Maqashidul Syariah
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam al qur’an banyak sekali ayat yang menyinggung insan untuk selalu berfikir dengan apa yang sudah diciptakannya. melaluiataubersamaini maksud supaya lebih mengetahui dan mendalami hakikat apa yang terkandung dalam hal penciptaan tersebut. Banyak sekali sesuatu yang Allah sudah ciptakan di alam jagad raya ini. Termasuk diri kita sebagai seorang manusia. Untuk apa Allah menciptakannya? apa manfaat yang terkandung dalam penciptaan manusia? dan mengapa insan itu di ciptakan?. Pertanyaan demikian akan sanggup dijawaban ketika seseoarng sudah bisa mempelajari, memahami, dan mengaplikasikan ilmu filsafat dalam kehidupan sehari-hari.
Semua ilmu yang sudah dipelajari insan merupan hasil dari filsafat yang mereka lakukan untuk mencari suatu kebenaran yang bisa di uji kebenarannya dengan hal yang ilmiah. Al qur’an sudah usang mengajarkan segala macam ilmu yang mereka butuhkan, akan tetapi spesialuntuk segelintir dari mereka yang mau mendalami, memahami, dan mencermati hal yang tercantum di dalam al qur’an. Jika mereka tiruana mengetahui apa yang Allah sudah tegaskan dalam al qur’an, pasti tidak ada lagi suatu keingkaran yang akan terjadi. Di dalam al qur’an banyak firman Allah yang sudah menegaskan tentang larangan, perintah dan ancaman, yang hal tersebut di syari’atkan ( undang-undang) oleh agama islam. Agama islam sudah mensyariatkan hal tersebut, supaya tindak-tanduk insan tidak sesuka hati mereka dalam melaksanakan sesuatu.
Sebenarnya agama islam sudah usang mensyari’atkan hal yang dihentikan dan yang di perbolehkan. Akan tetapi banyak insan yang spesialuntuk mengetahuinya, tetapi tidak melaksanakannya. Padahal islam sudah mengaturnya dengan sedemikian rupa. Agar insan bisa mengontrol perbuatannya, untuk kesejahtraan hidup mereka juga kelak nantinya. Karena tanpa ada peraturan, maka kehidupan pasti akan kacau balau berantakan. melaluiataubersamaini adanya peraturan yang sudah dibentuk oleh Allah, melalui al qur’an sebagai kitabnya, dan Rasul sebagai orang yang memberikan isi dari al qur’an tersebut. Makara sudah jelaslah bahwa agama islam ialah agama yang benar, yang sudah mengatur para pemeluknya untuk taat kepada hal yang sudah disyaria’atkan oleh Allah melalui al qur’an dan Rasul sebagai orang yang memberikan isi kandungannya.
Beranjak dari paparan di atas kami sebagai pemakalah mencoba untuk menyajikan sebuah bahan yang berjudul “MAQASHIDUL SYARIAH’’ yang di diberikan oleh dosen pengampu mata kuliah “Filsafat Hukum Islam” bapak: Dr. H. Sukarni M, Ag.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Maqashidul Syariah ?
2. Berpapa pemberian Maqashidul Syariah ?
3. Bagaimana tingkatan Maqashidul Syariah ?
4. Bagaimana kemampuan budi memahami syari’ah ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Penngertian Maqashidul Syariah
Maqashid syriah terdiri dari dua kata yakni maqashid dan syariah. Maqashid ialah jamak dari kata “qasada” yang artinya menhadirkan sesuatu, juga berarti tuntutan, kesengajaan, dan tujuan. Syariah berarti jalan menuju sumber air yang sanggup pula diartikan sebagai jalan ke arah pokok sumber keadilan.
Menurut difinisi yang didiberikan para ahli, syariah ialah segala kitab Allah yang bekerjasama dengan tindak-tanduk insan diluar budbahasa diatur sendiri. melaluiataubersamaini demikian syariat ialah nama bagi hukum-hukum yang bersifat amaliyah.
Perlu diketahui bahwa syara’ tidak membuat hukum-hukumnya dengan kebetulan, tetapi dengan hukum-hukum itu bertujuan untuk mewujudkan maksud-maksud yang umum. oleh syara’ dalam membuat nash-nash itu. Haruslah diingat bahwa petunjuk-petunjuk lafal dan ibaratnya terhadap makna sebenarnya, adakala mendapatkan beberapa makna yang ditarjihkan yang salah satu maknanya ialah mengetahui maksud syara’.
