Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Akhlak Tasawuf


                                              AKHLAK TASAWUF

I.            Pengertian dan Keutamaan
Akhlak secara terminologi berarti tingkah laku seseorang yang didorong oleh suatu harapan secara sadar untuk melaksanakan suatu perbuatan yang baik. Akhlak ialah bentuk jamak dari kata khuluk, berasal dari bahasa Arab yang berarti perangai, tingkah laku, atau tabiat. Tiga pakar di bidang budbahasa yaitu Ibnu Miskawaih, Al Gazali, dan Ahmad Amin menyatakan bahwa budbahasa ialah perangai yang menempel pada diri seseorang yang sanggup memunculkan perbuatan baik tanpa mempertimbangkan pikiran terlebih lampau. Diantara keutamaan Akhlak ialah :
Pertama : Akhlak yang baik termasuk tanda kesempurnaan doktrin seseorang, sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam: “Orang-orang mukmin yang paling tepat imannya ialah yang paling baik akhlaknya.” (Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shohihul Jami’, No. 1241)
Kedua : melaluiataubersamaini budbahasa yang baik, seorang hamba akan bisa mencapai derajat orang-orang yang bersahabat dengan Allah Ta’ala, sebagaimana klarifikasi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau: ”Sesungguhnya seorang mukmin dengan akhlaknya yang baik bisa mencapai derajat orang yang berpuasa dan qiyamul lail.” (Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’, No. 1937)
Ketiga : Akhlak yang baik bisa menambah berat amal kebaikan seorang hamba di hari kiamat, sebagaimana sabda dia shalallahu ‘alaihi wa sallam : “Tidak ada sesuatu yang lebih berat ketika diletakkan di timbangan amal (di hari akhir) selain budbahasa yang baik.” (Shahihul Jami’, No. 5602)
Keempat : Akhlak yang baik ialah alasannya ialah yang paling banyak memasukkan insan ke dalam surga. Hal ini sebagaimana disabdakan Rasulullah ketika ditanya tentang apa yang bisa memasukkan insan ke dalam surga. Beliau menjawaban: “Bertakwa kepada Allah dan budbahasa yang baik.” (Riyadhus Shalihin)
Apa yang dimaksud budbahasa yang baik itu ?
Imam Hasan Al-Bashri berkata : “Akhlak yang baik diantaranya: menghormati, memmenolong dan menolong.” Ibnul Mubarak berkata: “Akhlak yang baik adalah: “berwajah cerah, melaksanakan yang ma’ruf dan menahan kejelekan (gangguan).” Imam Ahmad bin Hambal berkata: “Akhlak yang baik ialah tidakboleh murka dan dengki.”
Al-Imam Muhammad bin Nashr mengatakan: “Sebagian ulama berkata: Akhlak yang baik ialah menahan murka karena Allah, menampakkan wajah yang cerah berseri kecuali kepada ahlul bid’ah dan orang-orang yang banyak berdosa, memaafkan orang yang salah kecuali dengan maksud untuk memdiberi pelajaran, melaksanakan eksekusi (sesuai syari’at Islam) dan melindungi setiap muslim dan orang kafir yang terikat komitmen dengan orang Islam kecuali untuk mengingkari kemungkaran, mencegah kedzaliman terhadap orang yang lemah tanpa melampaui batas.”(Iqadhul Himam, hal. 279)
II. Memperbaiki Akhlak seorang Hamba Allah
Akhlak seorang hamba itu bisa baik bila mengikuti jalannya (sunnahnya) Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam, alasannya ialah beliaulah orang yang terbaik akhlaknya. Allah Ta’ala berfirman: “Dan sesungguhnya engkau (wahai Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (Al-Qalam: 4). Allah Ta’ala juga menegaskan: “Sesungguhnya sudah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian, (yakni) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (hadirnya) hari kiamat, dan dia banyak menyebut Allah.” (Al-Ahzab: 21)
Maka sudah selayaknya bagi setiap muslim mempelajari riwayat hidupnya dari setiap sisi kehidupan dia (secara menyeluruh), yakni bagaimana dia beradab dihadapan Rabbnya, kelurganya, sobat dekatnya dan terhadap orang-orang non muslim.
Salah satu cara untuk mempelajari itu tiruana ialah sering duduk (bergaul) dengan orang-orang yang bertakwa. Sebab seseorang itu akan terpengaruh dengan mitra duduknya. Nabi bersabda: “Seseorang itu dilihat dari agama mitra dekatnya. Karena itu lihatlah siapa mitra dekatnya.”(HR Tirmidzi)
Kemudian wajib juga bagi setiap muslim untuk menjauhi orang yang buruk akhlaknya. cepatdangampang-gampangan dengan begitu kita termasuk hamba-hamba Allah yang menghiasi diri kita dengan budbahasa yang baik.
III. Macam – macam Nilai Akhlak dan Sumbernya
Seperti yang sudah diketahui bahwa timbulnya kesadaran budbahasa dan pendirian insan terhadap Allah SWT ialah ukuran yang menentukan corak hidup manusia. Akhlak atau moral ialah pola tindakan yang didasarkan atas nilai mutlak kebaikan. Tiap-tiap perbuatan ialah jawabanan yang tepat terhadap kesadaran akhlak, sebaliknya hidup yang tidak bersusila dan tiap-tiap pelanggaran  kesusilaan ialah menentang kesadaran itu.
Kesadaran budbahasa ialah kesadaran insan tentang dirinya sendiri, dimana insan melihat atau mencicipi diri sendiri berhadapan dengan baik dan buruk. Disitulah hal yang membedakan khalal dan kharam, hak dan bathil, boleh dan dilarang dilakukan. Dalam dunia binatang tidak ada hal yang baik dan buruk atau patut dan tidak patut, karena spesialuntuk manusialah yang mengerti dirinya sendiri, spesialuntuk manusialah yang sebagai subjek bahwa dia berhadapan pada perbuatannya itu, sebelum, selama dan setelah pekerjaan itu dilakukan. Sehingga sebagai subjek yang mengalami perbuatannya dia bisa dimintai pertanggung jawabanan atas perbuatan itu.
 Akhlak baik lambang keyakinan yang murni
Rasulullah Shallalllahu ‘alaihi wa sallam diutus untuk mengajak insan supaya diberibadah spesialuntuk kepada Allah Azza wa Jalla sahaja dan memperbaiki budbahasa manusia. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya saya diutus untuk menyempurnakan budbahasa yang baik.” Sesungguhnya antara budbahasa dengan ‘aqidah terdapat korelasi yang sangat berpengaruh sekali. Ini kerana budbahasa yang baik sebagai bukti dari keimanan dan budbahasa yang buruk sebagai bukti atas lemahnya iman, semakin tepat budbahasa seorang Muslim bererti semakin berpengaruh imannya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Kaum Mukminin yang paling tepat imannya ialah yang akhlaknya paling baik di antara mereka, dan yang paling baik di antara kalian ialah yang paling baik kepada isteri-isterinya.”
Akhlak yang baik ialah sebahagian daripada amal shalih yang sanggup menambah keimanan dan mempunyai nilai yang berat di dalam timbangan. Pemiliknya sangat dicintai oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan budbahasa yang baik ialah salah satu penyebab seseorang untuk sanggup masuk Syurga. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah Maha Pemurah menyukai kedermawanan dan budbahasa yang mulia serta membenci budbahasa yang rendah/hina.”
Sungguh budbahasa yang mulia itu meninggikan darjat seseorang di sisi Allah, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam“Sesungguhnya seorang Mukmin dengan akhlaknya yang baik, akan mencapai darjat orang yang shaum (puasa) di siang hari dan shalat di tengah malam.”
Akhlak yang mulia sanggup menambah umur dan menyebabkan rumah makmur, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:“… Akhlak yang baik dan bertetangga yang baik keduanya menyebabkan rumah makmur dan menambah umur.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah orang yang paling baik akhlaknya. Allah Subhanahu wa Ta’ala sudah sebutkan dalam firman-Nya:
Begitu pula para Sahabat Radhiyallahu ‘anhum, mereka ialah orang-orang yang paling baik akhlaknya setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Dan di antara budbahasa Salafush Shalih Radhiyallahu ‘anhum, yaitu:
1.      Ikhlas dalam ilmu dan amal serta takut dari riya’.
2.      jujur dalam segala hal dan menjauhkan dari sifat dusta.
3.      Bersungguh-sungguh dalam menunaikan amanah dan tidak khianat.
4.      Menjunjung tinggi hak-hak Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa    sallam.
5.      Berusaha meninggalkan segala bentuk kemunafikan.
6.      Lembut hatinya, banyak mengingat mati dan alam abadi serta takut terhadap  akhir kehidupan yang buruk (su’ul khatimah).
7.      Banyak berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla, dan tidak berbicara yang sia-sia.
8.      Tawadhdhu’ (rendah hati) dan tidak sombong.
9.      Banyak bertaubat, diberistighfar (mohon ampun) kepada Allah, baik siang maupun malam.
10.  Bersungguh-sungguh dalam bertaqwa dan tidak mengaku-ngaku sebagai orang yang bertaqwa, serta senantiasa takut kepada Allah.
11.  Sibuk dengan malu diri sendiri dan tidak sibuk dengan malu orang lain serta selalu menutupi malu orang lain.
12.  Senantiasa menjaga lisan mereka, tidak suka ghibah (tidak mengumpat sesama Muslim).
13.  Pemalu.
IV.             Membina Pribadi :
  1. Perbaikan akhlak
Jiwa seseorang yang merasa jauh dari Tuhan, merasa ada pembatas untuk bersahabat kepadaNya, perlu dilakukan perbaikan akhlak. Imam Al Ghazali  berkata bahwa tujuan perbaikan budbahasa itu ialah untuk memmembersihkankan kalbu dari kotoran hawa nafsu dan amarah ( hasrat jahat ) sehingga hati menjadi membersihkan bagaikan cermin yang sanggup mendapatkan dan memantulkan Nur ( hidayah ) Allah.
  1. Sabar
Sabar ialah belahan dari jihad an nafs, usaha jiwa melawan hawa amarah, untuk kembali/ inabah kepada Allah yaitu mencapai kesucian. Sekali lagi Imam Ghazali berkata bahwa Sabar ialah meninggalkan segala macam pekerjaan yang digerakkan oleh hawa nafsu, kembali tetap pada pendirian agama yang sering berperihalan dengan kehendak nafsu, dengan tujuan semata mata demi kebahagiaan dunia dan akhirat.
وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِينَ(45)الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلَاقُو رَبِّهِمْ وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ
Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu`, (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.( Al Baqarah )
Seorang Filosof berkata, ilmu saja belum cukup untuk mendapatkan keutamaan dalam hidup tanpa harus mempunyai kesabaran. Kaum sufi membagi kesabaran itu kepada :
-          sabar dalam berbuat taat
-          sabar dalam menjalankan kewajiban
-          sabar dalam beberapa belahan yakni kedua-duanya
Sabar sanggup pula dibagi berdasar aturan ;
-       Sabar menghindari yang haram, hukumnya wajib
-       Sabar menghindari yang makruh hukumnya sunat
-       Sabar menjalani aturan bila bebuat salah hukumnya harus
-       Sabar membela kehormatan  atau hak, ini dinamai sabar syaja'ah.
Dalam menghadapi kehidupan ini, apapun bentuk kesusahannya sabar menjadi kunci sukses menhadapinya. Orang yang sbar mendapat penghargaan tersendiiri dari Allah swt. sebagaimana pada ayat diberikut ini .
أُولَئِكَ يُجْزَوْنَ الْغُرْفَةَ بِمَا صَبَرُوا وَيُلَقَّوْنَ فِيهَا تَحِيَّةً وَسَلَام

ً
Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam surga) karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya, Al Furqan : 75
  1. Syukur
Sudah selaknya seorang muslim senatiasa bersyukur kapada Allah atas segala nikmatNya. Orang sufi mengajarkan bahwa sifat syukur itu terpui dan dipuji olah Allah SWT.
Syukur perlu diwujudkan dalam sikap dan prilaku bukan spesialuntuk dengan rasa dan kata semata. Salah satu makna syukur ialah keadaan seseorang mempergunakan nikmat yang didiberikan oleh Allah untuk berbuat kebajikan, kebajiakn disini ialah hal ihwal yang diridhai oleh Allah swt. Kesyukuran bukan untuk Allah tetapi lebih kepada kebajikan orang yang bersyukur itu sendiri, namun sedikit orang yang mau bersyukur
اعْمَلُوا ءَالَ دَاوُدَ شُكْرًا وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ       

… Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang berterima kasih. ( Saba 13 )
  1. Ridha dan Qadha
Sabar, syukur dan ridha ialah tiga sifat terpuji yang sangat bernilai tinggi sanggup membawa orang kepada kondisi berbudi luhur dan mulia. ialah pendorong seseorang untuk memperoleh kemauan yang berpengaruh dan  berjiwa besar serta bertanggungjawaban atas segala perbuatannya. Orang yang mempunyai sifat ridha  tidak mudah bimbang atau kecewa atas pengorbanan yang ia lakukan, mapan menghadapi belum sempurnanya dalam hidup , tidak iri hati atas kelebihan-kelebihan yang dimiliki oang lain.
Dalam salah satu hadis qudsi Nabi menceriterakan :
قال الله تعالى : إنني أنا الله لاإله الا أنا  من لم يصبر على بلائ ولم يشكر لنعمائ ولم يرض بقضاءى فليخرج من تحت سمائي وليطلب ربا سواي    
Tuhan berfirman : Akulah Allah tiada Tuhan selain Aku maka barangsiapa  tidak sabar atas cobaanku dan tidak syukur atas nikmatKu dan tidak ridha atas ketentuanKu maka hendaklah iakeluar dari kolong langitKu  dan mencari Tuhan yang selain Aku (  Dr. Mstafa Zahri : 67 - 71)
  1. Iman Mujmal dan Iman Mufasshal
Iman Mujmal ialah ;Pengakuan seorang muslim akan adanya Allah YME dengan segala asma dan sifatNya, diikrarkan dengan pengecap dan dibenarkan dengan hari. Iman Mufasshal / Rukun Iman, Iman kepada Allah, MalaikatNya, Kitab-KitabNya, Rasul-Rasulnya, dan Hari Kiamat serta percaya kepada Qadha dan qadarnya. Kesempurnaan doktrin berdasarkan perspektif hadis Nabi :
      وعنه  قال  قال رسول الله صلى الله عليه وسلم  أكمل المؤمنين ايمانا أحسنهم خلقا وخياركم خياركم لنساءهم  ( روا الترمذى وقال حديث حسن صحيح )

Dari Abi Hurairah R.A, Rasul SAW bersabda : Orang mukmin yang    paling tepat imannya ialah orang yang paling baik budi pekertinya dan sebaik baik engkau ialah yang paling baik terhadap isterinya, hadis R. Turmuzi

