Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Penyebab Terjadinya Talaq



BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah
Perkawinan yaitu ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang perempuan dengan tujuan membentuk kehidupan yang senang dan abadi. Walaupun perkawinan itu ditujukan untuk selama-lamanya, tetapi adakalanya terjadi hal-hal tertentu yang mengakibatkan perkawinan tidak sanggup diteruskan, contohnya salah satu pihak berbuat serong dengan orang lain, terjadinya pertengkaran terus-menerus antara suami isteri dan hal-hal lainnya yang mengakibatkan terjadi perselisihan, apabila ikatan perkawinan tersebut tidak sanggup dipertahankan lagi lantaran banyak sekali pertimbangan maka konsekuensinya sanggup terjadi talak.

B.       Rumusan Masalah
1.      Apa penyebab terjadi talak?
2.      Bagaimana aturan suami yang mentalak bukan isterinya/ bukan mahramnya?
3.      Apa saja yang mengakibatkan tidak sahnya talak?

C.      Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui bagaiman penyebab terjadinya talak
2.      Untuk mengetahui aturan suami yang mentalak bukan isterinya/bukan mahramnya.
3.      Untuk mengetahui penyebab tidak sahnya talak.
BAB II
PEMBAHASAN

A.      Tentang Talak
وَعَنْ جَابِرٍ رَضِي الله عنه قاَلَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلى الله عَلَيه و سلم قَالَ: (لَاطَلَاقَ إِلَّابَعْدَنِكَاحٍ, وَلَاعِتْقَ إِلَّابَغْدَمِلْكٍ) رَوَاهُ أَبُوْويَغْلَى, وَصَحَّحَهُ الْحَاكِمُ, وَهُوَمَعْلُوْلٌ.
Artinya:
“Dari Jabir Ra., bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Tidak ada talak kecuali setelah nikah dan tidak ada pemerdekaan budak kecuali setelah dimiliki.” (HR. Abu Ya’la dan dinilai shahih oleh hakim).
Analisa Fiqih:
Dalam buku Fiqih Wanita karangan Anshori Umar bahwa pengertian talak berdasarkan syara’[1] ialah menetapkan tali perkawinan yang sah, baik seketika atau di masa menhadir oleh pihak suami dengan mengucapkan kata-kata tertentu.[2] Dalam Islam talak disyariatkan berdasarkan al-Qur’an, as-Sunnah, ijma’, dan akal. Dalam buku Shahih Fiqih Sunnah karangan Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim menerangkan bahwa aturan asal talak berdasarkan Jumhur Ulama yaitu mubah.[3] Namun, yang lebih utama ialah tidak melakukannya lantaran sanggup menetapkan jalinan kasih akung, kecuali lantaran suatu alasan. Namun, para jago Fiqih pada akhirnya bersepakat bahwa talak tercakup oleh lima aturan taklif [4] sesuai dengan kondisi dan keadaannya yaitu haram, makruh, mubah, mustahab (dianjurkan) dan wajib. Haram, apabila mentalak isteri pada ketika haid atau pada ketika suci di mana ia sudah menyetubuhinya. Makruh, ketika tidak ada keperluan untuk melaksanakan perceraian, padahal suami isteri itu kehidupan rumah tangganya masih normal. Mubah, ketika talak diharapkan disebabkan lantaran buruknya budbahasa seorang isteri. Mustahab, ketika seorang isteri melalaikan hak-hak Allah yang diwajibkan atasnya, ibarat shalat atau sejenisnya.[5] Wajib, apabila terjadi syiqaq (sengketa antara suami isteri).[6]
Dalam buku Hukum Perdata di Indonesia menerangkan bahwa para ulama klasik juga sudah mengulas duduk perkara putusnya perkawinan ini di dalam lembaran-lembaran kitab fiqih. Menurut Imam Malik sebab-sebab putusnya perkawinan yaitu talak, khulu, khiyar atau fasakh, syiqoq, nusyuz, ila’ dan zihar.[7] Sedangkan Islam mendorong terjadinya perkawinan yang senang dan abadi dan menghindarkan terjadinya perceraian (talak). Dapatlah dikatakan, pada prinsipnya Islam tidak memdiberi peluang untuk terjadinya perceraian kecuali pada hal-hal darurat.
Ada empat kemungkinan yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga yang sanggup memicu terjadinya perceraian, yaitu:
1.        Terjadinya nusyuz dari pihak isteri
Nusyuz bermakna kedurhakaan yang dilakukan seorang isteri terhadap suaminya. Hal ini bisa terjadi dalam bentuk pelanggaran perintah, penyelewengan dan hal-hal yang sanggup menganggu keharmonisan rumah tangga.[8]
Berdasarkan firman Allah mempersembahkan opsi sebagai diberikut:[9]
a.    Isteri didiberi nasihat dengan cara yang ma’ruf semoga ia segera sadar terhadap kekeliruan yang diperbuatnya.
b.    Pisah ranjang, cara ini bermakna sebagai eksekusi psikologis bagi isteri dan dalam kesendiriannya tersebut ia sanggup melaksanakan koreksi terhadap kekeliruannya.
c.    Apabila dengan cara ini tidak berhasil, langkah diberikutnya ialah memdiberi eksekusi fisik dengan cara memukulnya. Penting untuk dicatat, yang boleh dipukul yaitu kepingan yang tidak membahayakan si isteri ibarat betisnya.[10]
2.    Nusyuz suami terhadap isteri
Kemungkinan nusyuz tidak spesialuntuk hadir dari isteri tetapi sanggup juga hadir dari suami. Selama ini sering dipahami bahwa nusyuz spesialuntuk hadir dari pihak isteri saja. Padahal Al-Qur’an juga sebut adanya nusyuz dari suami sebagaimana yang tercantum dalam firman Allah SWT:
ÈbÎ)ur îor&zöD$# ôMsù%s{ .`ÏB $ygÎ=÷èt/ #·qà±çR ÷rr& $ZÊ#{ôãÎ) Ÿxsù yy$oYã_ !$yJÍköŽn=tæ br& $ysÎ=óÁム$yJæhuZ÷t/ $[sù=ß¹ 4 ßxù=Á9$#ur ׎öyz 3 ÏNuŽÅØômé&ur Ú[àÿRF{$# £x±9$# 4 bÎ)ur (#qãZÅ¡ósè? (#qà)­Gs?ur  cÎ*sù ©!$# šc%x. $yJÎ/ šcqè=yJ÷ès? #ZŽÎ6yz ÇÊËÑÈ  

