Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hukum Pembuktian



BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Dalam suatu proses perdata, salah satu kiprah hakim ialah mengusut apakah suatu relasi aturan yang menjadi dasar somasi benar-benar ada atau tidak. Adanya relasi aturan inilah yang harus terbukti apabila penggugat menginginkan kemenangan dalam suatu perkara. Apabila penggugat tidak berhasil untuk menerangkan dalil-dalilnya yang menjadi dasar gugatnya, maka gugatannya akan ditolak, sedangkan apabila berhasil, gugatannya akan dikabulkan.[1]
Dari latar belakang duduk kasus di atas penulis tertarik untuk menggali lebih dalam duduk kasus wacana pembuktian dalam suatu proses perdata ini dalam cuilan selanjutnya.

B.  Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian aturan pembuktian ?
2.      Bagaimana prinsip umum pembuktian ?
3.      Bagaimana beban pembuktian dan batas minimal pembuktian ?
4.      Apa saja alat-alat bukti yang sanggup dipakai atau tidak dalam aturan pembuktian ?
BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Hukum Pembuktian
Hukum pembuktian (law of evidence) dalam berperkara ialah cuilan yang sangat kompleks dalam proses litigasi. Keadaan kompleksitasnya makin rumit, alasannya ialah pembuktian berkaitan dengan kemampuan merekonstruksi insiden kejadian masa kemudian dan suatu kebenaran (truth). Kesusahan mengungkap kebenaran dalam proses pembuktian alasannya ialah alat bukti mengandung:
a.       Adanya dugaan dan prasangka.
  1. Faktor kebohongan.
  2. Unsur ketiruanan.

