Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer
Menampilkan postingan yang diurutkan menurut relevansi untuk kueri pengertian-lingkaran. Urutkan menurut tanggal Tampilkan semua postingan
Menampilkan postingan yang diurutkan menurut relevansi untuk kueri pengertian-lingkaran. Urutkan menurut tanggal Tampilkan semua postingan

Ushul Fiqihpengertian Ushul Fiqh Ushul Yaitu Jamak Dari Kata Ashl Yang Berarti Dasar, Asal, Atau Pangkal, Yaitu Sesuatu Yang Di Atasnya Didirikan Sesuatu Yang Lain. Kadang-Kadang Kata Ashl Diartikan Dengan : Pokok, Peraturan, Atau Sumber. Para Hebat Ushul Fiqh Memakai Kata Ashl Dalam Arti : 1. Al-Qa’Idah Al-Kulliyah اَلَقاعِدَةَ اْلكُلِّيَة= Kentuan Yang Umum ), Menyerupai Dalam Ungkapan : اِبَاحَةُ الْمَيْتَةُ الْمَضَّطِرِخِلَافُ الْاصَل “Kebolehan Memakan Bangkai Bagi Orang Yang Terpaksa Menyelisihi Asal”. ( Al-Ashl Di Sini Berarti Ketentuan Umum). Ketentuan Umum Menyampaikan : كل المىة حرم “Setiap Bangkai Yaitu Haram Ketentuan Umum Ini Di Ambil Dari Firman Allah Swt. Dalam Surah Al-Baqarah (2) Ayat 173: انما حرعلىكم المىتة “Sesungguhnya Allah Mengharamkan Atas Kau Bangkai” 2. اَلزَاجِىعْ (Yang Kuat), Menyerupai Qaidah Ushul: A. الاصل فى الكلام الحقيفه ”Yang Asal ( Yang Kuat) Pada Suatu Perkataan Itu Yaitu Hakekatnya.” (Maksudnya: Pengertian Yang Besar Lengan Berkuasa Dalam Memutuskan Pengertian Suatu Perkataan Yaitu Arti Hakikinya, Bukan Arti Majazinya) 3. اَلْمُتَصْحَبُ(Yang Terus Berlaku), Menyerupai Dalam Ungkapan Qaidah Berikut : اَلْاصْلُ بَقاءُ مَاكاَنَ عَلَى مَاكَانَ “Asal (Yang Terus Berlaku) Itu Yaitu Tetapnya Sesuatu Yang Telah Ada Atas Sesuatu Yang Telah Ada”. 4. اَلَّولِيْل(Dalil/Dasar Hukum). Termasuk Dalam Istilah Dalil Ini Yaitu : Al-Qur’An, As-Sunnah, Al-Ijma’, Al-Qiyas, Dan Dalil-Dalil Lainnya Yang Digunakan Oleh Mazhab –Mazhab Tertentu. 5. اَلْمَقِيْسَ عَلَيْهِ(Pembanding/Alat Ukur/Standar) Kata Al-Ashl Dimaksud Sebagai Alat Pembanding Antara Sesuatu Yang Belum Ada Hukumnya Dan Yang Telah Terperinci Ada Hukumnya. Contohnya : Khamar ( Haram ) Fiqih Kata Ini Merupakan Bentuk Mashdar (Gerund) Dari Kata Kerja (Verb) فقىهَ يَقَىهُ Faqiha Yafqahu. Arti Asalnya Yaitu Al-‘Ilm (Pengetahuan) Dan Al-Fahm (Pemahaman). Pengertian Fiqih Berdasarkan Bahasa : • Al-Jurjani Menyampaikan : Kata Fiqh Berdasarkan Bahasa ; Memahami Maksud Pembicara Dari Perkataannya. • Debu Zahrah Menyampaikan ; Paham Secara Mendalam Dan Tuntas, Berbeda Dengan Al-Fahmu (Paham) Kesimpulan ; Fiqh Berdasarkan Bahasa Yaitu Pengetahuan, Pemahaman, Dan Pengertian Terhadap Sesuatu Secara Mendalam. Pengertian Fiqh Berdasarkan Istilah : • Berdasarkan Debu Zahrah اَلْعِلْمُ بِالْاَحكام الشَّرِيَعَةِ الْعَمَلِيْةِ مِنْ اَدِ لَّتِهَا التَّفْضِلَّيْىة ”Ilmu Yang Menunjukan Segala Aturan Syara’ Yang Amali Yang Diambil Dari Dalil-Dalilnya Yang Tafshili.” • Abdul Wahab Khallaf اَلْعِلْمُ بِالْاَ حْكَامُ الشَرِيْعَةُ الْعَمَلِيَةِ الْمُكْتَسَبِ مِنْ اَدْ لِتَهَا التَفْصِيِليَّةْ “Ilmu Yang Menunjukan Hukum-Hukum Syara’ Yang Amali Yang Diusahakan Dari Dalil-Dalilnya Yang Tafshili Dalam Al-Qur’An.” Pengertian Ushul Fiqh Secara Idhafi Pengertian Idhafi (Bersandar) Yaitu Pengertian Yang Di Ambil Dari Kata-Kata Sebagai Suatu Rangkaian Kata-Kata Yang Membentuk Istilah Khusus. Secara Idhafi, Kata Ushul Fiqh Berarti Sesuatu Yang Di Atasnya Dibangun Fiqh Atau Dengan Kata Lain Dasar-Dasar (Sendi-Sendi Yang Di Atasnya Di Dirikan Hukum-Hukum Syara’ Yang Amali. Atas Dasar Ini Ilmu Fiqh Sering Disebut Ilmu Furu’ (Cabang) Sebagai Imbangan Bagi Ilmu Ushul (Ushul Fiqh). Pengertian Ushul Fiqh Secara Ilmiah Yaitu Pengertian Yang Di Ambil Dari Rangkaian Kata-Kata Yang Digunakan Sebagai Nama Bagi Suatu Ilmu Tertentu. • Imam Al-Ghazali : عِبَارَةُ عَنْ اِدِلَّتِةِ هَذِهِ الَّاحَكَامْ وَعَنْ مَعْرِفَهِ وُجُوهُ دَلَالْتِهَا عَلَى الْاَحْكَامُ مِنْ حَيْثُ الحُمْلَة لَا مِنْ حَيْثُ التَفْصِىِل “Pengetahuan Perihal Dalil-Dalil Aturan (Hukum Syara’ Yang Amali) Serta Pengetahuan Perihal Dalil-Dalil Dari Segi Dalalahnya (Petunjuknya) Kepada Aturan Secara Global, Tidak Terperinci.” • Abu-Zahrah : اصُوْلُ الفِقْىة هُوَ العِلْمُ بِالقَوَاعِدِ اَلْتِى تَرْسُمُ الْمَنَاهِجْ لَاسْتَنَبَاطِ الاحَكَامُ العَمَلَىةِ مِنْ اِدِ لِتِها التفصىلىة “Ushul Fiqh Ialah Ilmu Perihal Kaidah-Kaidah Yang Memperlihatkan Citra Perihal Metode-Metode Untuk Mengistimbatkan Hukum-Hukum Yang Amali Dari Dalil-Dalilnya Yang Tafshili.” • Abdul Wahab Khallaf الْعِلْمُ بِالِقَواعِدْوَالْبَحُوْثِ اَلَّتِى يَتُوصل بِهَا إِلَى اِسْتِفَادَةٌ اِلأَحكام اشَرِعَيْةُ العَمَلَىةِ مِنْ اَدِاتِهَا التَفْصِيْلِيْىة “Ilmu Perihal Kaidah-Kaidah Dan Pembahasan-Pembahasan Yang Digunakan Sebagai Alat Untuk Memperoleh Hukum-Hukum Syara’ Yang Amali Dari Dalil-Dalilnya Yang Tafshili.” Objek Ilmu Ushul Fiqh Objek Ilmu Ushul Fiqh Yaitu Dalil-Dalil Syara’Dari Segi Penunjukkannya Kepada Aturan Bagi Perbuatan Para Mukallaf. Ilmu Ushul Fiqh Membicarakan Dan Menyidik Perihal Keadaan-Keadaan Dalil-Dalil Syar’I Serta Menyidik Pula Bagaimana Caranya Dalil-Dalil Tersebut Memperlihatkan Hukum-Hukum Yang Bekerjasama Dengan Perbuatan Para Mukallaf. Perbedaan Ushul Fiqh Dengan Fiqh Ushul Fiqh Merupakan Timbangan Atau Ketentuan Umum Untuk Istimbat Aturan Dan Objeknya Yaitu Dalil Hukum. Sedangkan Objek Fiqh Yaitu Perbuatan Mukallaf Yang Diberikan Status Hukum. Prof. Dr. Mukhtar Yahya Dan Prof. Drs. Fatchurrahman Mendefinisikan • Ilmu Fiqh Yaitu Sekelompok Aturan Perihal Amal Perbuatan Insan Yang Diambil Dari Dalil-Dalil Yang Terperinci. • Ilmu Ushul Fiqh Yaitu Ilmu (Pengetahuan) Dari Hal Qaidah-Qaidah Dan Pembahasan-Pembahasan Yang Sanggup Membawa Kepada Pengambilan Hukum-Hukum Perihal Amal Perbuatan Insan Dari Dalil-Dalil Yang Terperinci. Tujuan Mempelajari Ilmu Ushul Fiqh Biar Para Mujtahid Sanggup Mengistimbatkan Aturan Terhadap Masalah-Masalah Yang Muncul Di Tengah-Tengah Masyarakat Yang Tidak Ada Nashnya Yang Terperinci Didalam Al-Qur’An Atau As-Sunnah. Kegunaan Ilmu Ushul Fiqh • Untuk Mengetahui Hukum-Hukum Syara’, Baik Dengan Jalan Yakin (Pasti) Maupun Dengan Jalan Dzan (Dugaan Kuat). • Untuk Menghindari Taqlid. Ruang Lingkup Pembahasan Ushul Fiqh A. Hukum-Hukum Syara’ (Mahkumbih) Menyerupai : Wajib, Haram, Nadb, Karahah, Ibahah, Hasan, Qabih, Qadha, Ada’A, Sah, Fasad, Azimah, Rukhshah, Dll. - Hakim, Pembuat Syari’At Islam (Allah Swt). - Al-Mahkum ‘Alaih, Yaitu Para Mukallaf (Subjek Hukum) - Al-Mahkum Fih, Perbuatan Para Mukallaf (Objekk Hukum) Dalil-Dalil Syara’ Atau Sumber-Sumber Aturan Yang Disepakati Oleh Ulama Ushul Fiqh - Al-Qur’An - As-Sunnah - Ijma’ - Qiyas Sebagaimana Halnya Para Ulama Telah Sepakat Bahwa Dalil-Dalil Tersebut Yaitu Alat Intidlal (Menetapkan Dalil Suatu Masalah) Juga Para Ulama Telah Sepakat Perihal Tertib Dalam Jenjang Istidlal Dari Dalil-Dalil Tersebut. Buktinya Tercantum Dalam Surah An-Nisaa’ [4]: 59                                Artinya: “Hai Orang-Orang Yang Beriman, Taatilah Allah Dan Taatilah Rasul (Nya), Dan Ulil Amri Di Antara Kamu. Kemudian Kalau Kau Berlainan Pendapat Perihal Sesuatu, Maka Kembalikanlah Ia Kepada Allah (Al Quran) Dan Rasul (Sunnahnya)”. Perintah Untuk Mengikuti Allah Dan Rasul-Nya Yaitu Perintah Untuk Mengikuti Al-Qur’An Dan Sunnah. Sedangkan Perintah Mentaati Orang Yang Memegang Kekuasaan Ialah Perintah-Perintah Untuk Mengikuti Hukum-Hukum Yang Dibuat Dan Disetujui Oleh Badan-Badan Yang Memiliki Kekuasaan Membuat Undang-Undang Dari Golongan Kaum Muslim. Adapun Perintah Untuk Memulangkan Kasus Yang Diperselisihkan Kepada Allah Dan Rasulnya Yaitu Perintah Untuk Memakai Analogi/Qiyas. Selama Tidak Ada Nash Dan Ijma’. Yang Dimaksud Dengan Tertib Jenjang Istidlal, Al-Qur’An, Al-Sunnah, Al-Ijma, Dan Al-Qiyas Ialah Apabila Terdapat Suatu Duduk Kasus Di Dalam Al-Qur’An Kalau Hukumnya Sudah Ada Dalam Al-Qur’An Maka Ditetapkan Ialah Aturan Itu Sesuai Dengan Petunjuk Al-Qur’An Tersebut. Tetapi Apabila Ketetapan Hukumnya Tidak Ditemukan Dalam Al-Qur’An Barulah Beralih Kepada As-Sunnah. Bila Diturunkan Hukumnya Didalam As-Sunnah, Maka Ditetapkanlah Aturan Tersebut Berdasarkan As-Sunnah Tersebut. Kalau Tidak Ada Nash As-Sunnah Yang Ditetapkan, Maka Dicari Permasalahan Tersebut Kepada Para Mujtahid Yang Menjadi Kesepakatan Bersama (Ijma). Kalau Duduk Kasus Tersebut Didapatkan Dalam Ijma Maka Diputuskan Berdasarkan Ketentuan Ijma Tersebut. Kalau Tidak Ditemukan Duduk Kasus Aturan , Duduk Kasus Ijma, Maka Hendaknya Gunakan Al-Qiyas. Adapun Sebagai Dasar Aturan Keharusan Menertibkan Jenjang Beristidlal Dengan 4 Macam Dalil Aturan Tersebut Di Atas Yaitu : - Wawancara Rasulullah Saw Dengan Muas Bin Jabar, Ketika Ia Dilantik Menjadi Gebernur Yaman كَيْفَ تَقْضِ اِذَ اعَرَضَ لَكَ القَضَاءَ Bagaimana Kau Merumuskan Kasus Dalam Suatu Permasalahan. قَالَ: اَقْضِ بِكِتَابِ الَّهِa قَالَ: فَإِانْ لَّمْ تَجِدُ كِتَابَ الَّهَ؟ قَالَ: فَسنة رسول الله قَالَ: فَاِنْ لَّمْ تَجِدُ فِى سَنَهَ رَسُوْلُ قَاَل: اجتهد راى وَلَااَلُو فَضَرَبَ رَسُوْلُ صَلَعَم صَدَرَهَ وَقَالَ اَلْحَمْدُ للَّهِ وَفَقَ رَسُوْلَ للهِ لِمَا يُرْضِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ - Berkata : Saya Memutuskan Kasus Tersebut Berdasarkan Utusan Allah (Al-Qur’An) - Kalau Tidak Ditepati Dalam Kitab Allah (Al-Qur’An) - Berkata : Temukan Dalam Sunnah Rasulullah - Kalau Tidak Kau Temukan Dalam Sunnah Rasul Bagaimana Caranya. - Muas Berkata : Saya Memakai Pikiranku Dan Saya Tidak Akan Meninggalkannya, Kemudian Rasulullah Saw Menepuk Dadanya Seraya Menuju Katanya : Alhamdulilah Telah Kami Beri Taufik Kepada Utusan Rasulullah Sesuai Dengan Apa Yang Diridhoi Oleh Allah Dan Rasulnya. Sumber Aturan  Al-Qur’An Yaitu Kalam Allah Yang Diturunkan Kepada Nabi Muhammad Saw Dalam Bahasa Arab Dengan Mediator An Malaikat Jibrail Sebagai Hujjah/Argumentasi Dalam Mendakwahkan Kerasulannya Dan Sebagai Pedoman Hidup Bagi Insan Yang Sanggup Digunakan Untuk Mencari Kebahagian Hidup Didunia Dan Diakhirat Serta Sebagai Media Untuk Bertakarruf (Mendekatkan Diri) Kepada Allah Dengan Membacanya. Dia Ditulis Antara 2 Pimpinan Mushaf Diawali Dengan Surah Al-Fatihah Dan Diakhiri Dengan Surah An-Nas. Al-Qur’An Terpelihara Dari Perubahan Dan Pergantian Kata Menyerupai Yang Difirmankan Oleh Allah Untuk Menjaminnya Dalam Surah Al-Hijr : 9       •   Artinya: “Sesungguhnya Kami-Lah Yang Menurunkan Al Quran, Dan Bahwasanya Kami Benar-Benar Memeliharanya.” Ayat Ini Memperlihatkan Jaminan Perihal Kesucian Dan Kemurnian Al Quran Selama-Lamanya. • Keistimewaan Al-Qur’An Ialah Bahwa Lafadz Dan Maknanya Berasal Dari Allah. Lafadznya Yang Berbahasa Arab Itu Dimasukkan Oleh Allah Kedalam Dada Nabi Muhammad Dan Dia Membacanya Dan Terus Menyampaikannya Kepada Umat. Berdasarkan Ketentuan Tersebut Maka Ada 3 Hal Yang Bukan Termasuk Al-Qur’An Yaitu ; A. Pengertian Yang Di Ilhamkan Oleh Allah Kepada Rasul, Kemudian Rasul Sendiri Yang Menyusun Redaksinya Untuk Disampaikan Kepada Umat Disebut Dengan Hadits Qudsi. B. Tafsir Ayat/Surah Al-Qur’An Yang Memakai Bahwa Arab Sebagai Sinonim/Mirodif Dari Lafadznya Bukan Juga Disebut Al-Qur’An. C. Terjemahan Ayat/Surah Al-Qur’An Yang Memakai Bahasa Asing, Yang Tidak Bias Digunakan Untuk Sholat. • Keistimewaan Al-Qur’An Yang Lainnya Bahwa Al-Qur’An Itu Hingga Kepada Kita Secara Mutawatir, Dengan Cara Penyampaian Yang Menjadikan Keyakinan Lantaran Disampaikan Oleh Sekian Banyak Orang Yang Tidak Mungkin Mereka Itu Berbohong Atas Dasar Inilah Maka Sebagian Bacaan Al-Qur’An Yang Disampaikan Oleh Sebagian Sobat Yang Tidak Dengan Jalan Mutawatir. Misalnya; Ada Seorang Sobat Yang Menyampaikan Bahwa Lafadz (Waarjulakum) Mutawatir. Dalam Surah Al-Maidah : 6 Sanggup Dibaca Dengan (Waarjulikum) Tidak Mutawatir Bukanlah Dianggap Bacaan Al-Qur’An Yang Mutawatir. - Q.S Al-Maidah : 6                   Artinya: “Hai Orang-Orang Yang Beriman, Apabila Kau Hendak Mengerjakan Shalat, Maka Basuhlah Mukamu Dan Tanganmu Hingga Dengan Siku, Dan Sapulah Kepalamu Dan (Basuh) Kakimu Hingga Dengan Kedua Mata Kaki.” Lantaran Itu Hukum-Hukum Yang Di Istimbatkan Dari Bacaan (Waarjulikum) Bukanlah Aturan Dari Al-Qur’An. Sebagaimana Kita Ketahui Kalau Dibaca (Waarjulikum) Sebagai Makhfuq (Atap=Penghubung Dengan Lafadz Biurusikum Yang Mendahuluinya, Maka Aturan Yang Di Istimbatkan Dari Bacaan Tersebut Yaitu Kewajiban Menyapu Kaki Dengan Air Dalam Berwudhu, Bukan Membasuhnya. Sedang Kalau Dibaca (Waarjulakum) Sebagai Makhfuq (Atap =Penghubung) Dengan Lafadz واىدىكمyang Mendahului (برؤسكم) Maka Kewajiban Seorang Berwudhu Yaitu Membasuh Kakinya Dengan Air Hingga Mata Kaki. • Macam- Macam Aturan Dalam Al-Qur’An 1. Hukum-Hukum I’Tiqadiah Yakni Hukum-Hukum Yang Berkaitan Dengan Kewajiban Para Mukallaf Untuk Mempercayai Allah, Malaikat-Malikatnya, Kitab-Kitabnya, Rasul-Rasulnya Dan Hari Pembalasan ( Rukun Iman) 2. Hukum-Hukum Moral Yakni Tingkah Laris Yang Bekerjasama Dengan Para Mukallaf Untuk Menghiasi Dirinya Dengan Sifat Keutamaan Dan Menjauhkan Diri Dari Sifat-Sifat Yang Tercela. 