Di samping itu, kerap kali juga nash-nash yang satu dengan lainnya berperihalan. Dalam hal ini tidak ada yang sanggup menghilangkan perperihalan tersebut dan mentaufiqkan antara keduanya, selain dengan mengetahui apa yang dimaksud oleh syara’ tentang nash-nash tadi.
Para ulama yang sudah menulis tentang maksud-maksud syara’, beberapa maslahah dan sebab-sebab yang menjadi dasar syariah sudah memilih bahwa maksud-maksud tersebut di bagi dalam dua golongan sebagai diberikut:
1. Golongan ibadah, yaitu mengulas masalah-masalah ta’abbud yang bekerjasama eksklusif antara insan dan Khaliqnya, yang satu per satunya sudah dijelaskan oleh syara’
2. Golongan muamalah duniyawiyah معاملة دنياوية ,yaitu kembali kepada masalah-masalah dunia, atau seprti yamg ditegaskan oleh Al-Izz Ibnu Abdis sebagai diberikut:
التكاليف كلها راجعة الى مصلحا العباد في دنياهم واخراهم والله غني عن عبادة الكل لاتنفعه طاعة الطاءعين ولاتضره معصية العامينين .
Aryinya : “Segala macam aturan yamg membebani kita tiruananya, kembali kepada masalah di dalam dunia kita, ataupun dalam akherat Allah tidak memerlukan ibadah kita itu. Tidak memdiberi manfaat bagi Allah taatnya taatnya orang yang taat, sebagaimana tidak memdiberi mudharat kepada Allah maksiatmya orang yang durhaka.
Syariah menjadi tonggak hidup, penawar, dan sinar yang cemerlang. Segala kebajikan dalam wujud ini tiruananya dipetik dari syariah dan hasil dari syariah. Dan segala belum sempurnanya dalam wujud ini ialah lantaran menyia-nyiakan syariah. Syariah yang dibawa oleh Rasul SAW. Merupakan sendi dunia akherat.[1]
B. Macam-macam Mqashidul Syariah
Beberapa ulama ushul sudah mengumpulkan beberapa maksud yang umum dari menasyri’kan aturan menjadi tiga kelompok, yaitu :
1. Memelihara segala sesuatu yang dharuri bagi insan dalam penghidupan mereka.
Urusan-urusan yang dharuri itu ialah segala yang diharapkan untuk hidup manusia, yang apabila tidak di peroleh akan mengakibatkan rusaknya undang-undang kehidupan, timbulah kekacauan, dan berkembangnya kerusakan.
Urusan-urusan yang dharuri itu kembali pada lima pokok:
1. Agama
2. Jiwa
3. ‘Aqal
4. Keturunan
5. Harta
Syara’ sudah mensyariatkan setiap dharuriah yang lima ini dengan banyak sekali macam aturan yang menjamian terwujudnya dharuriah dan terpeliharanya dharuriah tersebut. Segala aturan yang menjamin terwujudnya urusan yang lima waktu itu, atau memeliharanya, dipandang dharuri pula.
2. Menyempurnakan segala yang dihayati manusia
Urusan yang dihayati insan itu ialah segala sesuatu yang diharapkan insan untuk megampangkan dan menanggung kesukaran-kesukaran taklif dan beban-beban hidup. Apabila urusan itu tidak diperoleh, tidak merusak peraturan hidup dan tidak mengakibatkan kekacauan, melaikan spesialuntuk tertimpa kesempitan dan kesukaran saja. Urusan-urusan yang dihayati dalam pengertian ini, melengkapi segala hal yang menolak kepicikan, meentengkan kesukaran taklif dan megampangkan jalan-jalan bermuamalah.
3. Mewujudkan keindahan bagi perseorangan dan masyarakat
Yang dikehendaki dengan urusan-urusan yang mengindahkan ialah segala yang diharapkan oleh rasa kemanusiaan, kesusilaan, dan keseragaman hidup. Apabila yang demikian ini tidak diperoleh, tidaklah cidera peraturan hidup dan tidak pula ditimpa kepicikan. Hanya dipandang tidak boleh oleh budi yang berpengaruh dan fitnah yang sejahtera.
