Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Konsep Dasar Etika


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Ketika Islam diyakini sebagai suatu agama sekaligus suatu system, maka pertanyaan yang terkait dengannya ialah dapatkah Islam mempersembahkan tuntunan beretika dalam islam? melaluiataubersamaini adanya tuntutan tersebut diperlukan bisa mempersembahkan nuansa bisnis yang Islami.
Islam mempunyai pedoman dalam mengarahkan umatnya untuk melaksanakan amalan. Pedoman tersebut ialah al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Sebagai sumber anutan Islam, setidaknya sanggup memperlihatkan nilai-nilai dasar atau prinsip-prinsip umum yang penerapannya dalam bisnis diubahsuaikan dengan perkembangan zaman dan mempertimbangkan dimensi ruang dalam waktu Islam sering kali dijadikan sebagai model tatanan kehidupan. Hal ini tentunya sanggup digunakan untuk pengembangan lebih lanjut atas suatu tatanan kehidupan tersebut, termasuk tatanan kehidupan bisnis.
Oleh alasannya ialah itulah, maka upaya mengambil prinsip atau pedoman dari al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai contoh dalam pengembangan tatanan pola kehidupan perlu dilakukan. Makalah ini disajikan dengan maksud mempersembahkan citra ihwal tatanan kehidupan yang sangat penting yang menyangkut ihwal etika, alasannya ialah etika menjadi suatu tatanan kehidupan sehari-hari dalam diberinteraksi antara insan dengan insan yang lainnya, dan etika itu harus berlandaskan al-Qur’an dan Sunnah Nabi, baik etika terhadap Tuhan, orang tua, orang lain, berbinis dan lain-lain.


Nah terkena ihwal Etika, dalam makalah ini saya akan mengulas terkena etika bisnis dalam Islam dan non Islam. Sehingga kiata sanggup membandingkan perbedaan dan persamaan system etika bisnis dalam Islam dan non Islam dan untuk lebih jelasnya terkena etika bisnis dalam Islam dan non Islam akan dibahas dalam potongan selanjutnya.

B.     Rumusan Masalah

1.      Bagaimana Pengertian Bisnis Pada Umumnya dan Islami
2.      Bagaimana Pengertian Etika Pada Umunya dan Islami?
3.      Bagaimana System Etika Pada Umumnya (Kontemporer)?
4.      Bagaiman System Etika Dalam Islam?









BAB I
PEMBAHASAN

A.    Konsep Dasar Etika
Ada beberapa konsep dasar yang berafiliasi dengan etika. Masing-masing konsep tersebut mempunyai arti tidak sama, yaitu:
·         Etika ialah norma insan harus berjalan, bersikap sesuai nilai/norma yang ada.
·         Moral ialah hukum dan nilai kemanusiaan (human conduct & value) , ibarat sikap, sikap dan nilai.
·         Etika ialah tata karma/sopan santun yang dianut oleh suatu masyarakat dalam kehidupannya.
·         Nilai ialah penetapan harga sesuatu sehingga sesuatu itu mempunyai nilai yang terukur.
·         Moralitas ialah hukum yang bberhubungan dengan apakah sumber hokum selalu sesuai dengan moral?
·         Hokum ialah ketentuan ihwal apakah kegiatan yang tidak tidak boleh oleh hokum selalu sesuai dengan moral?

B.     Pengertian Bisnis Pada Umumnya Dan Islami
Bisnis ialah sebuah acara yang mengarah pada peningkatan nilai tambah melalui proses penyerahan jasa, perdagangan atau pengolahan barang (produksi). Dalam terminology bahasan ini, pembiayaan ialah pendanaan, baik aktif maupun pasif, yang dilakukan oleh forum pembiayaan kepada nasabah.
 Sedangkan bisnis ialah acara berupa jasa, perdagangan dan industry guna meterbaikkan nilai keuntungan[1]
Sementara Anoraga & Soegiastuti (1996) mendefinisikan bisnis sebagai acara jual beli barang jasa. Straub & Attner (1994) mendefinisikan bisnis ialah suatu organisasi yang menjalankan acara produk dan penjualan barang dan jasa  akhirnya yang diinginkan oleh konsumen untuk memperoleh profit.

