Hukum Sholat Jumat Bersamaan Dengan Hari Raya (Idul Fitri / Adha)
1. Penlampauan
Seperti kita ketahui, terkadang hari raya Idul Fitri atau Idul Adha jatuh pada hari Jumat. Misalnya saja yang terjadi pada tahun (2009), Idul Adha tanggal 10 Dzulhijjah 1430 H akan jatuh pada hari Jumat 27 Nopember 2009. Demikian juga idul Fitri 1431 H kini juga jatuh pada hari jumat. Di sinilah mungkin di antara kita ada yang bertanya, apakah sholat Jumat masih diwajibkan pada hari raya? Apakah kalau seseorang sudah sholat Ied berarti boleh tidak sholat Jumat? Tulisan ini berusaha menjawaban pertanyaan semacam itu dengan melaksanakan penelusuran pendapat ulama, dalil-dalilnya, dan pentarjihan (mengambil yang terkuat) dari dalil-dalil tersebut.
Para ulama tidak sama pendapat terkena aturan shalat Jumat yang jatuh bertepatan dengan hari raya, baik Idul Fitri maupun Idul Adha. Dalam kitab Rahmatul Ummah fi Ikhtilaf Al A`immah karya Imam Ad Dimasyqi, disebutkan bahwa :
“Apabila hari raya bertepatan dengan hari Jumat, maka berdasarkan pendapat Imam Asy Syafi’i yang shahih, bahwa shalat Jumat tidak gugur dari penduduk kampung yang mengerjakan shalat Jumat. Adapun bagi orang yang hadir dari kampung lain, gugur Jumatnya. Demikian berdasarkan pendapat Imam Asy Syafi’i yang shahih. Maka jikalau mereka sudah shalat hari raya, boleh bagi mereka terus pulang, tanpa mengikuti shalat Jumat. Menurut pendapat Imam Abu Hanifah, bagi penduduk kampung wajib shalat Jumat. Menurut Imam Ahmad, tidak wajib shalat Jumat baik bagi orang yang hadir maupun orang yang ditempati shalat Jumat. Kewajiban shalat Jumat gugur alasannya ialah mengerjakan shalat hari raya. Tetapi mereka wajib shalat zhuhur. Menurut ‘Atha`, zhuhur dan Jumat gugur bahu-membahu pada hari itu. Maka tidak ada shalat setelah shalat hari raya selain shalat Ashar.”
Ad Dimasyqi tidak menampilkan pendapat Imam Malik. Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid menyatakan pendapat Imam Malik sama dengan pendapat Imam Abu Hanifah. Disebutkannya bahwa,“Imam Malik dan Abu Hanifah berpendapat,”Jika berkumpul hari raya dan Jumat, maka mukallaf dituntut untuk melaksanakannya tiruananya….”
Berdasarkan keterangan di atas, jelaslah bahwa dalam problem ini terdapat 4 (empat) pendapat :
Pertama, shalat Jumat tidak gugur dari penduduk kota (ahlul amshaar / ahlul madinah) yang di daerah mereka diselenggarakan shalat Jumat. Sedang bagi orang yang hadir dari kampung atau padang gurun (ahlul badaawi / ahlul ‘aaliyah), yang di tempatnya itu tidak dilaksanakan shalat Jumat, gugur kewajiban shalat Jumatnya. Makara jikalau mereka –yakni orang yang hadir dari kampung — sudah shalat hari raya, boleh mereka terus pulang, tanpa mengikuti shalat Jumat. INI pendapat Imam Syafi’i. Ini pula pendapat Utsman dan Umar bin Abdul Aziz.
Kedua, shalat Jumat wajib tetap ditunaikan, baik oleh penduduk kota yang ditempati shalat Jumat maupun oleh penduduk yang hadir dari kampung. Ini pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Malik. Jadi, shalat Jumat tetap wajib dan tidak gugur dengan ditunaikannya shalat hari raya.
Ketiga, tidak wajib shalat Jumat baik bagi orang yang hadir maupun bagi orang yang ditempati shalat Jumat. Tetapi mereka wajib shalat zhuhur. Demikian pendapat Imam Ahmad.
Keempat, zhuhur dan Jumat gugur sama-sama gugur kewajibannya pada hari itu. Makara setelah shalat hari raya, tak ada lagi shalat sesudahnya selain shalat Ashar. Demikian pendapat ‘Atha` bin Abi Rabbah. Dikatakan, ini juga pendapat Ibnu Zubayr dan ‘Ali.
2.Pendapat Yang Rajih
Kami mendapatkan kesimpulan, bahwa pendapat yang rajih (kuat) ialah pendapat Imam Ahmad bin Hanbal, rahimahullah. Rincian hukumnya ialah sebagai diberikut:
Hukum Pertama, jikalau seseorang sudah menunaikan shalat hari raya -yang jatuh bertepatan dengan hari Jumat- gugurlah kewajiban atasnya untuk menunaikan shalat Jumat. Dia boleh melaksanakan shalat Jumat dan boleh juga tidak.
Hukum Kedua, bagi mereka yang sudah menunaikan shalat hari raya tersebut, lebih utama dan disunnahkan tetap melaksanakan shalat Jumat.
Hukum Ketiga, jikalau orang yang sudah menunaikan shalat hari raya tersebut menentukan untuk tidak menunaikan shalat Jumat, wajib melaksanakan shalat zhuhur, dilarang meninggalkan zhuhur.
Hukum Keempat, mereka yang pada pagi harinya tidak melaksanakan shalat hari raya, wajib atasnya untuk menunaikan shalat Jumat, tidak dibenarkan baginya untuk meninggalkan shalat Jumat.
Keterangan terkena masing-masing aturan tersebut akan diuraikan pada poin diberikutnya, Insya Allah.
2.1. Keterangan Hukum Pertama
Mengenai gugurnya kewajiban shalat Jumat bagi mereka yang sudah melaksanakan shalat hari raya, dalilnya ialah hadits-hadits Nabi SAW yang shahih, antara lain yang diriwayatkan dari Zayd bin Arqam RA bahwa dia berkata :
صَلَّى الْعِيدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِي الْجُمُعَةِ فَقَالَ مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّيَ فَلْيُصَلِّ
“Nabi SAW melaksanakan shalat Ied (pada suatu hari Jumat) kemudian dia mempersembahkan rukhshah (kegampangan/keentengan) dalam shalat Jumat. Kemudian Nabi berkata,’Barangsiapa yang berkehendak (shalat Jumat), hendaklah dia shalat.” (HR. Al Khamsah, kecuali At Tirmidzi. Hadits ini berdasarkan Ibnu Khuzaimah, shahih).