Urusan-urusan yang mewujudkan keindahan ini dalam arti kembali kepada soal budbahasa dan budbahasa istiadat yang cantik dan segala sesuatu untuk mencapai keseragaman hidup melalui jalan-jalan yang utama.
C. Tingkatan Maqashidul Syariah
Tingkatan maqashid syriah sanggup diuraikan sebagai diberikut:
Urusan-urusan dharuri ialah sepenting-pentingnya maksud. Karena apabila urusan-urusan dharuri dharuri itu tidak diperoleh, akan mengakibatkan kerusakan dalam kehidupan, menghilangkan keamanan, dan merajalela keganasan.
Di bawahnya ialah urusan haji, yaitu segala hal yang dihayati manusia, lantaran ketiadaanya membawa insan dalam kepicikan dan kesukaranya. Sesudah itu diikuti oleh urusan tahsini (takmili), yaitu urusan-urusan yang mewujujdkan keindahan. Kehilangannya, tidak membawa kepicikan bagi manusia, melaikan menjauhkan insan dari kesempurnaan kemanusian.
Dalam pada itu, tidak dipelihara aturan yang bersifat mewujudkan keindahan apabila mencerakan sesuatu aturan yang dihayati dan tidak dipelihara suatu aturan yang dipeliharanya mencederakan aturan dharuri. Karena itu, boleh membuka aurat untuk keperluan berobat. Menutip aurat itu ialah suatu urusan yang mengindahkan, sedang berobat suatu urusan dharuri. Dan dibolehkan kita makan najis untuk obat dan dalam keadaan terpaksa. Tidak boleh makan (memegang) najis ialah urusan yang mengindahkan, sedangkan menolak kemudharatan ialah urusan dharuri.
Wajib kita mengerjakan segala yang wajib walaupun mengakibatkan sedikit kesukaran, lantaran wajib itu termasuk golongan dharuri, sedabgkan urusan menolak kesukaran dan kepicikan ialah urusan tahsini yang mengindahkan. Karena itu, tidaklah dipelihara urusan yang mengindahkan, menhadirkan kesenangan, apabila merusakkan dharuri.
Segala aturan dharuri tidak boleh kita cinderakan, kecuali kalau suatu dharuri yang lebih penting daripadanya.
Atas dasar inilah kita diwajibkan berjihad untuk memelihara agama. Sebab memelihara agama ialah lebih penting daripada memelihara jiwa. Minum arak dibolehkan, terhadap orang yang dipaksa atau terpaksa, lantaran memelihara jiwa lebih penting daripada memelihara akal. Apabila perlu untuk memelihara jiwa, kita boleh membinasakan harta orang lantaran memelihara jiwa lebih pentimg daripada memelihara harta.[2]
D. Kemampuan Akal Mengetahui Syari’at
Mengenai tugas dan kemampuan budi memilih aturan sebelum turunnya syari’at, ada tiga pendapat yang dikemukakan para ulama ushul fiqh.
1. Ahlus sunah wal jama’ah berpendapat bahwa sebelum hadirnya Rasul dan turunnya syari’at, budi insan tidak bisa memutuskan hukum. Akal insan tidak bisa mengetahui perbuatan baik dan jelek tanpa mediator rasul dan kitab-kitab samawi (kitab yang hadir dari Allah). Alasan mereka ialah firman Allah dalam surat Al isra’ ayat 15:
3 $tBur $¨Zä. tûüÎ/ÉjyèãB 4Ó®Lym y]yèö6tR Zwqßu .
Artinya: “Dan Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang rasul
Dalam ayat ini, Allah secara tegas meniadakan perhitungan dan adzab atau siksa terhadap seseorang sebelum diutusnaya seoramg Rasul yang membawa risalah Ilahi. Di samping itu, dalam surat An-Nisa’ 165, Allah juga berfiman :
W xy¥Ï9 tbqä3t Ĩ$¨Z=Ï9 n?tã «!$# 8p¤fãm y÷èt/ È@ß9$#
Artinya : “Agar tidak ada alasan bagi insan untuk membantah Allah sehabis diutusnya rasul-rasul.”
(QS. An-Nisa’ : 165)
Ayat ini juga menerangkan bahwa pertanggungjawabanan dan penghitungan terhadap insan spesialuntuk akan dilakukan seyelah diutus-Nya para rasul untuk memberikan hukum-hukum Allah kepada umat manusia.