C.    Pengertian Etika Bisnis
Menurut Issa Rafiq Beekun, etika sanggup didefinisikan sebagai seperangkat prinsip moral yang membedakan yang baik dari  yang buruk. Etika ialah bidang ilmu yang bersifat normative alasannya ialah ia berperan menentukan apa yang harus dilakukan atau tidak dilakukan oleh seseorang individu. Etika bisnis, kadangkala merujuk kepada etika administrasi atau etika organisasi, yang secara sederhana membatasi kerangka acuannya kepada konsepsi sebuah organisasi.
Dalam islam, istilah yang paling bersahabat berafiliasi dengan istialh etika di dalam al-Qur’an ialah khuluq. Al-Qur’an juga mempergunakan sejumlah istilah lain untuk menggambarkan konsep ihwal kebaikan yaitu khayr (kebaikan), birr (kebenaran), qist (persamaan), ‘adl (kesetaraan dan keadilan), haqq (kebenaran dan kebaikan), ma’ruf (mengetahui dan menyetujui), dan taqwa (ketakwaan). Tindakan yang terpuji disebut sebagai salihat dan tindakan yang tercela disebut sebagai sayyi’at.
Adapun terma yang berafiliasi dengan etika dalam al-Qur’an yang secara pribadi ialah al-khuluq. Al-khuluq dari kata dasar khaluqa-khuluqan, yang berarti tabi’at, budi pekerti, kebiasaan, kesatriaan, keprawiraan.
Kata dasar khuluq  yaitu khaluqa  sangat berdekatan sekali dengan kata dasar khalaqa-khalaqan  yang berarti menjadikan, menciptakan.Di dalam al-Qur’an kata khuluq  ini disebut dua kali yaitu pada surat al-Qalam[(68):4], dalam pengertian berbudi pekerti yang luhur.[2]

“Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang agung.”
Makna berbudi pekerti yang luhur inilah yang dimaksud dengan akhlak. Adapun kata tabiat sendiri terambil secara terperinci dari hadits Nabi yang terkenal, yang artinya  “Sesungguhnya Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak.”
Ayat keempat pada surat al-Qalam diatas menegaskan bahwa Allah sudah menimbulkan nabi Muhammad mempunyai rasa malu, mulia hati, pemberani, penyabar dan segala tabiat yang mulia. Digambarkan oleh Siti Aisyah bahwa tabiat Nabi ialah al-Qur’an yang berjalan. Mempunyai kasih akung terhadap manusia, menjalankan sikap pemaaf, menyeru untuk mengerjakan yang makruf dan berpaling dari orang-orang yang bodoh. Ayat ini juga mengisyarakat bahwa tabiat yang mulia tidak akan berada bersama kegilaan. Semakin baik tabiat manusia, maka kan semakin jauh dari kegilaan. Dari sisi historis-sosiologis, ayat ini mengandung bantahan atas tuduhan sikap gila, alasannya ialah secara berdasarkan pandangan historis-sosiologis(asbabunnuzul) ayat sebelumnya, yaitu ayat 2, dijelaskan bahwa orang kafir menuduh nabi sebagai orang gila, bahkan sebagai syaitan. Di dalam asbabunnuzul, ayat ke-4 dijelaskan bahwa tabiat Nabi tidak ada yang melebihinya. Apabila seorang memanggilnya baik ia teman dekat, keluarga atau isi rumahnya, ia selalu menjawaban “labbaik”. melaluiataubersamaini demikian ayat ini menegaskan bahwa Nabi berakhlak terpuji.
Dalam tradisi pemikiran Islam dari kata khuluq  ini kemudian lebih dikenal dengan tema akhlak, atau al-falsafah al-adabiyyah.  Menurut Ahmad Amin tabiat ialah ilmu yang menerangkan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh insan kepada lainnya, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh insan di dalam perbuatan mereka dan memperlihatkan jalan untuk melaksanakan apa yang harus diperbuat. Atau ialah citra rasional terkena hakikat dan dasar perbuatan dan keputusan yang benar serta prinsip-prinsip yang menentukan klaim bahwa perbuatan dan keputusan tersebut secara moral diperintahkan dan dilarang.
Karena adanya pengertian khuluq-akhlak yang pada pada dasarnya ialah citra atau studi kritis ihwal sikap insan dari sudut pandang kebaikan dan keburukan, maka etika al-Qur’an sanggup dikembangkan dari terma-terma yang terkait pribadi dengan ruang lingkup akhlak. Terma-terma yang dimksud misalnya, al-khair, al-birr, al-qist, al-adl, al-haqq, al-ma’ruf, at-taqwa, ash-shalihat, as-syayyi’att, asy-syar dan lain-lain. Hal ini pula yang sudah dilakukan . oleh golongan yang menyebarkan tipologi etika Islam moralitas scriptural.[3]
Etika al-Qur’an mempunyai sifat humanistic dan rasionalistik. Humanistic dalam pengertian mengarahkan insan pada pencapaian hakikat kemanusiaan yang tertinggi dan tidak berperihalan dengan fitrah insan itu sendiri. Sebaliknya bersifat rasionalistik bahwa tiruana pesan-pesan yang di ajarkan al-Qur’an terhadap insan sejalan dengan prestasi rasionalitas insan yang tertuang dalam karya-karya para filosof. Pesan-pesan al-Qur’an ibarat permintaan kepada kebenaran, keadilan, kejujuran, kemembersihkanan, meghormati orang tua, bekerja keras, cinta ilmu tiruananya tidak ada yang berlawanan dengan kedua sifat diatas.
Dari penjelaskan di atas sanggup disimpulkan bahwa secara normative, etika dalam al-Qur’an belum memperlihatkan sebagai suatu struktur yang berdiri sendiri dan terpisah dari struktur lainnya, sebagaimana terpahami dari ilmu tabiat struktur etika dalam al-Qur’an lebih banyak menerangkan ihwal nilai-nilai kebaikan dan kebenaran baik pada tataran niat atau ilham hingga sikap dan perangai. Hal ini lebih tegas lagi bila dilihat dari penggambaran sikap dan sikap Nabi Muhammad yang disebut al-Qur’an sebagai yang mempunyai tabiat yang agung. Keberadaan nilai-nilai ini bersifat terbuka, menjelajah memasuki tiruana lini bidang kehidupan.
melaluiataubersamaini demikian etika bisnis dalam al-Qur’an dari sudut pandang ini, tidak spesialuntuk sanggup dilihat dari aspek etika secara parsial, akrena bsinis pun dalam pandangan al-Qur’an sudah menyatu dengan nilai-nilai etika itu sendiri. Al-Qur’an secara terperinci menggambarkan perilaku-perilaku bisnis yang tidak etis, yang sanggup ditelusuri dari muara kebatilan dalam bisnis.[4]

D.    System Etika Pada Umumnya
System etika Islam tidak sama dari system etika sekuler dan dari anutan moral yang diyakini oleh agama-agama lain. Sepanjang rentang sejarah peradaban, model-model sekuler ini mengasumsikan anutan moral yang bersifat sementara dan berubah-ubah alasannya ialah didasarkan pada nila-nilai yang diyakini para pencetusnya, contohnya Epicurianisme  atau anutan ihwal kebahagian demi kebahagian semata. Model-model ini pada umumnya membangun sebuah system etika yang terpisah dari agama. Pada ketika yang sama, anutan moral yang diyakini oleh sejumlah agama lain seringkali terlampau menekankan nilai-nilai yang mengabaikan eksistensi kita di dunia ini.
Sebagai contoh, anutan Nasrani yang terlampau menekankan kedudukan biara sudah mendorong pengikutnya untuk menyingkir dari hiruk-pikuk dan kesibukan kehidupan sehari-hari. Sebaliknya, anutan Islam yang menempel dalam sitem etika Islam menekankan relasi antara insan dengan Sang Pencipta. Karena Allah Maha Sempurna dan Maha Mengetahui, maka kaum Muslim mempunyai anutan moral yang tidak terikat waktu dan tidak dipengaruhi oleh sikap manusia. Ajaran etika Islam sanggup diterapkan hingga kapanpun alasannya ialah Sang Pencipta berada lebih bersahabat dari urat leher manusia, dan mempunyai pengetahuan yang tepat dan awet. [5]
a.      Relativisme
Relativisme menekankan bahwa tidak ada criteria tunggal, universal yang sanggup digunakan untuk menetukan apakah suatu tindakan disebut etis atau tidak. Setiap orang mempergunakan kriterianya masing-masing, dan criteria ini mungkin tidak sama dari satu kebudayaan ke kebudayaan yang lain. Sebagai akibatnya, huruf etis dalam nilai-nilai dan sikap social yang tidak sama haris dilihat dalam konteks budaya secara khusus. Karenanya, acara bisnis di negar lain terikat oleh norma dan nilai-nilainya tersendiri.
Sejumlah problem mengikuti system relativisme ini yaitu:
1.      Paham ini bersifat berpusat pada diri sendiri. Paham ini spesialuntuk memseriuskan perhatian semata-mata pada individu dan mengabaikan interaksi dengan atau pun masukan dari unsure luar. Pendekatan ini mengambil jalan yang berlawanan dengan Islam. Islam menekankan bahwa sikap dan nilai-nilai seorang individu harus didasarkan pada criteria-kriteria yang ditetapkan dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasul.

