Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Socrates



BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Ajaran bahwa tiruana kebenaran itu relatif sudah menggoyahkan teori-teori sains yang sudah mapan, mengguncangkan keyakinan agama. Ini menjadikan kebingungan dan kekacauan dalam kehidupan. INI sebabnya Socrates harus bangkit. Ia harus meyakinkan orang Athena bahwa tidak tiruana kebenaran itu relatif,  ada kebenaran yang umum yang sanggup dipegang oleh tiruana orang.  Sebagian kebenaran memang relatif, tetapi tidak tiruananya. Sayangnya, Socrates tidak meninggalkan tulisan. Ajarannya kita peroleh dari goresan pena anakdidik-anakdidiknya, terutama Plato. Kehidupan Socrates (470-399 SM) berada di tengah-tengah keruntuhan imperium Athena. Tahun terakhir hidupnya sempat menyaksikan keruntuhan demokratis. Di sekitarnya dasar-dasar usang remuk, kekuasaan jahat mengganti keadilan disertai munculnya penguasa-penguasa politik yang menjadi orang-orang yang sombong dibandingkan dengan sebelumnya.
Pemuda-pemuda Athena pada masa ini dipimpin oleh doktrin relativisme dari kaum sofis, sedangkan Socrates ialah seorang penganut moral yang otoriter dan menyakini bahwa menegakkan moral ialah kiprah filosof yang berdasarkan ide-ide rasional dan keahlian dalam pengetahuan. Untuk lebih jelasnya megenai Socrates ini akan dibahsa penulis dalam belahan selanjutnya.


B.       Rumusan Masalah
1.      Bagaimana riwayat hidup Socrates?
2.      Apa saja pemikiran Socrates?
3.      Bagaimana etika Socrates?
4.      Siapa saja anakdidik-anakdidik Socrates?

C.      Kegunaan Penulisan
1.      Untuk mengetahui bagaimana riwayat hidup Socrates.
2.      Untuk mengetahui apa saja pemikiran Socrates.
3.      Untuk mengetahui bagaimana etika Socrates.
4.      Untuk mengetahui siapa saja anakdidik-anakdidik Socrates.