Secara logika, berdasarkan ahlus sunah wal jama’ah, tidak ada kewajiban bagi Allah untuk memutuskan baik terhadap sesuatu yang dipandang baik oleh akal, sehingga insan diperintahkan untuk mengerjakannya. Allah juga tidak memutuskan keburukan yang dipandang jelek oleh budi manusia, sehingga insan diperintahkan untuk meninggalkannya. Allah memiliki kehendak yang mutlak, tanpa bergantung kepada sesuatu. Ia bisa melaksanakan apa saja dan kepada siapa saja, sekalipun hal itu tidak bermanfaa. Namun, berdasarkan induksi dari banyak sekali firman Allah diketahui bahwa apa yang diperintahkan Allah itu pasti mengandung manfaat bagi umat insan dan apa yang dihentikan pasti mengandung kemudharatan.
2. Mu’tazilah mengatakan bahwa budi insan bisa memilih hukum-hukum Allah tersebut sebelum hadirnya syari’at. Akal insan bisa memilih sesuatu itu baik dan jelek tanpa perentara kitab samawi dan rasul. Sesuatu dikatakan baik dan jelek terletak pada dzatnya. Oleh alasannya ialah itu, baik dan jelek sanggup dicapai dan diputuskan melalui akal. Alasan mereka ialah ayat yang dikemukakan oleh Ahlus sunah wa jama’ah diatas. Menurut mereka kalimat Rasul dalam ayat itu berarti akal. Oleh alasannya ialah itu, terjemahan ayat tersebut bagi mereka ialah kami tidak akan mengadzab seseorang hingga Kami diberikan budi padanya.”
Secara logika, berdasarkan mereka, sebagian perbuatan dan perkataan itu, mirip iaman dan bersikap benar, ialah pekerjaan yang semestinya dilakukan manusia, untuk itu orang yang melaksanakan pekerjaan tersebut dipuji, lantaran sokap kepercayaan dan perilaku benar itu baik pada dzatnya sendiri. Sebaliknya, ada perbutan yang pada dzatnya ialah jelek dan pada budi menolak umtuk melakukannya, mirip berdusta, memdiberi mudharat pada orang lain dan bersikap kafir. Perbuatan-perbuatan mirip ini apabila dikerjakan, pelakunya akan menerima kecemasan dari manusia. Oleh alasannya ialah itu, dalam perbuatan dan perkataan mirip ini tidak diharapkan adanya alasan untuk mendukungnya. Perinsip yang dipegang kaum mu’tazilah dalam dilema ini ialah bahwa hasan dan qabih ialah produk akal, bukan bukan didasarkan pada syara’. Akibatnya dari pendapat ini ialah bahwa bagi orang yang belum hingga kepadanya syari’at dan rasul, dikenakan kewajiban melaksanakan sesuatu yang berdasarkan akalnya baik dan untuk itu mereka didiberi Allah imbalan. Disamping itu, mereka juga dituntut unutuk meninggalkan perbuatan yang oleh akalnya dinilai buruk, dan apabila mereka kerjakan, maka mereka menerima eksekusi dari Allah.
Mu’tazilah juga beropini bahwa aturan yang diputuskan Allah bagi insan ialah sesuatu yang dicapai oleh budi lantaran pada perbutan itu terdapat manfaat atau mudhadrat. Terhadap perbuatan atau perkataan mirip ini, Allah memutuskan aturan bagi manusia, yaitu perintah untuk melaksanakannya apabila baik, dan meninggalkannya apabila buruk. melaluiataubersamaini demikian, yang baik berdasarkan budi ialah baik dan dituntut oleh syara’ untuk dikerjakan serta mengerjakannya didiberi pahala. Sebaliknya, yang jelek dalam pandangan budi dituntut oleh syara’ untuk ditinggalkan dan yang mengerjakannya akan didiberi hukuman.
3. Maturidiyah berupaya menengahi kedua pendapat di atas. Menurut mereka, ada perbuatan atau perkataan yang pada dzatnya baik dan buruk. Allah tidak memerintahkan insan untuk melaksanakan perbuatan yang pada dzatnya ialah buruk, sebagaimana Allah juga tidak melarang suatu perbuatan yang dzatnya ialah baik. Tehadap perkataan dan perbuatan lain yang kebaikan dan keburukannya tidak terletak pada dzat perbuatan dan perkataan itu sendiri, syara’ memiliki wewenang untuk menetapkannya. Sampai di sini pendapat Maturidiyah sama dengan Mu’tazilah.