3. Hukum-Hukum Amaliyah Yakni Dengan Bersangkutan Dengan Perkataan, Perbuatan, Perjanjian, Dan Muamalah (Kerja Sama) Sesame Manusia. Yang Ketiga Inilah Yang Disebut Dengan Pikhul Qur’An.Dan Inilah Hendak Dicapai Oleh Ilmu Ushul Fiqih (Ilmu Fiqh). Hukum-Hukum Amaliyah Dalam Al-Qur’An Itu Terdiri Dari 2 Macam : 1. Aturan Ibadah Menyerupai : Sholat, Puasa, Zakat, Dan Haji Sebagainya. Hukum-Hukum Ini Diciptakan Dengan Tujuan Untuk Mengatur Kekerabatan Allah Dengan Hambanya. 2. Hukum-Hukum Muamalat Menyerupai : Segala Macam Perikatan Transaksi-Transaksi Kebendaan,Jinayah Dan Rukubat (Hukum Pidana Dan Sangsi-Sangsinya). Aturan Muamalah Ini Diciptakan Dalam Tujuan Untuk Mengatur Kekerabatan Insan Dengan Insan Baik Sebagai Perorangan/Pun Sebagai Anggota Masyarakat. Amaliyah ↓ Allah → Kekerabatan Vertikal, Allah Dengan Hambanya (Ibadat) ↓ Hamba→ Kekerabatan Horizontal, Sesama Hamba (Muamalat) Dalalah (Petunjuk Ayat-Ayat Al-Qur’An) Nash-Nash Al-Qur’An Itu Ditinjau Dari Sisi Petunjuk (Dalalahnya) Terhadap Hukum-Hukum Terbagi Kepada 2 Macam : 1. Qathiyyud Dalalah Yang Dimaksud Dengan Nash Yaitu Nash Yang Memperlihatkan Arti Yang Terperinci Sekali Untuk Dipahami Sehingga Nash Itu Tidak Sanggup Dita’Wilkan (Dirubah, Dipindah, Dinamai) Dan Dipahami Dengan Arti Yang Lain. Contohnya Firman Allah Swt, Dalam Surah An-Nisa : 12         . Artinya: “Dan Bagi Kau (Suami-Suami) Seperdua Dari Harta Yang Ditinggalkan Oleh Isteri-Isterimu, Kalau Mereka Tidak Memiliki Anak.” Dalalah Ayat Tersebut Yaitu Qathi Yakni Terperinci Sekali Hingga Dilarang Dita’Wilkan Dan Dipahami Berdasarkan Arti Selain Yang Ditunjuk Oleh Ayat Itu Sendiri. Dengan Demikian Potongan Suami Dalam Mewarisi Harta Istrinya Yang Meninggal Dengan Tidak Memiliki Anak Ialah Separo Harta Peninggalan (1/2) Tidak Lebih Dan Tidak Kurang. 2. Zhanniyyud Dalalah Nash Yang Memperlihatkan Kepada Arti Yang Masih Sanggup Dita’Wilkan/Dialihkan Kepada Arti Yang Lain. Pola : Firman Allah Qs. Al-Baqarah : 228      Artinya: “Wanita-Wanita Yang Ditalak Handaklah Menahan Diri (Menunggu) Tiga Kali Quru.” Quru' Sanggup Diartikan Suci Atau Haidh. Lafadz Quru’ Dalam Bahasa Arab Disebut Lafadz Musytarak (Bersyarikat) Yang Mengandung Beberapa Pengertian Yaitu Lafadz Yang Memiliki Arti Lebih Dari Satu, Dalam Ayat Tersebut Sanggup Berarti Suci/Haid. Lafadz Quru’ ↗Suci (Imam Safi’I) ↘ Haid (Imam Hanafi) Atas Dasar Itulah Para Mujtahid Berbeda Pendapatnya Dalam Memutuskan Lamanya Iddah Perempuan Yang Dithalaq Oleh Suaminya Dalam Keadaan Tidak Hamil/Bukan Lantaran Ditinggal Mati Oleh Suaminya, Iddah Hingga Dia Melahirkan. Ada Sebagian Mujtahid Yang Memutuskan Iddah Perempuan Tersebut Yaitu 3 Kali Suci, Perbedaan Ketentuan Masa Iddah Tersebut Akan Menjadikan Konsekwensi Aturan Perbedaan Lamanya Masa Iddah. Haid→Maka Iddahnya Akan Pendek Suci →Maka Iddahnya Akan Lebih Panjang  As- Sunnah Berdasarkan Istilah Syar’I Ialah Sabda, Perbuatan, Dan Taqririyyah (Persetujuan Yang Berasal Dari Rasulullah Saw) Sesuai Dengan 3 Hal Tersebut Diatas Yang Disandarkan Oleh Rasulullah Saw Maka Sunnah Itu Sanggup Dibedakan 3 Macam : 1. Sunnah Qauliyyah (Perkataan) 2. Sunnah Fi’Liyyah (Perbuatan) 3. Sunnah Taqririyyah (Persetujuan) Sunnah Qauliyyah Yaitu Sabda Yang Disampaikan Oleh Nabi Dalam Banyak Sekali Macam Tujuan Dan Kejadian. Misalnya: Sabda Dia : لاَ ضَرَرَوَلَاضِرِارَ( رواة مالك) “Tidak Ada Kemudratan Dan Tidak Pula Memudaratkan” Sunnah Qauliyyah Yang Bertujuan Memperlihatkan Sugesti Kepada Umat Islam Biar Tidak Membuat Kemudaratan Kepada Dirinya Sendiri Dan Orang Lain. Dengan Demikian Hadits Nabi : هُوَ الَطَهُوْرُ مَاؤُهُ اَلْحِلُّ مَيْتَةُ ( رواه الخمسة) “ Ia Suci Airnya Lagi Halal Bangkainya “ Ini Yaitu Sunnah Qauliyyah Yang Menjelaskan Kesucian Air Maritim Serta Halalnya Ikan-Ikan Yang Mati Didalamnya Walaupun Tanpa Disembelih (Boleh Dimakan Tanpa Disembelih) Sunnah Fi’Liyyah Yaitu Segala Tindakan Rasulullah Saw Sebagai Rasul. Misalnya: Tindakan Dia Mengerjakan Sholat Lima Waktu Dengan Menyempurnakan Cara-Caranya, Syarat-Syaratnya, Dan Rukun-Rukunnya, Juga Menjalankan Ibadah Haji Dll. Sunnah Taqririyyah Yaitu Perkataan/Perbuatan Sebagian Sobat Yang Telah Disetujui Rasulullah Saw/Tidak Dibantahnya/Disetujui Oleh Rasul Melalui Ujian Yang Baik. Persetujuan Dia Terhadap Perbuatan Yang Dilakukan Oleh Sobat Itu Dianggap Sebagai Perbuatan Yang Dilakukan Oleh Dia Sendiri. Pola : Contohnya Periwayatan Salah Seorang Sobat Yang Menceritakan Bahwa Ada 2 Orang Sobat Yang Bepergian. Setelah Tiba Waktu Shalat Mereka Bertayamum Lantaran Tidak Mendapatkan Air, Setelah Itu Mereka Melanjutkan Perjalanan Kembali Ditengah Jalan. Mereka Mendapatkan Air, Sedang Waktu Shalat Masih Ada, Kemudian Salah Seorang Dari Mereka Berwudhu Dan Mengulang Shalatnya, Sedang Yang Lain Tidak. Ketika Kedua Orang Tersebut Melaporkan Kepada Rasullulah Saw. Apa Yang Telah Mereka Lakukan, Maka Dia Membenarkan Tindakan Yang Telah Mereka Lakukan Masing-Masing. Dia Berkata Kepada Orang Yang Mengulang Shalatnya, Kau Bakal Memperoleh 2 Pahala. Sedang Kepada Orang Yang Tidak Mengulang Shalatnya Nabi Berkata, Perbuatanmu Sudah Sesuai Dengan Sunnah Lantaran Itu Shalat Yang Sudah Kau Kerjakan Itu Sudah Cukup. Nisbah (Hubungan As-Sunnah Dengan Al-Qur’An) Adapun Nisbah As-Sunnah Dari Segi Materi Aturan Yang Terkandung Didalamnya Ada 3 Macam : A. Muakkid (Menguatkan) Menguatkan Aturan Yang Telah Ditetapkan Dalam Al-Qur’An. Dengan Demikian Aturan Tersebut Ditetapkan Oleh 2 Sumber Aturan Yaitu : Al-Qur’An Sebagai Sumber Yang Memutuskan Hukumnya Dan As-Sunnah Sebagai Sumber Yang Menguatkannya. Misalnya: Shalat Dan Zakat Telah Ditetapkan Hukumnya Dalam Al-Qur’An An-Nisa : 77     “Dirikanlah Sembahyang Dan Tunaikanlah Zakat.” - Berpuasa Telah Ditetapkan Hukumnya Oleh Allah Dalam Qs. Al-Baqarah : 183                Artinya:“Hai Orang-Orang Yang Beriman, Diwajibkan Atas Kau Berpuasa Sebagaimana Diwajibkan Atas Orang-Orang Sebelum Kau Biar Kau Bertakwa”. - Dan Menunaikan Haji Telah Ditetapkan Hukumnya Dalam Qs. Ali-Imran : 97   ••. . . . Artinya: . . . .Mengerjakan Haji Yaitu Kewajiban Insan Terhadap Allah, Yaitu (Bagi) Orang Yang Sanggup Mengadakan Perjalanan Ke Baitullah”. Dan Kemudian Perbuatan-Perbuatan Tersebut Dikuatkan Oleh Rasulullah Dalam Sabda Dia Ketika Berdialog Dengan Malaikat Jibril. قال ىامحمد احبرى عن الاسلام, فققالل رسول الله صلعم الاسلام ان تشهد ان لااله الاالله وان محمدا رسولالله, وتقىم الصلاة, وتؤتى الزكاة, وتصوم رممضان, والتحبح البىت ان ستطعت الىه سبىلا. “ Malaikat Jibril Bertanya: “Wahai Muhammad, Terangkan Padaku Perihal Islam ! Jawab Muhammad : ”Islam Itu Ialah Persaksianmu Bahwa Tiada Dewa Selain Allah Dan Muhammad Itu Pesuruh Allah, Tindakanmu Mendirikan Sembahyang, Pembayaranmu Atas Zakat, Berpuasamu Di Bulan Ramadhan Dan Pergi Hajimu Ke Baitullah Bila Kau Bisa Melaksanakan Perjalanan Ke Daerah Itu“( Rw. Muslim) - Keharaman Menserikatkan Allah, Menyakiti Hati Kedua Orang Tua, Dan Bersaksi Palsu Telah Ditetapkan Oleh Allah Dalam Al-Qur’An : • Qs. Luqman : 13           Artinya: “Ketika Luqman Berkata Kepada Anaknya, Di W Aktu Ia Memberi Pelajaran Kepadanya: Hai Anakku, Janganlah Kau Mempersekutukan Allah, Bahwasanya Mempersekutukan (Allah) Yaitu Benar-Benar Kezaliman Yang Besar. • Qs. Al-Isra' : 23            Artinya: …….. Maka Sekali-Kali Janganlah Kau Menyampaikan Kepada Keduanya Perkataan Ah Dan Janganlah Kau Membentak Mereka Dan Ucapkanlah Kepada Mereka Perkataan Yang Mulia. Mengucapkan Kata’Ah’ Kepada Orang Renta Tidak Dibolehkan Oleh Agama Apalagi Mengucapkan Kata-Kata Atau Memperlakukan Mereka Dengan Lebih Bergairah Dari Pada Itu. • Q.S Al-Hajj : 30     Artinya: ….. Dan Jauhilah Perkataan-Perkataan Dusta. Maksudnya Antara Lain Ialah: Bulan Haram (Bulan Zulkaidah, Zulhijjah, Muharram Dan Rajab), Tanah Haram (Mekah) Dan Ihram. Kemudian Larangan-Larangan Tersebut Dikuatkan Oleh Sabda Rasulullah Saw : أَلَاأُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَاءِرِ- ثَلَاثًا- قُلْنَا بَلَى يَا رَسُوْللهِ. قَاَل: اَلْاِشِرَاكُ بِاللهِ, وَعُقُوْقُ الْوَالِدَيْنِ, وَكَانَ مُتْكِىَا فَجَلَسَ فَقَالَ: اَلَاوَقَوْلُ الزُّوْرِ وَشَهَادَةُ الزُّوْرِ, فَمَازَالَ يُكَرِّرُهَا حَتَّى قُلْنَا لَيْلتَهُ سَكَتَ. Artinya: “ Perhatikanlah! Saya Akan Menunjukan Kepadamu Sekalian Sebesar-Besar Dosa Besar” (Diucapkan 3 Kali).“Baiklah Hai Rasulullah!”Sahut Kita Semua. “Mempersekutukan Allah, Mendurhakai Kedua Orang Tua, “Konon Rasulullah Di Dikala Itu Sedang Bersandar, Kemudian Duduk Dan Seraya Bersabda: “Ingat, Perkataan Dan Persaksian Palsu. ”Rasulullah Mengulang-Ulanginya Hingga Saya Meminta Semoga Dia Diam.”( Rw. Bukhari-Muslim) A. Memperlihatkan Keterangan (Bayan) Terhadap Ayat-Ayat Al-Qur’An. Dalam Hal Ini Ada 3 Macam Penjelasan. Yakni : 1. Memperlihatkan Perincian Ayat-Ayat Yang Masih Mujmal (Tafshilulmujmal). Contohnya : Perintah Sembahyang Dalam Qs. An-Nisa : 103    •      •  Artinya: “Maka Dirikanlah Shalat Itu (Sebagaimana Biasa). Bahwasanya Shalat Itu Yaitu Fardhu Yang Ditentukan Waktunya Atas Orang-Orang Yang Beriman”. Kemudian Rasulullah Saw Menunjukan Waktu-Waktu Shalat, Jumlah Rakaatnya, Syarat-Syarat Dan Rukun-Rukunnya Dengan Mempraktekkan Sembahyang Kemudian Setelah Itu Bersabda Kepada Para Sobat : صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِىْ أُصَلِّى (رواه البخارى) Bersembahyanglah Kau Menyerupai Yang Kau Lihat Bagaimana Saya Mengerjakan Sembahyang.(Hr. Bukhari) 1. Membatasi Kemutlakannya (Taqyidul Mutlak) Contohnya : Al-Qur’An Membolehkan Kepada Orang Yang Akan Meninggal Wasiat Atas Harta Peninggalannya Berapa Saja Dengan Tidak Dibatasi Maksimalnya, Dalam Firman-Nya, Q.S An-Nisa : 12         Artinya: …….Sesudah Dipenuhi Wasiat Yang Mereka Buat Atau (Dan) Seduah Dibayar Hutangnya”. Memberi Mudharat Kepada Waris Itu Ialah Tindakan-Tindakan Seperti: A. Mewasiatkan Lebih Dari Sepertiga Harta Pusaka. B. Berwasiat Dengan Maksud Mengurangi Harta Warisan. Sekalipun Kurang Dari Sepertiga Bila Ada Niat Mengurangi Hak Waris, Juga Tidak Diperbolehkan. Kemudian Rasulullah Memperlihatkan Batasan Maksimal Wasiat Yang Dibolehkan Dalam Suatu Dialognya Dari Sobat Sa’Ad Bin Abi Waqqash Yang Meminta Biar Diperkenankan Berwasiat 2/3 Harta Peninggalannya. Setelah Permintaaan Wasiat Sebesar Itu Ditolak Oleh Beliau, Dikala Minta Diperkenankan Minta Berwasiat ½ Dari Permintaannya Dan Setelah Undangan Ini Sudah Ditolak Oleh Rasul.Lalu Sa’Ad Minta Diperkenankan Memperlihatkan 1/3 Hartanya Dan Rasulullah Mengijinkan 1/3 Ini. Katanya : اَلثُّلَثُ كَثِيْرٌ , أِنَّكَ أَنْ تَذَ رَوَرَثَنَكَ أَغْنِيَا ءَ خَيْرٌمِنْ أَنْ تَذَرَهُمْ عَا لَةً يَتَكَفَّفُلوْنَ الَنَّاسَ (متض عليه) Artinya:…….. Sepertiga Itu Yaitu Banyak Dan Besar, Alasannya Yaitu Kalau Kau Meninggalkan Hebat Warismu Dalam Keadaan Kecukupan Yaitu Lebih Baik Dari Pada Kalau Kau Meninggalkan Mereka Dalam Keadaan Miskin Yang Meminta-Minta Kepada Orang Banyak. (Rw. Bukhari-Muslim). 2. Takhshishul ‘Am (Mentakhshiskan Keumumannya) Yaitu Mentakhshiskan Keumuman Ayat-Ayat Al-Qur’An. Misalnya: Allah Berfirman Secara Umum Perihal Keharaman Makan Bangkai (Binatang Yang Tiada Disembelih Dengan Nama Allah) Dan Darah, Dalam Surah Al-Maidah : 3      .  “Diharamkan Bagimu (Memakan) Bangkai, Darah, Daging Babi, (Daging Hewan” Kemudian Rasulullah Mengkhususkannya Dengan Pengecualian Kepada Bangkai Ikan Laut, Belalang, Hati, Dan Limpa Dalam Sabdanya : احلت لنا مىتتان ودمان, فاما المىتتان الحوت والجراد, واما اللدمان فا لكبدوالطحال(رواه ابرهم والحاكم) “Dihalalkan Bagi Dua Macam Bangkai Dan Dua Macam Darah.Dua Macam Bangkai Itu Ialah Bangkai Ikan Air Dan Belalang.Sedang Dua Macam Darah Itu Ialah Hati Dan Limpa.(Hr. Ibnu Majah Dan Al-Hakim) - Duduk Kasus Pusaka-Mempusakai Antara Anak Dengan Kedua Orang Tuanya, Dalam Firman-Nya : يُوْصِيْكُمْ اللهُ فِى أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكرِ مِثْلُ حَظِّ الأُنْثَيَيْنِ, (النساء : 11) Allah Mensyari’Atkan Kepadamu Dalam Pusaka Anak-Anakmu, Yaitu Potongan Seorang Anak Pria Sama Dengan Potongan Dua Orang Anak Perempuan. ( An-Nisa’ : 11) Dalam Ayat Tersebut Dikatakan Secara Umum Orang Renta Yang Mewariskan Harta Peninggalannya Kepada Anak-Ananya.Kemudian Keumuman Itu Ditakhshiskan Oleh Sabda Rasulullah Saw : نَحْنُ- مَعَاشِرَالأَانْبِيَاءِ- لَانُوْرَثُ مَاتَرَكْنَاهُ صَدَقَةُ. (منفق علىه) Kami, Khususnya Para Nabi, Tidak Sanggup Diwarisi.Apa Yang Kami Tinggalkan Yaitu Sebagai Sedekah. (Rw. Bukhari-Muslim) Perkataan Anak Dalam Ayat Tersebut Juga Dilukiskan Secara Umum Dengan Lafadz “Auladakum” (Anak-Anakmu). Kemudian Anak Tersebut Dikhususkan Oleh Nabi Muhammad Saw. Kepada Anak Yang Sanggup Mewarisi. Sedang Anak Yang Tidak Berhak Mempusakai Harta Orang Tuanya. Contohnya : Lantaran Ia Membunuh Orang Tuanya, Dikeluarkan Dari Pengertian Umum Itu, Mengingat Sabda Rasulullah Saw : لَيْسَ لِلْقَاتِلِ مِنَ الْمَقْتُوْلِ شَيْئٌ (رواه انسائ) Tidak Ada Hak Bagi Si Pembunuh Mempusakai Harta Peninggalan Orang Yang Dibunuh Sedikitpun. (Rw. An-Nisa’I) 1. Membuat Hukum-Hukum Gres Yang Tiada Dalam Al-Qur’An Contohnya : Dia Memutuskan Aturan Haramnya Binatang Buas Yang Bertaring Besar Lengan Berkuasa Dan Burung Yang Berkuku Besar Lengan Berkuasa Menyerupai Yang Diriwayatkan Oleh Ibnu Abbas : نَهَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ عَنْ كُلِّ ذِيْ نَابً مِنَ الْسِّبَاعِ وَعَنْ كُلِّ ذِيْ مِحْلَبٍ مِنَ الطَّيْرِ (رواه مسلم) “Rasulullah Saw. Melarang Memakan Setiap Binatang Yang Bertaring Dari Golongan Binatang Buas Dan Setiap Binatang Yang Berkuku Besar Lengan Berkuasa Dari Golongan Burung. (Rw. Bukhari-Muslim). Pembagian Sunnah Sunnah Ada 3 Macam : 1. Sunnah Mutawatirah 2. Sunnah Masyhurah 3. Sunnah Minggu 1. Sunnah Mutawatirah Yaitu Segala Sesuatu Dari Rasulullah Saw, Yang Diriwayatkan Oleh Sekian Banyak Sobat Yang Berdasarkan Budbahasa Kebiasaan Mustahillah Mereka Bersepakat Untuk Berdusta. Kemudian Dari Sahabat-Sahabat Itu Diriwayatkan Pula Oleh Para Tabi’I Dan Orang Berikutnya Dalam Jumlah Yang Seimbang Dengan Jumlah Para Sobat Yang Meriwayatkan Pada Mula Pertama. - Sunnah Mutawatirah Itu Banyak Kita Dapatkan Pada Sunnah Amaliah (Yang Pribadi Dikerjakan Oleh Rasulullah). Contohnya :Cara Menjalankan Shalat, Melaksanakan Puasa, Menunaikan Ibadah Haji Dll. Perbuatan-Perbuatan Rasulullah Tersebut Disaksikan Sendiri Secara Pribadi Oleh Para Sobat Dengan Tidak Ada Perubahan Sedikit Pun Pada Waktu Disampaikan Kepada Para Tabi’I Dan Orang-Orang Pada Generasi Berikutnya. - Sunnah Mutawatirah Qauliyah (Berupa Sabda-Sabda Rasulullah) Sedikit Sekali Yang Mencapai Derajat Mutawatirah. Para Ulama Membagi Sunnah Mutawatirah Ini Kepada : - Mutawatirah Lafzhiyah - Mutawatirah Ma’Nawiyah Sunnah Mutawatirah Dikatakan Lafzhiyah Bila Redaksi Dan Kandungan Sunnah Yang Disampaikan Oleh Sekian Banyak Perawi Tersebut Yaitu Sama Benar. Diriwayatkan Oleh Lebih Kurang 200 Orang Sobat Dengan Redaksi Dan Isi Yang Tidak Berbeda. Contohnya Sabda Rasulullah Saw : فَمَنْ كَذَ بَ عَلَىَّ مُتَعِمْدًا فَلْيَتَبَوَّا مَقْعَدهُ مِنَ النَّارِ (متفق عليه) “Maka Barang Siapa Membuat Kebohongan Terhadap Saya Dengan Sengaja, Hendaklah Ia Menempati Daerah Duduknya Di Api Neraka.” (Rw. Bukhari-Muslim). Sunnah Mutawatirah Ma’Nawiyah Ialah Sunnah Mutawatirah Yang Berbeda Susunan Yang Berbeda Susunan Redaksinya Satu Sama Lain, Tetapi Masing-Masing Susunan Redaksi Yang Berbeda-Beda Itu Memiliki Hal-Hal Yang Sama (Kadar Musytarak). Contohnya : Sabda Rasulullah Saw Perihal Mengangkat Tangan Pada Waktu Mendo’A. Hadits Semacam Itu Diriwayatkan Oleh Kurang Lebih 100 Orang Sobat Dengan Ungkapan Kalimat Yang Berbeda-Beda Dan Dicantumkan Dalam Duduk Kasus Yang Berbeda-Beda Pula. Akan Tetapi Dalam Riwayat Yang Berbeda-Beda Itu Ada Sesuatu Yang Sama (Musytarak), Yaitu Sunnatnya Mengangkat Tangan Pada Waktu Mendo’A. 2. Sunnah Masyurah Ialah Segala Sesuatu Dari Rasulullah Saw Yang Diriwayatkan Oleh Sobat Atau Dua Orang Atau Lebih Yang Tidak Hingga Mencapai Derajat Mutawatirah, Kemudian Dari Sobat Tersebut Diriwayatkan Oleh Sekian Banyak Tabi’I Yang Mencapai Derajat Mutawatirah Dan Dari Sekian Banyak Tabi’I Ini Diriwayatkan Oleh Sekian Banyak Rawi Yang Mutawatir Pula. Contohnya Hadits : إِنَّمَا الأَعْمَالَ بِا لِنْيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئِ مَا نَوَى (متفق عليه) “Amal-Amal Itu Sahnya Hanyalah Dengan Niat Dan Setiap Orang Itu Hanya Akan Memperoleh Apa Yang Ia Niatkan …………”.(Rw. Bukhari-Muslim) Pada Generasi Sobat Hadits Itu Hanya Diriwayatkan Oleh Umar Bin Khattab, Abdullah Bin Mas’Ud Ra Dan Debu Bakar Ra. Tetapi Kemudian Generasi Tabi’I Hadits Itu Diriwayatkan Oleh Sekian Banyak Orang Yang Mencapai Derajat Mutawatir Dan Pada Generasi Berikutnya Pun Demikian Hingga Kepada Kita. Perbedaan Antara Sunnah Mutawatirah Dengan Sunnah Masyhurah : - Sunnah Mutawatirah : Para Perawinya Semenjak Dari Generasi Sahabat, Tabi’I Hingga Kepada Tabi’In-Tabi’In Dan Seterusnya Mencapai Kriteria Mutawatir. - Sunnah Masyhurah : Para Perawinya Pada Generasi Sobat Tidak Mencapai Kriteria Mutawatir, Tetapi Gres Pada Generasi Tabi’I Dan Seterusnya Mencapai Kriteria Mutawatir. - Sunnah Masyhurah Itu Juga Wajib Diamalkan Sebagaimana Sunnah Mutawatirah. Hanya Saja Tingkatannya Yaitu Lebih Rendah Dari Pada Sunnah Mutawatirah Dan Lebih Tinggi Dari Pada Sunnah Ahad. 3. Sunnah Minggu Ialah Segala Sesuatu Dari Rasulullah Saw Yang Diriwayatkan Oleh Seorang Sahabat, Dua Orang Atau Lebih Yang Tidak Hingga Derajat Mutawatir, Kemudian Dari Sobat Tersebut Diriwayatkan Oleh Seorang Tabi’I, Dua Orang Atau Lebih Dan Seterusnya Diriwayatkan Oleh Perawi-Perawi Dalam Keadaan Yang Sama (Tidak Mutawatir). Sunnah Minggu Ini Yaitu Yang Paling Banyak Kita Dapati Dalam Kitab-Kitab Sunnah. Sunnah Minggu Dibagi Menjadi 3 Potongan Yaitu : 1. Shahih 2. Hasan 3. Dhaif 1. Hadits (Sunnah) Shahih Ialah Hadits Yang Diriwayatkan Oleh Perawi Yang Adil, Dan Tepat Ketelitiannya, Sanadnya Bersambung, Hingga Kepada Rasulullah, Tidak Memiliki Cacat (‘Illat) Dan Itu Berlawanan Dengan Periwayatan Orang Yang Lebih Terpercaya. 2. Hadits Hasan, Ialah Hadits Yang Diriwayatkan Oleh Perawi Yang Adil Tetapi Kurang Ketelitiannya, Sanadnya Bersambung Hingga Kepada Rasulullah, Tidak Memiliki Cacat Dan Tidak Berlawanan Dengan Periwayatan Orang Yang Lebih Terpercaya. 3. Hadits Dha’If, Ialah Hadits Yang Tidak Memenuhi Syarat-Syarat Hadits Shahih Dan Hadits Hasan. Hadits Dha’If Ini Banyak Macamnya Antara Lain :  Hadits Maudhu  Hadits Mursal  Hadits Mu’Allaq  Hadits Munqathi’  Hadits Mudallas  Hadits Muththrib  Hadits Mudraj  Hadist Munkar  Hadist Mubham (Lihat Lebih Lanjut Dalam Ilmu Mushthalahul-Hadits) Qath’Iyah (Kepastian) Dan Zhanniyah (Dugaan) Dilihat Dari Segi Wurudnya (Dari Siapa Tiba Hadits Itu) Maka : 1. Sunnah Mutawatirah Yaitu Qath’Iyatul-Wurud (Pasti Datangnya) Dari Rasulullah Saw. Alasannya Yaitu Cara-Cara Penerimaan Dan Pemberitaan Yang Disampaikan Oleh Perawi-Perawinya Memperlihatkan Keyakinan Bahwa Isu Itu Berasal Dari Rasulullah Saw. 2. Sunnah Masyhurah Yaitu Qath’Iyatul-Wurud (Pasti Datangnya) Dari Sahabat. Alasannya Yaitu Jumlah Sobat Yang Memberikan Isu Itu Tidak Hingga Mencapai Ukuran Mutawatir, Hingga Nilai Pemberitahuannya Pun Tidak Mutawatirah. Akan Tetapi Berdasarkan Para Ulama-Ulama Hanafiyah Sunnah Masyhurah Itu Dianggap Sebagai Sunnah Mutawatirah. Dengan Demikian Berdasarkan Mereka Sunnah Masyhurah Itu Sanggup Digunakan Untuk Mentakhshiskan Keumuman Al-Qur’An Dan Mentaqyidkan (Membatasi) Kemutlakannya. 3. Adapun Sunnah Minggu Yaitu Zhanniyatul Wurud (Diduga Keras Datangnya) Dari Rasulullah Saw. Alasannya Yaitu Cara-Cara Penerimaan Dan Pemberitaan Yang Disampaikan Oleh Perawi-Perawinya Tidak Memperlihatkan Keyakinan Secara Qath’I (Pasti) Bahwa Apa Yang Diberitakan Itu Berasal Dari Rasulullah Saw. Dilihat Dari Segi Dalalahnya (Petunjuk Yang Diperoleh Dari Hadits Itu) Masing-Masing Dari Tiga Sunnah Itu Adakalanya : 1. Qathi’Iyud-Dalalah (Petunjuk Yang Diperoleh Dari Padanya Memastikan Demikian), Apabila Pengertian Yang Ditunjuk Oleh Masing-Masing Sunnah Itu Tidak Sanggup Ditafsirkan Kepada Arti Yang Diluar Artinya Yang Semula. 2. Zhanniyatud-Dalalah (Petunjuk Yang Diperoleh Darinya Yaitu Berdasarkan Dugaan Keras), Apabila Pengertian Yang Ditunjuk Oleh Masing-Masing Sunnah Itu Sanggup Ditafsirkan Kepada Arti Lain Yang Diluar Artinya Semula.  Ijma’ Berdasarkan Bahasa Ijma Memiliki Dua Arti, Yaitu : 1. Kesepakatan, Menyerupai : Perkataan : Jamaal Qaumu ‘Alaa Kadzaa Idzaa Itafaquu Alaihi. Artinya : Suatu Kaum Telah Berijma Begini, Kalau Mereka Sudah Sepakat Kepadanya. 2. Kebulatan Tekad Atau Niat. Menyerupai Firman Allah :    . . . . Lantaran Itu Bulatkanlah Keputusanmu Dan (Kumpulkanlah) Sekutu-Sekutumu (Untuk Membinasakanku). Berdasarkan Istilah Hebat Ushul, Ijma Yaitu : اِتِفَاقُ جَمِيْعِ اْلمُجْتَهِدِيْنَ مِنَ اْلمُسْلِمِيْنِ فِي عَصْرٍمِنَ الْعُصُوْرِبَعْدِ وَفَاةِ الْرَسُوْلِ عَلَى حُكْمِ مِنَ اْلاحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ اْلعَمَلِيَّةِ. “Kesepakatan Seluruh Mujtahid Islam Dalam Suatu Masa, Setelah Wafat Rasulullah Saw, Akan Suatu Aturan Syari’At Yang Amali. • Berdasarkan Riwayat Al-Baqhawi Kalau Debu Bakar Hendak Menuntaskan Suatu Kasus Yang Diminta Penyelesaian Oleh Orang Yang Berperkara, Maka Dia Mencari Di Dalam Al-Qur’An Dan As-Sunnah. Pemecahan Aturan Tersebut Dan Mengundang Tokoh-Tokoh Agama Untuk Memusyawarahkannya. Kalau Mereka Telah Mengambil Putusan Secara Lingkaran Terhadap Duduk Kasus Tersebut Kemudian Dia Menjalankan Utusan Itu. • Umar Bin Khattab Menjalankan Tindakan Menyerupai Yang Dilakukan Oleh Debu Bakar. Tindakan Ke Dua Khalifah Besar Ini Diterima Oleh Sahabat-Sahabat Besar Dan Pemuka-Pemuka Kaum Muslimin Dengan Tidak Ada Seorang Pun Yang Mengingkarinya. Sebagai Kesimpulan Dari Nash-Nash Dan Atsar (Hadits) Tersebut Yaitu Bahwa Sumber Aturan Yang Prinsip Dalam Perundang-Undangan Islam Yang Telah Disepakati Oleh Jumhur Ulama Pukaha.  