V.                Tahapan Menuju Pribadi yang Baik
Dalam rangkaian metode pemmembersihkanan hati, para sufi tetapkan dengan tiga tahap :   Takhalli, Tahalli, dan Tajalli.
a.       Takhalli,
Sebagai tahap pertama dalam mengurus hati, ialah memmembersihkankan hati dari keterikatan pada dunia. Hati, sebagai langkah pertama, harus dikosongkan. Ia disyaratkan terbebas dari kecintaan terhadap dunia, anak, istri, harta dan segala harapan duniawi. Dunia dan isinya, oleh para sufi, dipandang rendah. Ia bukan hakekat tujuan manusia. Mabadunga kita meninggalkan dunia ini, harta akan sirna dan lenyap.
Dalam Al Alquran Ada ceritera Qarun dengan hartanya, Fir'aun dengan Kekuasaannya, Haman dengan Jabatannya.
a.       QARUN
Qarun ialah kaum Nabi Musa, berkebangsaan Israel, dan bukan berasal dari suku Qibthi (Gypsy, bangsa Mesir). Allah mengutus Musa kepadanya mirip diutusnya Musa kepada Fir’aun dan Haman. Allah sudah mengaruniai Qarun harta yang sangat banyak dan perbendaharaan yang melimpah ruah yang banyak memenuhi lemari simpanan. Perbendaharaan harta dan lemari-lemari ini sangat berat untuk diangkat karena beratnya isi kekayaan Qarun. Walaupun diangkat oleh beberapa orang lelaki berpengaruh dan kekar pun, mereka masih kewalahan.
Dalam memandang Qarun dan harta kekayaannya, Bani Israil terbagi atas dua kelompok. Kelompok pertama adalah kelompok orang yang diberiman kepada Allah dan lebih mengutmakan apa yang ada di sisi-Nya. Karena itu mereka tidak terpedaya oleh harta Qarun dan tidak berangan-angan ingin memilikinya. Adapun kelompok kedua ialah yang terpukau dan tertipu oleh harta Qarun karena mereka sudah kehilangan tolok ukur nilai, landasan dan fondasi yang sanggup digunakan untuk menilai Qarun dan hartanya. Mereka menganggap bahwa kekayaan Qarun ialah bukti keridhaan dan kecintaan Allah kepadanya. Maka mereka berangan-angan ingin bernasib mirip itu.
Qarun tudak sejahat Koroptor : Ia punya harta sendiri yang berlimpah, dosanya ialah kesombongan, dan penerapan harta bukan di jalan yang diridoi Allah. Ketika disadarkan masyarakat ia malah berkata ; “Sesungguhnya saya spesialuntuk didiberi harta itu karena ilmu yang ada padaku”
b.      FIR'AUN
Di antara masalah yang guah dalam din Fir’aun ialah fithrah kejadiannya. Umum-nya bayi diciptakan oleh Allah dalam keadaan fithrah, kudu mawludin yuwladu ‘ala’i fithrah, tapi sepertinya hadits ini dikecualikan terhadap bayi Fir’aun. Karena semenjak orok sudah kafir di dalam perut ibunya. Syeikh Albani dalam Shahihul Jami’ no.:3237 menghasankan bunyi hadits “wa khalaqa fir’aun fi bathni ummihi kafiran,” dan Fir’aun dijadikan (oleh Allah) dalam perut ibunya dalam keadaan kafir. (HR. Ibnu ‘Adi dalam Al-Kamil dan Imam Thabarani dalam Al-Ausath). Abu Sa’id Al-Khudri radhiya’l-lahu ‘anh menceritakan, ketika memberikan hadits ini Rasulullah s.aw sedang berkhutbah di hadapan kami pada sore hari. Nabi s.a.w bersabda: “yuwladu’n-nass ‘ata thabaqatin syatta, insan dilahirkan berdasarkan tingkatannya sendiri-sendiri.” Ada yang lahir mu’min, hidup mu’min dan mati dalam keadaan mu’min. Ada yang lahir kafir, hidup kafir dan mati pun kafir. Ada yang lahir mu’min, hidup mu’min dan mati kafir, serta ada yang lahir kafir, hidup kafir, tapi matinya dalam keadaan mu’min.
Dari Sa’id bin Jubeir dari Ibnu ‘Abbas radhiya’l-lahu ‘anhuma meriwayatkan: “dua orang Sahabat menghadap Rasulullah (menanyakan tentang Fir’aun). Sabda Nabi s.a.w: “Malaikat Jibril menyumpali lisan Fir’aun dengan pasir, khawatir kalau-kalau akan mengucapkan: la ‘ilaha illa’l-lah” (Shahih, HR. Turmudzi [3107]; Ahmad [2145], at-Thabari [11/163]; Ibnu Hibban [6215];
Hadits di atas umumnya sanggup kita temui pada bahasan ayat tenggelamnya Fir’aun. Imam at-Thabari dan Imam Al-Qurthubi contohnya meletakkan hadits tersebut pada surah Yunus ayat 90, di mana Allah berfirman: “Dan Kami memungkinkan Bani Israil melintasi laut, kemudian mereka diikuti oleh Fir’aun dan bala tentaranya, karena hendak menganiaya dan menindas (mereka); hingga bila Fir’aun itu sudah hampir tenggelam berkatalah dia: Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).” (Qs. 10:90) . Fir’aun wafat di Laut Merah atau bahari Qalzum atau sebelumnya terkenal dengan nama FAM AL-HAIRUTS, bersahabat jalan masuk Suez, pada tanggal 10 Muharram dan karena itulah ada syari’at shaum ‘Asyura, setelah sebelumnya menyatakan taubat dan yakin akan Tuhan Allah s.w.t. Dan inilah taubat ghayru maqbui yakni taubat tertolak (Qs. 10:90).
c.       HAMAN
Sumber-sumber dalam Al-Qur'an sebut kisah Haman terjadi setelah kembalinya Musa dari Madyan. Dalam kerajaan Fir'aun, Haman menempati beberapa posisi penting kerajaan sebagai mentri, penasehat raja (terutama bidang keagamaan), dan sebagai pelaksana proyek pembangunan menara. Haman diperintah oleh Fir'aun untuk membuat menara yang akan digunakan Fir'aun untuk melihat "Tuhan Musa". Pembuatan menara itu membutuhkan 50.000 pekerja dan belum termasuk tukang untuk membuat kuil-kuil[6]. Sesudah pembangunan menara selesai, Fir'aun menembakkan panah dari puncak menara untuk mengalahkan Tuhan Musa. Fir'aun berbohong kepada Musa bahwa Tuhannya sudah mati dengan memberikan anak panahnya yang kembali sudah berlumuran darah[7][8]. Menara itu kemudian dirobohkan oleh Jibril menjadi tiga belahan yang menewaskan hampir seluruh pekerja.[9] Haman jugalah yang menasihati Fir'aun untuk menolak misi keagamaan Musa. Pada insiden pelarian Bani Israel dari Mesir, Haman tenggelam bersama Fir'aun dan tentaranya[10]. begitu lah sejarah hamman
Koroptor, hartanya dari hasil penyelewengan, digunakan kemanapun tetap salah, sombong lagi ??
Hati yang sibuk pada dunia, ketika ditinggalkannya, akan dihinggapi kesedihan, kekecewaan, kepedihan dan penderitaan. Untuk melepaskan diri dari segala bentuk kesedihan, lanjut para saleh sufi, seorang insan harus terlebih doloe melepaskan hatinya dari kecintaan pada dunia.
b.      Tahalli,
Sebagai tahap kedua diberikutnya, ialah upaya pengisian hati yang sudah dikosongkan dengan isi yang lain, yaitu Allah (swt). Pada tahap ini, hati harus selalu disibukkan dengan dzikir dan mengingat Allah.  Zikir ada beberapa macam
1.      Zikir lisan dan zikir qalbi
Zikir yang diucapkan dengan lisan dan zikir qalbi ialah zikir resapan dari zikir lisan.
1.      Zikrul maut, kematian suatu yang pasti akan terjadi bagi tiruana, tetapi sedikit orang yang mau dan sadar akan kematian ini, saidina Umar RA, berkata seorang yang paling tepat imannya ialah yang paling banyak ingat akan kematian.
2.      Zikrnun Ni'mah, Nikamat doktrin dan Islam ialah rahmat Allah yang bersar, dan yang tidak kalah pentingnya untuk diingat ialah nikmat kelahiran dan wujud kita di alam ini hingga sekarang. Sedikit yang mau merenungi, bahwa kita ada disi dan mirip ini ialah pemdiberian Tuhan tanpa dimohon sebelumnya, sejumlah organ tubuh yang berfungsi dengan baik juga milik Allah untuk kita, seyogianyalah tiruana itu diingat-ingat selalu.
3.      Zikrullah, ialah zikir yang dilakukan dengan penuh kesadaran akan Allah yang tidak pernah lepas pengawasan dan pemeliharaanNYa buat kita,
melaluiataubersamaini mengingat Allah, melepas selain-Nya, akan menhadirkan kedamaian. Tidak ada yang ditakutkan selain lepasnya Allah dari dalam hatinya. Hilangnya dunia, bagi hati yang sudah tahalli, tidak akan mengecewakan. Waktunya sibuk spesialuntuk untuk Allah, bersenandung dalam dzikir. Pada ketika tahalli, karena kesibukan dengan mengingat dan berdzikir kepada Allah dalam hatinya, anggota tubuh lainnya tergerak dengan sendirinya ikut bersenandung dzikir. Lidahnya berair dengan lafadz kebemasukan Allah yang tidak henti-hentinya didengungkan setiap saat. Tangannya berdzikir untuk kebemasukan Tuhannya dalam berbuat. Begitu pula, mata, kaki, dan anggota tubuh yang lain. Pada tahap ini, hati akan merasai ketenangan. Kegelisahannya bukan lagi pada dunia yang menipu. Kesedihannya bukan pada anak dan istri yang tidak akan menyertai kita ketika maut menjemput. Kepedihannya bukan pada syahwat badani yang seringkali memperosokkan pada kebinatangan. Tapi spesialuntuk kepada Allah. Hatinya sedih kalau tidak mengingat Allah dalam setiap detik.
2.      Tajalli.
Yaitu, tahapan dimana kebahagian sejati sudah hadir. Ia lenyap dalam wilayah Jalla Jalaluh, Allah subhanahu wata'ala. Ia lebur bersama Allah dalam kenikmatan yang tidak bisa dilukiskan. Ia senang dalam keridhoâan-Nya. Pada tahap ini, para sufi menyebutnya sebagai ma'rifa. Alat yang digunakan untuk ma’rifat sudah ada dalam diri insan yaitu Qalbu (hati), qalbu selain alat untuk merasa juga alat untuk berfikir. Bedanya Qalbu dengan logika ialah bahwa logika tak bisa memperoleh pengetahuan yang sebenarnya tentang Tuhan. Sedangkan Qalbu bisa mengetahui hakikat dari segala yang ada dan kalau dilimpahi cahaya Tuhan bisa mengetahui rahasia-rahasia Tuhan. Qalbu yang sudah dimembersihkankan dari segala dosa dan maksiat melalui serangkaian zikir dan wirid secara teratur akan sanggup mengetahu rahasia-rahasia Tuhan, yaitu ketika hati tersebut disinari cahaya Tuhan.
Proses sampainya qalbu pada cahaya Tuhan ini erat kaitannya dengan dengan konsep takhalli, tahalli, tajalli. Syekh Abdul Qadir Jaelani menyebutnya sebagai insan kamil, insan sempurna. Ia bukan lagi hewan, tapi seorang malaikat yang berbadan manusia. Rohaninya sudah mencapai ketinggian kebahagiaan. Tradisi sufi menyebut orang yang sudah masuk pada tahap ketiga ini sebagai waliyullah, kekasih Allah. Orang-orang yang sudah memasuki tahapan Tajalli ini, ia sudah mencapai derajat tertinggi kerohanian manusia. Derajat ini pernah dilalui oleh Hasan Basri, Imam Junaidi al-Baghdadi, Sirri Singkiti, Imam Ghazali, Rabiah al-Adawiyyah, Ma'ruf al-Karkhi, Imam Qusyairi, Ibrahim Ad-ham, Abu Nasr Sarraj, Abu Bakar Kalabadhi, Abu Talib Makki, Sayyid Ali Hujweri, Syekh Abdul Qadir Jaelani, dan lain sebagainya. Tahap inilah hakekat hidup sanggup dijumpai, yaitu kebahagiaan sejati. ( Rizqan Khamami )
VI.              Muttaqin Dan Muhsinin
Muttaqîn dan muhsinîn ialah dua posisi (maqam) insan di hadapan Allah. Kedua posisi ini didapatkan insan sebagai anugerah Allah atas kepatuhannya kepada Allah. Namun demikian, para ulama tidak sama pendapat tentang yang manakah dari keduanya yang lebih tinggi dan lebih mulia. Dalam goresan pena ini, kita akan mencoba melihat keduanya berdasarkan informasi al-Qur’an. Ada beberapa cara yang bisa digunakan untuk melihat yang manakah dari kedua posisi ini yang lebih mulia.
Pertama, dari pemahaman terhadap makna akar kata.
1.      Kata muttaqîn berasal dari taqwa yang secara harfiyah berarti takut dan terpelihara.
2.      Kata taqwa kemudian diartikan sebagai rasa takut seorang hamba kepada Allah, sehingga menciptakannya terpelihara dari perbutan melanggar aturan Allah swt. dan pada hasilnya menyebabkan seseorang terhindar dan terpelihara dari murka Allah dan siksa neraka-Nya.
3.      Taqwa berdasarkan Ustaz Haji Ashaari Muhammad” terbitan Penerbitan Minda Ikhwan dari Malaysia. Syaratnya ada 8 :
1)      Mendapat Hidayah dari Allah, 2) Faham tentang Islam, 3) Yakin, 4) Melaksanakan, 5) Mujahadah, 6) Istiqamah Beramal, 7) Ada Guru Mursyid, dan  secara terminologi berarti tingkah laku seseorang yang didorong oleh suatu harapan seca AKHLAK TASAWUFBerdo’a kepada Allah. Sementara 3 Rukun Taqwa itu ialah : 1) Iman, 2) Islam dan 3) Ihsan.
Sementara kata Muhsinîn berasal dari kata ihsan secara harfiyah berarti
1.      Berbuat kebaikan.
2.      Ihsan kepada sesama ialah mempersembahkan lebih banyak dari yang seharusnya didiberikan dan mengambil lebih sedikit dari yang semestinya diambil.
3.      Ihsan juga berarti memperlakukan orang lain lebih baik dari memperlakukan diri sendiri.
4.      Sedangkan ihsan kepada Allah ialah bahwa ketika seseorang diberibadah kepada Allah, dia larut dengan cintanya sehingga dia tidak melihat dirinya dan yang dilihatnya spesialuntuklah Allah semata.
melaluiataubersamaini demikian, ihsan kepada Allah ialah rasa cinta seorang hamba kepada-Nya, sehingga dia melaksanakan sesuatu perintah dan menjauhi suatu larangan bukan karena mengharap imbalan.  Ibadah atas dasar cinta tentu lebih mulia dari rasa takut. Oleh karena itu muhsinîn tentu lebih tinggi dan lebih mulia dari muttaqîn.
Di dalam al-Qur’an disebutkan bahwa seseorang menjadi muttaqîn setelah sebelumnya berada dalam posisi mukminin (orang diberiman). Seperti yang terdapat dalam surat al-Baqarah [2]: 183
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Artinya: “Hai orang-orang yang diberiman, diwajibkan atas engkau berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum engkau supaya engkau bertakwa”
Sementara, Muhsinîn dicapai seseorang setelah sebelumnya mereka berada dalam posisi muttaqîn.
Seperti yang terdapat di dalam surat Ali ‘Imran [3]: 133-134
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ(133)الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
Artinya: “Dan bersegeralah engkau kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada nirwana yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,133(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema`afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”
            Ketiga, dari segi penempatan mereka di hadapan Allah. Di mana muttaqîn di tempatkan Allah sebagai kelompok insan yang paling mulia dan paling tinggi kedudukannya di hadapan-Nya. Seperti yang disebutkan di dalam surat al-Hujurat [49]:13
يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
          Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami membuat engkau dari seorang pria dan seorang wanita dan menyebabkan engkau berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya engkau saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara engkau di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara engkau. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
            Sementara Muhsinîn dijadikan Allah sebagai kekasih dan orang yang paling di akung-Nya. Seperti yang disebutkan dalam surat surat Ali ‘Imran (3): 134
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
Artinya: “… Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”
Kita tentu memahami, bahwa kedudukan kekasih dan orang yang di akungi lebih mulia daripada orang yang didiberikan kedudukan yang tinggi.