Artinya:
“Dan bila seorang perempuan khawatir akan nusyuz atau perilaku tidak hirau dari suaminya, Maka tidak mengapa bagi keduanya Mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun insan itu berdasarkan tabiatnya kikir. dan bila engkau bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan perilaku tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah yaitu Maha mengetahui apa yang engkau kerjakan. (QS. An-Nisa: 128).[11]
Adapun nusyuz suami sanggup terjadi dalam bentuk kelalaian dari pihak suami untuk memenuhi kewajibannya terhadap isteri, baik nafkah lahir ataupun nafkah batin.[12]
3.    Terjadinya Syiqoq
Jika kedua kemungkinan di atas sudah disebutkan di muka menggambarkan satu pihak yang melaksanakan nusyuz sedangkan pihak yang lain dalam kondisi normal, maka kemungkinan yang ketiga ini terjadi lantaran kedua-duanya terlibat dalam syiqoq (percekcokan), contohnya disebabkan lantaran kesusahan ekonomi, sehingga keduanya saling bertengkar. Apabila percekcokan ini tidak sanggup lagi didamaikan, maka harus dilakukan beberapa proses.[13]
sepertiyang firman Allah SWT:
÷bÎ)ur óOçFøÿÅz s-$s)Ï© $uKÍkÈ]÷t/ (#qèWyèö/$$sù $VJs3ym ô`ÏiB ¾Ï&Î#÷dr& $VJs3ymur ô`ÏiB !$ygÎ=÷dr& bÎ) !#yƒÌãƒ $[s»n=ô¹Î) È,Ïjùuqムª!$# !$yJåks]øŠt/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JŠÎ=tã #ZŽÎ7yz ÇÌÎÈ  

