Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menimbang Efektivitas Kebijakan Pengampunan Pajak (Tax Amnesty)

Ketika pemerintah suatu negara menghadapi defisit anggaran, salah satu upaya yang dilakukan untuk menutup defisit tersebut ialah melalui perangkat fiskal (fiscal instrument). Dari instrumen kebijakan fiskal yang ada, kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty policy) termasuk kebijakan yang sering menimbulkan pro dan kontra; lantaran pada umumnya kebijakan perpajakan ialah berupa penegakan peraturan (law enforcement), sehingga kebijakan pengampunan pajak terkesan menjadi kutub yang berlawanan.

Ketika pemerintah suatu negara menghadapi defisit anggaran Menimbang Efektivitas Kebijakan Pengampunan Pajak (Tax Amnesty)
Dari sisi tata kelola pemerintahan, kebijakan pengampunan pajak bukan sekadar menyangkut kebijakan ekonomi pemerintah selaku pemegang kendali kebijakan fiskal, melainkan juga bersangkut paut dengan kepentingan politik dari banyak sekali pihak.

Oleh hasilnya tidak mengherankan jikalau terjadi tarik-ulur wacana anutan dan pelaksanaannya di lapangan. Namun demikian, artikel ini membatasi ruang lingkup dengan menyajikan beberapa hasil penelitian terkena efektivitas kebijakan pengampunan pajak.



Secara umum, tax amnesty ialah kebijakan pemerintah yang dilakukan dengan mempersembahkan “pemutihan” (peniadaan) atas pajak terutang, baik yang tercatat maupun yang tidak tercatat, dengan berlandaskan pada kekuatan hukum.

Kebijakan tax amnesty mesti dibedakan dengan kebijakan pengurangan terhadap hukuman denda dan/atau bunga yang dibebankan kepada wajib pajak atas keterlambatan pembayaran dan/atau pelaporan surat pemdiberitahuan pajak, lantaran dasar aturan dan tujuan yang disasar memang tidak sama.

Adapun tujuan yang dibutuhkan dengan pemberlakuan tax amnesty diantaranya:
  • dengan mempersembahkan pengampunan atas utang-utang pajak, dibutuhkan menumbuhkan kesadaran wajib pajak untuk lebih patuh di masa menhadir.
  • untuk meningkatkan jumlah wajib pajak, baik secara rasio maupun dalam bemasukan angka, sehingga secara potensial bisa meningkatkan penerimaan negara disektor pajak.
  • untuk mengumpulkan pajak-pajak yang belum tertagih di periode-periode sebelumnya.
  • untuk meningkatkan pencatatan data dan informasi terkena wajib pajak dan kewajiban perpajakannya, sehingga bisa meningkatkan pengawasan terhadap kemungkinan pelanggaran pajak (tax evasion).
  • untuk mempersembahkan kepastian aturan atas kewajiban wajib pajak, sehingga bisa mengurangi kekhawatiran akan timbulnya hukuman yang lebih berat di masa menhadir.

Namun demikian, Summers (1987), dalam studinya menyimpulkan adanya sisi negatif yang justru merugikan upaya peningkatan penerimaan pajak, yakni pada perspektif dari wajib pajak yang termasuk dalam kategori wajib pajak patuh.

Mereka yang secara administratif termasuk dalam kategori patuh akan merasa ada perlakuan “tidak adil” (unfairness), lantaran pelanggar pajak ternyata mendapat pengampunan. Efek dari “ketidakadilan” ini berpotensi menurunkan tingkat kepatuhan, dengan alasan bahwa suatu ketika akan mendapat pengampunan pajak juga (Summers, L.H. Tax Policy and the Economy, NBER Book Series, Cambridge, 1987).

Penelitian lain menyimpulkan bahwa dampak pemberlakuan tax amnesty bisa menimbulkan persoalan baru. Hal tersebut disebabkan oleh konsep tax amnesty sendiri. Artinya apabila ada penghasilan yang diperoleh dengan cara melawan hukum, menyerupai pengpetangan, korupsi, penyelundupan, pembersihan uang (money laundering), dan kejahatan ekonomi lain, termasuk dalam kriteria mendapat tax amnesty, ini sama artinya dengan me’legal’kan tindakan kriminal.

Kemudian alasan diberikutnya juga senada dengan hasil studi sebelumnya, yakni perasaan tidak adil yang diterima oleh wajib pajak patuh, sehingga dalam jangka panjang justru bisa menurunkan kepatuhan mereka (Nar, M. The Effects of Behavioral Economics on Tax Amnesty, International Journal of Economics and Financial Issues, 2015).

Selain dua penelitian tersebut diatas, studi komprehensif juga dilakukan oleh Leonard dan Zeckhauser (1987), yang melaksanakan penelitian wacana pemberlakuan tax amnesty di beberapa negara pecahan di Amerika Serikat dalam kurun 1982 hingga dengan 1986.

Dasar penelitian tersebut menyasar pada tujuan yang dibutuhkan dari penerapan tax amnesty, yakni selain untuk meningkatkan kepatuhan dan mengumpulkan pajak belum tertagih, juga biar masyarakat memaafkan pelanggar aturan, biar para pelanggar tersebut menjadi jera untuk mengulangi perbuatannya. Selain itu, pemdiberian tax amnesty juga dimaksudkan untuk mengayomi tiruana pihak.

Adapun temuan-temuan penelitian itu menyatakan bahwa:
  • dalam kenyataannya, bencana pelanggaran pajak sangat susah bahkan tidak mungkin dideteksi. Oleh karenanya, kebijakan tax amnesty justru mengurangi rasa bersalah para pelanggar aturan dan berpotensi melakukannya lagi di masa menhadir.
  • wajib pajak patuh akan mencicipi ketidakadilan akhir adanya pengampunan pajak yang diberlakukan. Ini justru bisa menimbulkan pertentangan dan memicu pelanggaran-pelanggaran baru.
(Leonard, and Zeckhauser. Amnesty, Enforcement, and Tax Policy, MIT Press, 1987).

Kesimpulannya, beberapa penelitian diatas mengatakan bahwa pemberlakuan kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty) lebih banyak menimbulkan dampak negatif daripada manfaatnya. Selain itu, efektivitas tax amnesty ternyata tidak terukur dalam jangka panjang. **


ARTIKEL TERKAIT :
Memahami Pengertian Kebijakan Stimulus Fiskal (Fiscal Stimulus)
Peran Pajak Dalam Pembangunan dan Perekonomian
Memahami Arti Pelanggaran Pajak (Tax Evasion) dan Penghindaran Pajak (Tax Avoidance)
Mengenal Shadow Economy

Posting Komentar untuk "Menimbang Efektivitas Kebijakan Pengampunan Pajak (Tax Amnesty)"