Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ijtihad



  KATA PENGANTAR

Segala puji spesialuntuk bagi Allah SWT, yang sudah mempersembahkan Rahmat, Nikmat, serta Karunia-Nya sehingga kami sanggup menuntaskan kiprah makalah Filsafat Hukum Islam yang berjudul “Metode Ijtihad (Epistemologi Hukum Islam)”.
Sholawat serta salam semoga selalu  tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, teman akrab serta para pengikutnya hingga hari pembalasan.
Dan kami sangat berterimakasih kepada Bapak Dr.Sukarni M.Ag yang sudah mempersembahkan suatu kepercayaan untuk membuat kiprah ini.
Dan pada akhirnya, Koreksi dan masukan yang sifatnya membangun akan selalu kami nantikan dari kawan-kawan khususnya para pembaca, apabila dalam pembuatan kiprah ini jauh dari kesempurnaan dan tidak sesuai sebagaimana kiprah mestinya.
Lebih dan kurangnya mohon maaf yang sebesar-besarnya, dan semoga kiprah ini sanggup bermanfaa bagi kita tiruana, khususnya bagi penulis, Amiiin.
           







Banjarmasin, September 2013



BAB I
PENDAHULUAN

  1. LATAR BELAKANG
Syariat Islam sebagai sumber aturan Islam ialah sebuah kaidah tatanan kehidupan bagi umat muslim pada khususnya dan umat insan pada umumnya yang didiberikan oleh Allah SWT. Karena kedudukannya sebagai kaidah eksklusif dari Allah tersebut, dalam pelaksanaannya, insan baik disadari maupun memerlukan penafsiran akan kaidah-kaidah tersebut. Hal ini tidak lain lantaran syariat Islam sebagai “hukum Tuhan” akan susah dicerna oleh insan yang kemampuannya terbatas, sehingga untuk sanggup mengaplikasikannya maka dibutuhkan penafsiran-penafsiran yang tepat dan sesuai.
Ijtihad ialah kunci untuk menuntaskan problem yang dihadapi oleh umat Islam kini dan yang akan hadir, hal inilah yang membuat Islam dinamis, sesuai dengan daerah dan zaman.
Ijtihad muncul disebabkan lantaran adanya masalah-masalah yang kontemporer dimana nash-nash atau dalil tidak membicarakannya secara khusus.
Makalah ini bermaksud mengulas terhadap salah satu keilmuan Islam yaitu metode ijtihad dilihat dari sudut pandang epistemologinya. Yakni wacana strukrtur, metode, dan cara kerja ilmu fiqih ini.
  1. RUMUSAN MASALAH
1.      Apa yang dimaksud dengan ijtihad ?
2.      Apa aturan diberijtihad dan bagaimana pahalanya ?
3.      Apa saja syarat-syarat untuk diberijtihad ?
4.      Bagaimana metode dalam diberijtihad ?
5.      Bagaimana kehujjahan ijtihad ?

1
BAB II
PEMBAHASAN

  1. Pengertian Ijtihad
Pengertian “ijtihad” berdasarkan bahasa ialah mengerahkan segala kesanggupann untuk mengerjakan sesuatu yang susah. Menurut konsepsi ini kata ijtihad tidak diterapkan pada “pengerjaan sesuatu yang simpel atau enteng”. Kata ijtihad berasal dari bahasa Arab ialah daei kata “al-jahdu” yang berarti “daya upaya atau perjuangan yang keras”.
Ijtihad berarti “berusaha keras unutk mencapai atau memperoleh sesuatu”. Dalam kaitan ini pengertian ijtihad : yakni perjuangan terbaik dalam melahirkan hukum-hukum syariat dari dasar-dasarnya melalui pemikiran dan penelitian yang sungguh-sungguh dan mendalam.
Ijtihad berdasarkan definisi ushul fiqih yaitu pengarahan segenap kesanggupan oleh spesialis fiqih unutk memperoleh pengetahuan wacana hukum-hukum syara’ dan aturan syara’ membuktikan bahwa ijtihad spesialuntuk berlaku di bidang fiqih, bidang aturan yang berkenaan dengan amal, bukan bidang pemikiran ‘amaliy dan bukan nizhariy.
Pengertian-pengertian di atas terperinci mempersembahkan pandangan yang fundamental bahwa ijtihad yakni perjuangan sungguh-sungguh dan mendalam yang dilakukan oleh individu atau sekelompok untuk mencapai atau memperoleh sesuatu aturan syariat melalui pemikiran yang sungguh-sungguh berdasarkan dalil naqli yakni Al Alquran dan Hadits.[1]
Orang-orang yang bisa tetapkan aturan suatu kejadian dengan jalan ini disebut Mujtahid. Mujtahid yakni orang yang mengerahkan segala daya dan upayanya untuk hal tersebut.[2]