Artinya:
“Dan bila engkau khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga pria dan seorang hakam dari keluarga perempuan. bila kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, pasti Allah memdiberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. An-Nisa: 35).
Berdasarkan ayat di atas, terang sekali aturan Islam dalam menangani duduk perkara kericuhan dalam rumah tangga. Dipilihnya hakam (arbitrator) ari masing-masing pihak di karenakan para mediator itu akan lebih mengetahui karakter, sifat keluarga mereka. Ini lebih simpel mendamaikan suami isteri yang sedang bertengkar. An-Nawawi dalam syarah muhazzab menyatakan bahwa disunahkan hakam itu dari pihak suami isteri, dan bila dihentikan maka dari pihak lain.[14]
4.    Salah satu pihak melaksanakan perbuatan zina yang mengakibatkan saling tuduh-menuduh di antara keduanya.
Teknik menyelesaikannya ialah dengan cara menunjukan tuduhan yang didakwakan, dengan cara li’an[15]. Jika diamati aturan fiqih yang berkenaan dengan talak, terkesan fiqih memdiberi aturan yang sangat longgar bahkan dalam tingkat tertentu mempersembahkan kekuasaan yang terlalu besar pada laki-laki.[16] Seolah-olah talak menjadi hak kuasa laki-laki, sehingga bisa saja seorang suami bertindak otoriter[17], contohnya menceraikan isteri secara sepihak.[18]
Analisa Hadis:
Dari hadis Jabir ra bahwa orang yang ingin menjatuhkan talak tersebut harus mempunyai relasi perkawinan dengan orang yang dijatuhkan talak (isteri), sehingga talak yang dijatuhkan itu dikatakan sah. Tetapi, sahnya talak tergantung dari situasi dan kondisi, lantaran apabila menjatuhkan talak tanpa melihat situasi dan kondisi maka aturan taklifnya akan berubah.