B.     Prinsip Umum Pembuktian
Prinsip umum pembuktian ialah landasan penerapan pembuktian. Semua pihak termasuk hakim harus berpatokan yang digariskan prinsip tersebut. Memang di samping itu masih terdapat lagi prinsip-prinsip khusus yang berlaku untuk setiap jenis alat bukti, sehingga harus juga dijadikan patokan dalam penerapan sistem pembuktian.
1.    Mewujudkan Kebenaran Formil (Formeel Waarheid)
Sistem pembuktian yang dianut Hukum Acara Perdata, tidak bersifat stelsel negatif berdasarkan UU (negatief wettelijk stelsel), menyerupai dalam proses investigasi pidana yang menuntut pencarian kebenaran dengan alat bukti sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan didukung keyakinan oleh hakim atau disebut mencari kebenaran materiil (beyond a reasonable doubt). Hukum program perdata pada prinsipnya ”Mencari Kebenaran Formil”, meskipun demikian Mahkamah Agung dalam Putusan No. 3136 K/Pdt/1983, menegaskan bahwa pengadilan dalam mengadili kasus perdata tidak dihentikan mencari dan menemukan kebenaran materil. Namun apabila kebenaran materil tidak ditemukan dalam peradilan perdata, hakim dibenarkan aturan mengambil putusan berdasarkan kebenaran formil.  
Dalam rangka mencari kebenaran formil, hakim perlu memegang prinsip sebagai diberikut:
a.       Tugas dan Peran Hakim Bersifat Pasif
Hakim spesialuntuk terbatas mendapatkan dan mengusut sepanjang terkena hal-hal yang diajukan penggugat dan tergugat. Oleh alasannya ialah itu, fungsi dan kiprah hakim dalam proses kasus perdata, spesialuntuk terbatas mencari dan menemukan kebenaran formil, yang kebenaran itu diwujudkan sesuai dengan dasar alasan dan fakta-fakta yang diajukan oleh para pihak selama proses persidangan berlangsung. [2]
b.      Putusan Berdasarkan Pembuktian Fakta
Hakim tidak dibenarkan mengambil putusan tanpa pembuktian. Kunci ditolak atau dikabulkannya gugatan, mesti berdasarkan pembuktian yang bersumber dari fakta-fakta yang diajukan  para pihak. Pembuktian spesialuntuk sanggup ditegakkan berdasarkan proteksi fakta-fakta, sehingga pembuktian tidak sanggup ditegakkan tanpa adanya fakta-fakta yang mendukungnya (Vide Putusan MA No.2775 K/Pdt/1983).  
2.    Pengakuan Mengakhiri Pemeriksaan Pekara
Pada prinsipnya, investigasi kasus sudah berakhir apabila salah satu pihak mempersembahkan pengakuan yang bersifat menyeluruh terhadap materi pokok perkara. Apabila tergugat mengakui secara murni dan lingkaran atas materi pokok yang didalilkan penggugat, dianggap kasus yang disengketakan sudah selesai, alasannya ialah dengan pengakuan itu sudah dipastikan dan diselesaikan relasi aturan yang terjadi antara para pihak. Namun berdasarkan Putusan MA No. 288 K/Sip/1973, bahwa pengakuan yang didiberikan tidak benar, hakim berwenang menilai apakah pengakuan tersebut mengandung kebenaran atau kebohongan.
Patokan dari sebuah pengakuan tergugat ialah sebagai diberikut:
  1. Pengakuan yang didiberikan tanpa syarat atau ditetapkan secara tegas.
  2. Tidak menyangkal dengan cara berdiam diri (silence).
  3. Menyangkal tanpa alasan yang cukup.  
3.    Fakta-Fakta yang tidak Perlu Dibuktikan
Tidak tiruana fakta harus dibuktikan, serius pembuktian ditujukan kepada insiden atas insiden relasi aturan yang menjadi pokok persengketaan sesuai dengan yang didalilkan somasi pada satu sisi dan apa yang disangkal tergugat pada sisi lain.
Hal-hal yang tidak perlu dibuktikan sebagai diberikut:
a.       Hukum positif tidak perlu dibuktikan, yang bertitik tolak dari kepercayaan curia novit jus, yakni pengadilan dianggap mengetahui segala aturan positif dan aturan yang hidup di masyarakat (living law).
b.      Fakta yang diketahui umum tidak dibuktikan, yang ditemukan di kepercayaan aturan pembuktian terminus notoir feiten, yaitu aturan menganggap berlebihan menerangkan sesuatu keadaan yang sudah diketahui masyarakat umum (Vide H.R, 24 Maret 1022, W. 10913 dan Pasal 184 ayat (2) KUHAP).
c.       Fakta yang tidak dibantah, tidak perlu dibantah alasannya ialah secara logis dianggap sudah terbukti kebenarannya yang dilakukan pihak lawan dengan mengakui secara tegas (expressis verbis) dalil dan fakta atau bantahan yang diajukan tanpa dasar alasan.
d.      Fakta yang ditemukan selam proses persidangan tidak perlu dibuktikan, alasannya ialah fakta sudah diketahui, dialami, dilihat atau didengar hakim selama proses investigasi persidangan berlangsung.
4.    Bukti Lawan (Tegenbewijs)
Salah satu prinsip umum pembuktian, memdiberi hak kepada pihak lawan mengajukan bukti lawan (Vide Pasal 1918 KUH Perdata) yang diajukan tergugat untuk kepentingan pembelaannya terhadap dalil dan fakta yang diajukan penggugat. Sebagai contoh, berdasarkan Putusan MA No. 3360 K/Sip/1983, bahwa nilai pembuktian sertifikat otentik ialah tepat (volledig), akan tetapi hal itu menempel sepanjang tidak diajukan bukti lawan oleh pihak tergugat yang melumpuhkan (Vide Pasal 1870 KUH Perdata dan Pasal 314 RBG).      