VII.Tentang Tasawuf
a. Sebutan Tsawuf
Prof. Dr. Harun Nasution menandakan bahwa: Tidak mengherankan kalau kata sufi dan tasawuf dikaitkan dengan kata-kata Arab yang mengandung arti suci. Penulis-penulis banyak mengaitkannya dengan kata:
1.                             Safa dalam arti suci dan sufi ialah orang yang disucikan. Dan memang, kaum sufi banyak berusaha menyucikan diri mereka melalui banyak melaksanakan ibadat, terutama salat dan puasa.
2.                             Saf (baris). Yang dimaksud saf di sini ialah baris pertama dalam salat di mesjid. Saf pertama ditempati oleh orang-orang yang cepat hadir ke mesjid dan banyak membaca ayat-ayat al-Qur'an dan berdzikir sebelum waktu salat hadir. Orang-orang mirip ini ialah yang berusaha memmembersihkankan diri dan bersahabat dengan Tuhan.
3.                             Ahl al-Suffah, yaitu para sobat bersahabat yang hijrah bersama Nabi ke Madinah dengan meninggalkan harta kekayaannya di Mekkah. Di Madinah mereka hidup sebagai orang miskin, tinggal di Mesjid Nabi dan pulas di atas dingklik kerikil dengan menggunakan suffah, (pelana) sebagai bantal. Ahl al-Suffah, sungguhpun tak mempunyai apa-apa, berhati baik serta mulia dan tidak mementingkan dunia. INI pula sifat-sifat kaum sufi.
4.                             Sophos (bahasa Yunani yang masuk kedalam filsafat Islam) yang berarti hikmat, dan kaum sufi pula yang tahu hikmat. Pendapat ini memang banyak yang menolak, karena kata sophos sudah masuk kedalam kata falsafat dalam bahasa Arab, dan ditulis dengan sin dan bukan dengan shad mirip yang terdapat dalam kata tasawuf.
5.                             Suf (kain wol). Dalam sejarah tasawuf, kalau seseorang ingin memasuki jalan tasawuf, ia meninggalkan pakaian glamor yang biasa dipakainya dan diganti dengan kain wol bergairah yang ditenun secara sederhana dari bulu domba. Pakaian ini melambangkan kesederhanaan serta kemiskinan dan kejauhan dari dunia.
Diantara tiruana pendapat itu, pendapat terakhir inilah yang banyak diterima sebagai asal kata sufi. Jadi, sufi ialah orang yang menggunakan wol bergairah untuk menjauhkan diri dari dunia materi dan memusatkan perhatian pada alam rohani. Orang yang pertama menggunakan kata sufi kelihatannya Abu Hasyim al-Kufi di Irak (w.150 H). www.tasawufislam.blogspot.com
Kata Tasawuf tidak terdapat dalam Al Alquran dan Al Hadis. Bagi orang yang berfikir singkat akan berkata bahwa pernyataan itu benar, tetapi kalau kita mau melihat lebih jauh , ada  ilmu Hadis, ada ilmu tauhid, ilmu Fiqih, ilmu balahgah, ilmu nahu dll, tiruana itu juga tidak ada disebut dalam Al Alquran dan Al Hadis namun, tiruana umat Islam mengakui pentingnya ilmu itu dalam Islam dan dalam kehidupan Muslim. Ada yang berkata bahwa difinisi Tasawuf itu bid'ah karena tidak ada dalam Al Alquran dan Hadis. Memang nama dan difinisi itu tidak adas dalam Alquran dan Hadis karena Nabi Muhammad SAW di utus bukan untuk membuat sejumlah definisi. Karena itu ulama yang hadir kemudianlah yang membuat definisi itu tiruana berdasar definisi sesuai disiplin ilmunya masing masing, dengan tetap memperhatikan tuntunan Alquran dan Hadis  dan hasilnya diterima baik oleh umat Islam.
Menurut Istilah; Imam Al Gazali  mengemukakan pendapat Abu Bakar Al Kattany ;
التصوف خلق فمن زاد عليك بالخلق زاد عليك بالتصوف
Tasawuf ialah Akhlak, maka barang siapa bertambah baik akhlaknya maka berartia bertasawuf
Asy Syech Muhammad Amin Al Kurdi menyampaikan bahwa tasawuf ialah ;
علم يعرف به احوال النفس محمودها ومذمومها وكيفية تطهيرها
Suatu ilmu yang dengannya sanggup diketahu keadaan jiwa,  terpuji atau tercela serta cara bagaimana memmembersihkankan jiwa itu sendiri.
Muhammad Amin An Nawawy mengemuakakan pendapat imam  Al Junaid Al Bagdadi ;
التصوف حفظ الاوقات : قال وهو أ لا يطالع العبد غير حده ولا يوافق غير ربه ولا يقارن غير وقته
Tasawuf ialah memelihara waktu : yakni  seorang hamba tidak menekuni suatu amalan tanpa aturan tertentu, dan tidak melaksanakan ibadah melainkan untuk Tuhannya serta tidak berafiliasi dengan Tuhan tanpa menggunakan waktunya untuk ibadah kepada Nya.
a.       Hakikat Tasawuf
Ilmu tasawuf itu ialah ilmu terkena cara-cara memmembersihkankan lahir dan batin daripada dosa dan kesalahan. Bahkan kesalahan lahir ini berasal dari kesalahan batin. Dosa lahir ini berlaku setelah berlakunya dosa batin. Maka alasannya ialah itulah ia dikatakan ilmu tasawuf. Kenapa pula ilmu ini juga dikatakan ilmu batin? Ini karena roh atau hati memang tidak sanggup dilihat oleh mata kepala. Ia ialah makhluk yang tersembunyi. Maka ilmu ini dinamakan ilmu batin kerana ia mengulaskan tentang hati dan sifat-sifatnya yang memang tidak sanggup dilihat dengan mata lahir tapi sanggup dilihat oleh mata batin. Mengikut pandangan umum masyarakat sekarang, bila disebut ilmu batin, mereka menganggap itu ialah ilmu pengasih atau ilmu kebal. Orang yang mencar ilmu ilmu batin bermakna dia mencar ilmu ilmu kebal atau mencar ilmu ilmu pengasih. Sebenarnya orang itu mencar ilmu ilmu kebudayaan Melayu, yang mana ilmu itu ada dicampur dengan ayat-ayat Al Quran. Kebal juga ialah satu juzuk daripada kebudayaan orang Melayu yang sudah disandarkan dengan Islam. Kalau kita hendak mempelajarinya tidak salah kalau tidak ada unsur-unsur syirik. Tetapi itu bukan ilmu tasawuf atau ilmu kerohanian mirip apa yang kita bahaskan di sini. Syaikhul Islam ibnu Taimiyah rahimahullah menyampaikan dalam Majmu' Fatawa-nya :"Adapun kata sufi tidak dikenal di 3 masa yang utama ) shahabat, tabi'in, tabi'it tabi'in) dan spesialuntuk dikenal setelah masa itu. Hal ini banyak dinukil oleh para imam , mirip imam Ahmad bin Hambal , Abu Sulaiman Ad-darani dll. Diriwayatkan bahwa Sufyan Ats-Tsuari berbicara tentang masalah ini (sufi) , tapi sebagian mereka menyampaikan riwayat tsb dari Al Hasan Al Bashri. Orang yang pertama kali mengadakan gerakan sufi ini ialah sebagian dari sobat bersahabat Abdul Wahid bin Zaid , ia ialah seorang sobat bersahabat Al Hasan Al Basri. Ia (Abdul Wahid) terkenal di Basrah dengan sifatnya yang keterlaluan dalam zuhud , ibadah , rasa takut dll. tidak ada penduduk kota itu yang mirip dia. Abu Syaikh sudah meriwayatkan dengan sanad-sanadnya dari Muhammad bin Sirin bahwa sudah hingga diberita kepadanya tentang sebagian kaum yang lebih mengutamakan pakaian dari bulu domba. Ia berkata :" Sesungguhnya ada suatu kaum yang lebih mengutamakan menggunakan pakaian bulu domba. Mereka menyampaikan ingin menggandakan pakaian Isa bin Maryam, sedangkan bimbingan dari nabi kita lebih kita cintai. Nabi juga menggunakan pakaian dari katun dll , atau komentar yang senada dengan itu.
Kemudian dia (Ibn Taimiyah) melanjutkan :" Mereka menisbatkan kepada pakaian yang dhahir, yaitu pakaian dari bulu domba, maka mereka disebut shuffi.... Akhirnya dia (ibn Taimiyah) berkata :" Maka inilah asal tasawwuf, kemudian bermetamorfosis berguaka ragam dan bercabang-cabang” [Majmu Fatawa : XI: 5-7 , 16, 17]
Disini diterangkan bahwa tasawuf tumbuh dinegeri-negeri Islam melalui para hebat ibadah dari Basrah sbg hasil dari sikap keterlaluan mereka dalam zuhud dan ibadah. kemudian hal itu terus berkembang melalui kitab-kitab orang belakangan dan ditanamkan dinegeri-negeri kaum muslimin melalui ideologi-ideologi llain mirip Hindu, Budah dan kepasturan Nashrani. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan Muhammad bin Sirrin yang berkata :"Sesungguhnya ada suatu kaum yang lebih mengutamakan menggunakan pakaian bulu domba. Mereka menyampaikan ingin menggandakan pakaian Isa bin Maryam, sedangkan bimbingan dari nabi kita lebih kita cinta." Jelaslah bahwa tassawuf mempunyai ikatan dengan agama Nashrani !!!
Dr. Shobir Tho'imah memdiberi komentar dalam kitab As Shufiyah Mu'taqadan wa maslakan :"Jelas bahwa tasawuf mempunyai efek dari kehidupan para pendeta Nashrani , mereka suka menggunakan pakaian dari bulu domba dan berdiam di biara-biara. dan ini banyak sekali . Islam tetapkan kebiasaan ini ketika ia membebaskan negeri dengan tauhid. Islam mempersembahkan bekas dengan terperinci thd kehidupan peribadatan orang-orang lampau [hal 17]
Syaikh Ihsan Ilahi Dhahir rahimahullah berkata dalam bukunya At Tashawwuf al Mansya' wal Mashadir :" Ketika kita memperhatikan dengan telitiI tentang aliran sufi yang pertama dan terakhir (belakangan) serta pendapat-pendapat yang dinukil dan diakui oleh mereka di dalam kitab-kitab sufi baik yang usang maupun yang baru, maka kita akan melihat dengan terperinci perbedaan yang jauh antara Sufi dengan al Qur'an dan As Sunnah. Begitu juga kita tidak melihat adanya bibit-bibit sufi di dalam perjalanan hidup Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam dan para shahabat dia , yang mereka ialah (sebaik-baik) pilihan Allah dari kalangan mahlukNya (sesudah para Nabi dan Rasul ,ed)
Yang dimaksud dengan kalangan sufi yang belakangan ialah mereka yang sudah banyak meliputi kebohongan. adapun yang terlampau (dinisbatkan) , mereka masih netral mirip Al Fudhail bin Iyadh , Al Junaid , Ibrahim bin Adham dll.
Jadi hakikat tasawuf ialah berprihidup sebagaimana yang di ajarkan oleh rasul dan diikuti amalannya oleh pada sobat dekat, tabi'in dst.

[Disalin dari kitab: Haqiqatuth Tashawwuf wa Mauqifush Shufiyyah min Ushulil Ibadah wad Diin, Edisi Indonesia : Hakikat Tasawwuf, Penulis : Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan, Alih Bahasa, Muhammad 'Ali Ismah, Penerbit : Pustaka As-Salaf , Gumpang RT 02/03 N0. 559 Kertasura Solo 57169 Cetakan I : Rabi'ul Tsani 1419 H / Agustus 1998M]
b.      Samasukan Ajaran Tasawuf
Ilmu Tasawuf bertugas mengulas problem yang bertalian dengan budbahasa dan budi pekerti , bertalian dengan hati, yaitu persoaln ikhlas, khusyuk, tawadhu', muqarabah, musyahadah, sabar dan ridha serta tawakkal dan tiruana sifat yang  yang terpuji yang berjalan atas dasar agama. Tujuan atau samasukan aliran dan amal tasawuf, yaitu melaksanakan hakikat ubudiyah guna memperoleh tauhid yang haqqul yakin, makrifatullah yang tahqik, yang menjadi kunci makbulnya ialah adat diberibadat itu sendiri. Ibadat yang berbentuk syariah itu harus digerakkan oleh hati yang khusuk, tawaduk dan lillahi ta'ala. Situasi dan kondisi hati yang demikian ini, inilah yang dinamakan adat diberibadat.
c.       Pembagian Tasawuf 
A.    Tasawuf Akhlaqi
Tasawuf akhlaqi ialah tasawuf yang berkonstrasi pada teori-teori perilaku, akhlaq atau budi pekerti atau perbaikan akhlaq. melaluiataubersamaini metode-metode tertentu yang sudah dirumuskan, tasawuf mirip ini berupaya untuk menghindari akhlaq mazmunah dan mewujudkan akhlaq mahgampang. Tasawuf seperi ini dikembangkan oleh ulama’ usang sufi
B. Tasawuf Falsafi
Tasawuf Falsafi ialah tasawuf yang didasarkan kepada adonan teori-teori tasawuf dan filsafat atau yang bermakana mistik metafisis, karakter umum dari tasawuf ini sebagaimana yang sudah dikemukakan oleh Al-Taftazani bahwa tasawuf mirip ini: tidak sanggup dikatagorikan sebagai tasawuf dalam arti sesungguhnya, karena teori-teorinya selalu dikemukakan dalam bahasa filsafat, juga tidak sanggup dikatakan sebagai filsafat dalam artian yang sebenarnya karena teori-teorinya juga didasarkan pada rasa.
                       C. Tasawuf Syi’i
Kalau berbicara tasawuf syi’i, maka akan diikuti oleh tasawuf sunni. Dimana dua macam tasawuf yang dibedakan berdasarkan “kedekatan” atau “jarak” ini mempunyai perbedaan. Paham tasawuf syi’i beranggapan, bahwa insan sanggup meninggal dengan tuhannya karena kesamaan esensi dengan Tuhannya karena ada kesamaan esensi antara keduanya. Menurut ibnu Khaldun yang dikutip oleh Taftazani melihat kedekatan antara tasawuf falsafi dan tasawuf syi’i. Syi’i memilki pandangan hulul atau ketuhanan iman-iman mereka. Menurutnya dua kelompok itu mempunyai dua kesamaan. Ada lagi pendapat membagi tasawuf kepada dua ;
Pertama, tasawuf yang berafiliasi dengan pendidikan dan tes ruhaniah, mempertinggi akhlak, melatih diri mengamalkan sifat-sifat keutamaan dalam muamalat.
Kedua, tasawuf yang  berhubungan dengan pengaturan ibadah, membicarakan tentang limpahan rahmat, problem mahabbah, dan masalah nur Ilahiyah ( Mustafa Zahri : 136.
VII.          Sejarah dan Perkembangan Tasawuf
Sejarah tasawuf dimulai dengan Imam Ja’far Al Shadiq ibn Muhamad Bagir ibn Ali Zainal Abidin ibn Husain ibn Ali ibn Abi Thalib. Imam Ja’far juga dianggap sebagai guru dari keempat imam Ahlulsunah yaitu Imam Abu Hanifah, Maliki, Syafi’i dan Ibn Hanbal.
Ucapan – ucapan Imam Ja’far banyak disebutkan oleh para sufi mirip Fudhail ibn Iyadh Dzun Nun Al Mishri, Jabir ibn Hayyan dan Al Hallaj. Diantara imam mazhab di kalangan Ahlulsunah, Imam Maliki yang paling banyak meriwayatkan hadis dari Imam Ja’far. Kaitan Imam Ja’far dengan tasawuf, terlihat dari silsilah tarekat, mirip Naqsyabandiyah yang berujung pada Sayyidina Abubakar Al Shidiq ataupun yang berujung pada Imam Ali selalu melewati Imam Ja’far. Kakek buyut Imam Ja’far, dikenal mempunyai sifat dan sikap sebagai sufi. Bahkan (meski susah untuk dibenarkan) beberapa hebat sebut Hasan Al Bashri, sufi-zahid pertama sebagai anakdidik Imam Ali. Sedangkan Ali Zainal Abidin (Ayah Imam Ja’far) dikenal dengan ungkapan-ungkapan cintanya kepada Allah yang tercermin pada do’anya yang berjudul “Al Shahifah Al Sajadiyyah”.
Tasawuf lahir dan berkembang sebagai suatu disiplin ilmu semenjak masa k-2 H, lewat pribadi Hasan Al Bashri, Sufyan Al Tsauri, Al Harits ibn Asad Al Muhasibi, Ba Yazid Al Busthami. Tasawuf tidak pernah bebas dari Koreksian dari para ulama (ahli fiqh, hadis dll). Praktik – praktik tasawuf dimulai dari sentra kelahiran dan penyiaran agama Islam yaitu Makkah dan Madinah, kalau kita lihat dari domisili tokoh-tokoh perintis yang disebutkan di atas.
Pertumbuhan dan perkembangan tasawuf di dunia Islam sanggup dikelompokan ke dalam beberapa tahap
Tahap Zuhud (Asketisme)
Tahap pertama perkembangan tasawuf dimulai pada selesai masa ke-1H hingga kurang lebih masa ke-2H. Gerakan zuhud pertama kali muncul di Madinah, Kufah dan Basrah kemudian menyebar ke Khurasan dan Mesir. Awalnya ialah respon terhadap gaya hidup glamor para pembesar negara akhir dari perolehan kekayaan melimpah setelah Islam mengalami ekspansi wilayah ke Suriah, Mesir, Mesopotamia dan Persia
                     Tokoh-tokohnya berdasarkan daerah perkembangannya :
1.Madinah
Dari kalangan sobat bersahabat Nabi Muhammad Saw, Abu Ubaidah Al Jarrah (w. 18 H); Abu Dzar Al Ghiffari (W. 22 H); Salman Al Farisi (W.32 H); Abdullah ibn Mas’ud (w. 33 H); sedangkan dari kalangan satu genarasi setelah masa Nabi (Tabi’în) diantaranya, Said ibn Musayyab (w. 91 H); dan Salim ibn Abdullah (w. 106 H).
2. Basrah
Hasan Al Bashri (w. 110 H); Malik ibn Dinar (w. 131 H); Fadhl Al Raqqasyi, Kahmas ibn Al Hadan Al Qais (w. 149 H); Shalih Al Murri dan Abul Wahid ibn Zaid (w. 171 H)
3. Kufah
Al Rabi ibn Khasim (w. 96 H); Said ibn Jubair (w. 96 H); Thawus ibn Kisan (w. 106 H); Sufyan Al Tsauri (w.161 H); Al Laits ibn Said (w. 175 H); Sufyan ibn Uyainah (w. 198 H).
4. Mesir
Salim ibn Attar Al Tajibi (W. 75H); Abdurrahman Al Hujairah ( w. 83 H); Nafi, hamba sahaya Abdullah ibn Umar (w. 171 H). Pada masa-masa terakhir tahap ini, muncul tokoh-tokoh yang dikenal sebagai sufi sejati, diantaranya, Ibrahim ibn Adham (w. 161 H); Fudhail ibn Iyadh (w. 187 H); Dawud Al Tha’i (w. 165 H) dan Rabi’ah Al Adawiyyah.
         Tahap Tasawuf (abad ke 3 dan 4 H )
Paruh pertama pada masa ke-3 H, wacana tentang Zuhud digantikan dengan tasawuf. Ajaran para sufi tidak lagi terbatas pada amaliyah (aspek praktis), berupa penanaman akhlak, tetapi sudah masuk ke aspek teoritis (nazhari) dengan memperkenalkan konsep-konsep dan terminology gres yang sebelumnya tidak dikenal seperti, maqam, hâl, ma’rifah, tauhid (dalam makna tasawuf yang khas); fana, hulul dan lain- lain.
Tokoh-tokohnya, Ma’ruf Al Kharkhi (w. 200 H), Abu Sulaiman Al Darani (w. 254 H), Dzul Nun Al Mishri (w. 254 H) dan Junaid Al Baghdadi. Muncul pula karya-karya tulis yang mengulas tasawuf secara teoritis, termasuk karya Al Harits ibn Asad Al Muhasibi (w. 243 H); Abu Said Al Kharraz (w. 279 H); Al Hakim Al Tirmidzi (w. 285 H) dan Junaid Al Baghdadi (w. 294 H)
Pada masa tahap tasawuf, muncul para sufi yang mempromosikan tasawuf yang berorientasi pada “kemabukan” (sukr), antara lain Al Hallaj dan Ba Yazid Al Busthami, yang bercirikan pada ungkapan – ungkapam ganjil yang sering kali susah untuk dipahami dan terkesan melanggar keyakinan umum kaum muslim, mirip “Akulah kebenaran” (Ana Al Haqq) atau “Tak ada apapun dalam jubah-yang digunakan oleh Busthami selain Allah” (mâ fill jubbah illâ Allâh), kalau di Indonesia dikenal dengan Syekh Siti Jenar dengan ungkapannya “Tiada Tuhan selain Aku”.
         Tahap Tasawuf Falsafi (Abad ke 6 H)
Pada tahap ini, tasawuf falsafi ialah perpaduan antara pencapaian pencerahan mistikal dan pemaparan secara rasional-filosofis. Ibn Arabi ialah tokoh utama aliran ini, disamping juga Al Qunawi, anakdidiknya. Sebagian hebat juga memasukan Al Hallaj dan Abu (Ba) Yazid Al Busthami dalam aliran ini.
Aliran ini kadang disebut juga dengan Irfân (Gnostisisme) karena orientasinya pada pengetahuan (ma’rifah atau gnosis) tentang Tuhan dan hakikat segala sesuatu.