Diriwayatkan dari Abu Hurayrah RA bahwa Nabi SAW bersabda :
قَدْ اجْتَمَعَ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا عِيدَانِ فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنْ الْجُمُعَةِ وَإِنَّا مُجَمِّعُونَ
“Sungguh sudah berkumpul pada hari kalian ini dua hari raya. Maka barangsiapa berkehendak (shalat hari raya), cukuplah baginya shalat hari raya itu, tak perlu shalat Jumat lagi. Dan sesungguhnya kami akan mengerjakan Jumat.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan Al Hakim juga meriwayatkan hadits ini dari sanad Abu Shalih, dan dalam isnadnya terdapat Baqiyah bin Walid, yang diperselisihkan ulama. Imam Ad Daruquthni menilai, hadits ini shahih. Ulama hadits lain menilainya hadits mursal).
Hadits-hadits ini ialah dalil bahwa shalat Jumat setelah shalat hari raya, menjadi rukhshah. Yakni, maksudnya shalat Jumat boleh dikerjakan dan boleh tidak. Pada hadits Zayd bin Arqam di atas (hadits pertama) Nabi SAW bersabda “tsumma rakhkhasha fi al jumu’ati” (kemudian Nabi mempersembahkan rukhshash dalam [shalat] Jumat). Ini menunjukkan bahwa setelah shalat hari raya ditunaikan, shalat hari raya menjadi rukhshah (kegampangan/keentengan).
Menurut Syaikh Taqiyuddin An Nabhani, rukhshah ialah aturan yang disyariatkan untuk meentengkan aturan azimah (hukum asal) lantaran adanya suatu udzur (halangan), disertai tetapnya aturan azimah namun hamba tidak diharuskan mengerjakan rukshshah itu.
Jadi shalat Jumat pada dikala hari raya, menjadi rukhshah, lantaran terdapat udzur berupa pelaksanaan shalat hari raya. Namun lantaran rukhshah itu tidak menghilangkan azimah sama sekali, maka shalat Jumat masih tetap disyariatkan, sehingga boleh dikerjakan dan boleh pula tidak dikerjakan.
Hal ini diperkuat dan diperjelas dengan sabda Nabi dalam kelanjutan hadits Zayd bin Arqam di atas “man syaa-a an yushalliya falyushalli” (barangsiapa yang berkehendak [shalat Jumat], hendaklah dia shalat). Ini ialah manthuq (ungkapan tersurat) hadits. Mafhum mukhalafah (ungkapan tersirat) dari hadits itu -dalam hal ini berupa mafhum syarat, lantaran ada lafazh “man” sebagai syarat- ialah “barangsiapa yang tidak berkehendak shalat Jumat, maka tidak perlu shalat Jumat.”
Kesimpulannya, orang yang sudah menjalankan shalat hari raya, gugurlah kewajiban atasnya untuk menunaikan shalat Jumat. Dia boleh menunaikan shalat Jumat dan boleh juga tidak.
Mungkin ada pertanyaan, apakah gugurnya shalat Jumat ini spesialuntuk untuk penduduk kampung/desa (ahlul badaawi / ahlul ‘aaliyah) –yang di daerah mereka tidak diselenggarakan shalat Jumat– sedang bagi penduduk kota (ahlul amshaar / ahlul madinah) —-yang di daerah mereka diselenggarakan shalat Jumat– tetap wajib shalat Jumat ?
Yang lebih tepat berdasarkan kami, gugurnya kewajiban shalat Jumat ini berlaku secara umum, baik untuk penduduk kampung/desa maupun penduduk kota. Yang demikian itu lantaran nash-nash hadits di atas bersifat umum, yaitu dengan adanya lafahz “man” (barangsiapa/siapa saja) yang mengandung arti umum, baik ia penduduk kampung maupun penduduk kota. Dan lafazh umum tetap dalam keumumannya selama tidak terdapat dalil yang mengkhususkannya. Dalam hal ini tidak ada dalil yang mengkhususkan (takhsis) keumumannya, maka tetaplah lafazh “man” dalam hadits-hadits di atas berlaku secara umum. (Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, 2/273)
2.2.Keterangan Hukum Kedua
Bagi mereka yang sudah shalat hari raya, mana yang lebih utama (afdhal), menunaikan shalat Jumat ataukah meninggalkannya ? Pada dasarnya, antara azimah (hukum asal) dan rukhshah kedudukannya setara, tak ada yang lebih utama daripada yang lain, kecuali terdapat nash yang membuktikan keutamaan salah satunya, baik keutamaan azimah maupun rukhshah.
Namun dalam hal ini terdapat nash yang menunjukkan keutamaan shalat Jumat daripada meninggalkannya. Pada hadits Abu Hurayrah RA (hadits kedua) terdapat sabda Nabi “innaa mujammi’uun” (Dan sesungguhnya kami akan mengerjakan Jumat).
Ini menunjukkan bahwa meskipun Nabi SAW menimbulkan shalat Jumat sebagai rukhshah, yakni boleh dikerjakan dan boleh tidak, akan tetapi Nabi Muhammad SAW faktanya tetap mengerjakan shalat Jumat. Hanya saja perbuatan Nabi SAW ini tidak wajib, alasannya ialah Nabi SAW sendiri sudah membolehkan untuk tidak shalat Jumat. Jadi, perbuatan Nabi SAW itu sifatnya sunnah, tidak wajib.
2.3.Keterangan Hukum Ketiga
Jika orang yang sudah shalat hari raya menentukan untuk meninggalkan shalat Jumat, wajibkah ia shalat zhuhur ? Jawabannya, dia wajib shalat zhuhur, dilarang meninggalkannya.
Wajibnya shalat zhuhur itu, dikarenakan nash-nash hadits yang sudah disebut di atas, spesialuntuk menggugurkan kewajiban shalat Jumat, tidak mencakup beberapa aspek aborsi kewajiban zhuhur. Padahal, kewajiban shalat zhuhur ialah kewajiban asal (al fadhu al ashli), sedang shalat Jumat ialah aturan pengganti (badal), bagi shalat zhuhur itu. Maka jikalau aturan pengganti (badal) -yaitu shalat Jumat- tidak dilaksanakan, kembalilah tuntutan syara’ kepada aturan asalnya, yaitu shalat zhuhur. Yang demikian itu ialah mengamalkan Istish-hab, yaitu kaidah aturan untuk tetapkan berlakunya aturan asal, selama tidak terdapat dalil yang mengecualikan atau mengubah berlakunya aturan asal.
melaluiataubersamaini demikian, jikalau seseorang sudah shalat hari raya kemudian menentukan untuk meninggalkan shalat Jumat, maka ia wajib melaksanakan shalat zhuhur.