C.    Beban Pembuktian
                  Salah satu cuilan penting dalam sistem pembuktian kasus perdata ialah beban pembuktian (bewijslast), yang bertujuan tidak adanya kekeliruan dalam pembebanan pembuktian dan menghindari kesewenang-wenangan terhadap pihak yang dibebani.
1.    Prinsip Beban Pembuktian
Pedoman dari pembuktian sebagai diberikut:
  1. Tidak bersikap berat sebelah atau imparsialitas. Hal ini berdasarkan Pasal 163 HIR, yang menegaskan bahwa barang siapa mendalilkan suatu hak atau wacana adanya suatu fakta untuk menegakkan hak maupun untuk menyangkal hak orang lain, harus menerangkan hakn tersebut atau fakta lain.              
  2. Menegakkan risiko alokasi pembebanan pembuktian. Hal ini sanggup dilihat dalam Putusan MA No. 3565 K/Pdt/1984 dan Putusan MA No. 2418 K/Pdt/1984.   
2.    Penerapan Pembuktian Masalah Yuridis
Penerapan beban pembuktian ialah duduk kasus yurudis atau hukum. Oleh alasannya ialah duduk kasus yuridis, penerapannya sanggup diperjuangkan hingga ke tingkat kasasi di Mahkamah Agung. Artinya apabila Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi salah meletakkan pertolongan pembebanan pembuktian, pihak yang merasa dirugikan sanggup menjadikan kesalahan itu sebagai alasan kasasi (Vide Putusan MA No. 578 K/Pdt/1984 dan No. 1855 K/Pdt/1984).
3.    Pedoman Pembagian Beban Pembuktian
a.       Berdasarkan Undang-Undang
Sebagai anutan pertolongan beban pembuktian digariskan dalam Pasal 163 HIR, Pasal 283 RBG dan Pasal 1865 KUH Perdata yang menegaskan bahwa setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau guna menegakkan haknya sendiri maupun membantah sesuatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan menerangkan adanya hak atau insiden tersebut.  
Dalam sistem aturan Common Law anutan pertolongan pembuktian dikenal dengan Burder Of Proof dengan kalimat, ”Ho Who Asserts Must Prov”, artinya siapa yang menyatakan sesuatu, mesti membuktikannya. Dalam Putusan MA No. 3164 K/Pdt/1983 ditegaskan bahwa beban pembuktian ada ditangan penggugat, alasannya ialah ia yang mengemukakan sesuatu hak dan berarti pihak yang dibebani wajib menerangkan dalil gugatannya.
b.      Berdasarkan Teori Hak
Berdasarkan teori hak, beban pembuktian ada di Penggugat, alasannya ialah ia pihak yang mengemukakan haknya. Sehingga yang harus dibuktikan ialah fakta menyangkut kualitas dari para pihak untuk melaksanakan tindakan hukum, fakta yang menimbulkan, mengahalangi dan menghapuskan hak. 
c.       Berdasarkan Teori Hukum
Beban pembuktian berdasarkan teori aturan ialah proses investigasi dan penyelesaian kasus hakim harus melaksanakan aturan artinya peraturan perundang-undangan yang berlaku baik yang tertulis maupun tidak tertulis (living law).[3] 

D. Batas Minimal Pembuktian
Batas minimal pembuktian ialah suatu jumlah alat bukti yang sah paling sedikit dalam KUHAP, dua alat bukti dan memenuhi asas unus testis nullus testis harus terpenuhi, semoga alat bukti itu mempunyai nilai kekuatan pembuktian untuk mendukung kebenaran yang didalilkan atau dikemukakan.
Pengajuan alat bukti yang efektif mencapai batas minimal pembuktian, didasarkan pada faktor kualitas alat bukti yang bersangkutan. Menurut hukum, alat bukti yang berkarakter dan sah sebagi diberikut:
1.    Alat Bukti Yang Memenuhi Syarat Formil
a.       Orang yang tidak dihentikan sebagai saksi berdasarkan Pasal 1910 KUH Perdata, Pasal 145 Jo. Pasal 172 HIR.
b.      Memdiberi keterangan di persidangan sesuai dengan ketentuan Pasal 144 HIR dan Pasal 1905 KUH Perdata.
c.       Mengucapkan sumpah berdasarkan agama atau keyakinan berdasarkan Pasal 1907 KUH Perdata dan Pasal 171 HIR.
2.    Alat Bukti yang Memenuhi Syarat Materiil
a.         Keterangan yang didiberikan didukung oleh alasan dan pengetahuan yang terang sesuai ketentuan Pasal 1907 KUH Perdata dan Pasal 171 HIR.
b.        Fakta insiden yang diterangkan bersumber dari pengalaman, penglihatan, dan mendengar sendiri wacana hal yang benar-benar berkaitan pribadi dengan kasus yang disengketakan sesuai Pasal 1907 KUH Perdata dan Pasal 171 HIR.
c.         Keterangan yang didiberikan saling bersesuaian antara yang satu dengan yang lain atau dengan alat bukti lain berdasarkan Pasal 1906 KUH Perdata dan Pasal 170 HIR. .

