Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hukum Material



BAB I
PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang
Lima tahun sudah usia Undang-Undang peradilan agama. Lima tahun pula sudah peradilan agama  sebagai peradilan yang duduk sama rendah, berdiri sama tinggi, setara dengan peradilan Negara lainnya, berada ditengah-tengah peradilan lain di Negara kita. Selama lima tahun itu banyak sekali upaya sudah dilakukan untuk memperkokoh kedudukan peradilan yang mengadili masalah khusus umat Islam itu. untuk memantapkan kedudukan dan peranannya sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia pada usianya yang kelima ini, tidak ada salahnya bila kita menatap ke depan melihat kemungkinan pengembangan aturan materialnya.
Pengembangan aturan material peradilan agama pada tahun-tahun yang akan hadir harus dilakukan dalam rangka pembangunan aturan nasional dan dalam bingkai garis-garis besar haluan Negara bertitik tolak dari budi pembangunan bahan aturan dalam TAPMPR No II/MPR/1993 tanggal 9 Maret 1993. Sebabnya yakni alasannya peradilan agama menyerupai disebutkan di atas yakni salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman dalam Negara Republik Indonesia dan alasannya itu pula pengembangan aturan materialnya sekiranya dilakukan dalam bingkai dan mengacu pada kerangka contoh tersebut di atas.
Dari paparan latar belakang di atas penulis tertarik untuk menggali lebih dalam lagi wacana pengembangan aturan material di Peradilan Agama ini dalam potongan selanjutnya.
  1. Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian aturan material?
2.      Bagaimana asas dan samasukan aturan material?
3.      Bagaimana pengembangan aturan material di Peradilan Agama?

  1. Tujuan Penulisan
  1. Untuk mengetahui apa pengertian aturan material.
  2. Untuk mengetahui bagaimana asas dan samasukan aturan material.
  3. Untuk mengetahui bagaimana pengembangan aturan material di Peradilan Agama.









BAB II
PEMBAHASAN

  1. Pengertian Hukum Material
Hukum Materiil  Peradilan Agama yakni aturan Islam yang kemudian sering didefinisikan sebagai fikih yang sudah barang tentu rentan terhadap perbedaan. Hukum materiil Peradilan Agama selama ini bukan ialah aturan tertulis dan masih awut-awutan dalam banyak sekali kitab karya ulama masa kemudian yang alasannya dari segi sosiokultural tidak sama, sering menjadikan perbedaan ketentuan hukumnya wacana problem yang sama, maka untuk mengeliminasi perbedaan tersebut di satu sisi dan adanya kesamaan di sisi lain, sudah dikeluarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 dan Undang-Undang N0. 23 Tahun 1954 yang mengatur wacana aturan perkawinan, talak dan rujuk. Undang-Undang ini kemudian ditindaklanjuti dengan surat agen Pengadilan Agama No. B/I/735 tanggal 18 Februari 1958 yang ialah pelaksanaan peraturan pemerintah No. 45 tahun 1957 wacana pembentukan peradilan agama diluar Jawa dan Madura.
Dalam surat agen peradilan tersebut di atas ditetapkan bahwa untuk mendapat kesatuan aturan material dalam menyidik dan menetapkan perkara, maka para hakim peradilan agama dianjurkan biar memakai sebagai tumpuan 13 kitab-kitab ini, yakni: 1) Al-Bajuri, 2) Fatkhul Mu’in, 3) Syaraqawi ‘Alat Tahrir’, 4) Qalyubi Wa Umairah/ Al-Mahali, 5) Fatkhul Wahhab, 6) Tuhfah, 7) Targhib Al-Mustaq, 8) Qawanin Syari’ah Li Sayyid bin Yahya, 9) Qawanin Syari’ah Li Sayyid Shadaqah, 10) Syamsuri li Fara’id, 11) Bughyat Al-Musytarsyidin, 12) Al-Fiqih Ala Madzahib Al-Arba’ah dan 13) Mughni Al-Muhtaj.[1]