2.4. Keterangan Hukum Keempat
Mereka yang pada pagi harinya tidak melaksanakan shalat hari raya, wajib atasnya untuk tetap menunaikan shalat Jumat. Tidak dibenarkan baginya untuk meninggalkan shalat Jumat. melaluiataubersamaini kata lain, rukhshah untuk meninggalkan shalat Jumat ini khusus untuk mereka yang sudah melaksanakan shalat hari raya. Mereka yang tidak melaksanakan shalat hari raya, tidak mendapat rukhshah, sehingga konsekuensinya tetap wajib hukumnya shalat Jumat.
Dalilnya ialah hadits Abu Hurayrah (hadits kedua) dimana Nabi SAW bersabda “fa man syaa-a, ajza-a-hu ‘anil jumu’ati” (Maka barangsiapa yang berkehendak [shalat hari raya], cukuplah baginya shalat hari raya itu, tak perlu shalat Jumat lagi). Ini ialah manthuq hadits. Mafhum mukhalafahnya, yakni orang yang tak melaksanakan shalat hari raya, ia tetap dituntut menjalankan shalat Jumat.
Imam Ash Shan’ani dalam Subulus Salam ketika memdiberi syarah (penjelasan) terhadap hadits di atas berkata : “Hadits tersebut ialah dalil bahwa shalat Jumat -sesudah ditunaikannya shalat hari raya– menjadi rukhshah. Boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan. Tetapi (rukhshah) itu khusus bagi orang yang menunaikan shalat Ied, tidak mencakup beberapa aspek orang yang tidak menjalankan shalat Ied.” (Imam Shan’ani, Subulus Salam, 2/112)
Jadi, orang yang tidak melaksanakan shalat hari raya, tidak termasuk yang dikecualikan dari keumuman nash yang mewajibkan shalat Jumat. Yang dikecualikan dari keumuman nash itu ialah yang sudah shalat hari raya. Maka dari itu, orang yang tidak shalat hari raya, tetap wajib atasnya shalat Jumat.
3.Meninjau Pendapat Lain
3.1.Pendapat Imam Syafi’i
Pada dasarnya, Imam Syafii tetap mewajibkan shalat Jumat yang jatuh bertepatan pada hari raya. Namun dia tetapkan kewajiban tersebut spesialuntuk berlaku bagi penduduk kota (ahlul madinah/ahlul amshaar). Adapun penduduk desa/kampung atau penduduk padang gurun (ahlul badawi) yang hadir ke kota untuk shalat Ied (dan shalat Jumat), sementara di tempatnya tidak diselenggarakan shalat Jumat, maka mereka boleh tidak mengerjakan shalat Jumat.
Sebenarnya Imam Syafi’i beropini ibarat itu lantaran berdasarkan beliau, hadits-hadits yang membuktikan gugurnya kewajiban shalat Jumat pada hari raya bukanlah hadits-hadits shahih. Sehingga dia pun tidak mengamalkannya. INI dasar pendapat Imam Syafi’i. Menanggapi pendapat Imam Syafi’i tersebut, Imam Ash Shan’ani dalam Subulus Salam berkata : “Asy Syafi’i dan segolongan ulama beropini bahwa shalat Jumat tidak menjadi rukhshah. Mereka berargumen bahwa dalil kewajiban shalat Jumat bersifat umum untuk tiruana hari (baik hari raya maupun bukan). Sedang apa yang disebut dalam hadits-hadits dan atsar-atsar (yang menimbulkan shalat Jumat sebagai rukhshah) tidaklah cukup berpengaruh untuk menjadi takhsis (pengecualian) kewajiban shalat Jumat, alasannya ialah sanad-sanad hadits itu sudah diperselisihkan oleh ulama. Saya (Ash Shan’ani) berkata,’Hadits Zayd bin Arqam sudah dinilai shahih oleh Ibnu Khuzaimah…maka hadits tersebut sanggup menjadi takhsis (pengecualian)…” (Imam Shan’ani, Subulus Salam, 2/112).
melaluiataubersamaini demikian, jelaslah bahwa Imam Syafi’i tidak menilai hadits Zayd bin Arqam tersebut sebagai hadits shahih, sehingga dia tidak menjadikannya sebagai takhsis yang menggugurkan kewajiban shalat Jumat. Beliau kemudian berpegang kepada keumuman nash yang mewajibkan shalat Jumat pada tiruana hari (QS Al Jumu’ah ayat 9), baik hari raya maupun bukan. Tapi, Imam Ash Shan’ani menyatakan, bahwa hadits Zayd bin Arqam ialah shahih berdasarkan Ibnu Khuzaimah.
Dalam hal ini patut kiranya ditegaskan, bahwa penolakan Imam Syafi’i terhadap hadits Zayd bin Arqam tidaklah mencegah kita untuk mendapatkan hadits tersebut. Penolakan Imam Syafi’i terhadap hadits Zayd bin Arqam itu tidak berarti hadits tersebut –secara mutlak– tertolak (mardud). Sebab sudah menjadi suatu kewajaran dalam evaluasi hadits, bahwa sebuah hadits sanggup saja diterima oleh sebagian muhaddits, sedang muhaddits lain menolaknya. Dalam kaitan ini Syaikh Taqiyuddin An Nabhani dalam Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyah Juz I berkata : “…(kita dilarang cepat-cepat menolak suatu hadits) spesialuntuk lantaran spesialis hadits tidak menerimanya, lantaran ada kemungkinan hadits itu diterima oleh andal hadits yang lain. Kita juga dilarang menolak suatu hadits lantaran para andal hadits menolaknya, lantaran ada kemungkinan hadits itu digunakan hujjah oleh para imam atau umumnya para fuqaha… ”
Maka dari itu, kendatipun hadits Zayd bin Arqam ditolak oleh Imam Syafi’i, tidak berarti kita dilarang menggunakan hadits tersebut sebagai dalil syar’i. Sebab faktanya ada andal hadits lain yang menilainya sebagai hadits shahih, yakni Imam Ibnu Khuzaimah, sebagaimana klarifikasi Imam Ash Shan’ani. Jadi, diberistidlal dengan hadits Zayd bin Arqam tersebut tetap dibenarkan, sehingga aturan yang didasarkan pada hadits tersebut ialah tetap berstatus aturan syar’i.
3.2.Pendapat Imam Malik dan Abu Hanifah
Imam Malik dan Abu Hanifah tetap mewajibkan shalat Jumat, baik bagi penduduk kota (ahlul madinah/ahlul amshaar), maupun penduduk desa/kampung atau penduduk padang gurun (ahlul badawi). Ibnu Rusyd membuktikan argumentasi kedua Imam tersebut : “Imam Malik dan Abu Hanifah berkata, ‘Shalat hari raya ialah sunnah, sedang shalat Jumat ialah fardhu, dan salah satunya tidak sanggup menggantikan yang lainnya. INI yang menjadi prinsip asal (al ashlu) dalam problem ini, kecuali jikalau terdapat ketetapan syara’, maka wajib merujuk kepadanya…”
Dari keterangan itu, nampak bahwa Imam Malik dan Abu Hanifah juga tidak mendapatkan hadits-hadits yang membuktikan gugurnya shalat Jumat pada hari raya. Konsekuensinya, dia berdua kemudian berpegang pada aturan asal masing-masing, yakni kesunnahan shalat Ied dan kewajiban shalat Jumat. Dasar pendapat mereka sebenarnya sama dengan pendapat Imam Syafi’i.