E. Alat-Alat Bukti
1. Umum
Alat bukti (bewijsmiddel) majemuk bentuk dan jenis, yang bisa memdiberi keterangan dan klarifikasi wacana duduk kasus yang diperkirakan di pengadilan. Alat bukti diajukan para pihak untuk membenarkan dalil somasi atau dalil bantahan. Kaprikornus para pihak yang berperkara spesialuntuk sanggup menerangkan kebenaran dalil somasi dan dalil bantahan maupun fakta-fakta yang mereka kemukakan dengan jenis atau bentuk alat bukti tertentu.
2. Jenis Alat Bukti
            Alat bukti yang diakui dalam aturan program perdata diatur secara enumeratif dalam Pasal 1866 KUH Perdata (burgerlijk wetboek) dan Pasal 164 HIR yang terdiri dari:
a.       Tertulis/tulisan.
b.      Saksi.
c.       Persangkaan.
d.      Pengakuan.
e.       Sumpah.
3.  Alat Bukti Tulisan
                Salah satu syarat pokok surat atau goresan pena sebagai alat bukti, harus tercamtum di dalamnya tanda tangan (handtekening, signature). Tanpa tanda tangan, suatu surat tidak sah sebagai alat bukti tulisan. Tanda tangan tersebut harus memenuhi syarat, pertama menuliskan nama penanda tangan dengan atau tanpa menambah nama kecil, kedua tanda tangan dengan cara menuliskan nama kecil, ketiga ditulis tangan oleh penanda tangan, tidak dibenarkan dengan stempel dengan abjad cetak, keempat dibenarkan mencamtumkan kopi tanda tangan si penanda tangan, kelima tanda tangan dengan mempergunakan karbon. Tanda tangan tidak spesialuntuk tertulis, namun juga sanggup berupa cap jempol yang dipersamakan dengan tanda tangan, sesuai yang ditegaskan oleh Pasal 1874 ayat (2) KUH Perdata, St. 1919-776 dan 286 ayat (2) RBG. Namun untuk keabsahannya harus, pertama dilegalisir pejabat yang berwenang (waarmerking), kedua dilegalisasi didiberi tanggal, ketiga pernyataan dari yang melegalisir, bahwa orang yang membubuhkan cap jempol dikenal atau diperkenalkan kepadanya, keempat isi sertifikat sudah dijelaskan kepada yang bersangkutan, kelima pembubuhan cap jempol dilakukan dihadapan pejabat tersebut.  
               

Dalam aturan perdata, dikenal tiga macam tulisan:
            Akta Otentik
            Akta otentik ialah suatu sertifikat yang dibentuk dalam bentuk yang ditentukan UU oleh atau dihapadan pejabat umum yang berwenang untuk itu ditempat sertifikat yang dibentuk (Vide Pasal 1868 KUH Perdata). Kekuatan pembuktian sertifikat otentik secara formil berdasarkan Pasal 1871 KUH Perdata, bahwa segala keterangan yang tertuang di dalamnya ialah benar didiberikan dan disampaikan penanda tangan kepada pejabat yang menciptakannya. Dalam Putusan MA No.3917 K/Pdt/1986, ditegaskan juga bahwa intinya apa yang tertuang dalam sertifikat notaris, harus dianggap benar ialah kehendak para pihak.
                Syarat-syarat dari sertifikat otentik ialah sebagai diberikut:
  1. Dibuat dihadapan pejabat yang berwenang.
  2. Dihadiri para pihak.
  3. Kedua belah pihak dikenal atau dikenalkan kepada pejabat.
  4. Dihadiri dua orang saksi.
  5. Menyebut identitas notaris (pejabat), penghadap para saksi.
  6. Menyebut tempat, hari, bulan dan tahun pembuatan akta.
  7. Notaris membacakan sertifikat di hadapan para penghadap.
  8. Ditanda tangani tiruana pihak.
  9. Penegasan pembacaan, penerjemahan, dan penanhadiranan pada cuilan epilog akta.  
            Akta Bawah Tangan
            Menurut Pasal 1874 KUH Perdata dan Pasal 286 RBG, sertifikat bawah tangan ialah goresan pena atau sertifikat yang ditanda tangani di bawah tangan yang tidak ditanda tangani pejabat yang berwenang, tetapi dibentuk sendiri oleh seseorang atau para pihak.