2.      Paham ini mengimplikasikan sikap pemalas secara inheren dalam diri si pembuat keputusan, ia barangkali akan menbenarkan perilakunya sekedar dengan merujuk criteria yang didasarkan pada kepentingan pribadinya. Islam, sebaliknya menghindarikan diri dari pembuat keputusan-keputusan yang didasarkan semata-mata pada persepsi seseorang terhadap suatu situasi. Prinsip berkonsultasi atau shura dengan orang lain ialah sebuah aspek intrinsic dalam proses pembuatan keputusan bisnis Muslim. Egoism tidak mendapat daerah dalam Islam.
b.      Utilitarianisme
Yaitu menyatakan bahwa “arti penting moralitas yang menuntun seseorang sanggup ditentukan spesialuntuk berdasarkan konsekuensi perilakunya”. Suatu tindakan disebut etis kalau mempersembahkan hasil yang berupa laba atau “kebaikan” terbesar bagi sebagian besar orang./ karenanya, pandangan utilitarian sangat berorientasi hasil.
Permasalahan yang dihadapi system etika ini cukup banyak. Menurut Beekun dijelaskan sebagai diberikut:
1.      Siapakah yang menentukan apa yang “baik” bagi sebagian besar orang? Apakah kekayaan, kesenangan, atau kesehatan?
2.      Bagaimana dengan kaum minoritas? Jika sebagian besar orang di Amerika memutuskan bahwa dogma percintaan bebas dibenarkan dinegara tersebut, siapakah yang akan melindungi kepentingan kaum minoritas yang masih percaya kepada paham matrimony dan relasi monogamy ibarat yang diperintahkan Allah SWT?
3.      Bagaimana kerugian dan laba bias dinilai ketika muncul problem yang tidak bias diukur secara kuantitatif, ibarat contohnya kesehatan?
4.      Hak dan kewajiban individu diabaikan demi kepentingan hak dan kewajiban kolektif. Hal ini bertetangan dengan Islam, alasannya ialah keduanya, hak individu dan kolektif sama-sama penting.
Lebih jauh, seorang Muslim tidak sanggup menyalahkan umat alasannya ialah kesalahannya pribadi, setiap orang harus bertanggungjawaban atas tindakannya sebagai individu.
Akhirnya, pandangan utilitarian memutuskan hakekat etis tindakan di masa depan dengan cara menimbang kerugian dan keuntungannya, dan sanggup dengan praktis berubah kea rah sebalinya. Bahaya ini dengan praktis dilihat dengan pendekatan mikroekonomi etika bisnis yang mendominasi kebanyakan pemikiran bisnis Barat yang paling mendasar.
Paham mikroekonomi menekankan hokum pareto optimality. Hokum ini menekankan efisiensi penerapan sumber daya untuk memuaskan kebutuhan konsumen, mengesampingkan tiruana kebutuhan untuk mempertimbangkan persoalan-persoalan etis, dan menekankan secara berlebihan upaya terbaikisasi keuntungan. Milton Friedman memaparkan pendekatan mikroekonomi terhadap etika administrasi sebagai diberikut : Sejumlah kecil kecendrungan mungkin melandasi sepenuhnya dasar-dasar masyarakat kita yang bebas sebagai penerimaan, oleh para pemilik perusahaan, tanggungjawaban social ketimbang untuk menghasilkan sebanyak uang bagi para pemegang saham mereka.
Berperihalan dengan pendekatan mikroekonomi terhadap etika bisnis, terbaikisasi laba bukanlah tujuan tertinggi ataupun satu-satunya prinsip etis perdangangan dalam Islam. Allah SWT sudah berfirman dalam al-Qur’an yang artinya :