IX. Isyarat Al Alquran Tentang Tasawuf
Formalisme dalam ritual Islam dipandang amat merugikan, maka Allah mengingatkan kita terhadap adanya ancaman formalisme, sebagaimana firman Allah:
وَإِنَّ رَبَّكَ لَيَعْلَمُ مَا تُكِنُّ صُدُورُهُمْ وَمَا يُعْلِنُونَ
Artinya: "Dan sesungguhnya Tuhanmu, benar-benar mengetahui apa yang disembunyikan hati mereka dan apa yang mereka nyatakan." (Q. S. 27. An-Naml, A. 74).
Ayat yang ditulis di atas memberikan pada kita bahwa formalitas belum tentu sesuai dengan kegaiban dalam fikiran (jalan fikiran) dan kegaiban dalam hati (niat dan hajat dalam hati). Tidak sedikit orang sholat secara jasadi, namun hati dan fikirannya sesungguhnya bukan sedang sholat. Banyak orang jasadnya berwudhu' (bersuci, thoharoh jasadi), tetapi hati dan fikirannya masih dipenuhi virus-virus goibis sayithon, mirip iri, dengki, hasad, hasud, hasumat, dendam, riya dan lain sebagainya, dan masih banyak sederetan pola lainnya yang sanggup kita tuliskan dari hasil pengamatan kita terhadap laku orang perorangan di sekitar kita yang sanggup kit ambil pelajaran darinya bahwa formalisme pada hakikatnya lebih cendrung merugikan nilai-nilai spiritual kita, itu sebabnya Allah menyatakan bahwa Dia (Allah) benar-benar mengetahui apa yang disembunyikan hati dan apa yang mereka nyatakan. Penekanan pada formalisme mirip dalam ilmu syari'at ibadah yang lebih cenderung menekankan syarat, rukun, tata tertib, sah dan batal dalam ritual aliran Islam dengan tanpa diiringi penghayatan di dalamnya, tidak sanggup memenuhi kebutuhan spiritual dan akhlaqul karimah untuk menjadi insanul kamil, insanul muttaqin dan insanul muhsinin. Hal ini disebabkan karena pementingan terhadap formalitas saja sanggup berakibat ruh ritual ibadah tidak sanggup dirasakan, yang dirasakan spesialuntuklah kesibukan ritual jasad yang kering, kurang bermakna pada penjiwaan ritual pelakunya. Padahal pengamalan ritual aliran Islam senantiasa menuntut laku ritual secara sadar dengan menghadirkan hati dan fikiran serta segenap jiwa dan penjiwaan terhadap nilai-nilai aliran Islam yang sedang diamalkan. Karena itulah sangat diharapkan pengajaran ilmu penghayatan nilai-nilai spiritual aliran Islam. Tentu saja hal ini bukanlah ialah pekerjaan segampang membalikkan telapak tangan, tetapi diharapkan riyadhoh istiqomah yang dilakukan dengan terus menerus secara sedikit demi sedikit dan berkesinambungan. Karena pada hakikatnya Islam menginginkan keterkaitan nilai-nilai aspek ritual jasadi dengan ritual batini.
Karena ritual dualistis (jasadi dan batini) itulah maka tidak heran kalau diri kita senantiasa menginginkan adanya kekuatan kontak antara ritual akhlaq jasadiyah yang lebih cenderung medium formal dengan ritual akhlaq batini yang lebih cenderung non medium formal, sehingga menjadi suatu kesatuan yang utuh. melaluiataubersamaini demikian banyak sekali ritual syari'at ibadah jasadi (wudhu, puasa, infaq, shodaqoh, zakat, haji dan akhlaq fositif lainnya) kontak dengan ritual ibadah batini terserius dan terserius pada satu arah tujuan yang pasti spesialuntuk kepada Allah dan tulus karena Allah yang realita ZatNya berwujud goibi, imani, hayati, maknawi, ruhani dan nurani, bukan jasadi. Namun ritual akhlaq Islami tidaklah dilakukan secara batini semata, tetapi juga harus diiringi dengan ritual ibadah jasadi, kecuali dalam keadaan darurat jasadi mirip sakit dan sebagainya yang tidak memungkinkan ritual ibadah jasadi dilakukan, maka ritual ibadah batini sah dilaksanakan. Ritual ibadah jasadi dalam bentuk ucapan dan ritual perbuatan nyata, di dalamnya mengandung maksud tujuan untuk mensugesti batini dan menuntun aqal fikiran dan qolbi dalam rangka upaya penghayatan terhadap ibadah yang akan, sedang dan sudah dilakukan. melaluiataubersamaini demikian ritual ibadah yang dilakukan itu, selain mengandung pesan yang tersirat untuk penghayatan dedikasi diri kepada Allah Zat Yang Maha Goib, juga ritual tersebut mengandung imbas kesucian jasadi wal batini dan menyebabkan pelakunya jauh dari virus-virus kemungkaran. melaluiataubersamaini penghayatan spiritual mirip ini, sistem nilai yang berkaitan dengan keimanan dan keakhlaqan berpadu utuh dengan sistem norma dalam syari'at Islam.
Sejalan dengan itu, Al-Qur'an dan Al-Hadits sebagai pedoman dan tuntunan awet kita sepanjang masa, pastilah di dalamnya terkandung nilai-nilai spiritual di samping nilai-nilai lainnya. Berbagai ayat dalam Al-Qur'an dan sabda Rasul dalam kitab Al-Hadits memberikan secara terperinci kepada kita bahwa nilai-nilai spiritual itu memang ada, diantaranya sebagai diberikut:
وَلِلّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّواْ فَثَمَّ وَجْهُ اللّهِ إِنَّ اللّهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Artinya: "Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun engkau menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui." (Q. S. 2. Al-Baqoroh, A. 115).
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُواْ لِي وَلْيُؤْمِنُواْ بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
Artinya: "Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawabanlah), bergotong-royong Aku ialah dekat. Aku mengabulkan ajakan orang yang berdo'a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka diberiman kepada-Ku, supaya mereka selalu berada dalam kebenaran." (Q. S. 2. Al-Baqarah, A. 186).
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ
Artinya: "Dan sesungguhnya Kami sudah membuat insan dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih bersahabat kepadanya daripada urat lehernya." (Q. S. 50. Qof, A. 16).
فَوَجَدَا عَبْداً مِّنْ عِبَادِنَا آتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِندِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِن لَّدُنَّا عِلْماً
Artinya: "Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang sudah Kami diberikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang sudah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami."
(Q. S. 18. Al-Kahfi, A. 65).
Demikian juga halnya dengan Al-Hadits, diantara sekian banyak Hadits Rasul yang menandakan tentang nilai-nilai spiritual, yang sering kita dengan dan kita ucapkan adalah:"Dari Abu Hurairah ra, ia berkata: Pada suatu hari, Rasulullah saw. muncul di antara kaum muslimin. Lalu hadir seorang pria dan bertanya: Wahai Rasulullah, apakah Iman itu? Rasulullah saw. menjawaban: Engkau diberiman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, pertemuan dengan-Nya, rasul-rasul-Nya dan kepada hari berbangkit. Orang itu bertanya lagi: Wahai Rasulullah, apakah Islam itu? Rasulullah saw. menjawaban: Islam ialah engkau diberibadah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan apa pun, mendirikan salat fardu, menunaikan zakat wajib dan berpuasa di bulan Ramadan. Orang itu kembali bertanya: Wahai Rasulullah, apakah Ihsan itu? Rasulullah saw. menjawaban: Engkau diberibadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Dan kalau engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia selalu melihatmu. Orang itu bertanya lagi: Wahai Rasulullah, kapankah hari kiamat itu? Rasulullah saw. menjawaban: Orang yang ditanya terkena masalah ini tidak lebih tahu dari orang yang bertanya. Tetapi akan saya ceritakan tanda-tandanya; Apabila budak wanita melahirkan anak tuannya, maka itulah satu di antara tandanya. Apabila orang yang miskin papa menjadi pemimpin manusia, maka itu tarmasuk di antara tandanya. Apabila para penggembala domba saling bermegah-megahan dengan gedung. Itulah sebagian dari tanda-tandanya yang lima, yang spesialuntuk diketahui oleh Allah. Kemudian Rasulullah saw. membaca firman Allah Taala: Sesungguhnya Allah, spesialuntuk pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang sanggup mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang sanggup mengetahui di bumi mana ia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. Kemudian orang itu silam, maka Rasulullah saw. bersabda: Panggillah ia kembali! Para sobat bersahabat beranjak hendak memanggilnya, tetapi mereka tidak melihat seorang pun. Rasulullah saw. bersabda: Ia ialah Jibril, ia hadir untuk mengajarkan insan masalah agama mereka." (Shahih Muslim No.10).
وَأَنْ لَوِ اسْتَقَامُوا عَلَى الطَّرِيقَةِ لَأَسْقَيْنَاهُمْ مَاءً غَدَقًا(16)لِنَفْتِنَهُمْ فِيهِ وَمَنْ يُعْرِضْ عَنْ ذِكْرِ رَبِّهِ يَسْلُكْهُ عَذَا صَعَدًا(17)وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا
Dan bahwasanya: jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memdiberi minum kepada mereka air yang segar (rezki yang banyak). Untuk Kami diberi cobaan kepada mereka padanya. Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan Tuhannya, pasti akan dimasukkan-Nya ke dalam azab yang amat berat. Dan sesungguhnya mesjid-mesjid itu ialah kepunyaan Allah. Maka tidakbolehlah engkau menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah. ( Al Jin : 16-18 )

وَأَنَّا مِنَّا الصَّالِحُونَ وَمِنَّا دُونَ ذَلِكَ كُنَّا طَرَائِقَ قِدَدًا

Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang saleh dan di antara kami ada (pula) yang tidak demikian halnya. Adalah kami menempuh jalan yang tidak sama-beda. ( Al Jin : 11 )