Syarat-syarat dari sertifikat bawah tangan sebagai diberikut:
  1. Tertulis/tulisan.
  2. Dibuat oleh dua pihak atau lebih, tanpa menolongan pejabat yang berwenang.
  3. Ditanda tangani oleh para pihak.
  4. Mencamtumkan tanggal dan kawasan penanhadiranan.
            Akta Pengakuan Sepihak
            Akta pengakuan sepihak secara tersirat diatur dalam Putusan MA No. 1363 K/Pdt/1996, Pasal 1878 KUH Perdata, dan Pasal 291 RBG. Menurut ketiga peraturan ini sertifikat pengakuan sepihak harus tunduk pada Pasal 1878 KUH Perdata, dengan syarat seluruh isi sertifikat harus ditulis dengan goresan pena tangan si pembuat dan si penanda tangan dan paling tidak, pengakuan wacana jumlah atau objek barang yang disebut di dalamnya, ditulis tangan sendiri oleh pembuat dan penanda tangan.   
            Syarat-syarat dari sertifikat pengakuan sepihak sebagai diberikut:
a.       Tertulis.
b.      Mencamtumkan identitas
c.       Menyebut dengan pasti, contohnya waktu pembayaran
d.      Ditulis tangan oleh penanda tangan
e.       Ditanda tangani penulis akta.
4. Alat Bukti Saksi
                Penerapan pembuktian dengan saksi ditegaskan dalam Pasal 1895 KUH Perdata yang berbunyi ”pembuktian dengan saksi-saksi diperkenankan dalam segala hal yang tidak dikecualikan oleh undang-undang”. Kaprikornus prinsipnya, alat bukti saksi menjangkau tiruana bidang dan jenis sengketa perdata, kecuali apabila UU sendiri memilih sengketa spesialuntuk sanggup dibuktikan dengan akta, barulah alat bukti saksi tidak sanggup diterapkan.
                Alat bukti saksi yang diajukan pada pihak berdasarkan Pasal 121 ayat (1) HIR ialah kewajiban para pihak pihak yang berperkara. Akan tetapi apabila pihak yang berkepentingan tidak bisa menghadirkan secara sukarela, meskipun sudah berupaya dengan segala daya, sedang saksi yang bersangkutan sangat relevan, berdasarkan Pasal 139 ayat (1) HIR hakim sanggup menghadirkannya sesuai dengan kiprah dan kewenangannya, yang apabila tidak dilaksanakan ialah tindakan unproffesional conduct. Saksi yang tidak hadir diatur dalam Pasal 139-142 HIR, di mana saksi yang tidak hadir, para pihak sanggup meminta Pengadilan Negeri untuk menghadirkannya meskipun secara paksa (Vide Pasal 141 ayat (2) HIR).  
                Syarat-syarat alat bukti saksi ialah sebagai diberikut:
a. Orang yang Cakap
                Orang yang cakap ialah orang yang tidak dihentikan menjadi saksi berdasarkan Pasal 145 HIR, Pasal 172 RBG dan Pasal 1909 KUH Perdata antara lain, pertama keluarga sedarah dan semenda dari salah satu pihak berdasarkan garis lurus, kedua suami atau istri dari salah satu pihak meskipun sudah bercerai (Vide Putusan MA No.140 K/Sip/1974. Akan tetapi mereka dalam kasus tertentu sanggup menjadi saksi dalam kasus sebagaimana diatur dalam Pasal 145 ayat (2) HIR dan Pasal 1910 ayat (2) KUH Perdata. Ketiga anak-anak yang belum cukup berumur 15 (lima belas) tahun (Vide Pasal 145 ke-3 HIR dan Pasal 1912 KUH Perdata), keempat orang ajaib meskipun terkadang terang ingatannya (Vide Pasal 1912 KUH Perdata), kelima orang yang selama proses kasus sidang berlangsung dimasukkan dalam tahanan atas perintah hakim (Vide Pasal 1912 KUH Perdata).
b.      Keterangan Disampaikan di Sidang Pengadilan       
                Alat bukti saksi disampaikan dan didiberikan di depan sidang pengadilan, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 144 HIR, Pasal 171 RBG dan Pasal 1905 KUH Perdata. Menurut ketentuan tersebut keterangan yang sah sebagai alat bukti ialah keterangan yang disampaikan di depan persidangan.
c.  Diperiksa Satu Persatu
                Syarat ini diatur dalam Pasal 144 ayat (1) HIR dan Pasal 171 ayat (1) RBG. Menurut ketentuan ini, terdapat beberapa prinsip yang harus dipenuhi semoga keterangan saksi yang didiberikan sah sebagai alat bukti. Hal ini dilakukan dengan cara, pertama menghadirkan saksi dalam persidangan satu per satu, kedua memeriksa identitas saksi (Vide Pasal 144 ayat (2) HIR), ketiga menanyakan relasi saksi dengan para pihak yang berperkara.
d.      Mengucapkan Sumpah
                Syarat formil yang dianggap sangat penting ialah mengucapkan sumpah di depan persidangan, yang meliputi pernyataan bahwa akan menerangkan apa yang bahwasanya atau voir dire, yakni berkata benar. Pengucapan sumpah oleh saksi dalam persidangan, diatur dalam Pasal 147 HIR, Pasal 175 RBG, dan Pasal 1911 KUH Perdata, yang ialah kewajiban saksi untuk bersumpah/berjanji berdasarkan agamanya untuk menerangkan yang sebenarnya, dan didiberikan sebelum mempersembahkan keterangan yang disebut dengan ”Sistim Promisoris”.
e.  Keterangan Saksi Tidak Sah Sebagai Alat Bukti        
                Menurut Pasal 169 HIR dan Pasal 1905 KUH Perdata, keterangan seorang saksi saja tidak sanggup dipercaya, sehingga minimal dua orang saksi (unus testis nullus testis) harus dipenuhi atau ditambah alat bukti lain.
f.  Keterangan Berdasarkan Alasan dan Sumber Pengetahuan
                Keterangan berdasarkan alasan dan sumber pengetahuan diatur dalam Pasal 171 ayat (1) HIR dan Pasal 1907 ayat (1) KUH Perdata. Menurut ketentuan ini keterangan yang didiberikan saksi harus mempunyai landasan pengetahuan dan alasan serta saksi juga harus melihat, mendengar dan mengalami sendiri.    
g. Saling Persesuaian
                Saling persesuaian diatur dalam Pasal 170 HIR dan Pasal 1908 KUH Perdata. Dalam ketentuan ini ditegaskan bahwa, keterangan saksi yang bernilai sebagai alat bukti, spesialuntuk terbatas pada keterangan yang saling bersesuain atau mutual confirmity antara yang satu dengan yang lain. Artinya antara keterangan saksi yang satu dengan yang lain atau antara keterangan saksi dengan alat bukti yang lain, terdapat kecocokan, sehingga bisa memdiberi dan membentuk suatu kesimpulan yang utuh wacana persitiwa atau fakta yang disengketakan.