 “Harta dan anak ialah pemanis kehidupan di dunia, namun amalan-amalan yang awet dan saleh ialah lebih baik pahalanya di mata Allah SWT, dan lebih baik sebagai landasan harapan-harapan.
c.       Universalisme
Berbeda dengan pandangan utilitarian yang menekankan aspek hasil suatu keputusan universalisme memseriuskan diri pada tujuan suatu keputusan atau tindakan. Prinsip kunci yang mendasari mazhab universalisme ialah prinsip Kant terkena imperative kategoris.
Prinsip ini terdiri dari dua bagian, yaitu:
1.      Seseorang harus menentukan untuk bertindak, spesialuntuk kalau ia berkemauan untuk memdiberi peluang setiap orang di muka bumi ini dalam situasi yang sama untuk membuat keputusan yang sama dan bertindak dengan cara yang sama.
2.      Orang lain harus diperlakukan sebagai tujuan, yang dihargai dengan penuh martabat dan penghormatan, tidak semata sebagai alat untuk mencapai tujuan. Sebagai konsekuensinya, pendekatan ini memseriuskan diri pada kewajiban yang harus dilakukan seorang individu terhadap individu lain dan juga terhadap kemanusiaan.
d.      Hak-hak
Pendekatan hak terhadap etika menekankan sebuah nilai tunggal, kebebasan. Agar disebut etis, keputusan-keputusan dan tindakan harus didasarkan pada hak-hak individu yang menjamin kebebasan memilih. Pendekatan ini berkeyakinan bahwa individu mempunyai hak-hak moral yang bersifat tidak sanggup ditawar-tawar. Sebagai missal, setiap orang Amerika secara hokum dijamin haknya untuk mempunyai kebebasan, mempunyai martabat dan memilih. Hak-hak ini, pada gilirannya membawa kepada kewajiban yang saling menguntungkan diantara para pemegang hak tersebut. melaluiataubersamaini demikian, para pekerja mempunyai hak untuk mendapat upah yang adil dan lingkungan kerja yang aman. Para majikan mempunyai hak untuk berharap supaya perdagangannya tetap belakang layar dan tidak dibocorkan oleh para pekerjanya.
Pendekatan hak terhadap etika sanggup disalah gunakan. Sejumlah individu mungkin bersikeras menyampaikan bahwa hak-hak mereka mempunyai prioritas yang lebih tinggi dibanding hak orang lain, dan ketidakadilan akan terjadi. Hak juga membutuhkan pembatasan-pembatasan. Peraturan industry yang menguntungkan masyarakat barangkali masih tetap menginjak-injak hak sejumlah individu atau kelompok tertentu. Sebagai contoh, peraturan industry yang terlalu ketat yang mengharuskan hukum pakaian khusus tertentu demi alasan keamanan barangkali sebaiknya perlu mengesampingkan kepentingan kaum wanita Muslim untuk berpakaian secara sopan.
Berperihalan dengan mitos yang selalu diulang-ulang oleh para Orientalis, Islam hadir untuk kebebasan. Sebagai contoh, Islam memdiberi umat insan kebebasan untuk menentukan keyakinannya sendiri. Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an yang artinya:
“Tidak ada paksaan dalam Bergama: Kebebasan sudah terperinci tidak sama dari kesesatan siapapun yang menolak yang jahat dan percaya kepada Allah SWT, maka ia sudah berpegang kepada seutas tali yang sangat bias dipercaya, yang tidak akan pernah putus. Dan Allah Maha Mendengar dan Mengetahui segala sesuatu.”
Namun demikian, Islam hadir demi keseimbangan dan menolak gagasan menganai kebebasan tanpa tanggungjawaban. Manusia harus bertanggungjawaban terhadap tindakannya. Secara intuiitif kebebasan terbesar bekerjsama justru diperoleh melalui ketaatan. Bahkan, sekali seseorang percaya kepada Allah SWT, maka ia akan memperoleh aneka macam macam kebebasan yang artinya:
“Katakanlah: Dialah Allah, Yang Maha Esa, Allah ialah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.”
Islam membebaskan kaum Muslim dari perbudakan insan atau apapun kecuali Allah SWT.
e.       Keadilan Distributif
Pendekatan terhdap etika ini berkisar pada satu nilai tunggal yaitu keadilan. Agar disebut etis, keputusan-keputusan dan tindakan harus menjamin pemberian kekayaan, laba dan kerugian secara adil. Terdapat lima prinsip untuk menjamin pemberian laba dan kerugian secara adil :
1.      Setiap orang mendapat pemberian yang sama.
2.      Setiap orang mendapat potongan sesuai dengan kebutuhan masing-masing.
3.      Setiap iorang mendapat potongan sesuai donasi social masing-masing.
4.      Seiap orang mendapat potongan sesuai jasanya.
5.      Setiap orang mendapat potongan sesuai usaha masing-masing.
Islam mendukung prinsip keadilan. Merujuk kepada al-Qur’an, peranan firman-firman Allah SWT yang disampaikan oleh Rasul-Nya ialah untuk menegakkan keadilan. Kaum Muslim yang berkedudukan sebagai pemimpin diperlukan untuk bertindak adil terhadap pengikut atau bawahannya. Seperti dalam hadits Nabi yang artinya :
“Rasulullah SAW (semoga rahmat terlimpah kepadanya) berkata,”Seorang pemimpin (kaum Muslim) ialah perisai bagi mereka. Mereka berjuang dibelakangnya dan terlindungi olehnya (dari para tiran penjajah). Jika ia takut kepada Allah SWt, yang Maha Agung dan Maha Kuasa, dan berbuat adil, amka pahala yang besar ialah untuknya, dan kalau ia bertindak sebaliknya, maka dosa yang besar ialah untuknya.”