BAB II
PEMBAHASAN

A.      Riwayat Hidup Socrates
Socrates lahir sekitar tahun 470 SM dan dieksekusi mati dengan harus minum racun pada tahun 399 SM.[1] Bapaknya seorang pemahat patung dari kerikil (stone mason) berjulukan Sophroniskos dan ibunya bernama Phainarete berprofesi sebagai seorang bidan. Dari sinilah Socrates menamakan metodenya berfilsafat dengan metode kebidanan nantinya. Socrates diberistri seorang wanita berjulukan Xantippe dan dikaruniai tiga orang anak. Socrates sendiri ketika masih muda mempelajari serta memmenolong ayahnya.[2] Ia sesungguhnya berasal dari keluarga yang kaya dan kemudian menjadi miskin, tetapi ia masih mendapatkan pendidikan yang baik.[3] Ia berguru kepada Arkhelaos tapi tidak puas dengan gurunya hingga pada usia yang masih muda sudah berbalik dari filsafat alam dan mencari jalan sendiri. Ia banyak membaca buku dan pergaulannya mencakup banyak sekali lapisan masyarakat.[4]
Secara historis, filsafat Socrates mengandung pertanyaan lantaran Socrates sediri tidak pernah diketahui menuliskan buah pikirannya. Apa yang dikenal sebagai pemikiran Socrates intinya ialah berasal dari catatan oleh Plato, Xenophone (430-357) SM, dan siswa-siswa lainnya. Yang paling populer diantaranya ialah Socrates dalam obrolan Plato dimana Plato selalu menggunakan nama gurunya itu sebagai tokoh utama karyanya sehingga sangat susah memisahkan mana gagasan Socrates yang sesungguhnya dan mana gagasan Plato yang disampaikan melalui verbal Sorates.
Nama Plato sendiri spesialuntuk muncul tiga kali dalam karya-karyanya sendiri yaitu dua kali dalam Apologi dan sekali dalam Phaedrus. Socrates dikenal sebagai seorang yang tidak tampan, berpakaian sederhana, tanpa bantalan kaki dan berkelilingi menhadiri masyarakat Athena berdiskusi soal filsafat. Dia melaksanakan ini pada pertamanya didasari satu motif religius untuk membenarkan bunyi mistik yang didengar seorang kawannya dari Oracle Delphi yang menyampaikan bahwa tidak ada orang yang lebih bijak dari Socrates. Merasa diri tidak bijak ia berkeliling menerangkan kekeliruan bunyi tersebut, ia hadiri satu demi satu orang-orang yang dianggap bijak oleh masyarakat pada ketika itu dan ia ajak diskusi tentang banyak sekali kasus kebijaksanaan. Metode berfilsafatnya inilah yang ia sebut sebagai metode kebidanan. Dia menggunakan analogi seorang bidan yang memmenolong kelahiran seorang bayi dengan caranya berfilsafat yang memmenolong lahirnya pengetahuan melalui diskusi panjang dan mendalam.
Dia selalu mengejar definisi otoriter tentang satu kasus kepada orang-orang yang dianggapnya bijak tersebut meskipun kerap kali orang yang didiberi pertanyaan gagal melahirkan definisi tersebut. Pada kesudahannya Socrates membenarkan suara mistik tersebut berdasar satu pengertian bahwa dirinya ialah yang paling bijak lantaran dirinya tahu bahwa ia tidak bijaksana sedangkan mereka yang merasa bijak intinya ialah tidak bijak lantaran mereka tidak tahu kalau mereka tidak bijaksana. Teknik berfilsatnya inilah yang memunculkan rasa sakit hati terhadap Sokrates lantaran setelah penyelidikan itu maka akan tampak bahwa mereka yang dianggap bijak oleh masyarakat ternyata tidak mengetahui apa yang sesungguhnya mereka duga dan ketahui.
Rasa sakit hati inilah yang nantinya akan berujung pada final hidup Sokrates melalui peradilan dengan tuduhan resmi merusak generasi muda, sebuah tuduhan yang sesungguhnya dengan simpel dipatahkan melalui pembelaannya sebagaimana tertulis dalam Apologi karya Plato. Socrates pada kesudahannya wafat pada usia tujuh puluh tahun dengan cara meminum racun sebagaimana keputusan yang diterimanya dari pengadilan dengan hasil voting 280 mendukung hukuman mati dan 220 menolaknya. Socrates sesungguhnya sanggup lari dari penjara, sebagaimana ditulis dalam Krito, dengan menolongan para sobat dekatnya namun ia menolak atas dasar kepatuhannya pada satu kontrak yang sudah ia jalani dengan aturan di kota Athena. Keberaniannya dalam menghadapi maut digambarkan dengan indah dalam Phaedo karya Plato. Kematian Socrates dalam ketidakadilan peradilan menjadi salah satu insiden peradilan paling bersejarah dalam masyarakat Barat di samping peradilan Yesus Kristus.[5]