Qiyas Yaitu Mempersamakan Aturan Suatu Duduk Kasus Yang Tidak Ada Nashnya Dengan Aturan Yang Sudah Ada Nashnya, Lantaran Adanya Persamaan ‘Illat Aturan Dari Kedua Duduk Kasus Tersebut. إِلْحَاقُ أَمْرِ مَعْلُوْمٍ عَلَى حُكْمِهِ بِاَمْرِ غَيْرُ مَعَلَوْمِ عَلَى حُكْمِهِ لِإثْتِراكه معه فِ عِلَيْهِ الْحُكْمِ Sesuai Dengan Ta’Rif Tersebut, Apabila Ada Suatu Duduk Kasus Yang Hukumnya Telah Ditetapkan Oleh Suatu Nash Dan ‘Illat Hukumnya Pun Telah Diketahui Berdasarkan Cara-Cara Untuk Mengetahui ‘Illat Hukum, Kemudian Didapati Lagi Dari Duduk Kasus Lain Yang Hukumnya Tidak Ditetapkan Oleh Suatu Nash, Tetapi ‘Illat Hukumnya Sama Dengan Duduk Kasus Yang Sudah Memiliki Nash Tersebut Maka Aturan Duduk Kasus Yang Tidak Ada Nashnya Tersebut Disamakan Dengan Aturan Duduk Kasus Yang Ada Nashnya, Lantaran Adanya Persamaan ‘Illat Aturan Pada Kedua Duduk Kasus Tersebut. Pola : Jual Beli Pada Waktu Adzan Jum’At Diserukan Yaitu Suatu Duduk Kasus Yang Telah Ditetapkan Hukumnya Oleh Nash Yaitu Makruh. Berdasarkan Firman Allah Swt Qs. Al-Jum’Ah : 9                        Hai Orang-Orang Beriman, Apabila Diseru Untuk Menunaikan Shalat Jum'at, Maka Bersegeralah Kau Kepada Mengingat Allah Dan Tinggalkanlah Jual Beli. Maksudnya: Apabila Imam Telah Naik Mimbar Dan Muazzin Telah Azan Di Hari Jum'at, Maka Kaum Muslimin Wajib Bersegera Memenuhi Panggilan Muazzin Itu Dan Meninggalakan Semua Pekerjaannya. ‘Illat Aturan Dimakruhkannya Pada Waktu Adzan Jum’At Diserukan. Ialah Lantaran Perbuatan Tersebut Melalaikan Sembahyang. Kemudian Masalah-Masalah Menyerupai Mengadakan Perikatan, Gadai Menggadaikan, Pemburuhan Atau Mengadakan Perikatan-Perikatan Muamalat Lainnya Yang Dilakukan Pada Waktu Adzan Jum’At Diserukan Tidak Ada Nash Yang Memutuskan Hukumnya. Akan Tetapi Lantaran ‘Illat Dari Duduk Kasus Jual Beli Yang Dilakukan Waktu Adzan Jum’At Diserukan, Yaitu Melalaikan Bersembahyang, Maka Aturan Perbuatan-Perbuatan Tersebut Aturan Jual Beli Yakni Makruh. Pola Lain : Mas’Alah Spesialis Waris, Membunuh Seorang Yang Akan Mewariskan Harta Peninggalannya Yaitu Suatu Mas’Alah Yang Sudah Tetap Hukumnya Dalam Suatu Nash, Hukumnya Ialah Terhalangnya Si Pembunuh Mewarisi Harta Peninggalan Orang Yang Dibunuh Tersebut Berdasarkan Nash Nabi Saw. لَيْسَ لِلْقَا تِلِ مِنَ اْلمَقْتوْلِ شَيْءٌ (رواه النسائ) Bagi Orang Yang Membunuh Tidak Ada Hak Mewarisi Harta Peninggalan Orang Yang Dibunuh Sedikitpun. ‘Illat Aturan Terlarangnya Si Pembunuh Mewarisi Harta Peninggalan Orang Yang Dibunuh Itu, Lantaran Ia Melaksanakan Tindakan Kejahatan Pembunuhan Yang Diharamkan Oleh Dewa Untuk Mencapai Suatu Manfaat Sebelum Waktunya. Duduk Kasus Pembunuhan Yang Dilakukan Oleh Seorang Yang Mendapatkan Wasiat Terhadap Orang Yang Memperlihatkan Wasiat Tidak Ada Nashnya, Hukumnya, Duduk Kasus Ini Yaitu Duduk Kasus Cabang Yang Hendak Dicari Hukumnya. Biarpun Tidak Ada Nashnya, Namun Duduk Kasus Tersebut Memiliki ‘Illat Aturan Yang Sama Dengan ‘Illat Aturan Yang Terdapat Pada Duduk Kasus Pembunuhan Yang Dilakukan Oleh Hebat Waris, Terhadap Orang Yang Mewariskan Yakni Untuk Mencapai Suatu Manfaat Sebelum Waktunya Dengan Melaksanakan Tindakan Perbuatan Yang Diharamkan. Maka Hukumnya Pun Dilakukan Pula Yakni Terhalang, Haram, Mendapatkan Harta Yang Diwasiatkan Kepadanya. Rukun-Rukun Qiyas Rukun-Rukun Qiyas Ada 4 : 1. Ashal → Pembunuhan, Hebat Waris 2. Furu’ → Penggadaian 3. Aturan Ashal → Hukumnya Makruh 4. ‘Illat → Sama-Sama Melalaikan Waktu Shalat 1. Ashal (Pokok) Ialah Suatu Kasus Yang Sudah Ada Nashnya Yang Dijadikan Daerah Mengkiaskan. Ashal Itu Juga Disebut Maqis Alaihi (Yang Dijadikan Daerah Mengkiaskan) 2. Furu’ (Cabang) Yaitu Kasus Yang Tidak Ada Nashnya Dan Kasus Itulah Yang Dikehendaki Untuk Disamakan Hukumnya Dengan Ashal. 3. Aturan Ashal Yaitu Aturan Syara’ Yang Ditetapkan Oleh Nash Dan Dikehendaki Untuk Memutuskan Aturan Itu Kepada Cabangnya. 4. ‘Illat Ialah Suatu Sifat Yang Terdapat Pada Kasus Yang Ashal, Lantaran Adanya Sifat Itu Maka Kasus Ashal Itu Memiliki Suatu Aturan Dan Oleh Lantaran Itu Terdapat Pula Pada Cabang, Maka Disamakanlah Aturan Cabang Itu Dengan Aturan Ashal. Contohnya : Kita Ingin Mengetahui Perihal Aturan Memakai Sabu-Sabu, Bir, Ganja, Dll. Hal Ini Tidak Ada Ketentuan Hukumnya Didalam Al-Qur’An.Maka Untuk Memilih Hukumnya Kita Coba Dengan Metode Qiyas. Yang Ada Ketentuan Hukumnya Yaitu Larangan Meminum Khamar, Yakni Haram,Berdasarkan Qs. Al-Maidah : 90                 “Sesungguhnya (Meminum) Khamar, Berjudi, (Berkorban Untuk) Berhala, Mengundi Nasib Dengan Panah Yaitu Termasuk Perbuatan Syaitan. Maka Jauhilah Perbuatan-Perbuatan Itu Biar Kau Menerima Keberuntungan. Lantaran ‘Illat Khamar Sama Dengan Bir, Wisky Dll.Maka Kita Sanggup Menarik Kesimpulan Aturan Bir, Wisky Yaitu Haram.‘Illatnya Merusak Kebijaksanaan Pikiran, Oleh Alasannya Yaitu Itu Minum Bir, Wisky Dll Yaitu Sama-Sama Haram. Misal : Kita Ingin Mengetahui Aturan Bermuamalah/Menggadaikan Transaksi Menyerupai : Sewa Menyewa, Gadai Menggadai Pada Dikala Adzan Jum’At Dikumandangkan. Perihal Hal Tersebut Tidak Kita Temukan Ketentuan Hukum-Hukumnya, Yang Ada Nashnya (Ketentuan Hukumnya) Yaitu Larangan Berjual Beli Pada Dikala Adzan Jum’At Berdasarkan Qs. Al-Jumu’Ah : 9                        “Hai Orang-Orang Beriman, Apabila Diseru Untuk Menunaikan Shalat Jum'at, Maka Bersegeralah Kau Kepada Mengingat Allah Dan Tinggalkanlah Jual Beli. Maksudnya: Apabila Imam Telah Naik Mimbar Dan Muazzin Telah Azan Di Hari Jum'at, Maka Kaum Muslimin Wajib Bersegera Memenuhi Panggilan Muazzin Itu Dan Meninggalakan Semua Pekerjaannya. Lantaran Sewa-Menyewa Pinjam Meminjam Dll, Sama ‘Illatnya Dengan Jual Beli Pada Dikala Adzan Jum’At Yakni Melalaikan Shalat Jum’At Maka Hukumnya Pun Sama. Dengan Kata Lain Aturan Jual Beli Pada Dikala Adzan Jum’At Sanggup Diterapkan Pada Transaksi-Transaksi Lainnya, Yakni Makruh.Oleh Lantaran Itu Sewa-Menyewa, Pinjam Meminjam, Gadai-Menggadai Dan Transaksi Lainnya Hukumnya Juga Makruh.Karena ‘Illatnya Sama Yakni Melalaikan Sholat Jum’At. Pola Pertama : Ashal : Khamar Furu (Cabang) : Bir, Wisky, Narkotika Dll Aturan Ashal : Haram Al-Maidah : 9 ‘Illat : Merusak Kebijaksanaan Pikiran Pola Kedua : Ashal : Jual Beli Pada Dikala Adzan Jum’At Furu : Sewa-Menyewa, Gadai Menggadai Aturan Ashal : Makruh Al-Zumu’Ah ‘Illat : Melalaikan Shalat Jum’At Istihsan Ialah Meninggalkan Qiyas Positif ( Jaly) Untuk Menjadikan Qiyas Yang Samar-Samar, (Tidak Nyata) Dalam Bahasa Arabnya Di Sebut Qiyas Khafi (Tersembunyi), Atau Meninggalkan Aturan Kully (Suruhan) Untuk Menjalankan Aturan Istisnai (Pengecualian) Disebabkan Adanya Dalil Yang Berdasarkan Logika Membenarkannya Dengan Demikian Istihsan Itu Ada 2 Macam : 1. Mentarjihkan (Mengambil Yang Lebih Besar Lengan Berkuasa Qiyas Yang Kurang Jelas Atau Tidak Layak Atas Qiyas Yang Positif Berdasarkan Suatu Dalil Ulama Hanafiyah Menamakan Istihsan Semacam Ini Dengan Istihsan Qiyas (Qiyas Khafi). 2. Mengucualikan Aturan Jusiyah (Sebagian) Dari Aturan Kullyah Dengan Suatu Dalil. Istihsan Macam Ke Dua Ini Oleh Ulama Hanafiyah Disebut Dengan Istihsan Darurat. Alasannya Yaitu Penyimpangan Dari Aturan Kully Tersebut Lantaran Darurat Atau Suatu Kepentingan Yang Mengharuskan Adanya Penyimpangan Dengan Maksud Untuk Menghadapi Keadaan Yang Mendesak Atau Menghindari Kesulitan. - Istihsan Qiyas Khafi Pola : Sisa Minuman Burung-Burung Buas Seperti; Elang, Rajawali, Dll Berdasarkan Istihsan Yaitu Suci, Adapun Segi Istihsannya Yaitu Bahwa Burung-Burung Buas Itu Walaupun Diharamkan Untuk Dimakan, Tapi Ludahnya Yang Keluar Dari Perutnya Atau Dagingnya Sekali-Kali Tidak Akan Bercampur Dengan Sisa Bekas Yang Diminumnya. Alasannya Yaitu Burung Itu Kalau Minum Memakai Paruh Yaitu Sejenis Tulang Suci, Berbeda Dengan Binatang Buas Selain Burung. Kalau Minum Memakai Mulutnya. Sehingga Air Ludahnya Bercampur Dengan Minuman Yang Diminumnya, Oleh Lantaran Itu Sisa Minumannya Yaitu Najis. Berdasarkan Qiyas Jally (Nyata) Yaitu Najis, Sisa Minuman Yang Di Haramkan Baginya Yaitu Sama Dengan Sisa Minuman Dari Binatang Buas, Singa, Harimau, Serigala Dll. Lantaran Aturan Sisa Minuman Sisa-Sisa Tersebut Mengikuti Aturan Dagingnya Yaitu Haram Lantaran Ia Yaitu Najis. Pola Ke Dua - Istihsan Darurat Menyerupai : Berdasarkan Aturan Dan Prinsip Syara Melarang Mengadakan Jual Beli Yang Barangnya Belum Ada Dikala Jual Beli Dilaksanakan, Tetapi Berdasarkan Istihsan Syara Memperlihatkan Rukhasah (Keringanan). Muamalah Tersebut Dengan Diperkenankan Melaksanakan Jual Beli Salam (Jual Beli Dengan Pembayaran Yang Lebih Dahulu Tetapi Barangnya Dikirim Kemudian) Atau Istishna’I (Memesan Untuk Dibuatkan Sesuatu) Aturan Kully Dalam Pola Ini Ialah Tidak Sahnya Jual Beli Barang Yang Belum Ada, Tetapi Oleh Lantaran Itu Transaksi Ini Sangat Diperlukan Dan Sudah Menjadi Kebiasaan Dalam Masyarakat Maka Di Kecuali Dari Aturan Kully Tersebut Suatu Aturan Jus’I. - Segi Istihsannya Ialah Kebutuhan Dan Kebiasaan Dalam Masyarakat. Mashlahah-Mursalah Ialah Suatu Kemaslahatan Yang Tidak Ditetapkan Oleh Syara Suatu Aturan Untuk Mewujudkannya Dan Tidak Pula Terdapat Suatu Dalil Syara Yang Memerintahkan Untuk Memperhatikannya Atau Mengabaikannya/Syara Tidak Memerintahkannya Untuk Melaksanakan Atau Meninggalkannya. Pola : Mengadakan Forum Permasyarakatan Atau Penjara. - Mencetak Mata Uang Sebagai Alat Pertukaran Resmi Suatu Negara. - Mencetak Buku Nikah Dll Dengan Ungkapan Lain Mendirikan Rumah Penjara, Mencetak Mata Uang, Mencetak Buku Nikah Yaitu Usaha-Usaha Dan Tindakan-Tindakan Yang Menjadikan Kemaslahatan. Maksud Syariat Islam Itu Ialah Untuk Mewujudkan Kemaslahatan Insan Yakni Menarik Manfaat Dan Menolak Kemudaratan Serta Menghilangkan Kesusahan. Kemaslahatan Insan Itu Tidak Terbatas Macam-Macamnya Dia Selalu Berkembang Mengikuti Situasi Dan Kondisi Masyarakat. Penetapan Suatu Aturan Itu Dalam Undang-Undang Memberi Manfaat Kepada Masyarakat Pada Suatu Masa Dan Kadang-Kadang Memberi Mudarat Pada Mereka Kepada Duduk Kasus Yang Lain, Dan Kadang-Kadang Memberi Manfaat Kepada Suatu Kelompok Masyarakat Tertentu, Tetapi Mendatangkan Mudarat Kepada Kelompok Masyarakat Yang Lain. Uruf Dan Sar’Ur Manqablana Uruf Ialah Kebiasaan, Apa-Apa Yang Telah Dibiasakan Oleh Masyarakat Dan Di Jalankan Terus-Menerus Baik Berupa Perkataan Maupun Perbuatan Sebagai Pola Budbahasa Kebiasaan Yang Berupa Perbuatan Menyerupai ; Jual Beli Muathah (Bai’U Muathah) Yakni Jual Beli Dimana Si Pembeli Menyerahkan Uang Sebagai Pembayaran Atas Barang Yang Di Ambilnya Tanpa Menyampaikan Kesepakatan Nikah Lantaran Harga Barang Tersebut Sudah Dimaklumi Bersama. Uruf Itu Berbeda Dengan Ijma Lantaran Uruf Itu Di Bentuk Dari Kebiasaan Orang-Orang Yang Berbeda-Beda Tingkatan Dari Mereka. Sedangkan Ijma Dibuat Dari Persesuaian Pendapat Khusus Dari Para Mujtahidin, Orang-Orang Awam Tidak Ikut Dalam Pembentukan Ijma Itu. Uruf Itu Ada 2 Macam : 1. Uruf Shaheh Yaitu Kebiasaan Yang Di Lakukan Oleh Orang-Orang Yang Tidak Bertentangan Dengan Dalil Syara’ Tiada Menghalalkan Yang Haram Dan Tidak Membatalkan Yang Wajib. Contohnya : Budbahasa Kebiasaan Dalam Orang Melamar Seseorang Perempuan Dengan Memperlihatkan Sesuatu Sebagai Hadiah Bukan Sebagai Mahar Dll. 2. Uruf Fasiq Yaitu Budbahasa Kebiasaan Yang Dilakukan Oleh Orang-Orang Berlawanan Dengan Ketentuan Syariah Lantaran Membawa Kepadamenghalalkan Yang Haram Atau Membatalkan Yang Wajib. Contohnya :Kebiasaan-Kebiasaan Dalam Mencari Dana Dengan Menyampaikan Macam-Macam Kupon Berhadiah Dll. Syari’At Umat Sebelum Islam Apabila Al-Qur’An Atau Al-Hadits Shaheh Menunjukan Suatu Aturan Yang Di Syari’Atkan Oleh Allah Kepada Umat Sebelum Umat Islam Kemudiann Al-Qur’An/Hadits Memutuskan Bahwa Aturan Tersebut Di Wajibkan Pula Kepada Umatislam Sebagaimana Diwajibkan Kepada Mereka. Maka Tidak Diperselisihkan Lagi Bahwa Aturan Tersebut Yaitu Syari’At Bagi Kita Dan Sebagai Aturan Tersebut Yaitu Syari’At Bagi Kita Dan Sebagai Aturan Yang Harus Di Ikuti. Misalnya: Kewajiban Berkuasa. Kewajiban Berkuasa Ini Telah Diwajibkan Kepada Umat-Umat Yang Dahulu Kemudian. Setelah Tiba Agama Islam Maka Diwajibkan Pula Bagi Orang Islam. Hal Ini Di Tegaskan Dalam Surah Al-Baqarah :183                Hai Orang-Orang Yang Beriman, Diwajibkan Atas Kau Berpuasa Sebagaimana Diwajibkan Atas Orang-Orang Sebelum Kau Biar Kau Bertakwa. Demikian Juga Apabila Al-Qur’An/Hadits Shaheh Menunjukan Suatu Aturan Yang Di Syariatkan Kepada Umat Yang Dahulu Kemudian Tiba Dalil Syara’ Yang Membatalkannya Maka Disepakati Oleh Seluruh Ulama Bahwa Aturan Itu Bukanlah Aturan Syara’ Bagi Kita Lantaran Sudah Ada Dalil Yang Membatalkannya. Misalnya; Syari’At Yang Berlaku Pada Zaman Nabi Musa As. Bahwa Seseorang Yang Berbuat Maksiat Tidak Akan Di Ampuni Dosanya Kecuali Ia Membunuh Dirinya Dan Pakaian Yang Kena Najis Tidak Akan Sanggup Di Sucikan Kecuali Di Potong Potongan Yang Kena Najis Itu. Dalil Yang Membatalkan Cara-Cara Taubat Yang Dilakukan Oleh Umat Nabi Musa Antara Lain Qs . Huud : 3       Dan Hendaklah Kau Meminta Ampun Kepada Tuhanmu Dan Bertaubat Kepada-Nya. Taubat Berdasarkan Syari’At Islam Harus Memenuhi 3 Syarat, Yakni ; 1. Berhenti Dari Berbuat Maksiat. 2. Meratapi Perbuatan Maksiat Yang Telah Dikerjakan Tersebut. 3. Bertekad Tidak Akan Mengulangi Perbuatan Itu Kembali. Dalil Yang Membatalkan Cara Membersihkan Pakaian Yang Kena Najis Dengan Memotong Potongan Yang Kena Najis Tersebut, Sebagimana Disyari’Atkan Untuk Umat Nabi Musa Antara Lain,Firman Allah Q.S Al-Muddatsir : 4    Dan Pakaianmu Bersihkanlah.