Namun demikian, dia berdua mempersembahkan perkecualian, bahwa aturan asal tersebut sanggup berubah, jikalau terdapat dalil syar’i yang menerangkannya.
Atas dasar itu, lantaran terdapat hadits Zayd bin Arqam (yang shahih berdasarkan Ibnu Khuzaimah) atau hadits Abu Hurayrah RA (yang shahih berdasarkan Ad Daruquthni), maka sesungguhnya hadits-hadits tersebut sanggup menjadi takhsis aturan asal shalat Jumat, yakni yang tiruanla wajib kemudian menjadi rukhshah (tidak wajib).
melaluiataubersamaini demikian, yang berlaku kemudian ialah aturan setelah ditakhsis, bukan aturan asalnya, yakni bahwa shalat Jumat itu menjadi rukhshah bagi mereka yang menunaikan shalat hari raya, dan statusnya menjadi tidak wajib. INI pendapat yang lebih tepat.
3.3.Pendapat ‘Atha bin Abi Rabah
‘Atha bin Abi Rabbah beropini bahwa jikalau hari Jumat bertepatan dengan hari raya, maka shalat Jumat dan zhuhur gugur tiruananya. Tidak wajib shalat apa pun pada hari itu setelah shalat hari raya melainkan shalat ‘Ashar.
Imam Ash’ani membuktikan bahwa pendapat ‘Atha` tersebut didasarkan pada 3 (tiga) alasan, yaitu :
Pertama, berdasarkan perbuatan sobat bersahabat Ibnu Zubayr RA sebagaimana diriwayatkan Imam Abu Dawud, bergotong-royong :
عِيدَانِ اجْتَمَعَا فِي يَوْمٍ وَاحِدٍ فَجَمَعَهُمَا جَمِيعًا فَصَلَّاهُمَا رَكْعَتَيْنِ بُكْرَةً لَمْ يَزِدْ عَلَيْهِمَا حَتَّى صَلَّى الْعَصْرَ
“Dua hari raya (hari raya dan hari Jumat) sudah berkumpul pada satu hari yang sama. Lalu dia (Ibnu Zubayr) mengumpulkan keduanya dan melaksanakan shalat untuk keduanya sebanyak dua rakaat pada pagi hari. Dia tidak menambah atas dua rakaat itu hingga dia mengerjakan shalat Ashar.” (HR Abu Dawud).
Kedua, shalat Jumat ialah aturan asal (al ashl) pada hari Jumat, sedang shalat zhuhur ialah aturan pengganti (al badal) bagi shalat Jumat. Maka dari itu, jikalau aturan asal sudah gugur, otomatis gugur pulalah aturan penggantinya.
Ketiga, yang zhahir dari hadits Zayd bin Arqam, bahwa Rasul SAW sudah memdiberi rukhshah pada shalat Jumat. Namun Rasul SAW tidak memerintahkan untuk shalat zhuhur bagi orang yang tidak melaksanakan shalat Jumat.
Demikianlah alasan pendapat ‘Atha` bin Abi Rabbah. Imam Ash Shan’ani tidak mendapatkan pendapat tersebut dan sudah membantahnya. Menurut beliau, bahwa setelah shalat hari raya Ibnu Zubayr tidak keluar dari rumahnya untuk shalat Jumat di masjid, tidaklah sanggup dipastikan bahwa Ibnu Zubayr tidak shalat zhuhur. Sebab ada kemungkinan (ihtimal) bahwa Ibnu Zubayr shalat zhuhur di rumahnya. Yang sanggup dipastikan, kata Imam Ash Shan’ani, shalat yang tidak dikerjakan Ibnu Zubayr itu ialah shalat Jumat, bukannya shalat zhuhur.
Untuk alasan kedua dan ketiga, Imam Ash Shan’ani membuktikan bahwa tidaklah benar bahwa shalat Jumat ialah aturan asal (al ashl) sedang shalat zhuhur ialah aturan pengganti (al badal). Yang benar, justru sebaliknya, yaitu shalat zhuhur ialah aturan asal, sedang shalat Jumat ialah penggantinya. Sebab, kewajiban shalat zhuhur diputuskan lebih lampau daripada shalat Jumat. Shalat zhuhur diputuskan kewajibannya pada malam Isra’ Mi’raj, sedang kewajiban shalat Jumat diputuskan lebih belakangan waktunya (muta`akhkhir). Maka yang benar, shalat zhuhur ialah aturan asal, sedang shalat Jumat ialah penggantinya. Makara jikalau shalat Jumat tidak dilaksanakan, maka wajiblah kembali pada aturan asal, yakni mengerjakan shalat zhuhur. (Imam Shan’ani, Subulus Salam, 2/112)
4.Kesimpulan
Dari seluruh uraian di atas, sanggup disimpulkan bahwa jikalau hari raya bertepatan dengan hari Jumat, hukumnya ialah sebagai diberikut :
Pertama, jikalau seseorang sudah menunaikan shalat hari raya (Ied), gugurlah kewajiban shalat Jumat atasnya. Dia boleh melaksanakan shalat Jumat dan boleh juga tidak. Namun, disunnahkan baginya tetap melaksanakan shalat Jumat.
Kedua, jikalau orang yang sudah menunaikan shalat hari raya tersebut menentukan untuk tidak menunaikan shalat Jumat, wajib atasnya melaksanakan shalat zhuhur. Tidak boleh dia meninggalkan zhuhur.
Ketiga, adapun orang yang pada pagi harinya tidak melaksanakan shalat hari raya, wajib atasnya shalat Jumat. Tidak dibenarkan baginya untuk meninggalkan shalat Jumat. Tidak boleh pula dia melaksanakan shalat zhuhur.
Demikianlah hasil pentarjihan kami untuk problem ini sesuai dalil-dalil syar’i yang ada. Wallahu a’lam.
= = =
*M. Shiddiq Al Jawi, S.Si, MSI, ialah Ketua DPP Hizbut Tahrir Indonesia dan pengasuh Pondok Pesantren Hamfara Yogyakarta.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Muhammad Husain. 1995. Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh. Cetakan Kedua. Beirut : Darul Bayariq. 417 hal.
Abu Abdillah As-Sa’dun, Ijtima’ Al-I’dayni, (Riyadh : t.p.), t.t. 12 hal.
Abu Hafsh Ar-Rahmani, Tsalatsu Masa`il Fiqhiyyah, (t.t.p. : t.p.), t.t. 33 hal.
