Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Teori Kedaulatan



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Mengenai kekuasaan tertinggi dalam penyelenggaran negara, Istilah kedaulatan sendiri seringkali dijumpai atau ditemukan dalam banyak sekali macam pengertian, dan masing-masing mempunyai perbedaan yang prinsipil. Misalnya pengertian kedaulatan apabila dimaknai dalam perspektif aturan Internasional lebih sering dipandang dalam konteks hubungan ekstern atau hubungan antar negara, sedangkan dalam perspektif aturan Tata Negara, pengertian dipandang dalam konteks hubungan intern yaitu hubungan negara ke dalam. Kedaulatan juga dipandang sebagai konsep terkena kekuasan tertinggi dalam penyelenggaraan negara. Pemaknaan kedaulatan menyerupai ini ialah arti yang bersifat teknis ilmiah yaitu dengan mengidentikkannya dengan penyelanggaraan acara bernegara. Ketika membicarakan terkena kedaulatan dalam konteks penyelenggaraan negara maka muncullah suatu pertanyaan yaitu apa dan siapa yang memegang kekuasaan tertinggi dan membuat keputusan simpulan dalam acara kenegaraan atau dalam bentuk pertanyaan darimanakah kedaulatan itu berasal atau bersumber sehingga padanya menempel kekuasaan tertinggi tersebut. Dalam kajian ilmu aturan dan ilmu politik dikenal adanya lima teori kedaulatan, yaitu teori kedaulatan Tuhan, teori kedaulatan Raja, teori kedaulatan Rakyat, teori kedaulatan Negara, dan teori kedaulatan Hukum.




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Teori KedaulataBottom of Formn
Sejak pertamanya, teori wacana kekuasaan negara tidak pernah terlepas kaitannya dengan pembahasan siapa yang memegang kekuasaan negara tersebut dan darimana kekuasaan tersebut diperoleh. Hal ini disebabkan negara bukanlah benda mati yang sanggup bergerak sendiri, melainkan sebuah organisasi yang diselenggarakan oleh sekelompok orang atas masyarakat dengan tujuan tertentu. Pendapat tersebut juga sanggup dipahami bahwa di dalam setiap negara terdapat kekuasaan yang dimiliki negara untuk memaksakan kehendak pada masyarakat negaranya.[1] Oleh lantaran itu, pembahasan wacana siapa yang menyelenggarakan negara dan dari mana kekuasaan tersebut harus dikaitkan dengan pembahasan teori kekuasaan negara, sehingga sanggup mempersembahkan jawabanan apakah yang menjadi dasar adanya kekuasaan negara tersebut.[2]
Pembahasan teori kekuasaan negara ialah cuilan dari teori negara lantaran teori kekuasaan negara ialah turunan dari teori negara. Maka dari  itu, didalam pembahasan teori kekuasaan negara niscaya juga berbicara teori negara. Pemikiran tantang teori negara pun sudah dimulai semenjak zaman romawi kuno hingga zaman moderen kini ini. Perkembangan ekonomi, budaya dan politik juga menimbulkan teori negara mengalami perkembangan yang signifikan. Hakekat negara secara sederhana sanggup diartikan sebuah organisasi masyarakat, organisasi yang dibuat lantaran adanya impian hidup besama di dalam pemenuhan kebutuhannya.
Aristoteles[3] yang ialah spesialis filsafat dari yunani  menyampaikan bahwa pada hakekatnya menusia ialah mahluk sosial (zoon politikon).[4] Oleh alasannya itu, pada insan terdapat suatu keinginana untuk hidup bersama yang pada balasannya membentuk suatu negara yang bersifat totaliter.[5] Negara berdasarkan Aristoteles ialah bentuk tertinggi dari kehidupan bermasyarakat, negara terbentuk secara alamiah.[6] Dalam negara tersebut terdapat kekuasaan terhadap orang lain yang mempunyai kewenangan membuat undang-undang. Plato mengidealkan yang mempunyai kekuasaan atas negara tersebut yaitu seorang filsuf lantaran spesialuntuk filsuf yang sanggup melihat problem yang bersama-sama di dalam kehidupan dan membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.[7]
Dasar pemikiran tersebut yang kemudian diadopsi oleh para kaum pemikir gereja yang melahirkan teori aturan kodrat. Menurut teori ini maka kekuasaan tertinggi pada hakekatnya berasal dari Tuhan. sepertiyang dikatakan Thomas Aquinas, teori aturan kodrat yaitu teori etis dan aturan kodrat apa yang disebut sebagai kewajiban moral.[8] Thomas beropini bahwa monarchi yaitu bentuk pemerintahan yang terbaik, yang dipimpin oleh seorang raja. Raja memperoleh kekuasaan dari Tuhan, dalam menjalankan pemerintaspesialuntuk raja mengharapkan anugrah dari Tuhan dan ia selain sebagai penguasa rakyat ia juga ialah hamba Tuhan.[9]