5. Alat Bukti Persangkaan
Persangkaan diatur dalam Pasal 1915 KUH Perdata, Pasal 173 HIR dan Pasal 310 RBG. Menurut Pasal 1915 KUH Perdata, persangkaan ialah kesimpulan yang oleh UU atau oleh hakim ditarik dari satu persitiwa yang diketahu umum ke arah suatu insiden yang tidak diketahui umum.
Dalam Kamus Hukum Engelbrecht, persangkaan (vermoedem) ialah “kesimpulan yang ditarik oleh UU atau oleh hakim dari suatu hal atau tindakan yang diketahui, kepada hal atau tindakan lainnya yang belum diketahui”. Artinya bertitik tolak dari fakta-fakta yang diketahui, ditarik kesimpulan ke arah suatu fakta yang faktual kepastiannya yang sebelumnya fakta itu belum diketahui atau ditemukannya fakta lain.
Persangkaan terbagi dua:
a.       Persangkaan UU, yaitu persangkaan berdasarkan suatu ketentuan khusus UU berkenaan atau berafiliasi dengan perbuatan tertentu atau insiden tertentu (Vide Pasal 1916 KUH Perdata).
b.      Persangkaan hakim (presumtion of fact), yaitu persangkaan berdasarkan kenyataan atau fakta yang bersumber dari fakta yang terbukti dalam persidangan sebagai pertama titik tolak menyusun persangkaan, yang dilakukan oleh hakim alasannya ialah UU mempersembahkan kewenangan dan kebebasan menyusunnya (Vide Pasal 173 HIR dan Pasal 310 RBG).
6.  Alat Bukti Pengakuan
Pengakuan (bekentenis, confession) ialah alat bukti yang berupa pernyataan atau keterangan yang dikemukakan salah satu pihak kepada pihak lain dalam proses pemeriksaan, yang dilakukan di muka hakim atau dalam sidang pengadilan. Pengakuan tersebut meliputi keterangan bahwa apa yang didalilkan pihak lawan benar sebagian atau seluruhnya (Vide Pasal 1923 KUH Perdata dan Pasal 174 HIR).
Secara umum, para pihak sanggup mengakui segala hal yang berkenaan dengan pokok kasus yang disengketakan. Tergugat sanggup mengakui tiruana dalil somasi yang dikemukakan penggugat atau sebaliknya penggugat sanggup mengakui segala hal dalil bantahan yang diajukan tergugat. Pengakuan tersebut sanggup berupa, pertama pengakuan yang berkenaan dengan hak, kedua pengakuan terkena fakta atau insiden hukum.
Menurut Pasal 1925 KUH Perdata yang berwenang memdiberi pengakuan ialah sebagai diberikut:
a.       Dilakukan principal sendiri yakni penggugat atau tergugat (Vide Pasal 174 HIR).
b.      Kuasa aturan penggugat atau tergugat.
Berdasarkan pendekatan analog dengan ketentuan Pasal 1972 KUH Perdata, bentuk pengakuan sanggup berupa tertulis dan mulut di depan persidangan dengan cara tegas (expressis verbis), rahasia dengan tidak mengajukan bantahan atau sangkalan dan mengajukan bantahan tanpa alasan dan dasar hukum.
7. Alat Bukti Sumpah  
Sumpah sebagai alat bukti diatur dalam Pasal 155 s/d 158, Pasal 177 HIR dan Pasal 1929 s/d 1945 KUH Perdata. Sumpah secara konsepsional ialah suatu keterangan atau pernyataan yang dikuatkan atas nama Tuhan. Tujuan dari sumpah ialah semoga orang yang bersumpah dalam memdiberi keterangan atau pernyataan itu memberikan yang benar dari yang sebenarnya, dan takut atas marah Tuhan, apabila beliau berbohong.    
Dalam sumpah sanggup juga dilakukan, pertama  Sumpah Pemutus (Decisoir Eed), yaitu sumpah yang oleh pihak satu (penggugat atau tergugat) diperintahkan kepada pihak yang lain untuk menggantungkan pemutusan kasus atas pengucapan atau pengangkatan sumpah (Vide Pasal 1930 ayat KUH Perdata). Kedua Sumpah Tambahan (Aanvullende Eed) yang ditegaskan Pasal 1940 KUH Perdata, bahwa ”hakim alasannya ialah jabatannya, sanggup memerintahkan salah satu pihak yang berperkara mengangkat sumpah, supaya dengan sumpah itu sanggup diputuskan kasus itu dan sanggup ditentukan jumlah uang yang akan dikabulkan”. Ketiga Sumpah Penaksir (Aestimatoire Eed), yaitu sumpah yang secara khusus diterapkan untuk memilih berapah jumlah nilai ganti rugi atau harga barang yang digugat oleh penggugat. Tujuan dari sumpah ini untuk memutuskan berapa jumlah ganti rugi atau harga yang akan dikabulkan. Penerapan sumpah ini gres sanggup dilakukan apabila sama sekali tidak ada bukti dari kedua belah pihak yang sanggup menerangkan jumlah yang bahwasanya (Vide Pasal 155 ayat (1) HIR dan Pasal 1940 KUH Perdata).        