B.  Pemikiran Socrates
Socrates ialah pemikir yang memperkenalkan istilah theoria sebagai pengetahuan. Menurut dia, kiprah negara ialah mendidik masyarakat negara dalam keutamaan yakni mempersembahkan kebahagiaan kepada setiap masyarakat negara serta membuat jiwa mereka sebaik mungkin. Penguasa negara haruslah mempunyai pengertian tentang “yang baik”.[6] Socrates di masanya belum menyampaikan sebuah sistem pemerintahan demokratis yang berlaku di Athena, di mana pemegang kuasa dipilih oleh majelis rakyat atau ditentukan dengan undian, lantaran yang dipilih bukanlah seorang yang mempunyai keahlian khusus. Bagi Socrates, keahlian yang sungguh-sungguh menjamin kesejahteraan negara ialah pengenalan tentang yang baik. Di masa hidupnya Socrates memang termasuk pejuang demokrasi. Dalam karya Plato yang berjudul Crito, Socrates dipandang kedengkian orang terhadapnya, Socrates tetap ingin memperlihatkan bahwa dirinya senantiasa taat pada peraturan. Ia berpegang teguh pada prinsipnya serta tidak terpengaruh dengan godaan materi. Sikapnya ini tentu dilandasi oleh prinsip etikanya tentang “yang baik” itu yang juga diberimplikasi pada filsafat politiknya.
Socrates ialah penganut moral yang absolute dan menyakini bahwa menegakkan moral ialah kiprah filsuf, yang berdasarkan idea-idea rasional dan keahlian dalam pengetahuan. Menurut Socrates, keadilan (justice) ialah tujuan politik yang utama. Karena keadilan ialah hal yang esensial bagi pemenuhan kecenderungan alamiah manusia. Menempatkan keadilan sebagai patokan politik sebagai aktualisasi bakat-bakat manusia. Baginya, keadilan ialah melaksanakan apa yang menjadi fungsi atau pekerjaan sendiri sebaik-baiknya tanpa mencampuri fungsi atau pekerjaan orang lain (the practice of minding one’s business).
Socrates juga menambahkan bahwa setiap hal yang dikerjakan mengandung kebajikan (victue) tersendiri. Yang menjadi patokan kebaikan ialah secara alamiah sangat sesuai, yakni kebajikan setiap hal untuk melaksanakan kegiatan apa saja secara baik yang sesuai dengan sifatnya. Socrates menganalogikan tiga hal tipe insan dan tipe masyarakat yakni: Pertama, sifat nafsu (desire) dilambangkan sebagai pedagang yang bekerja mencari uang sebanyak-banyaknya. Kedua, sifat semangat (spirit) dilambangkan sebagai seorang prajurit yang menjaga tata kehidupan masyarakat. Ketiga, sifat daypikir (reason) dilambangkan sebagai filosof yang berfungsi sebagai penguasa.
Menurut Socrates, suatu masyarakat (rezim) dikatakan adil bila masing-masing sanggup berafiliasi secara terbaik dan serasi di bawah pimpinan filsofof raja yang bijaksana. Berkaitan dengan kesejajaran antara jiwa dan tipe masyarakat di atas, Socrates membedakan masyarakat (rezim) menjadi lima tipe, yaitu:[7]
1.      Aristokras. Tipe ini dikategorikan sebagai rezim terbaik, lantaran yang memerintah seorang raja yang bijaksana (filosof). Keadilan akan terwujud dalam tipe rezim aristokrasi lantaran setiap kelas dalam masyarakat melaksanakan fungsi secara terbaik dan berafiliasi secara serasi di bawah pimpinan sang raja yang filosof. Rezim ini dijiwai dengan budi budi.
2.      Timokrasi. Tipe ini dikategorikan sebagai rezim kedua. Selain itu, rezim ini diperintah oleh mereka yang menyukai akan kehormatan dan kebanggaan, yakni prajurit. Rezim ini dijiwai dengan semangat.
3.      Oligarki. Tipe ini dikategorikan sebagai rezim yang diperintah oleh kelompok kecil yang mempunyai kejayaan melimpah (saudagar dan pengusaha). Rezim ini dijiwai dengan cita-cita yang perlu (necessary desire).
4.      Demokrasi. Tipe ini dikategorikan sebagai rezim yang dipimpin oleh banyak orang yang spesialuntuk mengandalkan atau cita-cita yang tak perlu (unnecessary desire).
5.      Tirani. Tipe ini dikategorikan sebagai rezim yang terburuk lantaran yang memerintahkan seorang tiran yang bertindak sekehendak nafsunya. Seorang tiran tidak mempunyai kontrol atas dirinya. Keadilan sama sekali tidak terwujud dalam rezim ini.[8]
Pandangan Socrates yang terpenting ialah bahwa pada diri setiap insan terpendam jawabanan terkena banyak sekali duduk kasus dalam dunia nyata. Karena itu setiap orang sesungguhnya sanggup menjawaban tiruana duduk kasus yang dihadapinya. Masalahnya ialah pada orang-orang itu, kebanyakan mereka tidak menyadari bahwa dalam dirinya terpendam jawabanan-jawabanan bagi persoalan-persoalan yang dihadapinya. Karena itu berdasarkan Socrates, perlu ada orang lain yang ikut mendorong mengeluarkan ide-ide atau jawabanan-jawabanan yang masih terpendam itu. dengan perkataan lain perlu semacam “bidan” untuk memmenolong kelahiran sang ilham dari dalam kalbu manusia. Maka pekerjaan Socrates sehari-hari ialah berjalan-jalan di tengah kota, berkeliling di pasar-pasar untuk berbicara dengan tiruana orang yang dijumpai untuk menggali jawabanan-jawabanan terpendam terkena banyak sekali persoalan.[9]
melaluiataubersamaini metode tanya balasan yang disebut metode Socrates ini akan timbul pengertian yang disebut “Maieutics” (menarikdanunik ke luar ibarat yang dilakukan bidan). Pengertian tentang diri sendiri ini berdasarkan Socrates sangat penting buat tiap-tiap manusia. Adalah kewajiban setiap orang untuk mengetahui dirinya sendiri terlebih lampau kalau ia ingin mengerti tentang hal-hal lain di luar dirinya. Ia mempunyai semboyan “belajar yang sesungguhnya pada insan ialah mencar ilmu tentang manusia”.[10]