Prinsip keadilan distributive Islam mencakup beberapa aspek hal-hal sebagai diberikut:
·         Setiap orang berhak untuk menguasai jak milik secara individual atau dalam kelompok bersama orang lain. Kepemilikan sumber daya yang penting oleh Negara spesialuntuk diperbolehkan kalau demi kepentingan umum.
·         Orang-orang miskin mempunyai hak sebagian kekayaan yang dikumpulakan oleh orang-orang kaya samapi pada batas bahwa kebutuhan dasar setiap orang dalam masyarakat bias terpenuhi. Karena Allah sudah meninggikan anak keturunan Adam dan memdiberinya aneka macam hal yang baik, maka kebutuhan dasar seluruh umat insan harus terpenuhi. INI ganjal an mengapa rahmat infaq, yakni pengeluaran sukarela untuk kepentingan orang-orang miskin ditekankan dalam al-Qur’an dan juga dalam sejumlah hadits. Sebagai contoh, Rasulullah SAW berkata:
“Sadaqah yang paling tepat ada dalam kepuasan perut yang kosong.”

·         Eksploitasi insan pada tiruana tingkatan, dalam bentuk apapun dan dalam kondisi apapun ialah anti-islam dan harus diakhiri. Sebagai contoh, pabrik-pabrik yang mengeksploitasi orang-orang miskin dengan upah yang sangat rendah demi kepentingan menurunkan biaya produk ialah tidak islami.
Secara umum Islam mendukung tiruana prinsip dalam pendekatan keadilan distributive terhadap etika, namun dalam proporsi yang seimbang. Islam tidak mendukung prinsip keadilan buta. Kebutuhan semata-mata tidak memerlukan keadilan. Karenanya, seorang Muslim yang tengah berusaha untuk keluar dari situasi yang menindas lebih membutuhkan menolongan dibandingkan orang yang sekedar menuntut hak sebagian kekayaan dari orang-orang kaya.[6]