Ad Dimasyqi, Muhammad bin Abdurrahman Asy Syafi’i. 1993. Rohmatul Ummah (Rahmatul Ummah Fi Ikhtilafil A`immah). Terjemahan oleh Sarmin Syukur dan Luluk Rodliyah. Cetakan Pertama. Surabaya : Al Ikhlas. 554 hal.
Ash Shan’ani, Muhammad bin Ismail Al Kahlani. Tanpa Tahun. Subulus Salam. Juz II. Bandung : Maktabah Dahlan. 224 hal.
Ash Shiddieqi, T.M. Hasbi. 1981. Koleksi Hadits Hukum (Al Ahengkaun Nabawiyah). Jilid IV. Cetakan Kedua. Bandung : PT. Alma’arif. 379 hal.
An Nabhani, Taqiyuddin. 1953. Asy Syakhshiyah Al Islamiyah. Juz Ketiga (Ushul Fiqh). Cetakan Kedua. Al Quds : Min Mansyurat Hizb Al Tahrir. 492 hal.
———-. 1994. Asy Syakhshiyah Al Islamiyah. Juz Pertama. Cetakan Keempat. Beirut : Darul Ummah. 407 hal.
Ibnu Khalil, ‘Atha`. 2000. Taisir Al Wushul Ila Al Ushul. Cetakan Ketiga. Beirut : Darul Ummah. 310 hal.
Ibnu Rusyd. 1995. Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid. Juz I. Beirut : Daarul Fikr. 399 hal.
Raghib, Ali. 1991. Ahengkaush Shalat. Cetakan Pertama. Beirut : Daar An Nahdhah Al Islamiyah.132 hal.
Sabiq, Sayyid. 1987. Fikih Sunnah (Fiqhus Sunnah). Jilid 2. Cetakan Ketujuhbelas. Terjemahan oleh Mahyuddin Syaf. Bandung : PT. Al Ma’arif. 229 hal
Syirbasyi, Ahmad. 1987. Himpunan Fatwa (Yas`alunaka fi Ad Din wa Al Hayah). Terjemahan oleh Husein Bahreisj. Cetakan Pertama. Surabaya : Al Ikhlas. 598 hal,
KH. M. Shiddiq Al-Jawi, http://hizbut-tahrir.or.id/2010/09/08/hukum-sholat-jumat-pada-hari-raya-idul-fitri-adha/
Bila Hari ‘Ied Jatuh pada Hari Jum’at
Di antara keistimewaan Idul Adha tahun ini (2012) akan bertepatan dengan hari Jum’at. Ini menunjukkan bertemunya dua hari utama, yang sama-sama hari ‘ied. Banyak yang menanyakan bagaimana jikalau Hari Raya atau Idul Adha jatuh pada hari Jum’at, apakah shalat Jum’atnya gugur lantaran sudah melaksanakan shalat ‘ied?
cepatdangampang-gampangan klarifikasi diberikut sanggup menjawaban hal ini.[1]
Apabila hari raya Idul Fithri atau Idul Adha bertepatan dengan hari Jum’at, apakah shalat Jum’at menjadi gugur lantaran sudah melaksanakan shalat ‘ied? Untuk problem ini para ulama mempunyai dua pendapat.
Pendapat Pertama: Orang yang melaksanakan shalat ‘ied tetap wajib melaksanakan shalat Jum’at.
INI pendapat kebanyakan pakar fikih. Akan tetapi ulama Syafi’iyah menggugurkan kewajiban ini bagi orang yang nomaden (al bawadiy). Dalil dari pendapat ini adalah:
Pertama: Keumuman firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ
“Hai orang-orang yang diberiman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jumat, maka bersegeralah engkau kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.” (QS. Al Jumu’ah: 9)
Kedua: Dalil yang menunjukkan wajibnya shalat Jum’at. Di antara sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ تَرَكَ ثَلاَثَ جُمَعٍ تَهَاوُنًا بِهَا طَبَعَ اللَّهُ عَلَى قَلْبِهِ
“Barangsiapa meninggalkan tiga shalat Jum’at, maka Allah akan mengunci pintu hatinya.”[2] Ancaman keras ibarat ini menunjukkan bahwa shalat Jum’at itu wajib.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِى جَمَاعَةٍ إِلاَّ أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوِ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِىٌّ أَوْ مَرِيضٌ
“Shalat Jum’at ialah suatu kewajiban bagi setiap muslim dengan berjama’ah kecuali empat golongan: [1] budak, [2] wanita, [3] anak kecil, dan [4] orang yang sakit.”[3]
Ketiga: Karena shalat Jum’at dan shalat ‘ied ialah dua shalat yang sama-sama wajib (sebagian ulama beropini bahwa shalat ‘ied itu wajib), maka shalat Jum’at dan shalat ‘ied tidak sanggup menggugurkan satu dan lainnya sebagaimana shalat Zhuhur dan shalat ‘Ied.
Keempat: Keentengan meninggalkan shalat Jum’at bagi yang sudah melaksanakan shalat ‘ied ialah khusus untuk ahlul bawadiy (orang yang nomaden ibarat suku Badui). Dalilnya adalah,
قَالَ أَبُو عُبَيْدٍ ثُمَّ شَهِدْتُ مَعَ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ فَكَانَ ذَلِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ ، فَصَلَّى قَبْلَ الْخُطْبَةِ ثُمَّ خَطَبَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ هَذَا يَوْمٌ قَدِ اجْتَمَعَ لَكُمْ فِيهِ عِيدَانِ ، فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَنْتَظِرَ الْجُمُعَةَ مِنْ أَهْلِ الْعَوَالِى فَلْيَنْتَظِرْ ، وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَرْجِعَ فَقَدْ أَذِنْتُ لَهُ
“Abu ‘Ubaid berkata bahwa dia pernah bersama ‘Utsman bin ‘Affan dan hari tersebut ialah hari Jum’at. Kemudian dia shalat ‘ied sebelum khutbah. Lalu dia berkhutbah dan berkata, “Wahai sekalian manusia. Sesungguhnya ini ialah hari di mana terkumpul dua hari raya (dua hari ‘ied). Siapa saja dari yang nomaden (tidak menetap) ingin menunggu shalat Jum’at, maka silakan. Namun siapa saja yang ingin pulang, maka silakan dan sudah kuizinkan.”[4]
Pendapat Kedua: Bagi orang yang sudah menghadiri shalat ‘Ied boleh tidak menghadiri shalat Jum’at. Namun imam masjid dianjurkan untuk tetap melaksanakan shalat Jum’at semoga orang-orang yang punya impian menunaikan shalat Jum’at sanggup hadir, begitu pula orang yang tidak shalat ‘ied sanggup turut hadir.