Akan tetapi, Maturidiyah berpendapat bahwa perbuatan atau perkataan yang dipandang baik atau jelek oleh budi tidak wajib dikerjakan dan yang mengerjakannya tidak akan menerima imbalan semata-mata melalui akal. Demikian pula sebaliknya. Menurut mereka, kewajiban untuk mengerjakan yang baik ketentuan imbalan bagi pelakunya tidajk sanggup diputuskan oleh budi semata, tetapi harus didasarkan oleh nash (ayat atau hadist). Demikian pula kewajiban untuk meninggalkan perbuatan atau perkataan yang dianggap jelek oleh budi dan siksa yang ditimpakan atas pelakunya, tidak sanggup ditentukan melalui budi saja, tetapi harus dengan nash. Menurut mereka, budi tidak sanggup bangkit sendiri dalam memilih suatu kewajiban. Implikasi dari pendapat mereka ini ialah sekali pun insan melalui akalnya sanggup memilih buruknya sesuatu sebelum pemdiberitahuan dari kitab samawi dan rasul, namun budi tidak sanggup memilih bahwa baik itu wajib dikerjakan dan yang jelek wajib ditinggalkan. Persoalan imbalan atau siksa juga tidak sanggup ditentukan oleh akal. Seseorang yang sebelum adanya syari’at tidak mengerjakan yang baik tidak sanggup dikenkan hukuman dan yang melaksanakan sesuatu yang jelek tidak pula sanggup dikenakan hukuman berdasarkan pendapat budi semata.
Allah juga tidak wajib memerintahkan mnusia untuk melaksanakan sesuatu yang baik berdasarkan akal, sebagaimana Allah juga tidak wajib memerintahkan untuk meninggalkan pekerjaan yang berdasarkan budi buruk.
Implikasi lain dari perbedaan pendapat di atas yang berkaitan dengan masalah aturan terletak pada masalah posisi budi dalam ijtihad, apakah budi sanggup menjadi salah satu sumber? Ahlus sunah wal jama’ah dan Maturiyah bahwa budi tidak sanggup secara bangkit sendiri menjadi sumber aturan islam. Akan tetapi, berdasarkan mereka, budi berperan penting dalam menangkap menangkap maksud-maksud syara’ dalam mensyari’atkan aturan dan memutuskan kaidah-kaidah umum dalam menggali aturan islam, bukan sebagai penentu hukum. Menurut Muhammad Abu Zahrah, seluruh produk fiqih ialah hasil daya budi insan yang hingga ketika ini tidak akan habis-habisnya. Namun, budi yang dipergunakan insan tersebut harus senantiasa bersandar kepada nash, bukan terlepas sama sekali dari nash.
Sedangkan Mu’tazilah dan Syi’ah Ja’fariah mengatakan bahwa budi ialah sumber aturan islam ketiga sehabis Al-Qur’an dan Sunah.[3]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setiap aturan yang Allah sudah memutuskan ialah bukan berarti secara kebetulan, melainkan ada nilai kebaikan yang terdapat di dalamnya. Setiap tindak-tanduk insan pasti ada aturan yang menjadi alat untuk mengontrol perbuatannya. Karena seandainya peraturan itu tidak ada niccaya, kacau lah kehidupan manusia. Maka dari itu Allah mengutus para Rasulnya sebagai penyampai risalah-Nya. Agar insan bisa hidup secara teratur dengan adanya peraturan.
Maksud dibuatnya aturan itu, bukan berarti tujuannya untuk dilanggar oleh manusia. Melaikankan, tujuan dari diputuskannya hukun tersebut untuk ditaati. Karena banyak sekali klarifikasi dalam Al-qur’an tentang jawaban Allah yang dilimpahkan bagi orang yang melanggar peraturan, yaitu berupa kesengsaraan diakhirat kelak. Dan jawaban kenikatan diperuntukan bagi orang yang taat.
DAFTAR PUSTAKA
Umam, Khairul, dan Aminudin, A. Achyar, Ushul Fiqih II , Bandung, CV Pustaka, 1998
Umam, Khairul, Dkk, Ushul Fiqih I, Bandung, CV Pustaka Setia, 1998
Posting Komentar untuk "Maqashidul Syariah"