B.  Tentang Suami Yang Mentalak Bukan Isterinya
وَعَنْ عَمَىِوْبْنِ شُعَيْبٍ, عَنْ أَبِيْهِ, عَنْ جَدِّهِ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلى الله عَلَيْه وسلم (لَانَذْرَلِبْنِ ادَمَ فِيْمَا لَا يَمْلِكُ, وَلَا عِتْقِ لَهُ فِيْمَا لَا يَمْلِكُ, وَلَاطَلَاقَ لَهُ فِيْمَا لَا يَمْاِكُ)
Artinya:
“Dari Amar Ibnu Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya ra bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Tidak sah anak Adam (manusia) bernadzar dengan apa yang bukan miliknya, memerdekakan budak dengan budak yang bukan miliknya, dan menceraikan isteri yang bukan miliknya.” (HR. Abu Daud dan Tarmidzi).
Analisa Fiqih:
Adapun rukun talak dalam buku Fikih Munakahat karangan Abdul Rahman Ghazaly yaitu suami, isteri dan shigat/ ucapan talak. Suami mempunyai hak talak dan spesialuntuk dialah yang berhak menjatuhkan talak kepada isterinya.[19] Dan dalam buku Fiqih Perempuan karangan Dr. Tutik Hamidah, M.Ag juga menerangkan bahwa suami sangat berkuasa dalam menjatuhkan talak, sehingga ia bisa kapanpun menjatuhkan talak sesuai dengan kehendaknya.[20]
Ketika ia menjatuhkan talak dengan menyampaikan “Kamu saya talak”, maka jatuhlah talak kepada isterinya yang berakibat putusnya relasi suami isteri.[21] Dalam buku Fiqih Imam Syafi’i karangan Dr. Wahbah Zuhaili, tiruana rukun talak di atas mempunyai sejumlah syarat yang harus dipenuhi yaitu:[22]
a.    Syarat orang yang menalak
Talak dianggap sah bila dilakukan oleh suami yang berakal, baliqh, dan atas kehendak sendiri (mukhtar). [23]
·         Berakal
Suami yang gila tidak sah menjatuhkan talak. Yang dimaksud dengan gila dalam hal ini yaitu hilang budi atau rusak budi lantaran sakit.[24] Sedangkan dalam buku Shahih Fiqih Sunnah, Para ulama mengategorikan orang pulas, orang pingsan dan orang yang hilang kesadarannya (madhusy[25]) ke dalam kategori orang gila, lantaran hilangnya kelayakan pada mereka.[26]
·         Baligh[27]
Tidak dipandang jatuh talak yang ditetapkan oleh orang yang belum dewasa. Dalam hal ini ulama Hanabilah menyampaikan bahwa talak oleh anak sudah mummayiz apabila anak itu berumur kurang dari 10 tahun dan ia mengenal arti talak dan megetahui akibatnya, maka talak dipandang jatuh.
·         Atas kemauan sendiri
Yang dimaksud atas kemauan sendiri di sini ialah adanya kehendak pada diri suami untuk menjatuhkan talak itu dan dijatuhkan atas pilihan sendiri, bukan dipaksa orang lain.
b.    Syarat orang yang ditalak
Masing-masing suami spesialuntuk berhak menjatuhkan talak terhadap isterinya sendiri. Tidak dipandang jatuh talak yang dijatuhkan terhadap isteri orang lain. Untuk sahnya talak, bagi isteri yang ditalak disyaratkan sebagai diberikut:[28]
·         Isteri itu masih tetap berada dalam dukungan kekuasaan suami. Isteri yang menjalankan masa iddah talak raji’i[29] dari suaminya oleh aturan Islam dipandang masih berada dalam dukungan kekuasaan suami. Karenanya bila dalam masa itu suami menjatuhkan talak lagi, dipandang jatuh talaknya sehingga menambah jumlah talak yang dijatuhkan dan mengurangi hak talak yang dimiliki suami. Dalam hal talak bai’in[30], bekas suami tidak berhak menjatuhkan talak lagi terhadap bekas isterinya meski dalam masa iddahnya, lantaran dengan talak bai’in itu bekas isteri tidak lagi berada dalam dukungan kekuasaan bekas suami.
·         Kedudukan isteri yang ditalak itu harus berdasarkan atas kesepakatan perkawinan yang sah. Jika ia menjadi isteri dengan pernikahan yang batil, ibarat pernikahan terhadap perempuan yang dalam masa iddahnya, atau pernikahan dengan perempuan saudara isterinya (memadu atau dua perempuan bersaudara), atau pernikahan dengan anak tirinya padahal suami pernah menggauli ibu anak tirinya itu dan anak tiri itu berada dalam pemeliharaannya, maka talak yang demikian tidak dipandang ada.
c.     Shighat atau kata-kata talak
Kata-kata yang sanggup dipakai untuk talak itu ada yang sarih (jelas, tegas) dan ada yang kinayah (sindiran, tidak jelas). Kata-kata yang sarih ialah dengan memakai kata talaq (menceraikan), firaq (memisahkan), dan sarah (melepaskan). melaluiataubersamaini kata yang sarih maka jatuhlah talak suami kepada isterinya.[31]
Adapun kalau dengan kata yang kinayah tergantung kepada niat suami, artinya kalau di niatkan talak maka jatuh talak, tetapi kalau tidak diniatkan talak maka talaknya tidak jatuh. misal talak dengan kata kinayah yaitu “Engkau kini tidak bersuami lagi, maka pulanglah ke orang tuamu kini juga”.[32] Perkataan “Pulanglah kepada keluargamu” itu menunjukkan, bahwa orang yang berkata kepada isterinya bermaksud untuk menjatuhkan talak padanya, tetapi bila suami tidak berniat untuk mentalaknya, maka talaknya tidak jatuh. Karena berdasarkan Mazhab Syafi’i, Hanafi dan sebagian besar ulama jago bait bahwa kata-kata yang tegas tidak diharapkan niat.[33]
Analisa Hadis:
Dari hadis Amar Ibnu Syu’aib,  Nabi berkata bahwa talak yang dijatuhkan oleh suami terhadap perempuan yang bukan isterinya dikatakan tidak sah, lantaran taklik talak kepada orang yang bukan dalam ikatan pernikahan tidak berkonsekuensi aturan apapun, sehingga sanggup dikatakan sia-sia. Suami spesialuntuk boleh menjatuhkan talak terhadap isterinya sendiri, bukan perempuan yang bukan mahramnya (isteri orang lain).