Pendapat ini dipilih oleh secara umum dikuasai ulama Hambali. Dan pendapat ini terdapat riwayat dari ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Az Zubair. Dalil dari pendapat ini adalah:
Pertama: Diriwayatkan dari Iyas bin Abi Romlah Asy Syamiy, ia berkata, “Aku pernah menemani Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan ia bertanya pada Zaid bin Arqom,
أَشَهِدْتَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عِيدَيْنِ اجْتَمَعَا فِى يَوْمٍ قَالَ نَعَمْ. قَالَ فَكَيْفَ صَنَعَ قَالَ صَلَّى الْعِيدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِى الْجُمُعَةِ فَقَالَ « مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّىَ فَلْيُصَلِّ ».
“Apakah engkau pernah menyaksikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertemu dengan dua ‘ied (hari Idul Fithri atau Idul Adha bertemu dengan hari Jum’at) dalam satu hari?” “Iya”, balasan Zaid. Kemudian Mu’awiyah bertanya lagi, “Apa yang dia lakukan ketika itu?” “Beliau melaksanakan shalat ‘ied dan memdiberi keentengan untuk meninggalkan shalat Jum’at”, balasan Zaid lagi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang mau shalat Jum’at, maka silakan.”[5]
Asy Syaukani dalam As Sailul Jaror (1/304) menyampaikan bahwa hadits ini mempunyai syahid (riwayat penguat). An Nawawi dalam Al Majmu’ (4/492) menyampaikan bahwa sanad hadits ini jayyid (antara shahih dan hasan, pen). ‘Abdul Haq Asy Syubaili dalam Al Ahkam Ash Shugro (321) menyampaikan bahwa sanad hadits ini shahih. ‘Ali Al Madini dalam Al Istidzkar (2/373) menyampaikan bahwa sanad hadits ini jayyid (antara shahih dan hasan, pen). Syaikh Al Albani dalam Al Ajwibah An Nafi’ah (49) menyampaikan bahwa hadits ini shahih.[6] Intinya, hadits ini sanggup digunakan sebagai hujjah atau dalil.
Kedua: Dari ‘Atho’, ia berkata, “Ibnu Az Zubair ketika hari ‘ied yang jatuh pada hari Jum’at pernah shalat ‘ied bersama kami di pertama siang. Kemudian ketika datang waktu shalat Jum’at Ibnu Az Zubair tidak keluar, dia spesialuntuk shalat sendirian. Tatkala itu Ibnu ‘Abbas berada di Thoif. Ketika Ibnu ‘Abbas tiba, kami pun menceritakan kelakuan Ibnu Az Zubair pada Ibnu ‘Abbas. Ibnu ‘Abbas pun mengatakan, “Ia ialah orang yang menjalankan sunnah (ajaran Nabi) [ashobas sunnah].”[7] Jika sobat bersahabat menyampaikan ashobas sunnah(menjalankan sunnah), itu berarti statusnya marfu’ yaitu menjadi perkataan Nabi.
Diceritakan pula bahwa ‘Umar bin Al Khottob melaksanakan ibarat apa yang dilakukan oleh Ibnu Az Zubair. Begitu pula Ibnu ‘Umar tidak menyalahkan perbuatan Ibnu Az Zubair. Begitu pula ‘Ali bin Abi Tholib pernah menyampaikan bahwa siapa yang sudah menunaikan shalat ‘ied maka ia boleh tidak menunaikan shalat Jum’at. Dan tidak diketahui ada pendapat sobat bersahabat lain yang menyelisihi pendapat mereka-mereka ini.[8]
Kesimpulan:
- Boleh bagi orang yang sudah mengerjakan shalat ‘ied untuk tidak menghadiri shalat Jum’at sebagaimana banyak sekali riwayat pendukung dari para sobat bersahabat dan tidak diketahui ada sobat bersahabat lain yang menyelisihi pendapat ini.
- Pendapat kedua yang menyatakan boleh bagi orang yang sudah mengerjakan shalat ‘ied tidak menghadiri shalat Jum’at, ini sanggup dihukumi marfu’ (perkataan Nabi) lantaran dikatakan “ashobas sunnah (ia sudah mengikuti aliran Nabi)”. Perkataan semacam ini dihukumi marfu’ (sama dengan perkataan Nabi), sehingga pendapat kedua dinilai lebih tepat.
- Mengatakan bahwa riwayat yang membuktikan pemdiberian keentengan tidak shalat jum’at ialah khusus untuk orang yang nomaden seperti orang badui (yang tidak dihukumi wajib shalat Jum’at), maka ini ialah terlalu memaksa-maksakan dalil. Lantas apa faedahnya ‘Utsman mengatakan, “Namun siapa saja yang ingin pulang, maka silakan dan sudah kuizinkan”? Begitu pula Ibnu Az Zubair bukanlah orang yang nomaden, namun ia mengambil keentengan tidak shalat Jum’at, termasuk pula ‘Umar bin Khottob yang melaksanakan hal yang sama.
- Dianjurkan bagi imam masjid semoga tetap mendirikan shalat Jum’at supaya orang yang ingin menghadiri shalat Jum’at atau yang tidak shalat ‘ied sanggup menghadirinya. Dalil dari hal ini ialah tawaran untuk membaca surat Al A’laa dan Al Ghosiyah jikalau hari ‘ied bertemu dengan hari Jum’at pada shalat ‘ied dan shalat Jum’at. Dari An Nu’man bin Basyir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقْرَأُ فِى الْعِيدَيْنِ وَفِى الْجُمُعَةِ بِ (سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى) وَ (هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ) قَالَ وَإِذَا اجْتَمَعَ الْعِيدُ وَالْجُمُعَةُ فِى يَوْمٍ وَاحِدٍ يَقْرَأُ بِهِمَا أَيْضًا فِى الصَّلاَتَيْنِ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca dalam dua ‘ied dan dalam shalat Jum’at “sabbihisma robbikal a’la” dan “hal ataka haditsul ghosiyah”.” An Nu’man bin Basyir menyampaikan begitu pula ketika hari ‘ied bertepatan dengan hari Jum’at, dia membaca kedua surat tersebut di masing-masing shalat.[9]
Hadits ini juga menunjukkan dianjurkannya membaca surat Al A’laa dan Al Ghosiyah ketika hari ‘ied bertetapan dengan hari Jum’at dan dibaca di masing-masing shalat (shalat ‘ied dan shalat Jum’at).
- Siapa saja yang tidak menghadiri shalat Jum’at dan sudah menghadiri shalat ‘ied, maka wajib baginya untuk mengerjakan shalat Zhuhur sebagaimana dijelaskan pada hadits yang sifatnya umum. Hadits tersebut membuktikan bahwa bagi yang tidak menghadiri shalat Jum’at, maka sebagai gantinya, ia menunaikan shalat Zhuhur (4 raka’at).[10]
Semoga apa yang kami sajikan ini bermanfaa bagi kaum muslimin. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel http://rumaysho.com
Diselesaikan di Panggang, Gunung Kidul, 28 Dzulqo’dah 1430 H.
