hadits tersebut yang memang benar-benar bisa diterima dan tidak ada pertentangan secara subtansinya dengan al-Qur’an. Sebagimana kita ketahui hadits yakni sebuah perkataan seorang manusia, Nabi, yang tentunya secara gramtika bisa ditiru oleh insan lain.sedangkan al-Qur’an yakni perkataan Tuhan, Allah, yang susunan kata-katanya bernilai lebih, baik bahasa, sastra atau tingkat kesusahan olah letak tamat suara dan sisi hakikatnya.
              Untuk itu perlu ada beberapa criteria bagi orang yang akan mendapatkan riwayat maupun yang akan meriwayatkannya. Ketiruanaya ini ialah perjuangan untuk menjaga kesucian pemikiran islam dari pencampuradukan dengan ajaran-ajaran dari luar Islam.
              Sedangkan dalam masalah matanya, redaksinya, yang ialah ruh dari hadits tu sendiri, sebisa mungkin redaksi periwayatanya dengn riwayat bil-lafdzi, dan sebisa mungkin menghindari riwayat bil-ma’na meskipipun dalam realitanya ada riwayat dengan cara tersebut, bil-ma’na. seandainya bila kita tidak bisa menghindari periwayatan dengan bil-ma’na tentulah harus kita diberikan komponen-kopoen atau variable kehati-hatian semoga tidak merubah makna yang tekandung dalam pesan Nabi.






DAFTAR PUSTAKA


Drs. H. Endang Soetari Ad., M.Si, Ilmu Hadis, Bandung, Amal Bakti Perss, 1997.
M.Syhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Hadis Nabi, Jakarta, Bulan Bintang, 1988.






[1] Drs. H. Endang Soetari Ad., M.Si, Ilmu Hadis, (Bandung: Amal Bakti Perss, 1997), Cet. II, h. 67.
[4] M.Syhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 21

Posting Komentar untuk "Periwayatan Hadits"