  1. Asas dan Samasukan Hukum Material
Hukum material berasaskan keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ini berarti bahwa segala perjuangan dan aktivitas pembangunan nasional, termasuk pembangunan aturan di dalamnya dijiwai, digerakkan dan dikendalika oleh keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai nilai luhur yang menjadi landasan spritural, moral dan etik pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila. Iman dan taqwa serta segala sesuatu yang berkaitan dengannya dipamdang dari sudut aliran Ketuhanan Yang Maha Esa (tauhid) yang menjadi landasan kerangka dasar agama Islam, bersepadanan dengan aqidah dan syari’ah, dua dari tiga komponen agama Islam, aqidah, syari’ah dan akhlak.
Pembangunan jangka panjang kedua, berdasarkan GBHN 1993, diselenggarakan melalui tujuh bidang pembangunan. Salah satu di antaranya yakni bidang hukum. Peningkatan dari sector menjadi bidang dalam pembangunan aturan memiliki makna bahwa dalam waktu dua puluh lima tahun diperlukan akan tercapai yakni terbentuk dan berfungsinya system aturan nasional yang mantap, bersumberkan Pancasila dan UUD 1945 dengan memperhatikan kemajemukan tatanan aturan yang berlaku yang bisa menjamin kepastian, ketertiban, penegakan dan dukungan aturan yang diberintikan keadilan dan kebenaran.[2]


  1. Wawasan Hukum Material
  1. Wawasan Kebangsaan
Wawasan kebangsaan sistem aturan materiil harus berorientasi penuh dalam aspirasi serta kepentingan bangsa Indonesia. Wawasan kebangsaan ini berdasarkan menteri kehakiman, bukanlah wawasan kebangsaan yang tertutup tetapi terbuka memperhatikan kepentingan generasi yang akan hadir dan bisa menyerap nilai-nilai aturan modern
  1. Wawasan Nusantara
Wawasan nusantara menginginkan adanya satu aturan nasional, maka perjuangan unifikasi di bidang aturan harus sejauh mungkin dilaksanakan. Ini berarti bahwa seluruh golongan masyarakat akan diatur oleh satu system aturan yaitu system aturan nasional.
  1. Wawasan Bhinneka Tunggal Ika
melaluiataubersamaini mempergunakan wawasan terakhir ini unifikasi aturan yang diinginkan oleh wawasan nusantara itu harus menjamin tertuangnya aspirasi, nilai-nilai dan kebutuhan aturan masyarakat ke dalam system aturan nasional. melaluiataubersamaini wawasan bhinneka tunggal ika ini keragaman suku bangsa, budaya dan agama sebagai asset pembangunan nasional harus dihormati, sepanjang, tentu saja tidak membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa.
melaluiataubersamaini mempergunakan ketiga wawasan itu secara sekaligus dan terpadu banyak sekali asas dan kaidah-kaidah aturan Islam juga aturan etika dan aturan eks barat akan menjadi potongan integral aturan nasional, baik aturan nasional yang tertulis maupun aturan nasional yang tidak tertulis atau aturan kebiasaan.[3]
  1. Pengembangan Hukum Material di Peradilan Agama
Hukum material yang hendak dikembangkan di Peradilan Agama dalam Pembangunan Jangka Panjang Kedua yakni aturan perdata Islam terkena, a) Perkawinan, b) Kewarisan, wasiat, dan hibah, c) Wakaf dan shadaqah, sesuai dengan wewenang yang didiberikan oleh Undang-Undang (No. 7 tahun 1989) kepada Peradilan Agama untuk memeriksa, memutus, dan menuntaskan perkara-perkara di bidang tersebut. Hukum ini sudah dihimpun dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia dan sudah pula disebarluaskan sesuai dengan instruksi Presiden No. 1 tahun 1991 melalui keputusan Menteri Agama Republik Indonesia No. 154 tahun 1991, tanggal 22 Juli 1991. Kompilasi aturan Islam ini, sesuai dengan konsiderans instruksi presiden  dimaksudkan bersifat terbuka untuk dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman dan pemenuhan kebutuhan aturan umat Islam Indonesia.[4]
Dilihat dari sudut dimensi pembangunan  hukum nasional tersebut di atas, pengembangan aturan material peradilan agama termasuk dalam kategori dimensi pembaharuan yaitu perjuangan untuk melengkapi dan menyempurnakan aturan material peradilan agama yang sekarang dihimpun secara sistematis dalam kompilasi aturan Islam. ini berarti bahwa dalam pengembangan aturan material peradilan agama, kita melengkapi apa yang belum ada dalam kompilasi itu dan menyempurnakan apa yang sudah ada di dalamnya.
Dilihat dari perangkat aturan nasional, disiplin aturan yang dikembangkan di lingkungan peradilan agama menyerupai disebut di atas yakni aturan kekeluargaan, aturan kewarisan dan aturan kesejahteraan sosial. Di samping mempergunakan dimensi pembaruan atau dimensi penyempurnaan tersebut di atas dalam pengembangan aturan material peradilan agama sesuai dengan kode GBHN 1993 di atas, perlu ditingkatkan kualitas pembentukan aturan melalui yurisprudensi peradilan agama. Peningkatan kualitas yurisprudensi peradilan agama ini sangat bergantung pada kualitas dan wawasan hakim peradilan agama sebagai penegak aturan dan keadilan dalam menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai aturan yang hidup dalam masyarakat (muslim).
Dalam pasal 14 Undang-Undang No. 14 tahun 1970 ditentukan bahwa hakim dilarang menolak menyidik dan mengadili suatu masalah yang diajukan (padanya) dengan dalih bahwa aturan tidak atau kurang jelas, melainkan wajib menyidik dan mengadilinya. Ini berarti bahwa hakim sebagai organ kelengkapan pengadilan dianggap mengetahui dan memahami hukum. Kalau ia tidak menemukan aturan tertulis atau aturan tertulis ini kurang atau tidak jelas, ia wajib menggali aturan tidak tertulis untuk menetapkan (perkara yang diajukan padanya) berdasarkan aturan tidak tertulis itu atau memdiberi tafsiran terhadap aturan tertulis yang tidak terang tersebut sebagai seorang yang bijaksana, bertanggungjawaban penuh terkena keputusannya kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, masyarakat, bangsa dan negara.[5]