2
B.     Hukum Ijtihad dan Pahalanya
Apabila seseorang sudah mencapai tingkatan mujtahid ia wajib diberijtihad sendiri atas kasus yang d hadapinya. Ia tidak boleh bertaqlid kepada orang lain bila ia sudah mencapai aturan kejadian yang dicarinya itu berdasar zhannya.
Oleh lantaran sempitnya waktu, seorang mujtahid yang belum memperoleh apa yang di ijtihadkan dianggap sah bertaqlid kepada mujtahid lain yang lebih terpercaya, baik mujtahid yang sudah tiada maupun yang masih ada.
Bagi seorang mujtahid wajib diberijtihad untuk orang lain bila tidak ada orang yang sanggup tetapkan aturan kejadian yang berada pada orang lain itu dan dikhawatirkan kehabisan waktu untuk mengamalkannya. Akan tetapi, kalau masih ada mujtahid lain atau tidak ada kekhawatiran akan habisnya waktu mengamalkan kejadian yang hendak dicari hukumnya, maka baginya diberijtihad itu yakni wajib kifa’i.
Seorang mujtahid hendaklah mengamalkan hasil ijtihadnya, baik di dalam tetapkan kasus maupun di dalam mempersembahkan fatwa. Adapun bagi mujtahid lain tidak wajib mengikutinya. Karena pendapat seseorang sepeninggal Rasulallah SAW, bukan ialah hujjah yang harus diikuti oleh seluruh kaum muslimin. Hanya saja bagi orang awam yang tidak mempunyai kesanggupan untuk diberijtihad, hendaknya mengikutinya.
Sebagai imbalan jerih payah seorang mujtahid dalam diberijtihad, sekalipun ijtihadnya tidak tepat, ia akan didiberi Tuhan satu pahala, akan tetapi, kalau ijtihadnya tepat dan benar ia akan sanggup pahala ganda. Satu pahala sebagai imbalan jerih payahnya dan satu pahala yang lain sebagai imbalan ketepatan hasil ijtihadnya. Sabda Rasulallah SAW :
اِذَا حَكَمَ الحَاكِمُ فَاجْتَهِدُ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ اَجْرَانِ وَاِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَاءَ فَلَهُ أَجْرٌ (رواه البخاري و مسلم)
“apabila seorang hakim memutuskan  masalah dengan jalan ijtihad kemudian benar,maka ia menerima dua pahala. Dan apabila ia tetapkan dengan jalan ijtihad kemudian keliru, maka ia menerima satu pahala”.[3]