Hellow World Baca selengkapnya Ushul Fiqihpengertian Ushul Fiqh Ushul Yaitu Jamak Dari Kata Ashl Yang Berarti Dasar, Asal, Atau Pangkal, Yaitu Sesuatu Yang Di Atasnya Didirikan Sesuatu Yang Lain. Kadang-Kadang Kata Ashl Diartikan Dengan : Pokok, Peraturan, Atau Sumber. Para Hebat Ushul Fiqh Memakai Kata Ashl Dalam Arti : 1. Al-Qa’Idah Al-Kulliyah اَلَقاعِدَةَ اْلكُلِّيَة= Kentuan Yang Umum ), Menyerupai Dalam Ungkapan : اِبَاحَةُ الْمَيْتَةُ الْمَضَّطِرِخِلَافُ الْاصَل “Kebolehan Memakan Bangkai Bagi Orang Yang Terpaksa Menyelisihi Asal”. ( Al-Ashl Di Sini Berarti Ketentuan Umum). Ketentuan Umum Menyampaikan : كل المىة حرم “Setiap Bangkai Yaitu Haram Ketentuan Umum Ini Di Ambil Dari Firman Allah Swt. Dalam Surah Al-Baqarah (2) Ayat 173: انما حرعلىكم المىتة “Sesungguhnya Allah Mengharamkan Atas Kau Bangkai” 2. اَلزَاجِىعْ (Yang Kuat), Menyerupai Qaidah Ushul: A. الاصل فى الكلام الحقيفه ”Yang Asal ( Yang Kuat) Pada Suatu Perkataan Itu Yaitu Hakekatnya.” (Maksudnya: Pengertian Yang Besar Lengan Berkuasa Dalam Memutuskan Pengertian Suatu Perkataan Yaitu Arti Hakikinya, Bukan Arti Majazinya) 3. اَلْمُتَصْحَبُ(Yang Terus Berlaku), Menyerupai Dalam Ungkapan Qaidah Berikut : اَلْاصْلُ بَقاءُ مَاكاَنَ عَلَى مَاكَانَ “Asal (Yang Terus Berlaku) Itu Yaitu Tetapnya Sesuatu Yang Telah Ada Atas Sesuatu Yang Telah Ada”. 4. اَلَّولِيْل(Dalil/Dasar Hukum). Termasuk Dalam Istilah Dalil Ini Yaitu : Al-Qur’An, As-Sunnah, Al-Ijma’, Al-Qiyas, Dan Dalil-Dalil Lainnya Yang Digunakan Oleh Mazhab –Mazhab Tertentu. 5. اَلْمَقِيْسَ عَلَيْهِ(Pembanding/Alat Ukur/Standar) Kata Al-Ashl Dimaksud Sebagai Alat Pembanding Antara Sesuatu Yang Belum Ada Hukumnya Dan Yang Telah Terperinci Ada Hukumnya. Contohnya : Khamar ( Haram ) Fiqih Kata Ini Merupakan Bentuk Mashdar (Gerund) Dari Kata Kerja (Verb) فقىهَ يَقَىهُ Faqiha Yafqahu. Arti Asalnya Yaitu Al-‘Ilm (Pengetahuan) Dan Al-Fahm (Pemahaman). Pengertian Fiqih Berdasarkan Bahasa : • Al-Jurjani Menyampaikan : Kata Fiqh Berdasarkan Bahasa ; Memahami Maksud Pembicara Dari Perkataannya. • Debu Zahrah Menyampaikan ; Paham Secara Mendalam Dan Tuntas, Berbeda Dengan Al-Fahmu (Paham) Kesimpulan ; Fiqh Berdasarkan Bahasa Yaitu Pengetahuan, Pemahaman, Dan Pengertian Terhadap Sesuatu Secara Mendalam. Pengertian Fiqh Berdasarkan Istilah : • Berdasarkan Debu Zahrah اَلْعِلْمُ بِالْاَحكام الشَّرِيَعَةِ الْعَمَلِيْةِ مِنْ اَدِ لَّتِهَا التَّفْضِلَّيْىة ”Ilmu Yang Menunjukan Segala Aturan Syara’ Yang Amali Yang Diambil Dari Dalil-Dalilnya Yang Tafshili.” • Abdul Wahab Khallaf اَلْعِلْمُ بِالْاَ حْكَامُ الشَرِيْعَةُ الْعَمَلِيَةِ الْمُكْتَسَبِ مِنْ اَدْ لِتَهَا التَفْصِيِليَّةْ “Ilmu Yang Menunjukan Hukum-Hukum Syara’ Yang Amali Yang Diusahakan Dari Dalil-Dalilnya Yang Tafshili Dalam Al-Qur’An.” Pengertian Ushul Fiqh Secara Idhafi Pengertian Idhafi (Bersandar) Yaitu Pengertian Yang Di Ambil Dari Kata-Kata Sebagai Suatu Rangkaian Kata-Kata Yang Membentuk Istilah Khusus. Secara Idhafi, Kata Ushul Fiqh Berarti Sesuatu Yang Di Atasnya Dibangun Fiqh Atau Dengan Kata Lain Dasar-Dasar (Sendi-Sendi Yang Di Atasnya Di Dirikan Hukum-Hukum Syara’ Yang Amali. Atas Dasar Ini Ilmu Fiqh Sering Disebut Ilmu Furu’ (Cabang) Sebagai Imbangan Bagi Ilmu Ushul (Ushul Fiqh). Pengertian Ushul Fiqh Secara Ilmiah Yaitu Pengertian Yang Di Ambil Dari Rangkaian Kata-Kata Yang Digunakan Sebagai Nama Bagi Suatu Ilmu Tertentu. • Imam Al-Ghazali : عِبَارَةُ عَنْ اِدِلَّتِةِ هَذِهِ الَّاحَكَامْ وَعَنْ مَعْرِفَهِ وُجُوهُ دَلَالْتِهَا عَلَى الْاَحْكَامُ مِنْ حَيْثُ الحُمْلَة لَا مِنْ حَيْثُ التَفْصِىِل “Pengetahuan Perihal Dalil-Dalil Aturan (Hukum Syara’ Yang Amali) Serta Pengetahuan Perihal Dalil-Dalil Dari Segi Dalalahnya (Petunjuknya) Kepada Aturan Secara Global, Tidak Terperinci.” • Abu-Zahrah : اصُوْلُ الفِقْىة هُوَ العِلْمُ بِالقَوَاعِدِ اَلْتِى تَرْسُمُ الْمَنَاهِجْ لَاسْتَنَبَاطِ الاحَكَامُ العَمَلَىةِ مِنْ اِدِ لِتِها التفصىلىة “Ushul Fiqh Ialah Ilmu Perihal Kaidah-Kaidah Yang Memperlihatkan Citra Perihal Metode-Metode Untuk Mengistimbatkan Hukum-Hukum Yang Amali Dari Dalil-Dalilnya Yang Tafshili.” • Abdul Wahab Khallaf الْعِلْمُ بِالِقَواعِدْوَالْبَحُوْثِ اَلَّتِى يَتُوصل بِهَا إِلَى اِسْتِفَادَةٌ اِلأَحكام اشَرِعَيْةُ العَمَلَىةِ مِنْ اَدِاتِهَا التَفْصِيْلِيْىة “Ilmu Perihal Kaidah-Kaidah Dan Pembahasan-Pembahasan Yang Digunakan Sebagai Alat Untuk Memperoleh Hukum-Hukum Syara’ Yang Amali Dari Dalil-Dalilnya Yang Tafshili.” Objek Ilmu Ushul Fiqh Objek Ilmu Ushul Fiqh Yaitu Dalil-Dalil Syara’Dari Segi Penunjukkannya Kepada Aturan Bagi Perbuatan Para Mukallaf. Ilmu Ushul Fiqh Membicarakan Dan Menyidik Perihal Keadaan-Keadaan Dalil-Dalil Syar’I Serta Menyidik Pula Bagaimana Caranya Dalil-Dalil Tersebut Memperlihatkan Hukum-Hukum Yang Bekerjasama Dengan Perbuatan Para Mukallaf. Perbedaan Ushul Fiqh Dengan Fiqh Ushul Fiqh Merupakan Timbangan Atau Ketentuan Umum Untuk Istimbat Aturan Dan Objeknya Yaitu Dalil Hukum. Sedangkan Objek Fiqh Yaitu Perbuatan Mukallaf Yang Diberikan Status Hukum. Prof. Dr. Mukhtar Yahya Dan Prof. Drs. Fatchurrahman Mendefinisikan • Ilmu Fiqh Yaitu Sekelompok Aturan Perihal Amal Perbuatan Insan Yang Diambil Dari Dalil-Dalil Yang Terperinci. • Ilmu Ushul Fiqh Yaitu Ilmu (Pengetahuan) Dari Hal Qaidah-Qaidah Dan Pembahasan-Pembahasan Yang Sanggup Membawa Kepada Pengambilan Hukum-Hukum Perihal Amal Perbuatan Insan Dari Dalil-Dalil Yang Terperinci. Tujuan Mempelajari Ilmu Ushul Fiqh Biar Para Mujtahid Sanggup Mengistimbatkan Aturan Terhadap Masalah-Masalah Yang Muncul Di Tengah-Tengah Masyarakat Yang Tidak Ada Nashnya Yang Terperinci Didalam Al-Qur’An Atau As-Sunnah. Kegunaan Ilmu Ushul Fiqh • Untuk Mengetahui Hukum-Hukum Syara’, Baik Dengan Jalan Yakin (Pasti) Maupun Dengan Jalan Dzan (Dugaan Kuat). • Untuk Menghindari Taqlid. Ruang Lingkup Pembahasan Ushul Fiqh A. Hukum-Hukum Syara’ (Mahkumbih) Menyerupai : Wajib, Haram, Nadb, Karahah, Ibahah, Hasan, Qabih, Qadha, Ada’A, Sah, Fasad, Azimah, Rukhshah, Dll. - Hakim, Pembuat Syari’At Islam (Allah Swt). - Al-Mahkum ‘Alaih, Yaitu Para Mukallaf (Subjek Hukum) - Al-Mahkum Fih, Perbuatan Para Mukallaf (Objekk Hukum) Dalil-Dalil Syara’ Atau Sumber-Sumber Aturan Yang Disepakati Oleh Ulama Ushul Fiqh - Al-Qur’An - As-Sunnah - Ijma’ - Qiyas Sebagaimana Halnya Para Ulama Telah Sepakat Bahwa Dalil-Dalil Tersebut Yaitu Alat Intidlal (Menetapkan Dalil Suatu Masalah) Juga Para Ulama Telah Sepakat Perihal Tertib Dalam Jenjang Istidlal Dari Dalil-Dalil Tersebut. Buktinya Tercantum Dalam Surah An-Nisaa’ [4]: 59                                Artinya: “Hai Orang-Orang Yang Beriman, Taatilah Allah Dan Taatilah Rasul (Nya), Dan Ulil Amri Di Antara Kamu. Kemudian Kalau Kau Berlainan Pendapat Perihal Sesuatu, Maka Kembalikanlah Ia Kepada Allah (Al Quran) Dan Rasul (Sunnahnya)”. Perintah Untuk Mengikuti Allah Dan Rasul-Nya Yaitu Perintah Untuk Mengikuti Al-Qur’An Dan Sunnah. Sedangkan Perintah Mentaati Orang Yang Memegang Kekuasaan Ialah Perintah-Perintah Untuk Mengikuti Hukum-Hukum Yang Dibuat Dan Disetujui Oleh Badan-Badan Yang Memiliki Kekuasaan Membuat Undang-Undang Dari Golongan Kaum Muslim. Adapun Perintah Untuk Memulangkan Kasus Yang Diperselisihkan Kepada Allah Dan Rasulnya Yaitu Perintah Untuk Memakai Analogi/Qiyas. Selama Tidak Ada Nash Dan Ijma’. Yang Dimaksud Dengan Tertib Jenjang Istidlal, Al-Qur’An, Al-Sunnah, Al-Ijma, Dan Al-Qiyas Ialah Apabila Terdapat Suatu Duduk Kasus Di Dalam Al-Qur’An Kalau Hukumnya Sudah Ada Dalam Al-Qur’An Maka Ditetapkan Ialah Aturan Itu Sesuai Dengan Petunjuk Al-Qur’An Tersebut. Tetapi Apabila Ketetapan Hukumnya Tidak Ditemukan Dalam Al-Qur’An Barulah Beralih Kepada As-Sunnah. Bila Diturunkan Hukumnya Didalam As-Sunnah, Maka Ditetapkanlah Aturan Tersebut Berdasarkan As-Sunnah Tersebut. Kalau Tidak Ada Nash As-Sunnah Yang Ditetapkan, Maka Dicari Permasalahan Tersebut Kepada Para Mujtahid Yang Menjadi Kesepakatan Bersama (Ijma). Kalau Duduk Kasus Tersebut Didapatkan Dalam Ijma Maka Diputuskan Berdasarkan Ketentuan Ijma Tersebut. Kalau Tidak Ditemukan Duduk Kasus Aturan , Duduk Kasus Ijma, Maka Hendaknya Gunakan Al-Qiyas. Adapun Sebagai Dasar Aturan Keharusan Menertibkan Jenjang Beristidlal Dengan 4 Macam Dalil Aturan Tersebut Di Atas Yaitu : - Wawancara Rasulullah Saw Dengan Muas Bin Jabar, Ketika Ia Dilantik Menjadi Gebernur Yaman كَيْفَ تَقْضِ اِذَ اعَرَضَ لَكَ القَضَاءَ Bagaimana Kau Merumuskan Kasus Dalam Suatu Permasalahan. قَالَ: اَقْضِ بِكِتَابِ الَّهِa قَالَ: فَإِانْ لَّمْ تَجِدُ كِتَابَ الَّهَ؟ قَالَ: فَسنة رسول الله قَالَ: فَاِنْ لَّمْ تَجِدُ فِى سَنَهَ رَسُوْلُ قَاَل: اجتهد راى وَلَااَلُو فَضَرَبَ رَسُوْلُ صَلَعَم صَدَرَهَ وَقَالَ اَلْحَمْدُ للَّهِ وَفَقَ رَسُوْلَ للهِ لِمَا يُرْضِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ - Berkata : Saya Memutuskan Kasus Tersebut Berdasarkan Utusan Allah (Al-Qur’An) - Kalau Tidak Ditepati Dalam Kitab Allah (Al-Qur’An) - Berkata : Temukan Dalam Sunnah Rasulullah - Kalau Tidak Kau Temukan Dalam Sunnah Rasul Bagaimana Caranya. - Muas Berkata : Saya Memakai Pikiranku Dan Saya Tidak Akan Meninggalkannya, Kemudian Rasulullah Saw Menepuk Dadanya Seraya Menuju Katanya : Alhamdulilah Telah Kami Beri Taufik Kepada Utusan Rasulullah Sesuai Dengan Apa Yang Diridhoi Oleh Allah Dan Rasulnya. Sumber Aturan  Al-Qur’An Yaitu Kalam Allah Yang Diturunkan Kepada Nabi Muhammad Saw Dalam Bahasa Arab Dengan Mediator An Malaikat Jibrail Sebagai Hujjah/Argumentasi Dalam Mendakwahkan Kerasulannya Dan Sebagai Pedoman Hidup Bagi Insan Yang Sanggup Digunakan Untuk Mencari Kebahagian Hidup Didunia Dan Diakhirat Serta Sebagai Media Untuk Bertakarruf (Mendekatkan Diri) Kepada Allah Dengan Membacanya. Dia Ditulis Antara 2 Pimpinan Mushaf Diawali Dengan Surah Al-Fatihah Dan Diakhiri Dengan Surah An-Nas. Al-Qur’An Terpelihara Dari Perubahan Dan Pergantian Kata Menyerupai Yang Difirmankan Oleh Allah Untuk Menjaminnya Dalam Surah Al-Hijr : 9       •   Artinya: “Sesungguhnya Kami-Lah Yang Menurunkan Al Quran, Dan Bahwasanya Kami Benar-Benar Memeliharanya.” Ayat Ini Memperlihatkan Jaminan Perihal Kesucian Dan Kemurnian Al Quran Selama-Lamanya. • Keistimewaan Al-Qur’An Ialah Bahwa Lafadz Dan Maknanya Berasal Dari Allah. Lafadznya Yang Berbahasa Arab Itu Dimasukkan Oleh Allah Kedalam Dada Nabi Muhammad Dan Dia Membacanya Dan Terus Menyampaikannya Kepada Umat. Berdasarkan Ketentuan Tersebut Maka Ada 3 Hal Yang Bukan Termasuk Al-Qur’An Yaitu ; A. Pengertian Yang Di Ilhamkan Oleh Allah Kepada Rasul, Kemudian Rasul Sendiri Yang Menyusun Redaksinya Untuk Disampaikan Kepada Umat Disebut Dengan Hadits Qudsi. B. Tafsir Ayat/Surah Al-Qur’An Yang Memakai Bahwa Arab Sebagai Sinonim/Mirodif Dari Lafadznya Bukan Juga Disebut Al-Qur’An. C. Terjemahan Ayat/Surah Al-Qur’An Yang Memakai Bahasa Asing, Yang Tidak Bias Digunakan Untuk Sholat. • Keistimewaan Al-Qur’An Yang Lainnya Bahwa Al-Qur’An Itu Hingga Kepada Kita Secara Mutawatir, Dengan Cara Penyampaian Yang Menjadikan Keyakinan Lantaran Disampaikan Oleh Sekian Banyak Orang Yang Tidak Mungkin Mereka Itu Berbohong Atas Dasar Inilah Maka Sebagian Bacaan Al-Qur’An Yang Disampaikan Oleh Sebagian Sobat Yang Tidak Dengan Jalan Mutawatir. Misalnya; Ada Seorang Sobat Yang Menyampaikan Bahwa Lafadz (Waarjulakum) Mutawatir. Dalam Surah Al-Maidah : 6 Sanggup Dibaca Dengan (Waarjulikum) Tidak Mutawatir Bukanlah Dianggap Bacaan Al-Qur’An Yang Mutawatir. - Q.S Al-Maidah : 6                   Artinya: “Hai Orang-Orang Yang Beriman, Apabila Kau Hendak Mengerjakan Shalat, Maka Basuhlah Mukamu Dan Tanganmu Hingga Dengan Siku, Dan Sapulah Kepalamu Dan (Basuh) Kakimu Hingga Dengan Kedua Mata Kaki.” Lantaran Itu Hukum-Hukum Yang Di Istimbatkan Dari Bacaan (Waarjulikum) Bukanlah Aturan Dari Al-Qur’An. Sebagaimana Kita Ketahui Kalau Dibaca (Waarjulikum) Sebagai Makhfuq (Atap=Penghubung Dengan Lafadz Biurusikum Yang Mendahuluinya, Maka Aturan Yang Di Istimbatkan Dari Bacaan Tersebut Yaitu Kewajiban Menyapu Kaki Dengan Air Dalam Berwudhu, Bukan Membasuhnya. Sedang Kalau Dibaca (Waarjulakum) Sebagai Makhfuq (Atap =Penghubung) Dengan Lafadz واىدىكمyang Mendahului (برؤسكم) Maka Kewajiban Seorang Berwudhu Yaitu Membasuh Kakinya Dengan Air Hingga Mata Kaki. • Macam- Macam Aturan Dalam Al-Qur’An 1. Hukum-Hukum I’Tiqadiah Yakni Hukum-Hukum Yang Berkaitan Dengan Kewajiban Para Mukallaf Untuk Mempercayai Allah, Malaikat-Malikatnya, Kitab-Kitabnya, Rasul-Rasulnya Dan Hari Pembalasan ( Rukun Iman) 2. Hukum-Hukum Moral Yakni Tingkah Laris Yang Bekerjasama Dengan Para Mukallaf Untuk Menghiasi Dirinya Dengan Sifat Keutamaan Dan Menjauhkan Diri Dari Sifat-Sifat Yang Tercela. 