f.       Hokum tuhan
Keputusan-keputusan etis dibentuk berdasarkan hokum Tuhan yang ada didalam kitab suci dan gejala alam. Banyak penulis (termasuk Thomas Aquinas) percaya bahwa dengan mempelajari baik kitab suci maupun alam, insan akan sanggup bersikap etis.
Islam mempunyai perspektif yang tidak sama. melaluiataubersamaini mendasarkan diri pada al-Qur’an menyimpulkan bahwa insan sudah diperintahkan oleh Allah untuk melaksanakan dua bentuk pembacaan yang tidak sama secara terus menerus yaitu pembacaan firman-firman Allah (al-Qur’an) dan pembacaan alam semesta. Mereka yang spesialuntuk melaksanakan pembacaan dalam bentuk yang pertama akan menjadi asketis yaitu membuat mereka tidak seimbang dan tidak bisa untuk berfikir sendiri.
Al-Qur’an ialah petunjuk menuju eksistensi yang sejati, dan eksistensi yang sejati ialah petunjuk menuju al-Qur’an. Pengetahuan yang sejati mungkin tidak akan bias dicapai kecuali melalui pembacaan kedua sumber itu secara utuh.
Sebagai hasil dua pembacaan itu, hukum etika Islam tidak sama dengan hukum moral ibarat yang diyakini oleh agama lain. Agama Kristen, sebagaimana juga beberapa agama timur lain cendrung menekankan sifat kesementaraan kehidupan ini, dan nilai-nilai meditasi serta penyingkiran dari dunia ini. Islam, disisi lain, menekankan bahwa kesalehan tidak diperoleh dengan cara melepaskan diri dari kehidupan dunia ini. Seorang Muslim harus mengambarkan kesalehannya melalui partsipasi aktif dalam problem kehidupan sehari-hari dan melalui usaha dalam kehidupan untuk melawan kezalimin. Gagasan terkena partisipasi aktif insan dalam dunia material ialah potongan konsep tazkiyah, yakni pertumbuhan dan pemmembersihkanan, dan sangat penting berkaitan dengan teori ekonomi islam. melaluiataubersamaini kata lain, seorang Muslim diperlukan berpatisipasi aktif di dunia dengan satu tuntunan bahwa segala bentuk perkembangan dan pertumbuhan material harus ditunjukan demi keadilan social dan pertumbuhan material harus ditujukan demi keadilan social dan peningkatan ketakwaan spiritual baik bagi ummah maupun bagi dirinya sendiri. [7]

E.     Sistem Etika Islam
Berdasarkan pembahasan diatas, sejumlah parameter kunci system etika Islam sudah terungkap, dan sanggup dirangkum sebagai diberikut:
·         Berbagai tindakan ataupun keputusan disebut etis bergantung pada niat individu yang melakukannya. Allah Maha Kuasa dan mengetahui apapun niat kita sepenuhnya dan secara sempurna.
·         Niat baik yang diikuti tindakan yang baik akan dihitung sebagai ibadah. Niat yang halal tidak sanggup mengubah tindakan yang haram menjadi halal.
·         Islam mempersembahkan kebebasan kepada individu untuk percaya dan bertindak berdasarkan apapun keinginannya, namun tidak dalam hal tanggungjawaban dan keadilan.
·         Percaya kepada Allah SWT member individu kebebasan sepenuhnya dari hal apapun atau siapapun kecuali Allah.
·         Keputusan yang menguntungkan kelompok secara umum dikuasai ataupun minoritas tidak secara pribadi berarti bersifat etis dalam dirinya. Etika bukanlah permainan terkena jumlah.
·         Islam mempergunakan pendekatan terbuka terhadap etika, bukan sebagai system yang tertutup, dan berorientasi diri sendiri. Egoisme tidak mendapat daerah dalam anutan Islam.
·         Keputusan etis harus didasarkan pada pembacaan secara bahu-membahu antara al-Qur’an dan alam semesta.
·         Tidak ibarat system etika yang diyakini banyak agama lain, Islam mendorong umat insan untuk melaksanakan tazkiyah melalui partisipasi aktif dalam kehidupan ini. melaluiataubersamaini berprilaku secara etis di tengah godaan ujian dunia, kaum Muslim harus bisa mengambarkan ketaatannya kepada Allah SWT.[8]