3
C.    Syarat-syarat ijtihad
Para ulama ushul fiqih sudah tetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi seorang mujtahid sebelum melaksanakan ijtihad. Dalam hal ini Sya’ban Muhammad Ismail mengetengahkan syarat-syarat tersebut sebagai diberikut :
1.      Mengetahui Bahasa Arab
Mengetahui bahasa arab dengan baik sangat dibutuhkan bagi seorang mujtahid. Sebab Al Alquran diturunkan dengan bahasa arab, dan Al Sunnah juga dipaparkan dalam bahasa arab. Keduanya ialah sumber utama aturan islam, sehingga tidak mungkin seseorang bisa mengistinbatkan aturan islam tanpa memahami bahasa arab dengan baik.
2.      Mempunyai pengetahuan yang mendalam wacana Al Quran
Mengetahui Al Alquran dengan segala ilmu yang terkait dengannya, ini sangat dibutuhkan bagi seorang mujtahid. Sebab Al Alquran ialah sumber utama aturan syara’, sehingga tidak mungkin bagi seseorang yang ingin menggali hukum-hukum syara’ tanpa memeiliki pengetahuan yang memadai wacana Al Quran.
3.      Memiliki pengetahuan yang memadai wacana Al Sunnah
Pengetahuan wacana Al Sunnah dan hal-hal yang terkait dengannya harus dimiliki oleh seorang mujtahid. Sebab Al Sunnah ialah sumber utama aturan syara’ disamping Al Alquran yang sekaligus berfungsi sebagai penjelasnya. Pengetahuan yan terkait dengan Al Sunnah ini yang terpenting antara lain terkena dirayah dan riwayah, asbabul wurud dan al-jarh wa ta’dil.
4.      Mengetahui letak ijma’ dan khilaf
Penegetahuan wacana hal-hal yang sudah disahkan (ijma’) dan hal-hal yang masih diperselisihkan (khilaf) mutlak dibutuhkan bagi seorang mujtahid. Hal ini dimaksudkan biar seorang mujtahid tidak tetapkan aturan yang berperihalan dengan ijma’ para ulama sebelumnya, baik teman dekat, thabi’in, maupun generasi setelah itu. Oleh lantaran itu sebelum mengulas suatu permasalahan, seorang mujtahid harus melihat doloe status duduk kasus yang akan dibahas,
4
apakah duduk kasus itu sudah pernah muncul pada zaman terlampau atau belum, kalau duduk kasus itu belum pernah muncul sebelumnya, maka sanggup dipastikan bahwa belum ada ijma’ terhadap kasus tersebut.
5.       Mengetahui Maqashid al-Syariah
Pengetahuan wacana maqashid al-syariah sangat dibutuhkan bagi seorang mujtahid, hal ini disebabkan bahwa tiruana keputusan aturan harus selaras dengan tujuan syariat islam yang secara garis besar yakni untuk memdiberi rahmat kepada alam semesta, khususnya kemaslahatan manusia.
6.      Memiliki pemahaman dan budi sehat yang benar
Pemahaman dan budi sehat yang benar ialah modal dasar yang harus dimilki oleh seorang mujtahid biar produk-produk ijtihadnya bisa dipertanggungjawabankan secara ilmiah.
7.      Memiliki pengetahuan wacana Ushul Fiqih
Penguasaan secara mendalam wacana ushul fiqih ialah kewajiban bagi setiap mujtahid. Hal ini disebabkan bahwa kajian ushul fiqih antara lain memuat bahasan terkena metode ijtihad yang harus dikuasai oleh siapa saja yang ingin diberistinbat hukum.
8.      Niat dan I’tikad yang benar
Seorang mujtahid harus berniat yang tulus semata-mata mencari ridho Allah. Hal ini sangat diperlukan, alasannya yakni kalau mujtahid mempunyai niat yang tidak tulus sekalipun daya pikirnya tinggi, maka peluang untuk membelokan jalan pikirannya sangat besar, sehingga berakibat pada kesalahan produk ijtihadnya.[4]
D.    Metode Ijtihad
Ada beberapa metode atau cara untuk melaksanakan ijtihad, baik ijtihad dilakukan sendiri-sendiri maupun gotong royong dengan orang lain.  Metode atau cara diberijtihad yakni :
a. Ijma, yakni persetujuan atau kessuaian pendapat para ahlu terkena suatu kasus pada suatu daerah disuatu masa.
5
b. Qiyas yakni menyamakan aturan suatu hal yang tidak  terdapat ketentuannya di dalam Al-Quran dan As Sunnah dengan hal (lain) yang hukumnya disebut dalam Al Alquran dan sunnah Rasul lantaran persamaan illatnya.
c. Istidlal, tetapkan dalil suatu peristiwa.
d. Mashlahah Mursalah, yakni cara menemukan aturan sesuatu hal yang tidak terdapat ketentuannya baik di dalam Al Alquran maupun dalam kitab-kitab hadits, berdasarkan pertimbangan kemaslahatan masyarakat atau kepentingan umum.
e. Istihsan, yakni cara menemukan aturan dengan cara menyimpang dari ketentuan yang sudah ada demi keadilan dan kepentingan sosial. Istihsan yakni suatu cara untuk mengambil keputusan yang tepat berdasarkan suatu keadaan.
f. Istihsab, yakni tetapkan aturan suatu hal berdasarkan keadaan yang terjadi sebelumnya, hingga ada dalil yang mengubahnya.
g. Urf, yakni yang tidak berperihalan aturan islam sanggup dikukuhkan tetap terus berlaku bagi masyarakat yang bersangkutan.

E.     Kehujjahan ijtihad
Jumhur ulama membolehkan ijtihad menjadi hujjah dalam tetapkan aturan berdasarkan :
a.      Dalil dari Al Quran
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrŠãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur
Hai orang-orang yang diberiman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara engkau. kemudian kalau engkau berlainan Pendapat wacana sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya).