ثُمَّ كُلِي مِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ فَاسْلُكِي سُبُلَ رَبِّكِ ذُلُلًا يَخْرُجُ مِنْ بُطُونِهَا شَرَابٌ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ فِيهِ شِفَاءٌ لِلنَّاسِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَةً لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang sudah digampangkan (bagimu). Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang majemuk warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebemasukan Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan.
Mustafa Zahri : 160 )
Nilai-nilai spiritual yang tersurat dan tersirat dalam Al-Qur'an dan Al-Hadits itulah yang menjadi dalil utama keberadaan ilmu tasawuf di jagat Allah ini.
X. Tentang Ma'rifat
Kita harus terus meningkatkan mutu keyakinan kepada Allah, supaya Allah juga selalu yakin untuk mempersembahkan apa pun yang kita minta dan yang tidak kita minta. Lalu bagaimana cara meningkatkan keyakinan diri?
"Ilmul yaqin"
Ilmul yaqin ialah orang yang menyakini segala sesuatu berdasarkan ilmu. Misalnya, di Mekkah ada Kakbah. Kita percaya, karena berdasarkan teorinya begitu, ilmunya begitu. Apa pun yang terjadi pada Kakbah kita percaya, karena belum tahu yang sebenarnya bagaimana.
"Ainul yaqin"
Ainul yaqin ialah orang yakin karena sudah melihat dengan mata kepala sendiri. Orang yang sudah pergi ke Mekkah, bisa melihat sendiri Kakbah. Keyakinannya akan tidak sama dengan orang yang yakin berdasarkan teori atau ilmu. Orang yang menyampaikan Kakbah itu ujungnya bulat, kalau spesialuntuk dengan ilmu bisa jadi kita percaya. Tapi bagi orang yang sudah melihatnya akan berkata sesuai dengan yang sudah dia lihat
."Haqqul yaqin"
Haqqul yaqin ialah orang yakin dan terbukti kebenarannya. Orang yang sudah mencicipi lezatnya tawaf, berdoa di Multazam, mencicipi di ijabahnya doa, dan menyampaikan Kakbah itu luar biasa sekali. Sesudah pulang, doa kita diijabah dan susah didustakan. Akan semakin tidak sama keyakinannya dengan orang yang spesialuntuk yakin berdasarkan ilmu saja tanpa mencicipi bukti kebenarannya.
INI cara untuk meningkatkan keyakinan kita. Ini juga yang menjadi tingkat keyakinan tertinggi kita, sehingga tidak bisa digempur dari sisi mana pun. Mulailah dari ilmul yaqin, ainul yaqin, dan hasilnya dengan haqqul yaqin. Hanya itulah yang akan meningkatkan keyakinan kita kepada Allah. Berikut bentuk uraian lain ;
Ilmul Yaqin, Ainul Yaqin, Hakqqul Yaqin ialah tahapan dalam pendirian seseorang dalam pandangan Musyahadahnya (penyaksiannya) kepada Allah Swt.
a.       Ma'rifat dengan Ilmul Yaqin
Di dalam Ilmul Yaqin segala pengetahuan ilmu sudah diliputi dengan Ilmu Allah sehingga apapun amaliah maupun ubudiyah itu tiruana memberikan dari pada lautan Ilmu Allah Ta’ala.
b.      Ma'rifat dengan ainul Yaqin
Di dalam Ainul Yaqin, tatkala seseorang ‘arifiin’ sudah melihat sesuatu amalaiah dan ubudiyah diliputi oleh Ilmu Allah kemudian ia menyaksikan bahwa di dalam gerak dan membisu (lelaku) itu ialah saksi Hidupnya Allah Ta’ala yang memberikan adanya Allah Ta’ala sebagai tujuan hidupnya. dengan Merasakan dan menyadari gerak dan diam, bunyi dan perkataan itu ialah saksi hidupnya Allah Ta’ala maka sama halnya ia mencicipi dan menyadari kehadiran Allah Ta’ala bersahabat sekali dengan dirinya. “Bukan menghadirkan Allah” akan tetapi menyadari bahwa “Allah senantiasa Maha Hadir atas dirinya dan sekalian Alam meliputi tiap2 sesuatu”. “Wahuwa Ma’akum Ainama kuntum” (Dia Allah serta engkau di mana engkau berada).
c.       Ma'rifat dengan Haqqul Yaqin
Haqqul Yaqin, ialah kemantapan dalam pendirian yang kokoh setelah ia mengetahui kemudian ia melihat dengan penyaksian kemudian kemudian tertanam sedalam2nya pada dirinya bahwa : “SEGALA SESUATU APAPUN YANG TERLIHAT, TIDAK ADA YANG ADA MELAINKAN ILMU ALLAH TA’ALA, SEGALA SESUATU APAPUN YANG TERDENGAR TIDAK ADA YANG ADA MELAINKAN KALAM ALLAH TA’ALA, DAN TIDAK ADA YANG TERASA MAUPUN DIRASAKAN MELAINKAN SIRRULLAH (ZATULLAH)”.
Sesudah tiruana perjalanan dan tahapan itu misra/meresap pada diri, maka Allah akan JAZBAH dirinya sehingga sampailah ia pada maqom “KAMALUL YAQIN”
XI. Tentang Melihat Tuhan
Apakah Allah bisa dilihat?, bisakah itu terjadi? dan di manakah Ia bisa dilihat? Semua ini ialah perbincangan antara Ahlussunnah dan Mu’tazilah yang akan menjadi pokok pembahasan dalam masalah ini .
PENDAPAT PERTAMA
Mu’tazilah dan banyak sekali kelompok yang sepaham dengannya, mirip Jahamiyah, Khawarij, Syiah Imamiyah, dan sebagian Murjiah menyampaikan bahwa Allah tidak bisa dilihat dengan mata kepala, dan itu tidak mungkin dan mumtani’ (tidak boleh terjadi) pada Allah. Di antara argumentasinya ialah sebagai diberikut:
1. Firman Allah ;

لاَ تُدْرِكُهُ اْلأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ اْلأَبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
Dia (Allah) tidak sanggup dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia sanggup melihat segala penglihatan itu dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui. [Al An’aam:103]
Wajhuddilalah (pengambilan dalil) dari ayat ini Qadhi Abdul Jabbar berkata dalam kitabnya Syarah Ushul al-Khamsah hal.232: “Allah menafikan al-idrak (pencapaian) dengan penglihatan mata, ini memberikan bahwa Allah tidak bisa dilihat oleh pandangan mata kapanpun dan di manapun juga. Juga ayat ini dalam kontek al-madh (pujian) kepada Allah, bahwa Dia tidak bisa dilihat mata. Kalau dikatakan bahwa Dia bisa dilihat, maka akan berlawanan dengan kontek ayat itu sehingga tidak ada makna dari kebanggaan itu.
  1. Firman Allah.

وَلَمَّا جَاءَ مُوسَى لِمِيقَاتِنَا وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ قَالَ رَبِّ أَرِنِي أَنْظُرْ إِلَيْكَ قَالَ لَنْ تَرَانِي وَلَكِنِ انْظُرْ إِلَى الْجَبَلِ فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُ فَسَوْفَ تَرَانِي فَلَمَّا تَجَلَّى رَبُّهُ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دَكًّا وَخَرَّ مُوسَى صَعِقًا فَلَمَّا أَفَاقَ قَالَ سُبْحَانَكَ تُبْتُ إِلَيْكَ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُؤْمِنِينَ
Dan tatkala Musa hadir untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang sudah Kami tentukan, dan Rabb sudah berfirman (langsung kepadanya), berkatalah Musa:"Ya Rabbku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku, supaya saya sanggup melihat kepada Engkau". Rabb berfirman:"Kamu sekali-kali tak sanggup untuk melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka kalau ia tetap ditempatnya (sebagai sediakala) pasti engkau sanggup melihat-Ku". Tatkala Rabbnya menampakkan diri kepada pegunungan itu, dijadikannya pegunungan itu hancur luluh dan Musapun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata:"Maha Suci Engkau, saya bertaubat kepada Engkau dan saya orang pertama-tama diberiman". [Al A’raf :143]
Wajhuddilalah (pengambilan dalil) dari ayat ini. Allah Azza wa Jalla menggunakan kata-kata “lan tarani” (Kamu sekali-kali tak sanggup untuk melihat-Ku) yang berfungsi sebagai ‘nafy ta’bid” (peniadaan untuk selamanya), kalau tidak sanggup dilihat oleh Musa, juga selamanya tidak bisa dilihat oleh orang lain. Firman Allah Azza wa Jalla, "Dan Musapun jatuh pingsan", seandainya ru’yatullah boleh terjadi, kenapa Musa lansung pingsan sebelum melihat Allah?.
Firman Allah Azza wa Jalla, Maka setelah sadar kembali, dia berkata: ”Maha Suci Engkau”. Ar-Razi berkata: ”Musa bertasbih untuh mentanzihkan (menyucikan) Allah Azza wa Jalla dari perbuatan sebelumnya, yaitu ajakan melihat Allah Azza wa Jalla, dan tanzih tidak terjadi kecuali dari belum sempurnanya, dengan demikian maka melihat Allah Azza wa Jalla memberikan belum sempurnanya dan hal itu mumtani’ (tidak boleh terjadi) pada hak Allah Azza wa Jalla.” Perkataan Musa dalam ayat di atas: ”Aku bertaubat kepada Engkau dan saya orang yang pertama-tama diberiman” memberikan bahwa ajakan melihat Allah Azza wa Jalla dianggap dosa oleh Musa sehingga harus bertobat kepada-Nya, dan tobat tidak dilakukan kecuali dari perbuatan dosa.
3. Permintaan melihat Allah Azza wa Jalla dianggap sebuah kezaliman.
Seperti yang dialami oleh Bani Israil sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla.
فَقَالُوا أَرِنَا اللهَ جَهْرَةً فَأَخَذَتْهُمُ الصَّاعِقَةُ بِظُلْمِهِمْ
“…..mereka berkata: ”Perlihatkanlah Allah kepada kami dengan nyata”. Maka mereka disambar petir karena kezalimannya…” [An Nisa:153.]
Di sini Allah Azza wa Jalla mengadzab orang yang meminta melihat_Nya, bila hal itu diperbolehkan pasti Dia tidak akan mengazabnya. Ayat senada juga ada pada surat Al Baqarah ayat 55.
4. Firman Allah Azza wa Jalla dalam Al-Quran surat Assyura ayat : 51
وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللَّهُ إِلَّا وَحْيًا أَوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولًا فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيمٌ
Dan tidak ada bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu, atau di belakang tabir, atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) kemudian diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana. [Assyura:51]
Dalam ayat ini Allah Azza wa Jalla berbicara dengan insan spesialuntuk lewat wahyu, atau di balik tabir [hijab], atau lewat utusan-Nya. Kalau Allah Azza wa Jalla boleh dilihat, pasti Dia tampakkan diriNya lansung dan tidak perlu lewat mediator atau di balik tabir.
5. Secara logika bahwa tiruana yang dilihat mesti akan berbekas di penglihatan dalam bentuk atau rupa, sedangkan yang demikian tidak mungkin bagi Allah Azza wa Jalla dan Maha Suci Allah Azza wa Jalla dari yang demikian.

PENDAPAT KEDUA
Menurut Ahlussunnah bahwa Allah boleh dilihat dan bisa dilihat dengan mata kepala di akherat kelak. Diantara dalil-dalil yang menguatkan tentang yang demikaian ialah sebagai diberikut:
1. Firman Allah dalam surat Al A’raf ayat 143 yang sudah lewat.
Wajhuddilalah (pengambilan dalil)dari ayat ini, adalah:
• Di sini Musa meminta untuk melihat Allah, kalau yang demikian itu tidak diperbolehkan, apalagi sesuatu yang mustahil, maka tidak mungkin dilakukan oleh seorang Nabi. [Lihat kitab Haadul Arwah oleh Ibnu Al Qayyim hal.223]
• Dalam ayat ini tidak ada yang memberikan larangan meminta melihat Allah,karena kalau itu sesuatu yang dilarang pasti Allah akan melarang Musa untuk melakukannya,sebagaimana Allah melarang Nabi Nuh yang meminta supaya anaknya diselamatkan dari banjir. [Baca QS.Hud;46-47]
• Allah mengatakan, ”lan tarani” (Kamu sekali-kali tak sanggup untuk melihat-Ku), bukan memberikan Allah tidak bisa dilihat, justru sebaliknya. Sebab kalau ru’yatullah suatu yang tidak mungkin, terjadi pasti Allah akan menggunakan lafaz nafi yaitu,”La tarani” (Kamu sekali-kali tidak akan melihat-Ku).
• Abu Said Ad Darimi dalam kitab bantahannya terhadap Jahmiyah mengatakan: ”Tidak bisa dilihat”, yaitu di dunia, karena mata kepala insan yang tercipta dari sesuatu yang akan binasa tidak sanggup memandang sesuatu yang baqa’[abadi], tetapi pada hari kiyamat Allah akan mempersembahkan penglihatan yang awet, supaya bisa melihat yang Maha Abadi (Allah) di daerah yang awet (SurgaNya)”.
• Sesungguhnya dalam ayat ini Allah mengaitkan ru’yatullah dengan sesuatu yang mubah [boleh], atau mungkin terjadi, yaitu tetapnya pegunungan. Mengaitkan sesuatu yang boleh atau mungkin, memberikan sesuatu yang dikaitkan (Ru’yatullah) boleh atau mungkin.
• Allah Azza wa Jalla menyampaikan ,”Tajalla” yang berarti menampakkan diri, Al Qurthubiy dalam tafsirnya Juz IV/ 278 mengatakan: ”Maksudnya Allah Azza wa Jalla ingin mempersembahkan pelajaran kepada Musa, bahwa dia tidak bisa untuk melihat Allah, karena pegunungan yang begitu kokoh saja bergetar akhir Allah menampakkan diriNya. Kalau kepada pegunungan yang benda mati saja Allah bisa menampakkan diriNya maka kenapa kepada hambaNya yang shalih tidak bisa? apalagi tidak mungkin dilakukanNya?.

2. Firman Allah Azza wa Jalla.

قَالَ يَا مُوسَى إِنِّي اصْطَفَيْتُكَ عَلَى النَّاسِ بِرِسَالاَتِي وَبِكَلاَمِي فَخُذْ مَا آتَيْتُكَ وَكُن مِّنَ الشَّاكِرِينَ
Allah berfirman: “Hai Musa sesungguhnya Aku menentukan (melebihkan) engkau dari insan yang lain (di masamu) untuk membawa risalah-Ku dan untuk berbicara lansung dengan-Ku, alasannya ialah itu berpegang teguhlah kepada apa yang Aku diberikan kepadamu dan hendaklah engkau termasuk orang yang-orang yang bersyukur [Al-A’raf : 144
Imam Ismail Al Barusuni dalam tafsirnya Ruhul Bayan Juz III halaman 239 mengatakan: “Allah memerintahkan Musa untuk menjadi orang-orang yang bersyukur, mirip firman-Nya: “Hendaklah engkau termasuk orang yang-orang yang bersyukur”, karena bersyukur akan mempersembahkan tambahan, sebagaimana firman Allah:

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ .
            Sesungguhnya kalau engkau bersyukur,pasti Kami menambah (nikmatKu) dan kalau engkau mengingkari (nikmatKu) maka sesungguhnya azabKu sangat pedih. Ibrahim : 7]
Dan perhiasan yang akan didiberikan Allah ialah bisa melihat Allah, sebagaimana firman-Nya.

لِّلَّذِينَ أَحْسَنُواْ الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ .
Bagi mereka yang berbuat kebaikan nirwana dan tambahan. [Yunus : 26]
Dan perhiasan yang dimaksud dalam ayat ini ialah melihat Allah.
3. Firman Allah dalam surat Al An’am ayat 103 (sudah disebutkan di atas).
Al Alusiy dalam tafsirnya Ruhul Maani Juz IV halaman 244 mengatakan: “Kalimat ”Al-Abshar” dalam ayat ini ialah jamak dari “Bashar” yang berarti penglihatan, sanggup digunakan untuk penglihatan mata atau penglihatan hati. Sedangkan kata ”Al idrak” artinya pencapaian terhadap sesuatu, dan kata ”Al idrak” mengandung makna lebih dalam dari kata melihat dan inilah yang dinafikan oleh Allah.
Ayat ini juga dalam kontek kebanggaan yang memberikan bahwa melihat Allah boleh dan mungkin, alasannya ialah kalau sesuatu itu tidak mungkin, untuk apa dipuji. Di sini Allah bisa dilihat, tetapi bisa menghijab pandangan untuk mencapainya ialah sebuah kekuasaan yang patut dipuji. Sebab sesuatu yang dari asalnya tidak bisa dilihat, maka ketika tidak sanggup dilihat tidak menjadi sesuatu yang istimewa yang perlu di puji.
Ibnu Qayyim menambahkan: “Memakai ayat ini sebagai dalil bahwa Allah bisa dilihat lebih tepat dan benar, bahkan ayat ini menjadi bantahan bagi mereka yang menyampaikan Allah tidak bisa dilihat. Karena ayat ini dalam kontek pujian, dan itu didiberikan kepada sesuatu yang ada (maujud), karena sesuatu yang tidak ada sama sekali (ma’dum mahdah) tidak layak untuk didiberikan pujian, karena itu bukan termasuk kesempurnaan (al-kamal) bagi Allah.”
Dan al idrak (pencapaian) maksudnya ialah al ihathah (mengetahui tiruananya dari segala aspek), dengan demikian al idrak ialah sesuatu yang mempunyai arti lebih dari ru’yah.
sepertiyang firman Allah.


فَلَمَّا تَرَاءى الْجَمْعَانِ قَالَ أَصْحَابُ مُوسَى إِنَّا لَمُدْرَكُونَ .
Maka setelah dua golongan itu saling melihat, berkatalah pengikut-pengikut Musa; ”Sesungguhnya kita benar-benar akan tersusul. [Asyuaraa : 61]
4. Firman Allah

لَهُم مَّايَشَآءُونَ فِيهَا وَلَدَيْنَا مَزِيدٌ
Mereka di dalamnya memperoleh apa yang mereka kehendaki, dan pada sisi Kami ada tambahan. [Qaaf : 35]
Ibnu Katsir dalam tafsirnya Juz VIII/330 mengatakan: “Sesungguhnya “Al mazid” (tambahan) yang Allah diberikan kepada hambaNya di atas segala yang dikehendakinya mirip yang dimaksud dalam ayat di atas ialah nampaknya Allah bagi mereka.”
1.       Firman Allah.