Agar sumpah sebagai alat bukti sah, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai diberikut:
  1. Ikrar diucapkan dengan lisan.
  2. Diucapkan di muka hakim dalam persidangan (Vide Pasal 1929, 1944 KUH Perdata dan Pasal 158 ayat (1) HIR) atau sanggup dilakukan dirumah jikalau yang bersangkutan berhalangan atau rumah ibadah.
  3. Dilaksanakan dihadapan pihak lawan atau dihadiri pihak lawan.
8. Pemeriksaan Setempat (Gerechtelijk Plaatsopneming)
Pemeriksaan setempat tidak masuk alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1866 KUH Perdata, Pasal 164 HIR, dan Pasal 284 RBG. Namun investigasi setempat menjadi penting untuk menerangkan kejelasan dan kepastian wacana lokasi, ukuran, dan bata-batas objek sengketa, dan memperjelas objek somasi serta menghindari objek barang yang akan dihukum tidak terang dan tidak pasti.  Pemeriksaan setempat diatur dalam Pasal 153 HIR dan SEMA No. 7 Tahun 2001 serta Putusan MA No. 3537 K?Pdt/1984. Secara konsepsional, investigasi setempat ialah proses investigasi persidangan yang semestinya dilakukan di ruang sidang gedung pengadilan, dipindahkan atau dilakukan di kawasan lain, yaitu ditempat letak objek barang yang disengketakan. Hasil investigasi setempat nanti berkhasiat sebagai dasar pertimbangan oleh hakim mengabulkan atau menolak somasi yang diajukan serta memilih luas objek gugatan, sehingga putusan tidak kabur (obscuur libel).
Yang melaksanakan investigasi setempat ialah majelis hakim minimal satu orang dan dimenolong panitera alasannya ialah jabatannya atas seruan para pihak (Vide Pasal 153 HIR, Pasal 180 RBG dan Pasal 211 Rv) yang tidak memerlukan persetujuan tergugat. Permintaan para pihak tersebut diputuskan dan dituangkan dalam Putusan Sela (Interlocutoir Vonnis).
Syarat-syarat investigasi setempat ialah sebagai diberikut (Vide Pasal 153 HIR, Pasal 180 RBG dan Pasal 211 Rv):
a.       Dihadiri para pihak.
b.      Datang ketempat objek sengketa.
c.       Panitera membuat diberita acara.
d.      Hakim membuat sertifikat pendapat yang meliputi evaluasi atas hasil investigasi yang dilakukan. 
9. Pendapat Ahli
Pemeriksaan saksi jago diatur dalam Pasal 154 HIR maupun Pasal 215 s/d 229 Rv. Ahli ialah orang yang mempunyai pengetahuan khusus di bidang tertentu, yang berdasarkan Raymond Emson ”Specialized are as of Knowledge”, ”ahli ialah orang yang sanggup memdiberi keterangan dan klarifikasi serta memmenolong menemukan fakta melebihi kemampuan pengetahuan umum orang biasa”.
Teknik pengangkatan jago diatur dalam Pasal 154 ayat (1) HIR dan Pasal 215-216 Rv. Menurut ketentuan ini, pengangkatan jago sanggup dilakukan sendiri oleh hakim secara “Ex Officio” alasannya ialah jabatannnya, dan atas seruan salah satu pihak. Alasan adanya pengangkatan ahli, pertama didasarkan alasannya ialah keahliannya di bidang kasus yang disengketakan, kedua masih terdapat hal-hal yang belum jelas, ketiga berdasarkan laporan atau keterangan jago bisa memdiberi opini atau pendapat terkena masalah yang diperkarakan sesuai dengan spesialisasi yang dimilikinya.
Bentuk dan penyampaian pendapat jago sanggup berupa (Vide Pasal 154 HIR):
  1. Berupa laporan tertulis dan lisan.
  2. Laporan disampaikan dalam persidangan.
  3. Laporan dikuatkan dengan sumpah.[4] 