C.      Etika Socrates
Budi ialah tahu, kata Socrates. Orang yang berpengetahuan dengan  sendirinya berbudi baik. Siapa yang mengetahui aturan niscaya bertindak dengan pengetahuannya. Oleh lantaran budi berdasar atas pengetahuan maka budi itu sanggup dipelajari. Dari citra tersebut terlihat bahwa anutan etik Socrates bersifat intelektual dan juga rasional. Apabila budi ialah tahu maka tak ada orang yang sengaja berbuat jahat. Kedua-duanya, budi dan tahu bersangkut-paut. “Jahat” spesialuntuk hadir dari orang yang tidak mengetahui, orang yang tidak mempunyai pertimbangan atau penglihatan yang benar.
Oleh lantaran budi ialah tahu, maka siapa yang mengetahui kebaikan pastilah ia berbuat baik. Menuju kebaikan ialah jalan yang sebaik-baiknya untuk mencapai kesenangan hidup. Apa itu kesenangan hidup? hal ini tidak pernah dipersoalkan oleh Socrates sehingga anakdidik-anakdidiknya kemudian mempersembahkan pendapatnya sendiri-sendiri yang berperihalan satu sama lain. Menurut Socrates, insan itu intinya baik. Keadaan dan tujuan insan ialah kebaikan sifatnya dan kebaikan budinya. Dari pandangan etik yang rasional itu Socrates hingga pada perilaku hidup yang penuh dengan rasa keagamaan. Menurut keyakinannya di zalimi lebih baik dari pada mendzalimi. Socrates ialah orang yang mempercayai tuhan.

D.      Murid-Murid Socrates
Diantara anakdidik-anakdidik Socrates ada tiga orang yang mengaku meneruskan pelajarannya, yaitu Euklides, Antisthenes dan Aristippos.
  1. Euklides mengajarkan filosofinya di kota Megara. Sebelum ia mencar ilmu pada Socrates, ia sudah mempelajari filosofi Elea, terutama anutan Permenindes yang menyampaikan bahwa yang ada itu ada, satu, tidak berubah-ubah. Pendapat ini disatukan dengan etika Socrates. Lalu diajarkannya: Yang satu itu baik. Hanya orang sering menyebut yang satu itu dengan banyak sekali anggapan: Tuhan, akal, dan lainnya. Lawan satu itu tiada.Yang baik selalu ada, tidak berubah.
  2. Antisthenes mula-mula anakdidik guru sofis Gorgias. Kemudian ia menjadi pengikut Socrates. Sesudah Socrates meninggal, ia membuka sekolah filosofi di Atena dan didiberi nama Gymnasium Kynosarges. Menurut anutan Antisthenes, budi ialah satu-satunya yang baik. Budi ialah segala rasa cukup. Di luar itu tidak perlu mencari kesenangan hidup. Dalam dua halia menyimpang dari Socrates. Pertama, ia mengambil biaya sekolah. Bagi Socrates, ia pantang mendapatkan bayaran. Kedua, tentang pengertian. Bagi Antisthenes, pengertian itu tidak ada. Yang adaspesialuntuk kata-kata, masing-masing mempunyai arti sendiri. Kata yang satu tak sanggup memilih kata yang lain.
  3. Aristippos mengajarkan filosofinya di Kyrena.Mula-mula ia mencar ilmu pada guru sofis dan kemudian menjadi anakdidik Socrates. Dalam ajarannya ia jauh menyimpang dari Socrates. Menurut pendapatnya, kesenangan hidup harus menjadi tujuan. Sebab itulah, ajarannya disebut hedonisme. Hanya kesenangan hidup harus dicapai dengan pertimbangan yang tepat, tidak serampangan.
Euklides, Antisthenes dan Aristippos, masing-masing mendirikan sekolah Socrates sebagai tanda cinta kepada gurunya. Namun mereka bukanlah anakdidik Socrates yang sepenuhnya.Murid Socrates yang sesungguhnya ialah Plato. Dibandingkan dengan gurunya, Socrates, Plato sudah maju selangkah dalam pemikirannya. Socrates gres hingga pada pemikiran tentang sesuatu yang umum dan ialah hakikat suatu realitas, tetapi Plato sudah mengembangkannya dengan pemikiran bahwa hakikat suatu realitas itu bukan “yang umum”, tetapi yang mempunyai kenyataan yang terpisah dari sesuatu yang berada secara kongkret, yaitu ide. Dunia ilham inilah yang spesialuntuk sanggup dipikirkan dan diketahui oleh akal.