وُجُوهُُ يَوْمَئِذٍ نَّاضِرَةٌ . إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ
Wajah-wajah (orang-orang mukmin) waktu itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat. [Al-Qiyamah : 22-23]
Abu Hasan Al Asyari dalam kitabnya Al-Ibanah hal.12 mengatakan: “Kata “Nazhirah” yaitu ‘Raiyah” yang berarti melihat. sepertiyang yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar ,bahwa Rasulullah dalam menafsirkan ayat “Wajah-wajah (orang-orang mukmin) waktu itu “Nadhirah”, yaitu berseri-seri, “Kepada Tuhannyalah Nazhirah (melihat), Yaitu melihat wajah Allah.
6. Ayat-ayat yang menggunakan kata –kata “Liqa’” (pertemuan). Seperti firman Allah.

فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَآءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا وَلاَ يُشْرِكُ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدً
Barangsiapa yang mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah mengerjakan amal shalih dan tidakbolehlah ia mepersekutukan seorangpun dalam diberibadah kepada Tuhannya. [Al-Kahfi:110]
Ayat-ayat yang menyatakan “Liqa’” (pertemuan) juga ada pada surat Al Baqarah : 223, 249, dan Al Ahzab : 44.

نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ وَقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ مُلَاقُوهُ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ ْ
Isteri-isterimu ialah (seperti) tanah daerah engkau bercocok-tanam, maka hadirilah tanah daerah bercocok-tanammu itu bagaimana saja engkau kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa engkau kelak akan menemui-Nya. Dan diberilah kabar gembira orang-orang yang diberiman.( Al Baqarah : 223)

قَالَ الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلَاقُو اللَّهِ كَمْ مِنْ فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةً بِإِذْنِ اللَّهِ وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ
Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah berkata: "Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit sanggup mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar." ( Al Baqarah 249 )
Liqa (pertemuan) yaitu bertemu dengan Allah, dengan cara mereka akan melihat Allah dan Allah akan melihat dan mengucapkan salam kepada mereka, dan Allah akan berbicara dengan mereka. [Lihat kitab As-Syari’ah oleh Imam Al Ajurri hal.252]
Adapun Dalil-Dalil Dari Al Hadis Adalah Sebagai Berikut.
1. Jarir bin Abdullah berkata.

قَالَ جَرِيرُ بْنُ عَبْدِالهِi كُنَّا عِنْدَ النَّبِيِّ إِذْ نَظَرَ إِلَى الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ فَقَالَ أَمَا إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ رَبَّكُمْ كَمَا تَرَوْنَ هَذَا لاَ تُضَامُّونَ أَوْ لاَ تُضَاهُونَ فِي رُؤْيَتِهِ فَإِنِ اسْتَطَعْتُمْ أَنْ لاَ تُغْلَبُوا عَلَى صَلاَةٍ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ غُرُوبِهَا فَافْعَلُوا ثُمَّ قَالَ فَ ( سَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ غُرُوبِهَا ) (كتاب :كتاب مواقيت الصلاة باب :باب فضل صلاة الفجر رقم الحديث :
547 الجزء :1 الصفحة 209 ,صحيح البخاري
Jarir bin Abdullah berkata: “Kami duduk bersama Rasulullah, kemudian dia memandang bulan yang sedang purnama, kemudian dia bersabda: ”Sesungguhnya engkau akan melihat Tuhanmu sebagaimana engkau melihat bulan, tidak ada yang menghalangimu untuk melihat-Nya, kalau engkau bisa tidak meninggalkan shalat sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya maka lakukannlah. [HR.Bukhari Muslim]
2. Sabda Nabi yang maksudnya.
Sesungguhnya engkau akan melihat Tuhanmu dengan mata kepala sendiri,”[HR.Bukhari Muslim]
3.Sabda Nabi yang berbunyi.

إِذَا دَخَلَ أَهْلُ الْجَنَّةِ الْجَنَّةَ قَالَ يَقُولُ الهُe تَبَارَكَ وَتَعَالَى تُرِيدُونَ شَيْئًا أَزِيدُكُمْ فَيَقُولُونَ أَلَمْ تُبَيِّضْ وُجُوهَنَا أَلَمْ تُدْخِلْنَا الْجَنَّةَ وَتُنَجِّنَا مِنَ النَّارِ قَالَ فَيَكْشِفُ الْحِجَابَ فَمَا أُعْطُوا شَيْئًا أَحَبَّ إِلَيْهِمْ مِنَ النَّظَرِ إِلَى رَبِّهِمْ عَزَّ وَجَلَّ (صحيح مسلم باب :باب إثبات رؤية المؤمنين في الآخرة ربهم سبحانه (كتاب :كتاب الإيمان )) رقم الحديث : الجزء 1: الصفحة : 163
Apabila penduduk nirwana sudah masuk ke surga, Allah Taala berfirman: ”Apakah engkau menginginkan sesuatu yang akan Aku menambahkan?”. Mereka berkata: “Bukankah Engkau sudah memutihkan muka kami dan memasukkan kami ke dalam surga, dan menyelamatkan kami dari neraka?”. Kemudian Allah membuka tabir, dan tidak ada sesuatu yang sudah didiberikan kepada mereka yang lebih mereka cintai dari pada melihat Tuhannya Yang Maha Tinggi. [HR.Muslim, dari Shuhaib)]
JAWABAN TERHADAP ARGUMENTASI MU'TAZILAH DAN KELOMPOKNYA
Sebagian dalil mereka sudah dijawaban dengan dalil-dalil dari Ahlus Sunnah sebagaimana di atas. Adapun tambahannya ialah sebagai diberikut.
1. Pingsannya Nabi Musa disebabkan karena ketidakmampuannya melihat Allah, dan ini bukan berarti Allah tidak bisa dilihat.
2. Tasbihnya Musa setelah sadar dari pingsannya, bukan memberikan penyucian dari belum sempurnanya Allah, justeru memberikan belum sempurnanya dan kelemahan Nabi Musa yang yang tidak bisa melihat Allah di dunia, dan tidak tiruana yang bisa dilihat berarti tidak baik atau kurang.
3. Nabi Musa mengatakan: ”Saya bertobat”, Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya JuzVII/27 mengatakan: “Sudah disahkan oleh tiruana umat bahwa perkataan ini bukan disebabkan karena Musa melaksanakan maksiat.”
4. Kaum Nabi Musa diadzab ketika mereka meminta melihat Allah, karena ajakan mereka ialah sebuah tantangan kepada nabinya dan itu dilakukannya dengan penuh kesombongan dan keingkaran dan menganggap tiruana itu suatu yang mustahil. [Lihat Al Ibanah hal.15]
5. Perkataan mereka yang menyampaikan bahwa setiap yang terlihat akan mempersembahkan bekas yang berbentuk dan berwarna ialah “Qiyas ma’al fariq” yaitu kiyas yang terdapat banyak perbedaan karena membandingkan Al -Khaliq [pencipta] dan makhluk-Nya dan kiyas mirip ini ialah bathil, karena Allah berfirman yang artinya:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءُُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Tidak ada sesuatu apapun yang menyerupai-Nya [As-Syuraa : 11]
BISAKAH ALLAH DILIHAT DI DUNIA?
Jumhur ulama’ menyampaikan bahwa Allah tidak bisa dilihat dengan mata kepala di dunia. Berbeda dengan kelompok Musyabbihah(orang yang menyerupakan Allah dengan makhlukNya), juga sebagian As’ariyah dan orang –orang Shufi, yang menyampaikan bahwa Allah bisa dilihat dengan mata kepala di dunia, bahkan bisa mushafahah (berjabatan tangan) dan mulamasah (bersentuhan) dengan Allah, sebagaimana yang terdapat pada kitab Sirajut Thalibin hal.133. Mereka mengatakan: ”Orang-orang yang tulus akan bisa melihat, bahkan memeluk Allah di dunia dan akherat, kalau mereka menginginkan yang demikian”. Maha Suci Allah dari apa yang mereka katakan!!.
Orang-orang Shufi menganggap bahwa ma’rifatullah (pengenalan terhadap Allah) yang ada dalam hatinya sebagai ru’yatullah dengan mata kepala. Padahal terkadang syaitan membayang-bayanginya, dan menyampaikan bahwa dirinya ialah Tuhan.
Dalam hal ini Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya At-Tawassul Wal Washilah hal.28 berkata: ”Terkadang seorang hamba melihat Arsy yang besar yang ada gambar, juga melihat ada orang yang naik dan turun di arsy tersebut, dan menganggapnya itu malaikat, dan menganggap gambar itu ialah Allah, padahal itu ialah syaitan. Seperti ini sering terjadi sebagaimana yang dialami oleh Syaikh Abdul Qadir Jailani, dia menceritakan: ”Suatu hari ketika saya selesai diberibadah saya melihat arsy yang agung, di dalamnya ada cahaya dan ada seorang yang memanggil, “Wahai Abdul Qadir Jailani saya ialah Tuhanmu dan saya sudah menghalalkan kepadamu tiruana yang Aku haramkan sebelumnya.”
Syaikh Abdul Qadir Jailani balik bertanya, apakah Engkau Allah yang tiada Tuhan selain Engkau? Hengkanglah Wahai musuh Allah!.Kemudian cahaya tadi terpencar dan berobah menjadi intel kemudian keluar bunyi yang mengatakan, “Wahai Abdul Qadir engkau sudah selamat dari tipudayaku dengan pengetahuanmu tentang agama, saya sudah berhasil memperdayakan tujuh puluh orang dengan budi kancil ini.” Ketika dia ditanya bagaimana anda mengetahui bahwa itu ialah syaitan, ia menjawaban karena dia menyampaikan bahwa Allah sudah menghalalkan kepadaku tiruana yang diharamkan sebelumnya kepada yang lain, dan saya beropini bahwa syariat Muhammad tidak mungkin dirobah dan diganti”.
Ketika Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditanya tentang orang yang menyampaikan bahwa dirinya pernah melihat Allah dengan mata kepala di dunia,beliau menjawaban: “Barangsiapa di antara insan yang menyampaikan bahwa para wali atau selainnya bisa melihat Allah dengan mata kepalanya di dunia maka ia ialah seorang Mubtadi’ yang menyesatkan,yang berlawanan dengan Kitab dan Sunnah dan ijma’ salaful ummah, apalagi kalau menganggap dirinya lebih afdhal dari Musa, maka dia harus disuruh taubat kalau mau,kalau dia menolak maka boleh dibunuh,wallahu A’lam. [Majmu’ fatawa VI/512]
Maka dilarang seseorang cepat terkecoh dengan orang yang bergelar wali atau hebat shufi.
Imam As-Syaukani dalam kitabnya Al-Wali mengingatkan: ”Tidak boleh seorang wali beranggapan bahwa tiruana yang terjadi padanya, berupa insiden atau mukassyafat (pembukaan tabir) ialah tiruananya karamah dari Allah, karena bisa saja tiruana itu hadir dari syaitan, maka wajib menilai dan mengukur tiruana perkataan dan perbuatannya dengan Kitab dan Sunnah, kalau sesuai maka itu ialah kebenaran dan karamah dari Allah,kalau itu berperihalan dengan Kitab dan Sunnah maka hendaklah menyadari bahwa ia tertipu oleh syaitan.”
Adapun dalil jumhur yang menyampaikan bahwa Allah tidak bisa dilihat dengan mata kepala di dunia ialah sebagai diberikut:
1. Firman Allah surat Al-A’raaf ayat 143 terlampau. Ibnu Katsir mengatakan: ”Bahwa penafian ru’yatullah khusus di dunia, karena adanya dalil-dalil yang memberikan bahwa Allah bisa dilihat di akhirat.”
2. Firman Allah dalam surat Al anam ayat 153 . Imam Ahmad dalam kitab bantahannya kepada Zanadiqah dan Jahamiyah hal.13-14, berkata: “Makna ayat ini ialah tidak ada yang bisa melihat Allah di dunia kecuali di akherat. Ibnu Khuzimah dalam kitab tauhidnya hal.185 menambahkan: “Bahwa Allah tidak bisa dicapai oleh penglihatan penduduk dunia sebelum mati”.
3. Firman Allah dalam surat Asy-Syu’ara ayat 51, yang menyatakan bahwa Allah spesialuntuk berbicara dengan para rasulNya dengan wahyu atau di balik tabir atau dengan malaikat. Kalau melihat Allah tidak bisa terjadi pada rasul-Nya, maka apalagi pada insan yang lain.
4. Firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 55, dan yang senada dengan ayat ini, yang menyatakan bahwa Bani Israil meminta Musa untuk bisa melihat Allah dengan terperinci diazab oleh Allah, karena disamping mereka memintanya dengan penuh kesombongan dan penantangan, juga mereka memintanya di waktu yang tidak mungkin terjadi. Apabila kepada Nabi Musa saja tidak bisa terjadi maka apalagi kepada yang lainnya.
Adapun Dalil Dari Sunnah
Hadits-hadits yang lewat sebut bahwa Allah spesialuntuk bisa dilihat pada hari kiyamat. Itulah sebabnya pertanyaan sobat bersahabat juga menggunakan kata ”Apakah Allah bisa dilihat pada hari kiyamat?” dalam pertanyaannya kepada Rasulullah, mirip hadis diberikut:
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah,para Sahabat berkata:

يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلْ نَرَى رَبَّنَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Ya Rasulullah! Apakah kita akan melihat Allah pada hari Kiyamat? [HR.Bukhari dan Muslim]
Riwayat lain dari Abu Sa’id Al Khudri, para sobat bersahabat bertanya: “Ya Rasulullah! Apakah kita akan melihat Allah pada hari kiyamat? [HR.Bukhari Muslim] Juga hadits Rasulullah yang mengingatkan umatnya terhadap Dajjal, dia bersabda:

مَكْتُوبٌ بَيْنَ عَيْنَيْهِ كَافِرٌ يَقْرَؤُهُ كُلُّ مُؤْمِنٍ كَاتِبٍ وَغَيْرِ كَاتِبٍ
Sesungguhnya di antara dua mata Dajjal tertulis kata “kafir” yang bisa dibaca oleh setiap orang mukmin, yang sanggup menulis, atau buta huruf.
Dan dia berkata: ”Ketahuilah bergotong-royong tidak ada seorangpun di antara engkau yang bisa melihat Tuhannya hingga dia mati. [HR.Muslim]
Di sini Rasulullah sedang berbicara dengan para sobat bersahabat bahwa mereka tidak bisa melihat Allah hingga mati ,kalau sobat bersahabat saja dikatakan oleh Nabi tidak bisa melihat Allah sebelum mati, apalagi insan yang lain.
APAKAH RASULULLAH PERNAH MELIHAT ALLAH DI DUNIA
Qadhi Iyyad dalam kitabnya ”Assyifa fi ta’rifi huququl Musthafa” juz.I/119-124, sebut beberapa perbedaan ulama’dalam masalah ini.
Pertama : Ibnu Abbas dan riwayat dari Ka’ab bin Malik, juga dinisbahkan kepada Anas bin Malik, Ikrimah, Hasan, Rabi’, dan juga Abu Hasan Al Asy’ari dan Qadhhi Abu Ya’la dari Hanabilah mengatakan: “Rasulullah pernah melihat Allah (Ketika mendapatkan perintah shalat diwaktu mi’raj), mereka berhujah dengan hadits-hadits tentang ru’yah yang tidak mengkhususkan dengan mata tetapi secara mutlak (umum) seperti:
1. Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Saya melihat Tuhanku”. [HR.Ahmad]
2. Ibnu Abbas berkata tentang firman Allah: “Dia benar-benar dan pernah melihatnya dalam bentuk yang lain, ia berkata: “Nabi sudah melihat Allah dua kali, di Sidharatul Muntaha, kemudian diwahyukan kepadanya perintah shalat.. [HR Thurmudzi, hasan]
3. Hadits tentang Isra’ miraj Nabi, yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, bahwa Dhamir (kata ganti) pada kata-kata dana ( mendekat ), auha (mewahyukan ) dan raahu ( melihat ) kembali kepada Allah. melaluiataubersamaini demikian maka Rasulullah pernah melihat Allah.
4. Al-Haitsami dalam Majmu’ Az-zawaid juz 1 hal 79, meriwayatkan perkataan Ibnu Abbas: “Sesungguhnya Muhammad melihat Rabb-Nya dua kali, pertama dengan mata kepalanya, dan kedua dengan mata hatinya”.
5. Beliau juga berkata: “Muhammad melihat Allah”, Ikrimah bertanya: “Apakah dia bisa melakukannya?”, ia menjawaban: “Ya, Allah menyebabkan Kalam (berbicara) dengan Musa, hullah (persaudaraan) dengan Ibrahim dan An-nazhar (melihat) kepada Nabi Muhammad. Diriwayatkan juga oleh At-Thabrani di Al-Awsath, tetapi di dalamnya isnadnya ada perawi berjulukan Hafs bin Amru yang dilemahkan oleh Imam Nasai)
6. Imam Nawawi mengatakan, inilah pendapat yang kuat, berdasarkan kebanyakan Ulama. Yaitu Rasulullah melihat Allah dengan mata kepalanya di malam Isra mi’raj. Sesuai dengan hadits Ibnu Abbas terlampau. Beliau juga sebut beberapa alasan penguatannya, di antaranya masalah ini termasuk masalah yang tidak sanggup dicerna oleh akal. Maka apabila hadits Ibnu Abbas itu shahih, ia harus dipegang. Juga Ibnu Abbas tetapkan bisanya ru’yatullah bagi Nabi, sedangkan hadits Aisyah menafikan(meniadakan) dalam kaidah al-mutsbat muqaddamun ala annafi (penetapan lebih lampaukan dari peniadaan). Dan shahabat apabila tetapkan satu pendapat, kemudian ada shahabat yang lain yang tidak sama, maka perbedaan itu tidak dijadikan hujjah.
Kedua: Rasulullah tidak pernah melihat Allah dengan mata kepalanya di dunia.
INI pendapat yang dipegang Aisyah dan yang masyhur dari Ibn Mas’ud, Abu Hurairah, dan Abi- Dzar juga sebagian muhadditsin, fuqaha, dan mutakalimin. [Llihat Syarah Thahawiyah oleh Abi al-izzi hal 137].
Diantara dalil- dalilnya adalah
1. Hadits Aisyah yang diriwayatkan Masyruq, ia berkata:

حَدَّثَكَ أَنَّ مُحَمَّدًا رَأَى رَبَّهُ فَقَدْ كَذَبَ مَنْ
“Barang siapa menyampaikan bahwa Muhammad melihat Tuhannya, maka ia sudah berdusta besar pada Allah. [HR. Bukhari Muslim]
2. Hadits Abi Dzar -yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Syaqiq-, dia berkata:

سَأَلْتُ رَسُولَ الهِ هَلْ رَأَيْتَ رَبَّكَ قَالَ نُورٌ أَنَّى أَرَاهُ
Saya pernah bertanya kepada Rasulullah, apakah engkau sudah melihat Allah”, dia menjawaban: “Cahaya yang menghalangi-ku untuk melihatNya. [HR. Muslim]
Dalam riwayatkan lain dikatakan
:
رَأَيْتُ نُورًا
Saya spesialuntuk melihat cahaya. [HR. Muslim]
3. Hadits Abu Musa, di dalamnya disebutkan.

حِجَابُهُ النُّورُ لَوْ كَشَفَهُ لَأَحْرَقَتْ سُبُحَاتُ وَجْهِهِ مَا انْتَهَى إِلَيْهِ بَصَرُهُ مِنْ خَلْقِهِ
HijabNya ialah cahaya, kalau hijab itu dibuka pasti terbakar-lah di antara makhlukNya oleh cahaya mukaNya sejauh pandangan. [HR Muslim]
Sedangkan yang pernah dilihat oleh Rasulullah ialah Jibril Aliahissallam, bukan Allah sebagaimana Hadits Abu-Hurairah dan Aisyah.
  1. Hadits riwayat Abu Hurairah dalam firman Allah:
    وَلَقَدْ رَءَاهُ نَزْلَةً أُخْرَى
Dan ia sudah melihatnya dalam bentuk yang lain (An-Najm:13), Rasulullah menyampaikan bahwa belaiu melihat Jibril. (HR. Muslim )
5. Diriwayatkan oleh Asybani, dia bertanya kepada Dzur bin Hubaysih tentang tafsir ayat 13 surat An-Najm , dia berkata: Ibn Masud memdiberitahukannya bahwa Nabi melihat Jibril mempunyai 600 akup.
Juga hadits Aisyah, ia menyatakan, bahwa Nabi bersabda: “Sesungguhnya dia ialah Jibril yang sebelumnya tidak pernah saya lihat dalam bentuk aslinya kecuali dua kali. Saya melihatnya turun dari langit yang keagungan penciptaanya memenuhi langit dan bumi.”
6. Dua hadits ini cukup untuk menandakan bahwa Nabi tidak pernah melihat Allah di dunia, karena kedua hadits tersebut shahih dan sharih. Berbeda dengan hadits yang digunakan pendapat pertama, haditsnya mutlak. juga mirip hadits Syuraiq masih dipertanyakan sanad maupun matan, karena Syuraiq sendiri berdasarkan Ahlul Hadits tidak hafidz (kuat hafalannya) (Lihat Fathul- Bari juz 13, hal 484 ).
Adapun tarjih (pendapat yang dianggap kuat) Imam Nawawi termasuk tarjih tanpa hujjah yang berpengaruh dan tepat.
Ketiga : Tawaquf (tidak menyampaikan Rasulullah sudah melihat Allah). Ini yang dilakukan oleh Qadhi ‘Iyadh.
Sebagian Ulama mencoba untuk mempertemukan dua pendapat tersebut, dengan menyampaikan bahwa orang yang meniadakan ru’yatullah maksudnya Nabi tidak melihat Allah dengan mata kepalanya sendiri. Dan yang tetapkan ru’yatullah maksudnya Nabi melihat Allah dengan mata hatinya. Karena tidak adanya dalil yang terperinci dari Al-Qur’an dan As-sunnah yang menyatakan bahwa Rasulullah melihat Allah dengan mata kepala beliau, dan Rasulullah sendiri tidak pernah memdiberitahukan kepada shahabatnya, seandainya dia pernah melihat Allah dengan matanya pasti akan menceritakan shahabatnya. [Lihat Majmu’Fatawa juz 6, hal 509-510). Juga tafsir Ibn Katsir juz 6, hal 452]
         MELIHAT ALLAH DENGAN MATA HATI
Ulama setuju bahwa Rasulullah n pernah melihat Allah dengan hatinya, berdasarkan hadits diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, ia berkata: “Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam melihatNya dengan hatinya” [HR.Muslim]
Abu Dzar meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melihat Allah dengan hatinya dan tidak pernah melihatnya dengan mata kepalanya. Ibrahim At-Taimi meriwayatkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah melihatnya dengan hatinya dan tidak pernah melihat dengan matanya. Imam Nawawi berkata: “Melihat Allah dengan hatinya ialah penglihatan yang benar, yaitu Allah menyebabkan penglihatannya dihatinya atau menyebabkan hatinya mempunyai penglihatan sehingga dia bisa melihat Tuhannya dengan benar, sebagaimana dia melihat dengan mata kepalanya sendiri. [Syarah Shahih Muslim juz3, hal 6].
Adapun selain Nabi, mirip Shahabat dan tabi’in, maka salaf setuju bisa terjadi bagi hati seorang mukmin sebuah mukasyafat (membuka tabir) dan musyahadat (persaksiaan), yang sesuai dengan keimanan dan ma’rifatullah. Karena seorang yang menyayangi sesuatu akan membekas dalam hatinya dan merasa selalu bersahabat dalam hatinya. sepertiyang jawabanan Rasulullah tentang ihsan:

أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنَّكَ إِنْ لَا تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
Hendaklah engkau diberibadah kepada Allah seperti engkau melihat-Nya, dan kalau engkau tidak melihatNya, maka Dia melihatmu.[HSR. Bukhari, Muslim, dan lainnya-Red]
Syaikhul Islam meriwayatkan dari Ja’far bin Muhammad dia ditanya: “Apakah engkau melihat Tuhanmu ketika engkau menyembah-Nya?” Beliau menjawaban: “Saya sudah melihat Tuhan, gres saya sembah”. Bagaimana anda melihat-Nya? dia menjawaban: “Tidak dilihat dengan mata yang memandang, tapi dilihat dengan hati yang penuh Iman.”
Syaikhul Islam menambahkan sesungguhnya Allah dilihat sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan inilah pendapat aku, dan pendapat imam-imam kita. Berbeda dengan pendapat orang-orang yang jahil yang ada di sekitar kita. [Majmu’Fatawa V/79]
Seperti Mu’tazilah yang menyampaikan bahwa Allah tidak bisa dilihat dengan hati dan bukan melihat-Nya tapi mengetahui-Nya dengan hati. [Maqalaat Islamiyah I/118]

            MELIHAT ALLAH LEWAT MIMPI
Para sobat bersahabat dan tabiin dan salaf menyampaikan bahwa ru’yatullah lewat mimpi ialah hak dan bisa terjadi. sepertiyang hadits tentang mimpi Rasulullah melihat Allah dengan lafaz yang tidak sama di antaranya:
Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ,Rasulullah bersabda:


رَأَيْتُ رَبِّي فِي أَحْسَنِ صُورَةٍ
Saya pernah melihat Tuhanku dalam bentuk yang sebaik-baiknya. [HR.Tirmidzi dan Ahmad]

Juga di dalam hadits yang lain.


أَتَانِي اللَّيْلَةَ رَبِّي فِي أَحْسَنِ صُورَةٍ
Semalam saya dikunjungi oleh Tuhanku dalam bentuk yang sebaik-baiknya” [HR.Tirmidzi dan Ahmad]
Diriwayatkan oleh Mu’adz bin Jabal, Rasulullah bersabda.

فَإِذَا أَنَا بِرَبِّي تَبَارَكَ وَتَعَالَى فِي أَحْسَنِ صُورَةٍ
Tiba-tiba saya bertemu dengan Tuhanku dalam bentuk yang sebaik-baiknya. [HR.Tirmidzi dan Ahmad]
Syaikh Islam berkata: ”Terkadang seorang mukmin bisa melihat Allah ketika pulasnya dalam bentuk yang tidak sama, sesuai dengan kafasitas keimanan dan keyakinannya. Apabila keimanannya kepada Allah berpengaruh dan benar, maka ia akan melihat Allah dalam bentuk yang baik, tapi bila imannya kurang maka ia akan melihat Allah sebatas imannya itu. Dan penglihatan lewat mimpi tidak sama dengan penglihatan ketika pulas. [Majmu’Fatawa juz III/390]
Namun demikian bukan berarti orang yang pernah bermimpi melihat Allah boleh melanggar syari’ah atau dijamin masuk surga, karena tidak ada ketentuan yang demikian dari Rasulullah. Adapun perkataan Ibnu Sirin yang diriwayatkan Ad-Darimi no 249, yang menyatakan: ”Barang siapa yang bermimpi melihat Allah maka akan masuk surga”, tidak bisa dijadikan hujjah, karena tidak adanya sanad yang bersambung kepada Rasulullah, dan tidak seorangpun dari sobat bersahabat yang menyatakan demikian.

             RUYATULLAH PADA HARI KIYAMAT
Sebelumnya sudah disebutkan bahwa Ahlussunah setuju bahwa ru’yatullah pada hari kiyamat ialah hak berdasarkan Al-Quran dan Sunnah. Tetapi apakah ru’yatullah pada hari ini khusus bagi orang mukmin saja atau yang lainnya juga?. Ada tiga pendapat ulama dalam masalah ini.
Pertama.
Ruyatullah pada hari kiyamat untuk tiruana orang baik mukmin maupun kafir.Mereka berhujjah dengan keumumman ayat yang menandakan pertemuan dengan Allah mirip ayat:

يَا أَيُّهاَ اْلإِنسَانُ إِنَّكَ كَادِحٌ إِلىَ رَبِّكَ كَدْحًا فَمُلاَقِيهِ
Hai insan sesungguhnya engkau sudah bekerja dengan sungguh-sungguh memuja Tuhanmu,maka pasti engkau akan menemui-Nya. [Insyiqa’ : 6]
Kata”Insan” dalam ayat di atas memberikan jenis yaitu anak Adam. sepertiyang yang ditafsirkan oleh sebagian hebat tafsir mirip Ibnu Katsir, Ath-Thabari dan Al Qurthubi. Mereka berdalil dengan hadis Abi Said terlampau, yang menyatakan bahwa insan akan melihat Allah pertama kali, kemudian dikatakan kepadanya supaya setiap kaum mengikuti apa yang dia sembah di dunia. Dan ini ialah ru’yah yang umum kepada tiruana manusia.
Kedua;
Melihat Allah spesialuntuk bagi orang menampakan keimanannya baik dia mukmin atau orang munafik. Mereka berdalih dengan hadits Abu Hurairah yang sebut bahwa Allah akan menampakkan diriNya dalam bentuk yang diketahui oleh orang yang menyembahNya, kecuali mereka yang menyembah matahari, bulan dan salib.
Ketiga;
Hanya orang yang mukminlah yang akan bisa melihat Allah, karena Allah mengatakan:

كَلآَّ إِنَّهُمْ عَن رَّبِّهِمْ يَوْمَئِذٍ لَمَحْجُوبُونَ
Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat)Tuhannya. [Al Mutaffifin :15]
Dan pendapat inilah yang paling kuat. Adapun pendapat pertama yang menyatakan bahwa tiruana insan bisa Ru'yatullah, yang dimaksud ialah yang pertama kali yaitu Ru'yatullah yang umum, tetapi kemudian dihijabi/dihalangi. Ru'yatullah itu juga tidak sama. Yang paling hakiki ialah Ru'yatullah di dalam nirwana yang menjadi perhiasan bagi orang mu’min, inilah yang dikuatkan oleh hadits Sa’id Al Khudri: “Kemudian Al Jabbar (Allah) menhadirinya dalam bentuk yang tidak sama dengan bentuk pertama mereka melihatNya (Majmu’ Fatawa VI/503)”.
Dari pembahasan ini bisa disimpulkan bahwa Allah tidak bisa dilihat, tetapi tidak pernah dilihat dengan mata kepala baik, oleh nabi Musa maupun Rasulullah di dunia. Allah spesialuntuk bisa dilihat di dunia dengan pandangan hati atau lewat mimpi sesuai dengan kapasitas keimanan dan keyakinannya kepada Allah. Adapun pada hari kiamat Allah akan dilihat oleh seluruh mahluk-Nya. Tetapi Ru'yatullah yang hakiki yang menjadi perhiasan kenikmatan, spesialuntuk bisa dirasakan oleh orang mukmin setelah mereka masuk kedalam surga.
( Nurul Mukhlisin Asyaraf : http : Almanhaj.or.id/content/3053/slas/0 )

XII. Wali dan Karamah
Siapakah wali itu? Ada dua klarifikasi tentang makna wali.
Pertama, kata al-wali ialah bentuk superlatif dari subyek (fa'il), mirip kata al-'alim bermakna yang sangat alim dan kata al-qadir bermakna yang sangat berkuasa. Maka kata al-wali bermakna orang yang sangat menjaga ketaatan kepada Allah tanpa tercederai oleh kemaksiatan atau memdiberi peluang pada dirinya untuk berbuat maksiat.
Kedua, kata al-wali ialah subjek bermakna objek, mirip kata al-qatil bermakna yang terbunuh dan al-jarih bermakna yang terluka.  Maka kata al-wali bermakna orang yang dijaga dan dilindungi oleh Allah Swt, dijaga terus-menerus dari banyak sekali macam maksiat dan selamanya mendapat pertolongan Allah untuk selalu berbuat taat.
Perlu diketahui bahwa kata al-wali diambil dari firman Allah Swt,:
·         "Allah ialah pelindung (wali) orang-orang yang diberiman" (QS Al-Baqarah [2]: 257).
·         "Dan dia melindungi (yatpertamala) orang-orang yang saleh "(QS Al-A'raf [7]: 196).
·         "Engkaulah Penolong kami (maulana), maka tolonglah kami dari kaum yang kafir "(QS Al-Baqarah [2]: 286).
·         "Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah ialah pelindung (maula) orang-orang diberiman dan karena sesungguhnya orang-orang kafir itu tidak mempunyai pelindung" (QS Muhammad [47]: 11).
·         "Dan firman-Nya, Sesungguhnya penolong engkau (waliyyukum) ialah Allah dan Rasul-Nya" (QS Al-Maidah [5]: 55)
Menurut aku, ditinjau dari segi etimologis, al-wali berarti yang dekat. Ketika seorang hamba bersahabat kepada Allah karena ketaatan dan keikhlasannya, maka Allah akan senantiasa bersahabat kepadanya, dengan limpahan rahmat, keutamaan, dan kebaikan, hingga mencapai jenjang al-wilayah (kewalian).