BAB III
PENUTUP

Simpulan
Hukum Materiil  Peradilan Agama yakni aturan Islam yang kemudian sering didefinisikan sebagai fikih yang sudah barang tentu rentan terhadap perbedaan. Dalam pengembangan aturan material peradilan agama harus sejalan dan selaras dengan pengembangan bahan aturan nasional, berdasarkan asas dan kerangka pembangunan nasional. Pengembangan aturan material peradilan agama dalam pembangunan jangak panjang kedua di kurun globalisasi ini harus tetap dan terang identitasnya sebagai aturan Islam dan bisa memenuhi kebutuhan aturan masyarakat muslim dalam Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sila pertama Pancasila dasar negara kita.








DAFTAR PUSTAKA

Djalil, Basiq, Peradilan Agama Di Indonesia, Jakarta: Prenada Media Group, 2006.
Ali, Daud, Hukum Islam dan Peradilan Agama, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1997.
Farah Fitriani, Pengadilan Agama,  http://farahfitriani.wordpress.com/2011/08/01/pengadilan-agama/ diakses Sabtu, 28 Desember 2013, jam 19:00 Wita.



[1] Basiq Djalil, Peradilan Agama Di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media Group, 2006), h. 156
[2] Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, ( Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1997), h. 368
[3] Ibid, h. 370-371
[4] Ibid, h. 375
[5] Farah Fitriani, Pengadilan Agama,  http://farahfitriani.wordpress.com/2011/08/01/pengadilan-agama/ diakses Sabtu, 28 Desember 2013, jam 19:00 Wita.

Posting Komentar untuk "Hukum Material"