BAB III
PENUTUP
Simpulan
Bisnis ialah sebuah acara yang mengarah pada peningkatan nilai tambah melalui proses penyerahan jasa, perdagangan atau pengolahan barang (produksi). Sementara Anoraga & Soegiastuti (1996) mendefinisikan bisnis sebagai acara jual beli barang jasa. Straub & Attner (1994) mendefinisikan bisnis ialah suatu organisasi yang menjalankan acara produk dan penjualan barang dan jasa  akhirnya yang diinginkan oleh konsumen untuk memperoleh profit. Sedabgkan etika sanggup didefinisikan sebagai seperangkat prinsip moral yang membedakan yang baik dari  yang jelek atau Etika ialah bidang ilmu yang bersifat normative alasannya ialah ia berperan menentukan apa yang harus dilakukan atau tidak dilakukan oleh seseorang individu.
System etika terbagi dua yaitu sitem etika pada umumnya (kontemporer) dan system etika Islam.
 System etika pada umumnya (kontemporer) terbagi 6 yaitu:
1.      Relativisme
2.       Utilitarianisme
3.      Universalisme
4.      Hak-Hak
5.       Keadilan Distributive ,dan
6.      Hukum Tuhan.


Sedangkan system etika dalam islam yaitu:
1.      Berbagai tindakan ataupun keputusan disebut etis bergantung pada niat individu yang melakukannya
2.      Niat baik yang diikuti tindakan yang baik akan dihitung sebagai ibadah
3.      Islam mempersembahkan kebebasan kepada individu untuk percaya dan bertindak berdasarkan apapun keinginannya, namun tidak dalam hal tanggungjawaban dan keadilan.
4.      Percaya kepada Allah SWT member individu kebebasan sepenuhnya dari hal apapun atau siapapun kecuali Allah.
5.      Keputusan yang menguntungkan kelompok secara umum dikuasai ataupun minoritas tidak secara pribadi berarti bersifat etis dalam dirinya.
6.      Islam mempergunakan pendekatan terbuka terhadap etika, bukan sebagai system yang tertutup, dan berorientasi diri sendiri. Egoisme tidak mendapat daerah dalam anutan Islam.
7.      Keputusan etis harus didasarkan pada pembacaan secara bahu-membahu antara al-Qur’an dan alam semesta.
8.      Tidak ibarat system etika yang diyakini banyak agama lain, Islam mendorong umat insan untuk melaksanakan tazkiyah melalui partisipasi aktif dalam kehidupan ini.





DAFTAR PUSTAKA

·         Yusanto Dan Wijayakusuma. 2002.  Mengggagas Bisnis Islam. Gema Insgua Press. Jakarta

·         Muhammad & Alimin. 2004. Etika & Perlindungan Konsumen Dalam Ekonomi Islam. BPFE. Yogyakarta

·         Hermawan Kartajaya & Muhammad Syakir Sula. 2006. Syariah Marketing. Mizan. Jakarta

·          Fakhri, Madjis. 1996. Etika Dalam Islam. Pustaka Pelajar Dan Pusat Studi Islam UMS. Yogyakarta

·         Muslich. 1998. Etika Bisnis Pendekatan Substantif & Fungsional. Ekonisia. Yogyakarta

·         Ibnu Miskawih. 1994. Menuju Kesempurnaan Akhlak,  Mizan. Bandung

·         Qardhawi, Yusuf. 1997. Peran Nilai & Moral Dalam Perekonomian Islam. Robbani Perss. Jakarta


[1] Yusanto Dan Wijayakusuma, Mengggagas Bisnis Islam, (Jakarta:Gema Insgua Press, 2002),hlm 29
[2] Muhammad & Alimin, Etika & Perlindungan Konsumen Dalam Ekonomi Islam ,(Yogyakarta: BPFE, 2004), hlm 44-45
[3] Hermawan Kartajaya & Muhammad Syakir Sula, Syariah Marketing, (Jakarta: Mizan, 2006), hlm 98
[4] Madjid Fakhri, Etika Dalam Islam.(Yogyakarta : Pustaka Pelajar Dan Pusat Studi Islam UMS, 1996) hlm 15-20               
[5] Ibid, hlm 100
[6] Muslich, Etika Bisnis Pendekatan Substantif & Fungsional, (Yogyakarta : Ekonisia, 1998), hllm 56-58
[7] Ibnu Miskawih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, (Bandung : Mizan, 1994), hlm 110
[8] Yusuf Qardhawi, Peran Nilai & Moral Dalam Perekonomian Islam, (Jakarta : Robbani Persas, 1997), hlm 35-34

Posting Komentar untuk "Konsep Dasar Etika"