                   Pengertian Karomah

Istilah karomah berasal dari bahasa Arab. Secara bahasa berarti mulia. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang mengistilahkan karomah dengan keramat diartikan suci dan sanggup mengadakan sesuatu diluar kemampuan insan biasa karena ketaqwaanya kepada Tuhan. [Dept. P&K, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka Jakarta, halaman 483]
Ajaran Islam
memaksudkan sebagai “Khariqun lil adat”, yaitu insiden yang luar biasa pada seorang wali Allah. Syaikh Thohir bin Sholeh Al-Jazairi mengartikan kata karomah ialah masalah luar biasa yang tampak pada seorang wali yang tidak disertai dengan akreditasi seorang Nabi. [Thohir bin Sholeh Al-Jazairi, Jawahirul Kalamiyah, terjemahan Jakfar Amir, Penerbit Raja Murah Pekalongan, hal. 40]
Sedangkan, Imam Qusyairi menandakan karomah sebagai penampakan karomah ialah gejala kebenaran sikap dan kelakuan seseorang. Barangsiapa yang tidak benar sikap dan kelakuannya, maka tidak sanggup memberikan kekaromahannya. Dan Allah yang maha Qodim memdiberi tahu kepada kita supaya membedakan orang yang benar dan mana yang batil. [Abul Qosim Abdul Karim Hawazim Qusyairi Naisabury, Risaltul Qusyairiyah, Darul Khoir, halaman 353]
melaluiataubersamaini demikian, istilah karomah sanggup disimpulkan sebagai insiden yang luar biasa pada seseorang yang ialah anugerah dari Allah dikarenakan ketaqwaanya.
insan Di Indonesia khususnya sangat senang kalau membaca kisah karomah para wali, buku-buku tentang karomah para wali laku manis kolam kacang goreng. Bahkan sudah banyak orang yang berusaha supaya mendapatkan karomah wali tersebut, ada yang mencar ilmu silat, ngalap berkah kubur wali, hingga berdo’a dan berkurban kepada sang wali tersebut. nah apa sebenarnya karomah itu, benarkah karomah bisa dipelajari ? diberikut penjelasannya..
Anggapan keliru tentang wali :
Wali harus punya kromah. senantiasa mempunyai kesaktian yang sanggup                       dipergunakan sewaktu-waktu sekehendak dia.
Banyak anggapan di masyarakat bahwa seorang wali itu mesti mempunyai karomah yang faktual bahkan bisa dipertontonkan kepada khalayak ramai. Seperti tahan pedang dan sebagainya. Tapi sebetulnya itu tiruana ialah tipuan setan. Seorang wali boleh jadi ia didiberi karomah yang faktual boleh jadi tidak, tapi karomah yang paling besar di sisi wali ialah istiqomah dalam menjalankan aliran agama, bukan berarti kita mengingkari adanya karomah tapi yang kita ingkari ialah perkiraan banyak orang bila ia tidak mempunyai karomah berarti ia bukan wali. Oleh alasannya ialah itu Abu ‘Ali Al Jurjaany berpesan: “Jadilah engkau penuntut istiqomah bukan penuntut karomah, sesungguhnya dirimu lebih condong untuk mencari karomah, danTuhanmu menuntut darimu istiqomah”.
Betapa banyaknya para sobat bersahabat yang ialah orang terdepan dalam barisan para wali tidak mempunyai karomah. Begitu pula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai hamba yang paling mulia di sisi Allah waktu berhijrah dia mengendarai unta bukan mengendarai angin, begitu pula dalam perperangan dia menggunakan baju besi bahkan pernah cedera pada waktu perang uhud. Karomah bukan sebagai syarat mutlak bagi seorang wali. Karomah didiberikan Allah kepada seseorang boleh jadi sebagai cobaan dan ujian baginya, atau untuk menambah keyakinannya kepada aliran Allah, atau pertolongan dari Allah terhadap orang tersebut dalam kesusahan.
Para ulama sebut seseorang yang tidak butuh kepada karomah lebih baik dari orang yang butuh kepada karomah. Bahkan kebanyakan para ulama salaf bila Mereka mendapat karomah justru Mereka bersedih dan tidak merasa gembira karena mereka takut bila hal tersebut ialah istidraaj (tipuan). Begitu pula mereka takut bila di alam abadi kelak tidak lagi mendapatkan jawaban amalan mereka setelah mereka mendapatkan waktu di dunia dalam bentuk karomah. Begitu pula bila mereka di diberi karomah, mereka justru menyembunyikannya bukan memamerkannya atau berbangga diri di hadapan orang lain.
ketahuilah, selain ada wali Alloh ada juga wali syaithon !!
wali syaiton ini lah yang mengelabuhi manusia, ia mendapatkan banyak sekali kemampuan guah karena bekerjasama dengan syaiton, naudzubillah. karena karomah dan sihir ada perbedaannya :
Karomah :
insiden di luar kebiasaan yang Allah anugerahkan kepada seorang hamba tanpa disertai akreditasi (pemiliknya) sebagai seorang nabi, tidak mempunyai penlampauan tertentu berupa doa, bacaan, ataupun dzikir khusus, yang terjadi pada seorang hamba yang shalih, baik dia mengetahui terjadinya (karamah tersebut) ataupun tidak, dalam rangka mengokohkan hamba tersebut dan agamanya. (Syarhu Ushulil I’tiqad, 9/15 dan Syarhu Al Aqidah Al Wasithiyah, 2/298 karya Asy Syaikh Ibnu Utsaimin—rahimahullah). Karomah itu tanpa dipelajari, dan tidak bisa diulang-ulang dan dimainkan sesuka hatinya dan tidak bisa diwariskan atau diturunkan (sebagaimana ilmu tenaga dalam, metafisik, dkk).
Sihir :
hadirnya dari syaiton dan bisa dipelajari, bisa diturunkan / diwariskan asalkan memenuhi persyaratan syaiton tsb. Apakah Setiap yang Di Luar Kebiasaan Disebut Karamah?
Sesuatu yang terjadi di luar kebiasaan, bisa dikelompokkan menjadi tiga:
- Mukjizat, terjadi pada para rasul dan nabi.
- Karamah, terjadi pada para wali Allah.
- Tipuan setan, terjadi pada wali-wali setan.(At Tanbihaatus Saniyyah hal. 312-313).
Lalu bagaimana membedakan antara karamah dan budi kancil setan? Tentunya, dengan mengenal sejauh mana keimanan dan ketakwaan masing-masing orang yang mendapatkan hal luar biasa tersebut, maka benarlah apa yang di ucapkan oleh Imam Syafi’i rohimahulloh.
Al Imam Asy Syafi’i—rahimahullah—berkata, “Apabila kalian melihat seseorang berjalan di atas air atau terbang di udara maka tidakbolehlah mempercayainya dan tertipu dengannya hingga kalian mengetahui bagaimana dia dalam mengikuti Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam.” (A’lamus Sunnah Al Manshurah hal. 193).
K.H. Hasyim Al Asy’ari—rahimahullah—(tokoh pendiri Nahdlatul Ulama, NU) berkata, “Barangsiapa yang mengaku sebagai wali Allah tanpa mengikuti sunnah, maka pengakuannya ialah kebohongan.” (Ad Durar Al Muntasirah, hal. 4).
2. Wali mengatahui yang ghoib ??!!
Maka keliru, pemahaman yang berkembang di masyarakat kita ketika ini, bahwa wali itu identik dengan ulama atau kyai yang mempunyai keajaiban dan ilmu yang guah-guah. Meskipun dia ialah seorang kyai yang banyak meninggalkan kewajiban syariat, pernyataannya sering merugikan dan menyakiti umat Islam, mengobok-obok syariat, bahkan menjadi penolong musuh-musuh Allah, Yahudi dan Nasrani.“Di sisi-Nya (Allah) segala kunci-kunci yang gaib, tiada yang sanggup mengetahuinya kecuali Dia (Allah)”. (QS. Al An’aam, ayat : 59). Dan firman Allah, “Katakanlah” :tiada seorang pun di langit maupun di bumi yang sanggup mengetahui hal yang gaib kecuali Allah”. (QS. An Naml, ayat: 65).
Termasuk para nabi dan rasul sekalipun tidak sanggup mengetahui hal yang gaib kecuali sebatas apa yang diwahyukan Allah kepada Mereka.  sepertiyang firman Allah kepada Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Katakanlah: Aku tidak menyampaikan kepada kalian bahwa di sisiku gudang-gudang rezeki Allah, dan saya pun tidak mengetahui hal yang gaib”. (QS. Al
An’aam, ayat: 50).
Dan firman Allah: “Katakanlah: saya tidak mempunyai untuk diriku manfaat dan tidak pula (menolak) mudarat, dan kalau seandainya saya mengetahui hal yang gaib tentulah saya akan (memperoleh) kebaikan yang amat banyak dan tidak akan pernah ditimpa kejelekan”. (QS. Al-A’raaf, ayat: 188).
Asumsi sesat ini sudah menjerumuskan banyak insan kejalan kesyirikan, sehingga Mereka lebih merasa takut kepada wali dari pada takut kepada Allah, atau meminta dan berdoa kepada wali yang sudah mati yang Mereka sebut dengan tawassul. Yang pada hakikatnya ialah kesyirikan semata. Karena meminta kepada makhluk ialah syirik. Tidak ada bedanya dengan kesyirikan yang dilakukan oleh kaum Nuh ‘alaihis salam. Dan orang-orang kafir Quraisy pada zaman jahiliyah. melaluiataubersamaini argumentasi yang sama bahwa Mereka para wali itu orang suci yang akan memberikan doa Mereka pada Allah.
Hal inilah yang dilakukan kaum musyrikin sebagaimana yang disebutkan Allah dalam firman-Nya: “Ingatlah; milik Allah-lah agama yang suci (dari syirik), dan orang-orang mengambil wali (pelindung) selain Allah berkata: kami tidak menyembah Mereka melainkan supaya Mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”. (QS. Az Zumar, ayat: 3).
3. Berlebihan kepada wali
Sesungguhnya menghormati wali bukanlah dengan berdoa di kuburannya, justru ini ialah perbuatan yang di benci wali itu sendiri karena sudah menyekutukannya dengan Allah. Manakah yang lebih tinggi kehormatan seorang wali di sisi Allah dengan kehormatan seorang nabi? Jelas nabi lebih tinggi. Jangankan meminta kepada wali kepada nabi sekalipun dilarang berdoa. Jangankan ketika setelah mati di waktu hidup saja nabi tidak bisa menhadirkan manfaat untuk dirinya sendiri, apalagi untuk orang lain setelah mati!. Kalau hal itu benar tentulah para sobat bersahabat akan berbondong-bondong ke kuburan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Mereka kekeenteng atau kelaparan atau ketika diserang oleh musuh. Tapi kenyataan justru sebaliknya, ketika paceklik terjadi di Madinah, Umar bin Khaththab mengajak kaum muslimin melaksanakan shalat istikharah kemudian menyuruh Abbas bin Abdul Muthalib berdoa, karena kedekatannya dengan Nabi, bukannya Umar meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena kehidupan dia di alam barzah tidak bisa disamakan dengan kehidupan di alam dunia.
Kemudian bentuk lain dari cara setan dalam menyesatkan wali-walinya ialah dengan memotivasi seseorang melaksanakan amalan-amalan bid’ah, sebagai pola kisah yang amat mashur yaitu kisah Sunan Kalijaga, kita tidak mengetahui apakah itu benar dilakukan dia atau kisah yang didustakan atas nama beliau, namun kita tidak mengingkari kalau memang dia seorang wali, yang kita cermati ialah kisah kewalian dia yang jauh dari tuntunan sunnah, yaitu dia bersemedi selama empat puluh hari di tepi sebuah sungai kemudian di selesai persemedian dia mendapatkan karomah. Kejanggalan pertama dari kisah ini ialah bagaimana dia melaksanakan shalat, kalau dia shalat berarti sudah meninggalkan shalat berjamaah dan shalat Jum’at? adakah petunjuk dari Rasulullah untuk mencari karomah dengan persemedian mirip ini? melaluiataubersamaini meninggalkan shalat atau meninggalkan shalat berjamaah dan shalat Jum’at.
Banyak orang berasumsi bila seseorang mempunyai atau sanggup melaksanakan hal-hal yang luar biasa dianggap sebagai wali. Padahal belum tentu, boleh jadi itu ialah tipuan atau sihir, atas menolongan setan dan jin setelah ia melaksanakan apa yang diminta oleh jin dan setan tersebut. Seperti ada orang yang bisa terbang atau berjalan di atas air atau tahan pedang atau bisa memdiberi tahu tentang sesuatu yang hilang, oleh alasannya ialah itu yang perlu dicermati dari setiap orang mempunyai halhal yang serupa ialah bagaimana amalannya apakah amalannya sehari-hari berdasarkan sunnah atau tidak?  Karena setan bisa membawa seseorang untuk terbang, atau memdiberi tahu para walinya sesuatu yang tidak dilihat oleh orang lain. sepertiyang Dajjal yang akan hadir di kiamat mempunyai kekuatan yang luar biasa. Begitu pula para kaum musyrikin sanggup mendengar bunyi dari berhala yang mereka sembah, pada hal itu ialah bunyi setan. Dan banyak sekali insiden yang luar biasa dimiliki oleh orang-orang yang sesat begitu pula orang yang murtad dsb. Yang ketiruananya ialah atas tipuan setan.
sepertiyang yang diriwayatkan dalam kisah seorang Nabi tiruan Mukhtar bin Abi ‘Ubaid, yang mengaku sebagai Nabi. Ia mengaku bahwa dia mendapatkan wahyu, kemudian seseorang berkata kepadaIbnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas: sesungguhnya Mukhtar mengaku diturunkan kepadanya wahyu? Dua orang sobat bersahabat tersebut menjawaban: benar, kemudian salah seorang dari Mereka membaca firman Allah: “Maukah engkau Aku diberitakan kepada siapa turunnya para setan? Mereka turun kepada setiap pendusta yang banyak dosa “. (Asy Syu’araa, ayat: 221-222). Dan yang lain membaca firman Allah, “Dan sesungguhnya para setan itu mewahyukan kepada wali-wali Mereka untuk membantahmu”. (QS. Al An’aam, ayat: 121).
Oleh alasannya ialah itu bila seseorang mendapat pandangan gres dia dilarang eksklusif percaya hingga ia mengukur kebenarannya dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Karena nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebut dalam sebuah hadits: “Sesungguhnya dalam diri anak Adam terdapat bisikan dari setan dan bisikan dari malaikat”. (HR. A t Tirmizy no. 2988).
Berkata Abu Sulaiman Ad Daraany: “Boleh jadi terbetik di hatiku apa yang terbetik di hati Mereka (orang-orang sufi) maka saya tidak menerimanya kecuali dengan dua saksi dari kitab dan sunnah.”
Rujukan:
1. Majmu’ Fatawa,Syaikh Islam Ibnu Taimiyah,Matbaah Riyad tahun 1382 H.
2. Attawassul wal Washilah,Ibnu Taimiyah cet.Daar Arabiyah Tahun 1390H
3. Tafsir Ibnu Katsir,cet.Daar Fikr 1389H
4. Ru'yatullah ,DR.Ahmad bin Nashr Al Hamd,cet.Ummul Quram1411H
5. Sirah Ibnu Hisyam, ,cet.Daar Fikr 1389H
  1. Nurul Mukhlisin Asyaraf : http : Almanhaj.or.id/content/3053/slas/0 )


Posting Komentar untuk "Akhlak Tasawuf"