[1] Pembahasan kali ini kami olah dari Shahih Fiqih Sunnah, Syaikh Abu Malik, 1/594-596, Al Maktabah At Taufiqiyah.
[2] HR. Abu Daud no. 1052, dari Abul Ja’di Adh Dhomri. Syaikh Al Albani menyampaikan bahwa hadits ini hasan shahih.
[3] HR. Abu Daud no. 1067, dari Thariq bin Syihab. Syaikh Al Albani menyampaikan bahwa hadits ini shahih.
[4] HR. Bukhari no. 5572.
[5] HR. Abu Daud no. 1070, Ibnu Majah no. 1310.
[7] HR. Abu Daud no. 1071. Syaikh Al Albani menyampaikan bahwa hadits ini shahih.
[8] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik, 1/596, Al Maktabah At Taufiqiyah.
[9] HR. Muslim no. 878.
[10] Lihat Fatwa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyah wal Ifta’, 8/182-183, pertanyaan kelima dari Fatwa no. 2358, Mawqi’ Al Ifta.
PETUNJUK NABI SALLALLAHU’ALAIHI WA SALLAM DALAM SHALAT DUA HARI RAYA (IDUL FITRI DAN IDUL ADHA)
Saya ingin mengetahui petunjuk Nabi sallallahu alaihi wa sallam dalam shalat dua hari raya (idul fitri dan idul adha)
Alhamdulillah
Biasanya Nabi sallallahu alaihi wa sallam menunaikan shalat dua hari raya di musholla (lapangan daerah shalat). Tidak ada ketetapan dari Nabi sallallahu alaihi wa sallam melaksanakan shalat id di masjidnya. Syafi’i rahimahullah di kitab Al-Umm mengatakan, ‘Kami didiberi tahu bahwa Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam biasanya keluar ke tanah lapang di Madinah dalam (melaksanakan) shalat dua hari raya. Begitu juga dengan (generasi) sesudahnya kecuali kalau ada uzur hujan atau semisalnya. Begitu juga kebanyakan penduduk negara kecuali penduduk Mekkah.
Biasanya dia menggunakan pakaian yang paling indah ketika keluar untuk shalat dua hari raya. Dan dia mempunyai jubah yang dipakainya untuk dua hari raya dan Jum'at. Kata ‘Hullah’ maksudnya ialah dua baju yang dijadikan satu (sejenis jubah).
Biasanya dia makan beberapa kurma sebelum keluar untuk shalat idul fitri. Memakannya dengan bilangan ganjil.
Diriwayatkan oleh Bukhori, 953 dari Anas bin Malik radhiallahu anhu, dia berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لا يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ تَمَرَاتٍ ، وَيَأْكُلُهُنَّ وِتْرًا
"Biasanya Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam tidak berangkat pada hari raya idul fitri hingga makan beberapa kurma. Dan belia makan (dengan jumlah) ganjil."
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, "Tidak kami ketahui adanya perbedaan dalam hal menyegerakan makan di hari raya idul fitri."
Hikmah makan sebelum shalat semoga tidak ada persangkaan harus berpuasa hingga melaksanakan shalat Id. Ada juga yang menyampaikan sebagai wujud bersegera menunaikan perintah Allah Ta’ala dengan diwajibkannya berbuka setelah diwajibkan berpuasa.
Kalau seorang muslim tidak mendapatkan kurma untuk berbuka, maka boleh berbuka dengan lainnya meskipun dengan air. Agar mendapatkan asal sunnah yaitu berbuka sebelum shalat idul fitri. Adapun Idul Adha, biasanya dia tidak makan hingga pulang dari daerah shalat. Sesudah itu gres makan dari binatang kurbannya.
Diriwayatkan bahwa beliau biasanya dia mandi untuk dua hari raya. Ibnu Qoyyim rahimahullah berkata, "Di dalamnya ada dua hadits lemah. Akan tetapi ada ketetapan dari Ibnu Umar yang dikenal sangat berpengaruh mengikuti sunnah bahwa dia biasanya mandi untuk hari raya sebelum berangkat."
Biasanya Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam keluar untuk shalat Id dalam kondisi jalan kaki, begitu juga ketika kembali, dia berjalan kaki.
Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (1295) dari Ibnu Umar, dia berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ إِلَى الْعِيدِ ، مَاشِيًا وَيَرْجِعُ مَاشِيًا (حسنه الألباني في صحيح ابن ماجه)
"Biasanya Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam menuju daerah shalat Id dengan berjalan kaki, dan kembali juga berjalan kaki." (Dihasankan oleh Al-Albany dalam shahih Ibnu Majah)
Diriwayatkan oleh Tirmizi (530) dari Ali bin Abi Tholib radhiallahu anhu dia berkata, "Sunahnya keluar ke daerah shaat Id dengan berjalan kaki." (Dihasankan oleh Al-Albany dalam shahih Tirmizi)
Tirmizi berkata, "Pengamalan hadits ini dilakukan oleh secara umum dikuasai ulama, mereka menganjurkan seseorang keluar ke daerah Id dengan berjalan kaki. Dianjurkan tidak naik kendaraan kecuali ada uzur.
Biasanya Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam kalau sudah datang di daerah shalat, dia memulai shalat tanpa ada azan, iqamat dan ucapan ‘As-shalatu jami’ah’. Yang sesuai sunnah tidak melaksanakan sesuatu apapun dari itu.
Dan dia tidak pernah shalat apapun di tanah lapang daerah shalat sebelum atau setelah shalat.
Biasanya dia sallallahu alaihi wa sallam memulai dengan shalat terlebih lampau sebelum khutbah. Beliau menunaikan shalat dua rakaat. Pada rakaat pertama, dia melaksanakan tujuh kali takbir berurutan dengan takbitarul ihrom atau lainnya. Berhenti sebentar diantara dua takbir. Tidak (ada) zikir tertentu diantara takbir yang dihafal dari beliau. Akan tetapi Ibnu Mas’ud radhiallahu anhu mengatakan, "melaluiataubersamaini menyanjung kepada Allah (Alhamdulillah) dan memuji serta bershalawat kepada Nabi sallallahu alaihi wa sallam."
Biasanya Ibnu Umar radhiallahu anhu yang dikenal sangat mengikuti sunnah Nabi sallallahu alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya pada setiap takbir.