BAB III
PENUTUP

Simpulan:
Hukum pembuktian (law of evidence) dalam berperkara ialah cuilan yang sangat kompleks dalam proses litigasi. Keadaan kompleksitasnya makin rumit, alasannya ialah pembuktian berkaitan dengan kemampuan merekonstruksi insiden kejadian masa kemudian dan suatu kebenaran (truth).
Prinsip umum pembuktian, yaitu :
1.      Mewujudkan Kebenaran Formil (Formeel Waarheid) .
2.      Pengakuan Mengakhiri Pemeriksaan Pekara.
3.      Fakta-Fakta yang tidak Perlu Dibuktikan.
4.      Bukti Lawan (Tegenbewijs)
Alat bukti yang sanggup dipakai dalam pembuktian yaitu:
1.      Tertulis/tulisan.
2.      Saksi.
3.      Persangkaan.
4.      Pengakuan.
5.      Sumpah.

DAFTAR PUSTAKA

Retnowulan Sutanto & Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata, Bandung: Mandar Maju, 2005.
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata Di Indonesia, Bandung: Sumur Bandung, 1992.
Dede Arif Hidayat, Makalah alat bukti-bukti pada aturan acara, https://tombakilmukita.blogspot.com//search?q=makalah-alat-bukti-pada-hukum-acara.
4za, Pembuktian dan alat-alat bukti, http://po box2000.blogspot.com/2010/12/pembuktian-dan-alat-alat-bukti.html.


[1] Retnowulan Sutanto & Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata, (Bandung: Mandar Maju, 2005), h. 58
[2] Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata Di Indonesia, (Bandung: Sumur Bandung, 1992), h. 102
[3] Dede Arif Hidayat, Makalah alat bukti-bukti pada aturan acara, https://tombakilmukita.blogspot.com//search?q=makalah-alat-bukti-pada-hukum-acara, diakses Jumat, 27 September 2013.
[4] 4za, Pembuktian dan alat-alat bukti, https://tombakilmukita.blogspot.com//search?q=makalah-alat-bukti-pada-hukum-acara diakses Jumat, 27 September 2013.

Posting Komentar untuk "Hukum Pembuktian"