C.      Tentang Tidak Sahnya Talak
وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا, عَنْ اَلنّوَعَبِيِّ صَلى الله عليه وسلم قاَلَ: (رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَا ثَةٍ: عَنِ اَلنَّائِمِ حَتَى يَسْتَيْقِظَ, وَعَنِ اَلصَّغِيْرِ حَتَى يَكْبُرَ, وَعَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى يَعْقِلَ, أَوْيَعْقِلَ).
Artinya:
“Dari Aisyah ra bahwa Nabi Saw besabda: “Pena diangkat dari tiga orang (malaikat tidak mencatat apa-apa dari tiga orang), yaitu: orang pulas hingga ia bangun, anak kecil hingga ia dewasa, dan orang gila hingga ia bakir normal atau sembuh.” (HR. Ahmad dan Imam Empat kecuali Tirmidzi).
Analisa Fiqih:
Dalam buku Fiqih Imam Syafi’i Jumhur ulama beropini bahwa syarat sahnya talak bagi suami yang mentalak yaitu berakal, baligh, dan atas kehendak sendiri (mukhtar).[34] Ada secara umum dikuasai ulama berpandangan bahwa bila anak kecil yang sudah mumayyiz[35] atau belum mumayyiz menjatuhkan talak, talaknya dinilai tidak sah. Karena dalam talak bergotong-royong murni bahaya, anak kecil tidaklah mempunyai beban taklif (beban kewajiban syari’at).[36]
Sedangkan dalam buku Fiqih Islam Wa Adillatuhu karangan Wahbah Zuhaili menerangkan bahwa murka (ghadhab) ada dua. Pertama, murka biasa yang tak hingga menghilangkan kesadaran atau akal, sehingga orang masih menyadari ucapan atau tindakannya. Kedua, murka yang sangat yang menghilangkan kesadaran atau akal, sehingga seseorang tak menyadari lagi ucapan atau tindakannya, atau murka sedemikian rupa sehingga orang mengalami kekacauan dalam ucapan dan tindakannya.[37] Sedangkan berdasarkan Ibnu Taimiyah dalam buku Fikih Sunnah karangan Sayyid Sabiq menerangkan apabila seorang pria daya nalar akalnya tidak berfungsi lagi atau tertutup, sehingga ia berbicara tidak dengan sengaja atau tidak tahu akan ucapannya. Sehingga maksud dan keinginannya tidak ada lagi dan talak ibarat ini tidak sah lantaran orang murka atau mabuk dikategorikan sama dengan orang gila atau orang yang hilang daya nalar akalnya.[38] Para fuqaha juga setuju bila suami menjatuhkan talak dalam keadaan murka yang sangat, talaknya tidak jatuh. Sebab ia dianggap bukan mukallaf lantaran hilang akalnya (za`il al-aql), ibarat orang pulas atau gila yang ucapannya tak bernilai hukum.[39] Namun fuqaha tidak sama pendapat terkena talak yang diucapkan dalam keadaan murka biasa (thalaq al-ghadbaan). Pertama, berdasarkan ulama mazhab Hanafi dan sebagian ulama mazhab Hambali talak ibarat itu tak jatuh. Kedua, berdasarkan ulama mazhab Maliki, Hambali, dan Syafi’i, talaknya jatuh.
Dalam buku Shahih Fiqih Sunnah marah itu ada tiga tingkatan yaitu:[40]
·      Kemarahan menimpa seseorang spesialuntuk pada penlampauan atau permulaan saja, di mana budi dan kesadarannya tidak berubah, serta mengetahui hal ini tidak ada kemusykilan tentang jatuh talaknya. Apalagi bila talak itu dijatuhkannya setelah berulang kali dipertimbangkannya.
·      Kemarahan sudah mencapai puncaknya, di mana pintu pengetahuan dan kehendak menjadi tertutup padanya, sehingga ia tidak mengetahui apa yang diucapkan dan apa yang dikehendakinya. Mengenai hal ini tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang jatuh talaknya.
·      Orang yang kondisi marahnya di antara dua tingkatan tadi. Ia sudah dirasuki dengan penlampauan-penlampauan amarah, namun ia tidak hingga pada puncaknya di mana ia menjadi ibarat orang gila. Ini duduk perkara yang diperselisihkan dan objek kajian kalangan ulama.[41]
Analisa Hadis:
Dari hadis di atas diketahui bahwa orang pulas hingga ia bangun, anak kecil hingga ia sampaumur dan orang gila hingga ia bakir atau sembuh, apabila melaksanakan menjatuhkan sesuatu hukumnya dikategorikan tidak sah. Dalam duduk perkara talak salah satu syarat suami yang menjatuhkan talak yaitu bakir dan baligh. Jadi, bila orang yang sedang pulas menjatuhkan talak maka talaknya tidak sah, lantaran para ulama sudah mengategorikan orang pulas, orang pingsan dan orang yang hilang kesadarannya ke dalam kategori orang yang gila. Sedangkan anak kecil yang sudah mumayyiz (bisa membedakan ancaman dan manfaat, baik dan jelek) atau belum mumayyiz menjatuhkan talak, berdasarkan ulama juga talaknya dinilai tidak sah. Karena dalam talak bergotong-royong murni bahaya, anak kecil tidaklah mempunyai beban taklif (beban kewajiban syari’at).







BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
·           Talak ialah menetapkan tali perkawinan yang sah, baik kini atau dikemudian hari oleh pihak suami dengan kata-kata tertentu. Adapun penyebab terjadinya talak yaitu karenan adanya nusyuz dari pihak isteri, nusyuz suami terhadap isterinya, adanya percekcokan antara suami isteri yang tidak sanggup diatasi lagi, dan diantara mereka ada yang melaksanakan perbuatan zina terhadap orang lain yang mengakibatkan saling tuduh-menuduh diantara keduanya.
·           Rukun dan syarat talak ada tiga yaitu orang yang menalak (suami), orang yang ditalak (isteri), dan sighat talak (ucapan). Syarat suami yang menalak yaitu harus suami itu sendiri, apabila talak dijatuhkan kepada isteri orang lain/ bukan mahramnya, maka dipandang tidak sah berdasarkan hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi.
·           Syarat sahnya talak bagi suami yaitu suami itu harus berakal, baligh dan atas kehendak sendiri. Apabila anak kecil yang sudah mumayyiz (bisa membedakan ancaman dan manfaat, baik dan jelek) atau belum mumayyiz menjatuhkan talak, maka talaknya dinilai tidak sah. Karena talak anak kecil ini tidak mempunyai beban taklif (beban kewajiban syari’at). Begitu juga dengan talak suami yang mabuk atau suami yang sedang murka sangat dikategorikan oleh para ulama sebagai orang gila yang tidak mempunyai akal, sehingga ucapan yang dilontarkannya tidak mengandung talak atau dianggap tidak sah sesuai dengan hadis Nabi yang diriwayatkan Ahmad dan Imam Empat kecuali Tirmidzi.

B.  Saran
·           Tujuan dari perkawinan yaitu untuk membina rumah tangga yang sakinah dan mawaddah, untuk itu kita sekuat mungkin sanggup bisa mempertahankannya. Masalah dalam rumah tangga yaitu hal yang wajar, maka dari itu apabila kita mendapat duduk perkara dalam rumah tangga, cobalah kita selesaikan dengan otak yang hambar dan jalan yang diridhoi oleh Allah. Sebab apabila kita mengambil jalan perceraian, maka hal yang demikian itu sangat dimurkai oleh Allah, memang perceraian yaitu hal yang dihalalkan tetapi ini dibenci oleh Allah.











DAFTAR PUSTAKA

Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah, Jakarta: Pustaka at-Tazkia, 2006.
Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Rajpertamai Press, 1995.
Anshori Umar, Fiqih Wanita, Semarang: CV. Asy-Syifa, 1981.
Azhari Akmal Tarigan dan Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Grouf, 2006.
Dr. Tutik Hamidah, M.Ag., Fiqh Perempuan (Berwawasan Keadilan Gender),  Malang: UIN-Maliki Press, 2011.
Drs. H. Abdul Rahman Ghazaly. M.A., Fikih Munakahat, Jakarta: Kencana, 2003.
Mu’ammal Hamidy, dkk, Terjemahan Nailul Authar (Himpunan Hadis-Hadis Hukum), Jilid 5, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1984.
Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jakarta: Gema Insani, 2011.
Prof. Dr. Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’I, Jilid 2, Jakarta: Alahlia, 2010.
Sayid Sabiq, Fikih Sunnah 8, Cet. 1, Jakarta: Kalam Ilmu, 1990.
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan di Indonesia, Jakarta: UI Press, 1986.