Biasanya dia ketika selesai takbir, mulai membaca surat. Maka dia membaca surat Al-Fatihah kemudian setelah itu membaca surat 'Qaf Wal Qur’anil Majid' (Surat Qaaf) pada salah satu rakaat. Dan dirakaat lainnya membaca 'Iqtarobatis Sa’ati Wansyaqqol Qomar' (Surat Al-Qomar). Terkadang dia membaca pada dua rakaat dengan bacaan 'Sabbihis marabbikal A’la' (Surat Al-A’la) dan 'Hal Ataka Hadsitul Ghosyiyah' (Surat Al-Ghasyiyah). Semua riwayat ini shahih, sedangkan selainnya tidak sah.
Sesudah selesai membaca, dia bertakbir dan ruku. Kemudian ketika sudah tepat dari satu rakaat, dia berdiri dari sujud, kemudian bertakbir lima kali secara berurutan. Ketika selesai takbir, dia mulai membaca surat. Maka yang pertama kali dimulai pada kedua rakaat ialah takbir, kemudian setelah itu membaca dan ruku.
Telah diriwayatkan dari Tirmizi dari hadits Katsir bin Abdullah bin Amr bin ‘Auf dari ayahnya dari kakeknya sesungguhnya Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam melaksanakan takbir dalam dua shalat hari raya. Pada rakaat pertama tujuh (takbir) sebelum membaca surat. Dan di rakaat lainnya (Kedua) lima (takbir) sebelum membaca surat. Tirmizi mengatakan, ‘Saya bertanya kepada Muhammad –yakni Bukhori- tentang hadits ini, dia mengatakan, "Dalam cuilan ini tidak ada yang lebih shahih dari hadits ini. Dan dengannya saya berbendapat."
Biasanya dia sallallahu alaihi wa sallam ketika selesai shalat, berpaling dan berdiri menghadap jamaah. Sementara orang-orang duduk pada shafnya. Kemudian dia memdiberi nasehat, wasiat, menyuruh dan melarang. Kalau ingin mengirim utusan, maka dia utus seorang utusan. Kalau akan memerintahkan sesuatu, maka dia memerintahkannya. Dahulu belum ada mimbar untuk naik, dan tidak juga mimbar Madinah dikeluarkan. Sehingga dia khutbah dalam posisi berdiri di atas tanah.
Jabir radhiallahu’anhu mengatakan, ‘Saya menyaksikan shalat pada hari raya bersama Rasulullah sallallahu alihi wa sallam. Beliau mengpertamai dengan shalat sebelum khutbah. Tanpa ada azan dan iqomah. Kemudian berdiri dan bersandar kepada Bilal, dan memerintahkan untuk bertakwa kepada Allah, menganjurkan untuk taat kepada-Nya, menasehati dan mengingatkan orang-orang. Kemudian setelah itu dia berjalan menuju ke (tempat) para wanita. Dan dia memdiberi nasehat dan mengingatkan mereka. (Muttafaq alaih)
Abu Said Al-Khudru radhiallahu anhu berkata,
كان النبي يخرج يوم الفطر والأضحى إلى المصلى ، فأول ما يبدأ به الصلاة ، ثم ينصرف فيقوم مقابل الناس والناس جلوس على صفوفهم . . الحديث رواه مسلم
"Biasanya Nabi sallallahu alaihi wa sallam keluar pada hari raya Idul Firti dan Idul Adha ke daerah shalat (musholla). Yang pertama kali dia lakukan ialah shalat. Kemudian berpaling dan berdiri menghadap jamaah. Sementara jamaah tetap duduk dalam shafnya." (HR. Muslim)
Biasanya dia sallallahu alaihi wa sallam memulai khutbahnya dengan hamdalah. Tidak terdapat riwayat dari dari dia dalam satu hadits pun bahwa dia membuka kedua khutabh di dua hari raya dengan takbir. Kecuali yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam sunannya, 1287 dari Sa’ad Al-Qoradhi Muazin Nabi sallallahu’alaihi wa sallam dia berkata, ‘Biasanya Nabi sallallahu’alaihi wa sallam bertakbir disela-sela khutbah bertakbir dalam khutbah dua hari raya.’ Riwayat ini dilemahkan oleh Al-Albany dalam kitab dhaif Ibnu Majah. Disamping haditsnya lemah, juga tidak menunjukkan bahwa Nabi sallallahu alaihi wa sallam membuka khutbah Id dengan takbir.
Beliau (Syekh Al-Albany) menyampaikan dalam kitab Tamamul Minnah, "Meskipun tidak menunjukkan dianjurkannya memulai khutbah Id dengan takbir, maka sanadnya juga lemah. Di dalamnya ada perawi lemah, sedangkan lainnya majhul (tidak diketahui kedudukannya). Maka riwayat ini tidak sanggup dijadikan dalil sunahnya takbir di sela-sela khutbah."
Ibnu Qoyyim rahimahullah berkata,
"Orang-orang tidak sama pendapat tentang permulaan khutbah dua hari raya dan istisqa. Ada yang berkata, ‘Keduanya dimulai dengan takbir.' Ada juga yang mengatakan, 'Khutbah istisqa dimulai dengan istigfar.' Ada pula yang mengatakan, 'Keduanya dimulai dengan hamdalah.' Syaikhul Islam mengatakan, 'Inlah yang benar. Biasanya Nabi sallallahu alaihi wa sallam memulai tiruana khutbahnya dengan hamdalah."
Nabi sallallahu’alaihi wa sallam memdiberi keentengan bagi yang menyaksikan shalat Id dengan mempersilahkan mereka menentukan antara duduk mendengarkan khutbah atau pergi.
Diriwayatkan oleh Abu Dawud, 1155 dari Abdullah bin As-Saib radhiallahu anhu, dia berkata,
شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِيدَ ، فَلَمَّا قَضَى الصَّلاةَ قَالَ : إِنَّا نَخْطُبُ ، فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَجْلِسَ لِلْخُطْبَةِ فَلْيَجْلِسْ ، وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَذْهَبَ فَلْيَذْهَبْ. صححه الألباني في صحيح أبي داود
"Aku ikut hadir shalat Id bersama Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam Id. Ketika selesai shalat, dia mengatakan, ‘Kami akan berkhutbah, barangsiapa yang ingin duduk (untuk mendengarkan) khutbah, maka duduklah. Dan siapa yang ingin pergi, silahkan pergi. (Dishahihkan oleh Al-Albany dalam shahih Abu Daud)
Biasanya Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam tidak sama jalan di hari raya. Pergi di suatu jalan dan pulang di jalan lain.
Diriwayatkan oleh Bukhori (986) dari Jabir bin Abdullah radhiallahu anhuma, dia berkata,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ يَوْمُ عِيدٍ خَالَفَ الطَّرِيقَ
"Biasanya Nabi sallallahu alaihi wa sallam menempuh jalan yang tidak sama hari raya pada hari Id." .
Posting Komentar untuk "Hukum Sholat Jumat Bersamaan Dengan Hari Raya (Idul Fitri / Adha)"