BAB III
PENUTUP

Simpulan
Socrates ialah Bapak Filsafat yang mengakhiri hidupnya dengan racun lantaran menetapi prinsipnya tentang pantas dan tidak pantas, tentang bersalah dan tidak bersalah, bijak dan tidak bijak berdasarkan pemahaman dan kontemplasi diri-sendiri, serta permenungan dengan kawan-kawan filsafatnya. Dia selalu mengejar definisi otoriter tentang satu kasus kepada orang-orang yang dianggapnya bijak tersebut meskipun kerap kali orang yang didiberi pertanyaan gagal melahirkan definisi tersebut. Pada kesudahannya Socrates membenarkan suara mistik tersebut berdasar satu pengertian bahwa dirinya ialah yang paling bijak lantaran dirinya tahu bahwa ia tidak bijaksana sedangkan mereka yang merasa bijak intinya ialah tidak bijak lantaran mereka tidak tahu kalau mereka tidak bijaksana.








DAFTAR PUSTAKA

Hadian Noor, Sejarah Filsafat, Cet. 1, Malang: Citra Mentari Group, 1997.
M.T. Thahir, Falsafah Junani Kuno-Abad Socrates, Cet. V, Jogjakarta: Tt, 1960.
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 1, Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1980.
Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1976.
The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Liberty, 1999.
Muhammad Azhar, Filsafat Politik (Perbandingan antara Islam dan Barat), Cet. 2, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1997.
Zainal Abidin, Pengantar Filsafat Barat, (Jakarta: Rajpertamai Pres, 2011.
Sarlito Wirawan Sarwono, Berkenalan dengan Aliran-liran dan Tokoh-Tokoh Psikologi, Jakarta: Bulan Bintang, 1978.



[1]Hadian Noor, Sejarah Filsafat, Cet. 1, (Malang: Citra Mentari Group, 1997), h. 26
[2]M.T. Thahir, Falsafah Junani Kuno-Abad Socrates, Cet. V, (Jogjakarta: Tt, 1960) , h. 67
[3]Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 1, (Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1980), h. 35
[4] Hadian Noor, Sejarah Filsafat, op. cit., h. 26
[5]Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, (Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1976), h. 10
[6]The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Liberty, 1999), h. 31
[7]Muhammad Azhar, Filsafat Politik (Perbandingan antara Islam dan Barat), Cet. 2, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1997), h. 23
[8]Ibid, h. 24
[9]Zainal Abidin, Pengantar Filsafat Barat, (Jakarta: Rajpertamai Pres, 2011), h. 100
[10]Sarlito Wirawan Sarwono, Berkenalan dengan Aliran-liran dan Tokoh-Tokoh Psikologi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h. 18

Posting Komentar untuk "Socrates"