3. Hukum-Hukum Amaliyah Yakni Dengan Bersangkutan Dengan Perkataan, Perbuatan, Perjanjian, Dan Muamalah (Kerja Sama) Sesame Manusia. Yang Ketiga Inilah Yang Disebut Dengan Pikhul Qur’An.Dan Inilah Hendak Dicapai Oleh Ilmu Ushul Fiqih (Ilmu Fiqh). Hukum-Hukum Amaliyah Dalam Al-Qur’An Itu Terdiri Dari 2 Macam : 1. Aturan Ibadah Menyerupai : Sholat, Puasa, Zakat, Dan Haji Sebagainya. Hukum-Hukum Ini Diciptakan Dengan Tujuan Untuk Mengatur Kekerabatan Allah Dengan Hambanya. 2. Hukum-Hukum Muamalat Menyerupai : Segala Macam Perikatan Transaksi-Transaksi Kebendaan,Jinayah Dan Rukubat (Hukum Pidana Dan Sangsi-Sangsinya). Aturan Muamalah Ini Diciptakan Dalam Tujuan Untuk Mengatur Kekerabatan Insan Dengan Insan Baik Sebagai Perorangan/Pun Sebagai Anggota Masyarakat. Amaliyah ↓ Allah → Kekerabatan Vertikal, Allah Dengan Hambanya (Ibadat) ↓ Hamba→ Kekerabatan Horizontal, Sesama Hamba (Muamalat) Dalalah (Petunjuk Ayat-Ayat Al-Qur’An) Nash-Nash Al-Qur’An Itu Ditinjau Dari Sisi Petunjuk (Dalalahnya) Terhadap Hukum-Hukum Terbagi Kepada 2 Macam : 1. Qathiyyud Dalalah Yang Dimaksud Dengan Nash Yaitu Nash Yang Memperlihatkan Arti Yang Terperinci Sekali Untuk Dipahami Sehingga Nash Itu Tidak Sanggup Dita’Wilkan (Dirubah, Dipindah, Dinamai) Dan Dipahami Dengan Arti Yang Lain. Contohnya Firman Allah Swt, Dalam Surah An-Nisa : 12         . Artinya: “Dan Bagi Kau (Suami-Suami) Seperdua Dari Harta Yang Ditinggalkan Oleh Isteri-Isterimu, Kalau Mereka Tidak Memiliki Anak.” Dalalah Ayat Tersebut Yaitu Qathi Yakni Terperinci Sekali Hingga Dilarang Dita’Wilkan Dan Dipahami Berdasarkan Arti Selain Yang Ditunjuk Oleh Ayat Itu Sendiri. Dengan Demikian Potongan Suami Dalam Mewarisi Harta Istrinya Yang Meninggal Dengan Tidak Memiliki Anak Ialah Separo Harta Peninggalan (1/2) Tidak Lebih Dan Tidak Kurang. 2. Zhanniyyud Dalalah Nash Yang Memperlihatkan Kepada Arti Yang Masih Sanggup Dita’Wilkan/Dialihkan Kepada Arti Yang Lain. Pola : Firman Allah Qs. Al-Baqarah : 228      Artinya: “Wanita-Wanita Yang Ditalak Handaklah Menahan Diri (Menunggu) Tiga Kali Quru.” Quru' Sanggup Diartikan Suci Atau Haidh. Lafadz Quru’ Dalam Bahasa Arab Disebut Lafadz Musytarak (Bersyarikat) Yang Mengandung Beberapa Pengertian Yaitu Lafadz Yang Memiliki Arti Lebih Dari Satu, Dalam Ayat Tersebut Sanggup Berarti Suci/Haid. Lafadz Quru’ ↗Suci (Imam Safi’I) ↘ Haid (Imam Hanafi) Atas Dasar Itulah Para Mujtahid Berbeda Pendapatnya Dalam Memutuskan Lamanya Iddah Perempuan Yang Dithalaq Oleh Suaminya Dalam Keadaan Tidak Hamil/Bukan Lantaran Ditinggal Mati Oleh Suaminya, Iddah Hingga Dia Melahirkan. Ada Sebagian Mujtahid Yang Memutuskan Iddah Perempuan Tersebut Yaitu 3 Kali Suci, Perbedaan Ketentuan Masa Iddah Tersebut Akan Menjadikan Konsekwensi Aturan Perbedaan Lamanya Masa Iddah. Haid→Maka Iddahnya Akan Pendek Suci →Maka Iddahnya Akan Lebih Panjang  As- Sunnah Berdasarkan Istilah Syar’I Ialah Sabda, Perbuatan, Dan Taqririyyah (Persetujuan Yang Berasal Dari Rasulullah Saw) Sesuai Dengan 3 Hal Tersebut Diatas Yang Disandarkan Oleh Rasulullah Saw Maka Sunnah Itu Sanggup Dibedakan 3 Macam : 1. Sunnah Qauliyyah (Perkataan) 2. Sunnah Fi’Liyyah (Perbuatan) 3. Sunnah Taqririyyah (Persetujuan) Sunnah Qauliyyah Yaitu Sabda Yang Disampaikan Oleh Nabi Dalam Banyak Sekali Macam Tujuan Dan Kejadian. Misalnya: Sabda Dia : لاَ ضَرَرَوَلَاضِرِارَ( رواة مالك) “Tidak Ada Kemudratan Dan Tidak Pula Memudaratkan” Sunnah Qauliyyah Yang Bertujuan Memperlihatkan Sugesti Kepada Umat Islam Biar Tidak Membuat Kemudaratan Kepada Dirinya Sendiri Dan Orang Lain. Dengan Demikian Hadits Nabi : هُوَ الَطَهُوْرُ مَاؤُهُ اَلْحِلُّ مَيْتَةُ ( رواه الخمسة) “ Ia Suci Airnya Lagi Halal Bangkainya “ Ini Yaitu Sunnah Qauliyyah Yang Menjelaskan Kesucian Air Maritim Serta Halalnya Ikan-Ikan Yang Mati Didalamnya Walaupun Tanpa Disembelih (Boleh Dimakan Tanpa Disembelih) Sunnah Fi’Liyyah Yaitu Segala Tindakan Rasulullah Saw Sebagai Rasul. Misalnya: Tindakan Dia Mengerjakan Sholat Lima Waktu Dengan Menyempurnakan Cara-Caranya, Syarat-Syaratnya, Dan Rukun-Rukunnya, Juga Menjalankan Ibadah Haji Dll. Sunnah Taqririyyah Yaitu Perkataan/Perbuatan Sebagian Sobat Yang Telah Disetujui Rasulullah Saw/Tidak Dibantahnya/Disetujui Oleh Rasul Melalui Ujian Yang Baik. Persetujuan Dia Terhadap Perbuatan Yang Dilakukan Oleh Sobat Itu Dianggap Sebagai Perbuatan Yang Dilakukan Oleh Dia Sendiri. Pola : Contohnya Periwayatan Salah Seorang Sobat Yang Menceritakan Bahwa Ada 2 Orang Sobat Yang Bepergian. Setelah Tiba Waktu Shalat Mereka Bertayamum Lantaran Tidak Mendapatkan Air, Setelah Itu Mereka Melanjutkan Perjalanan Kembali Ditengah Jalan. Mereka Mendapatkan Air, Sedang Waktu Shalat Masih Ada, Kemudian Salah Seorang Dari Mereka Berwudhu Dan Mengulang Shalatnya, Sedang Yang Lain Tidak. Ketika Kedua Orang Tersebut Melaporkan Kepada Rasullulah Saw. Apa Yang Telah Mereka Lakukan, Maka Dia Membenarkan Tindakan Yang Telah Mereka Lakukan Masing-Masing. Dia Berkata Kepada Orang Yang Mengulang Shalatnya, Kau Bakal Memperoleh 2 Pahala. Sedang Kepada Orang Yang Tidak Mengulang Shalatnya Nabi Berkata, Perbuatanmu Sudah Sesuai Dengan Sunnah Lantaran Itu Shalat Yang Sudah Kau Kerjakan Itu Sudah Cukup. Nisbah (Hubungan As-Sunnah Dengan Al-Qur’An) Adapun Nisbah As-Sunnah Dari Segi Materi Aturan Yang Terkandung Didalamnya Ada 3 Macam : A. Muakkid (Menguatkan) Menguatkan Aturan Yang Telah Ditetapkan Dalam Al-Qur’An. Dengan Demikian Aturan Tersebut Ditetapkan Oleh 2 Sumber Aturan Yaitu : Al-Qur’An Sebagai Sumber Yang Memutuskan Hukumnya Dan As-Sunnah Sebagai Sumber Yang Menguatkannya. Misalnya: Shalat Dan Zakat Telah Ditetapkan Hukumnya Dalam Al-Qur’An An-Nisa : 77     “Dirikanlah Sembahyang Dan Tunaikanlah Zakat.” - Berpuasa Telah Ditetapkan Hukumnya Oleh Allah Dalam Qs. Al-Baqarah : 183                Artinya:“Hai Orang-Orang Yang Beriman, Diwajibkan Atas Kau Berpuasa Sebagaimana Diwajibkan Atas Orang-Orang Sebelum Kau Biar Kau Bertakwa”. - Dan Menunaikan Haji Telah Ditetapkan Hukumnya Dalam Qs. Ali-Imran : 97   ••. . . . Artinya: . . . .Mengerjakan Haji Yaitu Kewajiban Insan Terhadap Allah, Yaitu (Bagi) Orang Yang Sanggup Mengadakan Perjalanan Ke Baitullah”. Dan Kemudian Perbuatan-Perbuatan Tersebut Dikuatkan Oleh Rasulullah Dalam Sabda Dia Ketika Berdialog Dengan Malaikat Jibril. قال ىامحمد احبرى عن الاسلام, فققالل رسول الله صلعم الاسلام ان تشهد ان لااله الاالله وان محمدا رسولالله, وتقىم الصلاة, وتؤتى الزكاة, وتصوم رممضان, والتحبح البىت ان ستطعت الىه سبىلا. “ Malaikat Jibril Bertanya: “Wahai Muhammad, Terangkan Padaku Perihal Islam ! Jawab Muhammad : ”Islam Itu Ialah Persaksianmu Bahwa Tiada Dewa Selain Allah Dan Muhammad Itu Pesuruh Allah, Tindakanmu Mendirikan Sembahyang, Pembayaranmu Atas Zakat, Berpuasamu Di Bulan Ramadhan Dan Pergi Hajimu Ke Baitullah Bila Kau Bisa Melaksanakan Perjalanan Ke Daerah Itu“( Rw. Muslim) - Keharaman Menserikatkan Allah, Menyakiti Hati Kedua Orang Tua, Dan Bersaksi Palsu Telah Ditetapkan Oleh Allah Dalam Al-Qur’An : • Qs. Luqman : 13           Artinya: “Ketika Luqman Berkata Kepada Anaknya, Di W Aktu Ia Memberi Pelajaran Kepadanya: Hai Anakku, Janganlah Kau Mempersekutukan Allah, Bahwasanya Mempersekutukan (Allah) Yaitu Benar-Benar Kezaliman Yang Besar. • Qs. Al-Isra' : 23            Artinya: …….. Maka Sekali-Kali Janganlah Kau Menyampaikan Kepada Keduanya Perkataan Ah Dan Janganlah Kau Membentak Mereka Dan Ucapkanlah Kepada Mereka Perkataan Yang Mulia. Mengucapkan Kata’Ah’ Kepada Orang Renta Tidak Dibolehkan Oleh Agama Apalagi Mengucapkan Kata-Kata Atau Memperlakukan Mereka Dengan Lebih Bergairah Dari Pada Itu. • Q.S Al-Hajj : 30     Artinya: ….. Dan Jauhilah Perkataan-Perkataan Dusta. Maksudnya Antara Lain Ialah: Bulan Haram (Bulan Zulkaidah, Zulhijjah, Muharram Dan Rajab), Tanah Haram (Mekah) Dan Ihram. Kemudian Larangan-Larangan Tersebut Dikuatkan Oleh Sabda Rasulullah Saw : أَلَاأُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَاءِرِ- ثَلَاثًا- قُلْنَا بَلَى يَا رَسُوْللهِ. قَاَل: اَلْاِشِرَاكُ بِاللهِ, وَعُقُوْقُ الْوَالِدَيْنِ, وَكَانَ مُتْكِىَا فَجَلَسَ فَقَالَ: اَلَاوَقَوْلُ الزُّوْرِ وَشَهَادَةُ الزُّوْرِ, فَمَازَالَ يُكَرِّرُهَا حَتَّى قُلْنَا لَيْلتَهُ سَكَتَ. Artinya: “ Perhatikanlah! Saya Akan Menunjukan Kepadamu Sekalian Sebesar-Besar Dosa Besar” (Diucapkan 3 Kali).“Baiklah Hai Rasulullah!”Sahut Kita Semua. “Mempersekutukan Allah, Mendurhakai Kedua Orang Tua, “Konon Rasulullah Di Dikala Itu Sedang Bersandar, Kemudian Duduk Dan Seraya Bersabda: “Ingat, Perkataan Dan Persaksian Palsu. ”Rasulullah Mengulang-Ulanginya Hingga Saya Meminta Semoga Dia Diam.”( Rw. Bukhari-Muslim) A. Memperlihatkan Keterangan (Bayan) Terhadap Ayat-Ayat Al-Qur’An. Dalam Hal Ini Ada 3 Macam Penjelasan. Yakni : 1. Memperlihatkan Perincian Ayat-Ayat Yang Masih Mujmal (Tafshilulmujmal). Contohnya : Perintah Sembahyang Dalam Qs. An-Nisa : 103    •      •  Artinya: “Maka Dirikanlah Shalat Itu (Sebagaimana Biasa). Bahwasanya Shalat Itu Yaitu Fardhu Yang Ditentukan Waktunya Atas Orang-Orang Yang Beriman”. Kemudian Rasulullah Saw Menunjukan Waktu-Waktu Shalat, Jumlah Rakaatnya, Syarat-Syarat Dan Rukun-Rukunnya Dengan Mempraktekkan Sembahyang Kemudian Setelah Itu Bersabda Kepada Para Sobat : صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِىْ أُصَلِّى (رواه البخارى) Bersembahyanglah Kau Menyerupai Yang Kau Lihat Bagaimana Saya Mengerjakan Sembahyang.(Hr. Bukhari) 1. Membatasi Kemutlakannya (Taqyidul Mutlak) Contohnya : Al-Qur’An Membolehkan Kepada Orang Yang Akan Meninggal Wasiat Atas Harta Peninggalannya Berapa Saja Dengan Tidak Dibatasi Maksimalnya, Dalam Firman-Nya, Q.S An-Nisa : 12         Artinya: …….Sesudah Dipenuhi Wasiat Yang Mereka Buat Atau (Dan) Seduah Dibayar Hutangnya”. Memberi Mudharat Kepada Waris Itu Ialah Tindakan-Tindakan Seperti: A. Mewasiatkan Lebih Dari Sepertiga Harta Pusaka. B. Berwasiat Dengan Maksud Mengurangi Harta Warisan. Sekalipun Kurang Dari Sepertiga Bila Ada Niat Mengurangi Hak Waris, Juga Tidak Diperbolehkan. Kemudian Rasulullah Memperlihatkan Batasan Maksimal Wasiat Yang Dibolehkan Dalam Suatu Dialognya Dari Sobat Sa’Ad Bin Abi Waqqash Yang Meminta Biar Diperkenankan Berwasiat 2/3 Harta Peninggalannya. Setelah Permintaaan Wasiat Sebesar Itu Ditolak Oleh Beliau, Dikala Minta Diperkenankan Minta Berwasiat ½ Dari Permintaannya Dan Setelah Undangan Ini Sudah Ditolak Oleh Rasul.Lalu Sa’Ad Minta Diperkenankan Memperlihatkan 1/3 Hartanya Dan Rasulullah Mengijinkan 1/3 Ini. Katanya : اَلثُّلَثُ كَثِيْرٌ , أِنَّكَ أَنْ تَذَ رَوَرَثَنَكَ أَغْنِيَا ءَ خَيْرٌمِنْ أَنْ تَذَرَهُمْ عَا لَةً يَتَكَفَّفُلوْنَ الَنَّاسَ (متض عليه) Artinya:…….. Sepertiga Itu Yaitu Banyak Dan Besar, Alasannya Yaitu Kalau Kau Meninggalkan Hebat Warismu Dalam Keadaan Kecukupan Yaitu Lebih Baik Dari Pada Kalau Kau Meninggalkan Mereka Dalam Keadaan Miskin Yang Meminta-Minta Kepada Orang Banyak. (Rw. Bukhari-Muslim). 2. Takhshishul ‘Am (Mentakhshiskan Keumumannya) Yaitu Mentakhshiskan Keumuman Ayat-Ayat Al-Qur’An. Misalnya: Allah Berfirman Secara Umum Perihal Keharaman Makan Bangkai (Binatang Yang Tiada Disembelih Dengan Nama Allah) Dan Darah, Dalam Surah Al-Maidah : 3      .  “Diharamkan Bagimu (Memakan) Bangkai, Darah, Daging Babi, (Daging Hewan” Kemudian Rasulullah Mengkhususkannya Dengan Pengecualian Kepada Bangkai Ikan Laut, Belalang, Hati, Dan Limpa Dalam Sabdanya : احلت لنا مىتتان ودمان, فاما المىتتان الحوت والجراد, واما اللدمان فا لكبدوالطحال(رواه ابرهم والحاكم) “Dihalalkan Bagi Dua Macam Bangkai Dan Dua Macam Darah.Dua Macam Bangkai Itu Ialah Bangkai Ikan Air Dan Belalang.Sedang Dua Macam Darah Itu Ialah Hati Dan Limpa.(Hr. Ibnu Majah Dan Al-Hakim) - Duduk Kasus Pusaka-Mempusakai Antara Anak Dengan Kedua Orang Tuanya, Dalam Firman-Nya : يُوْصِيْكُمْ اللهُ فِى أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكرِ مِثْلُ حَظِّ الأُنْثَيَيْنِ, (النساء : 11) Allah Mensyari’Atkan Kepadamu Dalam Pusaka Anak-Anakmu, Yaitu Potongan Seorang Anak Pria Sama Dengan Potongan Dua Orang Anak Perempuan. ( An-Nisa’ : 11) Dalam Ayat Tersebut Dikatakan Secara Umum Orang Renta Yang Mewariskan Harta Peninggalannya Kepada Anak-Ananya.Kemudian Keumuman Itu Ditakhshiskan Oleh Sabda Rasulullah Saw : نَحْنُ- مَعَاشِرَالأَانْبِيَاءِ- لَانُوْرَثُ مَاتَرَكْنَاهُ صَدَقَةُ. (منفق علىه) Kami, Khususnya Para Nabi, Tidak Sanggup Diwarisi.Apa Yang Kami Tinggalkan Yaitu Sebagai Sedekah. (Rw. Bukhari-Muslim) Perkataan Anak Dalam Ayat Tersebut Juga Dilukiskan Secara Umum Dengan Lafadz “Auladakum” (Anak-Anakmu). Kemudian Anak Tersebut Dikhususkan Oleh Nabi Muhammad Saw. Kepada Anak Yang Sanggup Mewarisi. Sedang Anak Yang Tidak Berhak Mempusakai Harta Orang Tuanya. Contohnya : Lantaran Ia Membunuh Orang Tuanya, Dikeluarkan Dari Pengertian Umum Itu, Mengingat Sabda Rasulullah Saw : لَيْسَ لِلْقَاتِلِ مِنَ الْمَقْتُوْلِ شَيْئٌ (رواه انسائ) Tidak Ada Hak Bagi Si Pembunuh Mempusakai Harta Peninggalan Orang Yang Dibunuh Sedikitpun. (Rw. An-Nisa’I) 1. Membuat Hukum-Hukum Gres Yang Tiada Dalam Al-Qur’An Contohnya : Dia Memutuskan Aturan Haramnya Binatang Buas Yang Bertaring Besar Lengan Berkuasa Dan Burung Yang Berkuku Besar Lengan Berkuasa Menyerupai Yang Diriwayatkan Oleh Ibnu Abbas : نَهَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ عَنْ كُلِّ ذِيْ نَابً مِنَ الْسِّبَاعِ وَعَنْ كُلِّ ذِيْ مِحْلَبٍ مِنَ الطَّيْرِ (رواه مسلم) “Rasulullah Saw. Melarang Memakan Setiap Binatang Yang Bertaring Dari Golongan Binatang Buas Dan Setiap Binatang Yang Berkuku Besar Lengan Berkuasa Dari Golongan Burung. (Rw. Bukhari-Muslim). Pembagian Sunnah Sunnah Ada 3 Macam : 1. Sunnah Mutawatirah 2. Sunnah Masyhurah 3. Sunnah Minggu 1. Sunnah Mutawatirah Yaitu Segala Sesuatu Dari Rasulullah Saw, Yang Diriwayatkan Oleh Sekian Banyak Sobat Yang Berdasarkan Budbahasa Kebiasaan Mustahillah Mereka Bersepakat Untuk Berdusta. Kemudian Dari Sahabat-Sahabat Itu Diriwayatkan Pula Oleh Para Tabi’I Dan Orang Berikutnya Dalam Jumlah Yang Seimbang Dengan Jumlah Para Sobat Yang Meriwayatkan Pada Mula Pertama. - Sunnah Mutawatirah Itu Banyak Kita Dapatkan Pada Sunnah Amaliah (Yang Pribadi Dikerjakan Oleh Rasulullah). Contohnya :Cara Menjalankan Shalat, Melaksanakan Puasa, Menunaikan Ibadah Haji Dll. Perbuatan-Perbuatan Rasulullah Tersebut Disaksikan Sendiri Secara Pribadi Oleh Para Sobat Dengan Tidak Ada Perubahan Sedikit Pun Pada Waktu Disampaikan Kepada Para Tabi’I Dan Orang-Orang Pada Generasi Berikutnya. - Sunnah Mutawatirah Qauliyah (Berupa Sabda-Sabda Rasulullah) Sedikit Sekali Yang Mencapai Derajat Mutawatirah. Para Ulama Membagi Sunnah Mutawatirah Ini Kepada : - Mutawatirah Lafzhiyah - Mutawatirah Ma’Nawiyah Sunnah Mutawatirah Dikatakan Lafzhiyah Bila Redaksi Dan Kandungan Sunnah Yang Disampaikan Oleh Sekian Banyak Perawi Tersebut Yaitu Sama Benar. Diriwayatkan Oleh Lebih Kurang 200 Orang Sobat Dengan Redaksi Dan Isi Yang Tidak Berbeda. Contohnya Sabda Rasulullah Saw : فَمَنْ كَذَ بَ عَلَىَّ مُتَعِمْدًا فَلْيَتَبَوَّا مَقْعَدهُ مِنَ النَّارِ (متفق عليه) “Maka Barang Siapa Membuat Kebohongan Terhadap Saya Dengan Sengaja, Hendaklah Ia Menempati Daerah Duduknya Di Api Neraka.” (Rw. Bukhari-Muslim). Sunnah Mutawatirah Ma’Nawiyah Ialah Sunnah Mutawatirah Yang Berbeda Susunan Yang Berbeda Susunan Redaksinya Satu Sama Lain, Tetapi Masing-Masing Susunan Redaksi Yang Berbeda-Beda Itu Memiliki Hal-Hal Yang Sama (Kadar Musytarak). Contohnya : Sabda Rasulullah Saw Perihal Mengangkat Tangan Pada Waktu Mendo’A. Hadits Semacam Itu Diriwayatkan Oleh Kurang Lebih 100 Orang Sobat Dengan Ungkapan Kalimat Yang Berbeda-Beda Dan Dicantumkan Dalam Duduk Kasus Yang Berbeda-Beda Pula. Akan Tetapi Dalam Riwayat Yang Berbeda-Beda Itu Ada Sesuatu Yang Sama (Musytarak), Yaitu Sunnatnya Mengangkat Tangan Pada Waktu Mendo’A. 2. Sunnah Masyurah Ialah Segala Sesuatu Dari Rasulullah Saw Yang Diriwayatkan Oleh Sobat Atau Dua Orang Atau Lebih Yang Tidak Hingga Mencapai Derajat Mutawatirah, Kemudian Dari Sobat Tersebut Diriwayatkan Oleh Sekian Banyak Tabi’I Yang Mencapai Derajat Mutawatirah Dan Dari Sekian Banyak Tabi’I Ini Diriwayatkan Oleh Sekian Banyak Rawi Yang Mutawatir Pula. Contohnya Hadits : إِنَّمَا الأَعْمَالَ بِا لِنْيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئِ مَا نَوَى (متفق عليه) “Amal-Amal Itu Sahnya Hanyalah Dengan Niat Dan Setiap Orang Itu Hanya Akan Memperoleh Apa Yang Ia Niatkan …………”.(Rw. Bukhari-Muslim) Pada Generasi Sobat Hadits Itu Hanya Diriwayatkan Oleh Umar Bin Khattab, Abdullah Bin Mas’Ud Ra Dan Debu Bakar Ra. Tetapi Kemudian Generasi Tabi’I Hadits Itu Diriwayatkan Oleh Sekian Banyak Orang Yang Mencapai Derajat Mutawatir Dan Pada Generasi Berikutnya Pun Demikian Hingga Kepada Kita. Perbedaan Antara Sunnah Mutawatirah Dengan Sunnah Masyhurah : - Sunnah Mutawatirah : Para Perawinya Semenjak Dari Generasi Sahabat, Tabi’I Hingga Kepada Tabi’In-Tabi’In Dan Seterusnya Mencapai Kriteria Mutawatir. - Sunnah Masyhurah : Para Perawinya Pada Generasi Sobat Tidak Mencapai Kriteria Mutawatir, Tetapi Gres Pada Generasi Tabi’I Dan Seterusnya Mencapai Kriteria Mutawatir. - Sunnah Masyhurah Itu Juga Wajib Diamalkan Sebagaimana Sunnah Mutawatirah. Hanya Saja Tingkatannya Yaitu Lebih Rendah Dari Pada Sunnah Mutawatirah Dan Lebih Tinggi Dari Pada Sunnah Ahad. 3. Sunnah Minggu Ialah Segala Sesuatu Dari Rasulullah Saw Yang Diriwayatkan Oleh Seorang Sahabat, Dua Orang Atau Lebih Yang Tidak Hingga Derajat Mutawatir, Kemudian Dari Sobat Tersebut Diriwayatkan Oleh Seorang Tabi’I, Dua Orang Atau Lebih Dan Seterusnya Diriwayatkan Oleh Perawi-Perawi Dalam Keadaan Yang Sama (Tidak Mutawatir). Sunnah Minggu Ini Yaitu Yang Paling Banyak Kita Dapati Dalam Kitab-Kitab Sunnah. Sunnah Minggu Dibagi Menjadi 3 Potongan Yaitu : 1. Shahih 2. Hasan 3. Dhaif 1. Hadits (Sunnah) Shahih Ialah Hadits Yang Diriwayatkan Oleh Perawi Yang Adil, Dan Tepat Ketelitiannya, Sanadnya Bersambung, Hingga Kepada Rasulullah, Tidak Memiliki Cacat (‘Illat) Dan Itu Berlawanan Dengan Periwayatan Orang Yang Lebih Terpercaya. 2. Hadits Hasan, Ialah Hadits Yang Diriwayatkan Oleh Perawi Yang Adil Tetapi Kurang Ketelitiannya, Sanadnya Bersambung Hingga Kepada Rasulullah, Tidak Memiliki Cacat Dan Tidak Berlawanan Dengan Periwayatan Orang Yang Lebih Terpercaya. 3. Hadits Dha’If, Ialah Hadits Yang Tidak Memenuhi Syarat-Syarat Hadits Shahih Dan Hadits Hasan. Hadits Dha’If Ini Banyak Macamnya Antara Lain :  Hadits Maudhu  Hadits Mursal  Hadits Mu’Allaq  Hadits Munqathi’  Hadits Mudallas  Hadits Muththrib  Hadits Mudraj  Hadist Munkar  Hadist Mubham (Lihat Lebih Lanjut Dalam Ilmu Mushthalahul-Hadits) Qath’Iyah (Kepastian) Dan Zhanniyah (Dugaan) Dilihat Dari Segi Wurudnya (Dari Siapa Tiba Hadits Itu) Maka : 1. Sunnah Mutawatirah Yaitu Qath’Iyatul-Wurud (Pasti Datangnya) Dari Rasulullah Saw. Alasannya Yaitu Cara-Cara Penerimaan Dan Pemberitaan Yang Disampaikan Oleh Perawi-Perawinya Memperlihatkan Keyakinan Bahwa Isu Itu Berasal Dari Rasulullah Saw. 2. Sunnah Masyhurah Yaitu Qath’Iyatul-Wurud (Pasti Datangnya) Dari Sahabat. Alasannya Yaitu Jumlah Sobat Yang Memberikan Isu Itu Tidak Hingga Mencapai Ukuran Mutawatir, Hingga Nilai Pemberitahuannya Pun Tidak Mutawatirah. Akan Tetapi Berdasarkan Para Ulama-Ulama Hanafiyah Sunnah Masyhurah Itu Dianggap Sebagai Sunnah Mutawatirah. Dengan Demikian Berdasarkan Mereka Sunnah Masyhurah Itu Sanggup Digunakan Untuk Mentakhshiskan Keumuman Al-Qur’An Dan Mentaqyidkan (Membatasi) Kemutlakannya. 3. Adapun Sunnah Minggu Yaitu Zhanniyatul Wurud (Diduga Keras Datangnya) Dari Rasulullah Saw. Alasannya Yaitu Cara-Cara Penerimaan Dan Pemberitaan Yang Disampaikan Oleh Perawi-Perawinya Tidak Memperlihatkan Keyakinan Secara Qath’I (Pasti) Bahwa Apa Yang Diberitakan Itu Berasal Dari Rasulullah Saw. Dilihat Dari Segi Dalalahnya (Petunjuk Yang Diperoleh Dari Hadits Itu) Masing-Masing Dari Tiga Sunnah Itu Adakalanya : 1. Qathi’Iyud-Dalalah (Petunjuk Yang Diperoleh Dari Padanya Memastikan Demikian), Apabila Pengertian Yang Ditunjuk Oleh Masing-Masing Sunnah Itu Tidak Sanggup Ditafsirkan Kepada Arti Yang Diluar Artinya Yang Semula. 2. Zhanniyatud-Dalalah (Petunjuk Yang Diperoleh Darinya Yaitu Berdasarkan Dugaan Keras), Apabila Pengertian Yang Ditunjuk Oleh Masing-Masing Sunnah Itu Sanggup Ditafsirkan Kepada Arti Lain Yang Diluar Artinya Semula.  Ijma’ Berdasarkan Bahasa Ijma Memiliki Dua Arti, Yaitu : 1. Kesepakatan, Menyerupai : Perkataan : Jamaal Qaumu ‘Alaa Kadzaa Idzaa Itafaquu Alaihi. Artinya : Suatu Kaum Telah Berijma Begini, Kalau Mereka Sudah Sepakat Kepadanya. 2. Kebulatan Tekad Atau Niat. Menyerupai Firman Allah :    . . . . Lantaran Itu Bulatkanlah Keputusanmu Dan (Kumpulkanlah) Sekutu-Sekutumu (Untuk Membinasakanku). Berdasarkan Istilah Hebat Ushul, Ijma Yaitu : اِتِفَاقُ جَمِيْعِ اْلمُجْتَهِدِيْنَ مِنَ اْلمُسْلِمِيْنِ فِي عَصْرٍمِنَ الْعُصُوْرِبَعْدِ وَفَاةِ الْرَسُوْلِ عَلَى حُكْمِ مِنَ اْلاحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ اْلعَمَلِيَّةِ. “Kesepakatan Seluruh Mujtahid Islam Dalam Suatu Masa, Setelah Wafat Rasulullah Saw, Akan Suatu Aturan Syari’At Yang Amali. • Berdasarkan Riwayat Al-Baqhawi Kalau Debu Bakar Hendak Menuntaskan Suatu Kasus Yang Diminta Penyelesaian Oleh Orang Yang Berperkara, Maka Dia Mencari Di Dalam Al-Qur’An Dan As-Sunnah. Pemecahan Aturan Tersebut Dan Mengundang Tokoh-Tokoh Agama Untuk Memusyawarahkannya. Kalau Mereka Telah Mengambil Putusan Secara Lingkaran Terhadap Duduk Kasus Tersebut Kemudian Dia Menjalankan Utusan Itu. • Umar Bin Khattab Menjalankan Tindakan Menyerupai Yang Dilakukan Oleh Debu Bakar. Tindakan Ke Dua Khalifah Besar Ini Diterima Oleh Sahabat-Sahabat Besar Dan Pemuka-Pemuka Kaum Muslimin Dengan Tidak Ada Seorang Pun Yang Mengingkarinya. Sebagai Kesimpulan Dari Nash-Nash Dan Atsar (Hadits) Tersebut Yaitu Bahwa Sumber Aturan Yang Prinsip Dalam Perundang-Undangan Islam Yang Telah Disepakati Oleh Jumhur Ulama Pukaha.  