[1] Hukum Syara’ yaitu permintaan Syâri’ yang berkaitan dengan perbuatan hamba (manusia), baik berupa iqtidla (tuntutan), takhyir (pilihan) ataupun wadl’I (penetapan), (lihat http://pompysyaiful.com/tsaqofah/pengertian-hukum-syara-sebuah-penlampauan-ushul-fiqh.html)
[2] Anshori Umar, Fiqih Wanita, (Semarang: CV. Asy-Syifa, 1981), h. 386
[3] Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah, (Jakarta: Pustaka at-Tazkia, 2006), h 31
[4] Taklif ialah mengandung isyarat akan kepastian adanya pihak yang memdiberi atau melimpahkan beban kepada pihak yang menerimanya. (lihat http://www.nimusinstitute.com/taklif-dan-mukalaf).
[5] Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah, op.cit., h. 317
[6] Mu’ammal Hamidy, dkk, Terjemahan Nailul Authar (Himpunan Hadis-Hadis Hukum), Jilid 5, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1984), h. 2312
[7] Azhari Akmal Tarigan dan Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grouf, 2006), h. 207
[8] Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajpertamai Press, 1995), h. 270
[9] Ibid, h. 271
[10] Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan di Indonesia, (Jakarta: UI Press, 1986), h. 93
[11] Ibid, h. 94
[12] Ibid
[13] ibid
[14] Azhari Akmal Tarigan dan Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, op.cit., h. 214
[15]  Yaitu sumpah dengan redaksi tertentu yang diucapkan suami bahwa isterinya sudah berzina atau ia menolak bayi yang lahir dari isterinya sebagai anak kandungnya, dan kemudian sang isteri pun bersumpah bahwa tuduhan suaminya yang dialamatkan kepada dirinya itu bohong. (lihat http://alislamu.com/muamalah/16-hudud/328-bab-lian.html).
[16] Azhari Akmal Tarigan dan Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, op.cit., h. 214
[17] Yaitu berkuasa sendiri, dan bertindak sewenanmg-wenang (lihat http://artikata.com/arti-343096-otoriter.html).
[18] Azhari Akmal Tarigan dan Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, op.cit., h. 216
[19]  Drs. H. Abdul Rahman Ghazaly. M.A., Fikih Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003), h. 201 
[20] Dr. Tutik Hamidah, M.Ag., Fiqh Perempuan (Berwawasan Keadilan Gender),  (Malang: UIN-Maliki Press, 2011), h. 127
[21] ibid
[22] Prof. Dr. Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’I, Jilid 2, (Jakarta: Alahlia, 2010), Cet. 1, h. 580
[23] ibid                              
[24] Drs. H. Abdul Rahman Ghazaly. M.A., Fikih Munakahat, op.cit., h. 202
[25] Yaitu orang kehilangan kemampuannya dalam membedakan lantaran kondisi murka atau lainnya sehingga tidak menyadari apa yang diucapkannya. (lihat buku Fiqih Shahih Sunnah, h. 321)
[26] Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah, op.cit., h. 321
[27] Baligh ialah sudah sampainya usia seseorang pada tahap kedewasaan dan seseorang dikatakan baligh apabila : Pertama, dia sanggup mengetahui, memahami dan bisa membedakan yang mana baik dan buruk. Kedua, sudah mencapai usia 15 tahun ke atas atau sudah mengalami mimpi berair (bagi laki-laki) dan sudah mencapai usia 9 tahun ke atas atau mengalami menstruasi (bagi perempuan).
[28] Drs. H. Abdul Rahman Ghazaly. M.A., Fikih Munakahat, op.cit., h. 203
[29] Yaitu talak yang mana suami boleh kembali kepada isterinya dalam masa iddahnya tanpa mengadakan kesepakatan baru, walaupun tanpa kerelaan isterinya. (lihat buku Shahih Fiqih Sunnah, h. 356)
[30] Yaitu talak yang mengakibatkan suami tidak berhak untuk merujuk isteri yang ditalaknya. (lihat buku Fiqih Shahih Sunnah, h. 372).
[31] . Drs. H. Abdul Rahman Ghazaly. M.A., Fikih Munakahat, op.cit., h. 202
[32] Ibid
[33]Mu’ammal Hamidy, dkk, Terjemahan Nailul Authar (Himpunan Hadis-Hadis Hukum), op.cit., h. 2345
[34]  Prof. Dr. Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’I, op.cit., h. 580
[35] Yaitu bisa membedakan ancaman dan manfaat, baik dan buruk (lihat http://www.artikata.com/arti-341583-mumayiz.html)
[36] Prof. Dr. Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’I, op.cit., h. 580
[37]Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani, 2011), h. 343
[38] Sayid Sabiq, Fikih Sunnah 8, (Jakarta: Kalam Ilmu, 1990), Cet. 1, h. 22
[39] Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunnah, op.cit., h. 321
[40] Ibid, h. 329
[41] Ibid, h. 330

Posting Komentar untuk "Penyebab Terjadinya Talaq"