6
Yang dimaksud mentaati Allah dan Rasul-Nya dalam ayat tersebut ialah mengikuti sesuatu yang sudah diketahui melalui nash Al Alquran dan As Sunnah. Sedang yang dimaksud dengan mengembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya bila terjadi persengketaan ialah menghindari untuk mengikuti hawa nafsu, kembali kepada apa yang sudah di syariatkan Allah dan Rasul-Nya dengan mereview nash-nash yang adakala tersembunyi atau hilang dari perhatian menerapkan qaidah-qaidah umum atau merealisir maqashidu syariah.
b.      Dari hadits Rasulallah SAW
Hadits mu’adz bin jabbal R.A yang menerangkan sewaktu ia di utus ke Yaman :
قال النبى : كيف تقضي إذا عرض لك القضاء ؟
قال معاذ : أقض بكتاب الله
قال النبى : فإن لم تجد فى كتاب الله ؟
قال معاذ : فبسنة رسول الله
قال النبى : فإن لم تجد فى سنة رسول الله ؟
قال معاذ : أجتهد رأيي ولاألوا . فضرب رسول الله صلعم صدره وقال الحمد لله وفق رسول الله لما يرض الله ورسول الله

c.       Menurut logika
Allah membuat islam sebagai epilog agama-agama dan menyebabkan syariatnya cocok untuk setiap daerah dan waktu. sepertiyang kita ketahui nash-nash dari Al Alquran dan Al Hadits terbatas jumlahnya. Sedang peristiwa-peristiwa yang dihadapi para insan selalu timbul dengan tidak terbatas. Oleh lantaran itu, tidak mungkin bahwa nash-nash yang terbatas jumlahnya itu mencukupi untuk memilih peristiwa-peristiwa insan yang sewaktu-waktu timbul dengan jumlahnya yang tidak terbatas itu, selagi tidak ada jalan untuk mengenal aturan kejadian gres tanpa melalui ijtihad.[5]

7
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Pengertian “ijtihad” berdasarkan bahasa ialah mengerahkan segala kesanggupann untuk mengerjakan sesuatu yang susah. Menurut konsepsi ini kata ijtihad tidak diterapkan pada “pengerjaan sesuatu yang simpel atau enteng”. Kata ijtihad berasal dari bahasa Arab ialah daei kata “al-jahdu” yang berarti “daya upaya atau perjuangan yang keras”.
Ijtihad berarti “berusaha keras unutk mencapai atau memperoleh sesuatu”. Dalam kaitan ini pengertian ijtihad : yakni perjuangan terbaik dalam melahirkan hukum-hukum syariat dari dasar-dasarnya melalui pemikiran dan penelitian yang sungguh-sungguh dan mendalam.
Hukum diberijtihad yakni wajib ain dan wajib kifayah. Sebagai imbalan jerih payah seorang mujtahid dalam diberijtihad, sekalipun ijtihadnya tidak tepat, ia akan didiberi Tuhan satu pahala, akan tetapi, kalau ijtihadnya tepat dan benar ia akan sanggup pahala ganda. Satu pahala sebagai imbalan jerih payahnya dan satu pahala yang lain sebagai imbalan ketepatan hasil ijtihadnya.
Syarat-syarat diberijtuhad yakni : Mengetahui bahasa arab, mempunyai pengetahuan yang mendalam wacana Al Quran, mempunyai pengetahuan yang memadai wacana Al Sunnah, mengetahui letak ijma’ dan khilaf, mengetahui Maqashid al-Syariah, mempunyai pemahaman dan budi sehat yang benar, mempunyai pengetahuan wacana Ushul Fiqih, niat dan i’tikad yang benar.
Metode dalam ijtihad : ijma, qiyas, istidlal, mashlaha mursalah, istihsan, istishab, urf.




8
DAFTAR PUSTAKA

- Al-Utsaimin, Muhammad bin Shalih, Al-Ushul min ‘Ilmil Ushuli, Alih bahasa Tim Media            Hidayah, Ushul Fiqih, Jogjakarta, Media Hidayah, 2008,
- Razak Nasaruddin, Dienul Islam, Bandung: PT Al-Ma’arif, 1985
- Saiban Kasui, Metode Ijtihad Ibnu Rusyd, Malang:Kutub Minar, 2005

- Sudarsono, Filsafat Islam, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1996

- Yahya, Muktar dan Faturrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh IslamBandung:            PT Al-Ma’arif, 1983




























9


[1] Sudarsono, Filsafat Islam, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1996,  h.126
[2]Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Al-Ushul min ‘Ilmil Ushuli, Alih bahasa Tim Media Hidayah, Ushul Fiqih, Jogjakarta, Media Hidayah, 2008, h.128
[3] Muktar Yahay dan Faturrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh IslamBandung: PT Al-Ma’arif, 1983, h.385
[4] Kasuwi Saiban, Metode Ijtihad Ibnu Rusyd, Malang:Kutub Minar, 2005 h.56
[5] Muktar Yahya dan Faturrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh IslamBandung: PT Al-Ma’arif, 1983 h.391,396

Posting Komentar untuk "Ijtihad"