Qiyas Yaitu Mempersamakan Aturan Suatu Duduk Kasus Yang Tidak Ada Nashnya Dengan Aturan Yang Sudah Ada Nashnya, Lantaran Adanya Persamaan ‘Illat Aturan Dari Kedua Duduk Kasus Tersebut. إِلْحَاقُ أَمْرِ مَعْلُوْمٍ عَلَى حُكْمِهِ بِاَمْرِ غَيْرُ مَعَلَوْمِ عَلَى حُكْمِهِ لِإثْتِراكه معه فِ عِلَيْهِ الْحُكْمِ Sesuai Dengan Ta’Rif Tersebut, Apabila Ada Suatu Duduk Kasus Yang Hukumnya Telah Ditetapkan Oleh Suatu Nash Dan ‘Illat Hukumnya Pun Telah Diketahui Berdasarkan Cara-Cara Untuk Mengetahui ‘Illat Hukum, Kemudian Didapati Lagi Dari Duduk Kasus Lain Yang Hukumnya Tidak Ditetapkan Oleh Suatu Nash, Tetapi ‘Illat Hukumnya Sama Dengan Duduk Kasus Yang Sudah Memiliki Nash Tersebut Maka Aturan Duduk Kasus Yang Tidak Ada Nashnya Tersebut Disamakan Dengan Aturan Duduk Kasus Yang Ada Nashnya, Lantaran Adanya Persamaan ‘Illat Aturan Pada Kedua Duduk Kasus Tersebut. Pola : Jual Beli Pada Waktu Adzan Jum’At Diserukan Yaitu Suatu Duduk Kasus Yang Telah Ditetapkan Hukumnya Oleh Nash Yaitu Makruh. Berdasarkan Firman Allah Swt Qs. Al-Jum’Ah : 9                        Hai Orang-Orang Beriman, Apabila Diseru Untuk Menunaikan Shalat Jum'at, Maka Bersegeralah Kau Kepada Mengingat Allah Dan Tinggalkanlah Jual Beli. Maksudnya: Apabila Imam Telah Naik Mimbar Dan Muazzin Telah Azan Di Hari Jum'at, Maka Kaum Muslimin Wajib Bersegera Memenuhi Panggilan Muazzin Itu Dan Meninggalakan Semua Pekerjaannya. ‘Illat Aturan Dimakruhkannya Pada Waktu Adzan Jum’At Diserukan. Ialah Lantaran Perbuatan Tersebut Melalaikan Sembahyang. Kemudian Masalah-Masalah Menyerupai Mengadakan Perikatan, Gadai Menggadaikan, Pemburuhan Atau Mengadakan Perikatan-Perikatan Muamalat Lainnya Yang Dilakukan Pada Waktu Adzan Jum’At Diserukan Tidak Ada Nash Yang Memutuskan Hukumnya. Akan Tetapi Lantaran ‘Illat Dari Duduk Kasus Jual Beli Yang Dilakukan Waktu Adzan Jum’At Diserukan, Yaitu Melalaikan Bersembahyang, Maka Aturan Perbuatan-Perbuatan Tersebut Aturan Jual Beli Yakni Makruh. Pola Lain : Mas’Alah Spesialis Waris, Membunuh Seorang Yang Akan Mewariskan Harta Peninggalannya Yaitu Suatu Mas’Alah Yang Sudah Tetap Hukumnya Dalam Suatu Nash, Hukumnya Ialah Terhalangnya Si Pembunuh Mewarisi Harta Peninggalan Orang Yang Dibunuh Tersebut Berdasarkan Nash Nabi Saw. لَيْسَ لِلْقَا تِلِ مِنَ اْلمَقْتوْلِ شَيْءٌ (رواه النسائ) Bagi Orang Yang Membunuh Tidak Ada Hak Mewarisi Harta Peninggalan Orang Yang Dibunuh Sedikitpun. ‘Illat Aturan Terlarangnya Si Pembunuh Mewarisi Harta Peninggalan Orang Yang Dibunuh Itu, Lantaran Ia Melaksanakan Tindakan Kejahatan Pembunuhan Yang Diharamkan Oleh Dewa Untuk Mencapai Suatu Manfaat Sebelum Waktunya. Duduk Kasus Pembunuhan Yang Dilakukan Oleh Seorang Yang Mendapatkan Wasiat Terhadap Orang Yang Memperlihatkan Wasiat Tidak Ada Nashnya, Hukumnya, Duduk Kasus Ini Yaitu Duduk Kasus Cabang Yang Hendak Dicari Hukumnya. Biarpun Tidak Ada Nashnya, Namun Duduk Kasus Tersebut Memiliki ‘Illat Aturan Yang Sama Dengan ‘Illat Aturan Yang Terdapat Pada Duduk Kasus Pembunuhan Yang Dilakukan Oleh Hebat Waris, Terhadap Orang Yang Mewariskan Yakni Untuk Mencapai Suatu Manfaat Sebelum Waktunya Dengan Melaksanakan Tindakan Perbuatan Yang Diharamkan. Maka Hukumnya Pun Dilakukan Pula Yakni Terhalang, Haram, Mendapatkan Harta Yang Diwasiatkan Kepadanya. Rukun-Rukun Qiyas Rukun-Rukun Qiyas Ada 4 : 1. Ashal → Pembunuhan, Hebat Waris 2. Furu’ → Penggadaian 3. Aturan Ashal → Hukumnya Makruh 4. ‘Illat → Sama-Sama Melalaikan Waktu Shalat 1. Ashal (Pokok) Ialah Suatu Kasus Yang Sudah Ada Nashnya Yang Dijadikan Daerah Mengkiaskan. Ashal Itu Juga Disebut Maqis Alaihi (Yang Dijadikan Daerah Mengkiaskan) 2. Furu’ (Cabang) Yaitu Kasus Yang Tidak Ada Nashnya Dan Kasus Itulah Yang Dikehendaki Untuk Disamakan Hukumnya Dengan Ashal. 3. Aturan Ashal Yaitu Aturan Syara’ Yang Ditetapkan Oleh Nash Dan Dikehendaki Untuk Memutuskan Aturan Itu Kepada Cabangnya. 4. ‘Illat Ialah Suatu Sifat Yang Terdapat Pada Kasus Yang Ashal, Lantaran Adanya Sifat Itu Maka Kasus Ashal Itu Memiliki Suatu Aturan Dan Oleh Lantaran Itu Terdapat Pula Pada Cabang, Maka Disamakanlah Aturan Cabang Itu Dengan Aturan Ashal. Contohnya : Kita Ingin Mengetahui Perihal Aturan Memakai Sabu-Sabu, Bir, Ganja, Dll. Hal Ini Tidak Ada Ketentuan Hukumnya Didalam Al-Qur’An.Maka Untuk Memilih Hukumnya Kita Coba Dengan Metode Qiyas. Yang Ada Ketentuan Hukumnya Yaitu Larangan Meminum Khamar, Yakni Haram,Berdasarkan Qs. Al-Maidah : 90                 “Sesungguhnya (Meminum) Khamar, Berjudi, (Berkorban Untuk) Berhala, Mengundi Nasib Dengan Panah Yaitu Termasuk Perbuatan Syaitan. Maka Jauhilah Perbuatan-Perbuatan Itu Biar Kau Menerima Keberuntungan. Lantaran ‘Illat Khamar Sama Dengan Bir, Wisky Dll.Maka Kita Sanggup Menarik Kesimpulan Aturan Bir, Wisky Yaitu Haram.‘Illatnya Merusak Kebijaksanaan Pikiran, Oleh Alasannya Yaitu Itu Minum Bir, Wisky Dll Yaitu Sama-Sama Haram. Misal : Kita Ingin Mengetahui Aturan Bermuamalah/Menggadaikan Transaksi Menyerupai : Sewa Menyewa, Gadai Menggadai Pada Dikala Adzan Jum’At Dikumandangkan. Perihal Hal Tersebut Tidak Kita Temukan Ketentuan Hukum-Hukumnya, Yang Ada Nashnya (Ketentuan Hukumnya) Yaitu Larangan Berjual Beli Pada Dikala Adzan Jum’At Berdasarkan Qs. Al-Jumu’Ah : 9                        “Hai Orang-Orang Beriman, Apabila Diseru Untuk Menunaikan Shalat Jum'at, Maka Bersegeralah Kau Kepada Mengingat Allah Dan Tinggalkanlah Jual Beli. Maksudnya: Apabila Imam Telah Naik Mimbar Dan Muazzin Telah Azan Di Hari Jum'at, Maka Kaum Muslimin Wajib Bersegera Memenuhi Panggilan Muazzin Itu Dan Meninggalakan Semua Pekerjaannya. Lantaran Sewa-Menyewa Pinjam Meminjam Dll, Sama ‘Illatnya Dengan Jual Beli Pada Dikala Adzan Jum’At Yakni Melalaikan Shalat Jum’At Maka Hukumnya Pun Sama. Dengan Kata Lain Aturan Jual Beli Pada Dikala Adzan Jum’At Sanggup Diterapkan Pada Transaksi-Transaksi Lainnya, Yakni Makruh.Oleh Lantaran Itu Sewa-Menyewa, Pinjam Meminjam, Gadai-Menggadai Dan Transaksi Lainnya Hukumnya Juga Makruh.Karena ‘Illatnya Sama Yakni Melalaikan Sholat Jum’At. Pola Pertama : Ashal : Khamar Furu (Cabang) : Bir, Wisky, Narkotika Dll Aturan Ashal : Haram Al-Maidah : 9 ‘Illat : Merusak Kebijaksanaan Pikiran Pola Kedua : Ashal : Jual Beli Pada Dikala Adzan Jum’At Furu : Sewa-Menyewa, Gadai Menggadai Aturan Ashal : Makruh Al-Zumu’Ah ‘Illat : Melalaikan Shalat Jum’At Istihsan Ialah Meninggalkan Qiyas Positif ( Jaly) Untuk Menjadikan Qiyas Yang Samar-Samar, (Tidak Nyata) Dalam Bahasa Arabnya Di Sebut Qiyas Khafi (Tersembunyi), Atau Meninggalkan Aturan Kully (Suruhan) Untuk Menjalankan Aturan Istisnai (Pengecualian) Disebabkan Adanya Dalil Yang Berdasarkan Logika Membenarkannya Dengan Demikian Istihsan Itu Ada 2 Macam : 1. Mentarjihkan (Mengambil Yang Lebih Besar Lengan Berkuasa Qiyas Yang Kurang Jelas Atau Tidak Layak Atas Qiyas Yang Positif Berdasarkan Suatu Dalil Ulama Hanafiyah Menamakan Istihsan Semacam Ini Dengan Istihsan Qiyas (Qiyas Khafi). 2. Mengucualikan Aturan Jusiyah (Sebagian) Dari Aturan Kullyah Dengan Suatu Dalil. Istihsan Macam Ke Dua Ini Oleh Ulama Hanafiyah Disebut Dengan Istihsan Darurat. Alasannya Yaitu Penyimpangan Dari Aturan Kully Tersebut Lantaran Darurat Atau Suatu Kepentingan Yang Mengharuskan Adanya Penyimpangan Dengan Maksud Untuk Menghadapi Keadaan Yang Mendesak Atau Menghindari Kesulitan. - Istihsan Qiyas Khafi Pola : Sisa Minuman Burung-Burung Buas Seperti; Elang, Rajawali, Dll Berdasarkan Istihsan Yaitu Suci, Adapun Segi Istihsannya Yaitu Bahwa Burung-Burung Buas Itu Walaupun Diharamkan Untuk Dimakan, Tapi Ludahnya Yang Keluar Dari Perutnya Atau Dagingnya Sekali-Kali Tidak Akan Bercampur Dengan Sisa Bekas Yang Diminumnya. Alasannya Yaitu Burung Itu Kalau Minum Memakai Paruh Yaitu Sejenis Tulang Suci, Berbeda Dengan Binatang Buas Selain Burung. Kalau Minum Memakai Mulutnya. Sehingga Air Ludahnya Bercampur Dengan Minuman Yang Diminumnya, Oleh Lantaran Itu Sisa Minumannya Yaitu Najis. Berdasarkan Qiyas Jally (Nyata) Yaitu Najis, Sisa Minuman Yang Di Haramkan Baginya Yaitu Sama Dengan Sisa Minuman Dari Binatang Buas, Singa, Harimau, Serigala Dll. Lantaran Aturan Sisa Minuman Sisa-Sisa Tersebut Mengikuti Aturan Dagingnya Yaitu Haram Lantaran Ia Yaitu Najis. Pola Ke Dua - Istihsan Darurat Menyerupai : Berdasarkan Aturan Dan Prinsip Syara Melarang Mengadakan Jual Beli Yang Barangnya Belum Ada Dikala Jual Beli Dilaksanakan, Tetapi Berdasarkan Istihsan Syara Memperlihatkan Rukhasah (Keringanan). Muamalah Tersebut Dengan Diperkenankan Melaksanakan Jual Beli Salam (Jual Beli Dengan Pembayaran Yang Lebih Dahulu Tetapi Barangnya Dikirim Kemudian) Atau Istishna’I (Memesan Untuk Dibuatkan Sesuatu) Aturan Kully Dalam Pola Ini Ialah Tidak Sahnya Jual Beli Barang Yang Belum Ada, Tetapi Oleh Lantaran Itu Transaksi Ini Sangat Diperlukan Dan Sudah Menjadi Kebiasaan Dalam Masyarakat Maka Di Kecuali Dari Aturan Kully Tersebut Suatu Aturan Jus’I. - Segi Istihsannya Ialah Kebutuhan Dan Kebiasaan Dalam Masyarakat. Mashlahah-Mursalah Ialah Suatu Kemaslahatan Yang Tidak Ditetapkan Oleh Syara Suatu Aturan Untuk Mewujudkannya Dan Tidak Pula Terdapat Suatu Dalil Syara Yang Memerintahkan Untuk Memperhatikannya Atau Mengabaikannya/Syara Tidak Memerintahkannya Untuk Melaksanakan Atau Meninggalkannya. Pola : Mengadakan Forum Permasyarakatan Atau Penjara. - Mencetak Mata Uang Sebagai Alat Pertukaran Resmi Suatu Negara. - Mencetak Buku Nikah Dll Dengan Ungkapan Lain Mendirikan Rumah Penjara, Mencetak Mata Uang, Mencetak Buku Nikah Yaitu Usaha-Usaha Dan Tindakan-Tindakan Yang Menjadikan Kemaslahatan. Maksud Syariat Islam Itu Ialah Untuk Mewujudkan Kemaslahatan Insan Yakni Menarik Manfaat Dan Menolak Kemudaratan Serta Menghilangkan Kesusahan. Kemaslahatan Insan Itu Tidak Terbatas Macam-Macamnya Dia Selalu Berkembang Mengikuti Situasi Dan Kondisi Masyarakat. Penetapan Suatu Aturan Itu Dalam Undang-Undang Memberi Manfaat Kepada Masyarakat Pada Suatu Masa Dan Kadang-Kadang Memberi Mudarat Pada Mereka Kepada Duduk Kasus Yang Lain, Dan Kadang-Kadang Memberi Manfaat Kepada Suatu Kelompok Masyarakat Tertentu, Tetapi Mendatangkan Mudarat Kepada Kelompok Masyarakat Yang Lain. Uruf Dan Sar’Ur Manqablana Uruf Ialah Kebiasaan, Apa-Apa Yang Telah Dibiasakan Oleh Masyarakat Dan Di Jalankan Terus-Menerus Baik Berupa Perkataan Maupun Perbuatan Sebagai Pola Budbahasa Kebiasaan Yang Berupa Perbuatan Menyerupai ; Jual Beli Muathah (Bai’U Muathah) Yakni Jual Beli Dimana Si Pembeli Menyerahkan Uang Sebagai Pembayaran Atas Barang Yang Di Ambilnya Tanpa Menyampaikan Kesepakatan Nikah Lantaran Harga Barang Tersebut Sudah Dimaklumi Bersama. Uruf Itu Berbeda Dengan Ijma Lantaran Uruf Itu Di Bentuk Dari Kebiasaan Orang-Orang Yang Berbeda-Beda Tingkatan Dari Mereka. Sedangkan Ijma Dibuat Dari Persesuaian Pendapat Khusus Dari Para Mujtahidin, Orang-Orang Awam Tidak Ikut Dalam Pembentukan Ijma Itu. Uruf Itu Ada 2 Macam : 1. Uruf Shaheh Yaitu Kebiasaan Yang Di Lakukan Oleh Orang-Orang Yang Tidak Bertentangan Dengan Dalil Syara’ Tiada Menghalalkan Yang Haram Dan Tidak Membatalkan Yang Wajib. Contohnya : Budbahasa Kebiasaan Dalam Orang Melamar Seseorang Perempuan Dengan Memperlihatkan Sesuatu Sebagai Hadiah Bukan Sebagai Mahar Dll. 2. Uruf Fasiq Yaitu Budbahasa Kebiasaan Yang Dilakukan Oleh Orang-Orang Berlawanan Dengan Ketentuan Syariah Lantaran Membawa Kepadamenghalalkan Yang Haram Atau Membatalkan Yang Wajib. Contohnya :Kebiasaan-Kebiasaan Dalam Mencari Dana Dengan Menyampaikan Macam-Macam Kupon Berhadiah Dll. Syari’At Umat Sebelum Islam Apabila Al-Qur’An Atau Al-Hadits Shaheh Menunjukan Suatu Aturan Yang Di Syari’Atkan Oleh Allah Kepada Umat Sebelum Umat Islam Kemudiann Al-Qur’An/Hadits Memutuskan Bahwa Aturan Tersebut Di Wajibkan Pula Kepada Umatislam Sebagaimana Diwajibkan Kepada Mereka. Maka Tidak Diperselisihkan Lagi Bahwa Aturan Tersebut Yaitu Syari’At Bagi Kita Dan Sebagai Aturan Tersebut Yaitu Syari’At Bagi Kita Dan Sebagai Aturan Yang Harus Di Ikuti. Misalnya: Kewajiban Berkuasa. Kewajiban Berkuasa Ini Telah Diwajibkan Kepada Umat-Umat Yang Dahulu Kemudian. Setelah Tiba Agama Islam Maka Diwajibkan Pula Bagi Orang Islam. Hal Ini Di Tegaskan Dalam Surah Al-Baqarah :183                Hai Orang-Orang Yang Beriman, Diwajibkan Atas Kau Berpuasa Sebagaimana Diwajibkan Atas Orang-Orang Sebelum Kau Biar Kau Bertakwa. Demikian Juga Apabila Al-Qur’An/Hadits Shaheh Menunjukan Suatu Aturan Yang Di Syariatkan Kepada Umat Yang Dahulu Kemudian Tiba Dalil Syara’ Yang Membatalkannya Maka Disepakati Oleh Seluruh Ulama Bahwa Aturan Itu Bukanlah Aturan Syara’ Bagi Kita Lantaran Sudah Ada Dalil Yang Membatalkannya. Misalnya; Syari’At Yang Berlaku Pada Zaman Nabi Musa As. Bahwa Seseorang Yang Berbuat Maksiat Tidak Akan Di Ampuni Dosanya Kecuali Ia Membunuh Dirinya Dan Pakaian Yang Kena Najis Tidak Akan Sanggup Di Sucikan Kecuali Di Potong Potongan Yang Kena Najis Itu. Dalil Yang Membatalkan Cara-Cara Taubat Yang Dilakukan Oleh Umat Nabi Musa Antara Lain Qs . Huud : 3       Dan Hendaklah Kau Meminta Ampun Kepada Tuhanmu Dan Bertaubat Kepada-Nya. Taubat Berdasarkan Syari’At Islam Harus Memenuhi 3 Syarat, Yakni ; 1. Berhenti Dari Berbuat Maksiat. 2. Meratapi Perbuatan Maksiat Yang Telah Dikerjakan Tersebut. 3. Bertekad Tidak Akan Mengulangi Perbuatan Itu Kembali. Dalil Yang Membatalkan Cara Membersihkan Pakaian Yang Kena Najis Dengan Memotong Potongan Yang Kena Najis Tersebut, Sebagimana Disyari’Atkan Untuk Umat Nabi Musa Antara Lain,Firman Allah Q.S Al-Muddatsir : 4    Dan Pakaianmu Bersihkanlah.