Pada kurun ke-17 dan ke-18, dasar pemikiran kekuasaan-kekuasaan raja mulai mengalami perubahan, dari yang bersifat ketuhanan menjadi bersifat duniawi. Dasar pemikiran ini salah satunya dikemukakan oleh Thomas Hobbes. Thomas Hobbes menjelasakan bahwa di dalam keadaan alamiahnya insan hidup didalam keadaan yang kacau balau. Thomas Hobbes menggambarkan keadaan ini bahwa insan yang satu ialah srigala bagi insan yang lainnya (homo homini lupus). Makara dalam keadaan alamiahnya insan tidak ada ketentraman hidup, rasa takut menghantui lapisan masyarakat oleh lantaran itu insan membuat perjanjian untuk membentuk negara. Pembentukan negara tersebut bertujuan melindungi kehidupan insan tersebut.[10] Ketika perjajian itu dilakukan tiruana hak-hak alamiah mereka diserahkan pada negara, sedangkan negara tidak dibebani kewajiban apapun termasuk untuk sanggup dituntut oleh individu. Makara negara bukanlah patner dalam perjajian itu, melainkan hasil buahnya.[11]
Berbeda dengan Thomas Hobbes, Jhon Locke menerangkan bahwa  di dalam keadaan alamiah (state of nature), insan mempunyai hak yang sama untuk mempergunakan kemampuan mereka insan secara alamiah dalam keadaan yang baik.[12] Oleh lantaran itu, keadaan alamiah tampak sebagai “a state of peace, good will, mutual assistance, and preservation”.[13]
Akan tetapi, kondisi tersebut menjadi berubah insan mengenal uang. melaluiataubersamaini adanya uang ini, tidak ada lagi batas alamiah yang sanggup menghindari terjadinya akumulasi kekayaan oleh sedikit orang. Akumulasi kekayaan oleh sedikit orang ini kemudian mengakibatkan keadaan perang (state of war).  Dalam situasi yang dikuasai oleh ekonomi uang ini, masyarakat tidak sanggup bertahan tanpa pembentukan negara yang menjamin milik pribadi.[14]
melaluiataubersamaini demikian, berdasarkan Locke, negara itu didirikan untuk melindungi hak milik pribadi.[15] Negara didirikan bukan untuk membuat kesamaan atau untuk mengotrol pertumbuhan milik pribadi yang tidak seimbang, tetapi justru untuk tetap menjamin keutuhan milik pribadi yang semakin tidak sama-beda besarnya. Hak milik (property) yang dimaksud di sini tidak spesialuntuk berupa tanah milik (estates), tetapi juga kehidupan (lives) dan kebebasan (liberties). Locke menyebut hak-hak ini dengan istilah inalienable rights (hak-hak yang tidak asing) dan adanya negara justru didirikan justru untuk melindungi hak-hak asasi tersebut.[16] Makara segala kekuasaan yang dimiliki negara dimilikinya karena, dan sejauh, didelegasikan oleh para masyarakat negaranya.[17]
Terakhir, Jean Jacques Rousseau. Jean Jacques Rousseau menerangkan di dalam kehidupan alamiahnya insan hidup secara polos dan menyayangi diri secara sepontan di mana insan belum melaksanakan pertikaian melainkan keadaan kondusif dan bahagia.[18] Pada keadaan ini insan hidup spesialuntuk di dalam pemenuhan kebutuhan pribadinya. Tetapi pada balasannya keadaan alamiah insan tidak sanggup dipertahankan kembali jikalau setiap insan tidak sanggup lagi bisa mengatasi keadaan dalam menjaga dirinya sendiri. Oleh lantaran itu, perlu perubahan contoh kehidupannya, yakni membentuk suatu kesatuan dengan menghimpun diri bersama orang lain.
Manusia akan membentuk suatu negara untuk mempertahankan dan melindungi pribadi dan anggotanya, di dalam perkumpulan itu masing-masing menyatu dalam suatu kelompok tetapi insan tetap bebas sebagai seorang individu. Hal ini sanggup dikatakan bahwa setiap individu menyerahkan diri dan seluruh kekuasaannya untuk kepentingan bersama, di bawah kepentingan tertinggi yaitu kehendak umum (volante generale) dan mereka mendapatkan setiap anggotanya  sebagai cuilan yang tidak terpisahkan dari keseluruhan.[19] Peyerahan kekuasaan ini sanggup dikatakan sebagai kontrak sosial, tetapi jikalau kontrak sosial itu dilanggar maka masing-masing kembali kepada hak-hak alamiah mereka. Hal ini berarti Rousseau menginginkan adanya kedaulatan rakyat secara menyeluruh.[20]
Berdasarkan pemikiran-pemikiran kekuasaan negara tersebut sanggup disimpulkan bahwa pembahasan siapa yang memegang kekuasaan negara dan darimana kekuasaan diperoleh berkaitan dengan kedaulatan. Kedaulatan tersebut sanggup dibedakan atas Kedaulatan Tuhan, Kedaulatan Raja, Kedaulan Negara, kedaulatan Hukum dan Kedaulatan Rakyat. Teori-teori kedaulatan tersebut intinya mempertanyakan hak moral apakah yang dijadikan legitimasi bagi setiap orang atau sekelompok orang atau cuilan suatu pemerintahan atau kekuasaan yang dimilikinya, sehingga mempunyai hak untuk memegang dan mepergunakan kekuasaan serta menuntut kepatutan atas kekuasaan dan otoritas yang dimiliki.
Negara Indonesia menganut paham kedaulatan rakyat (people souvereignty). Konsep kebebasan/persamaan dan konsep kedaulatan rakyat  ialah dasar dari demokrasi. Kedaulatan rakyat berarti pemilik kekuasaan tertinggi dalam negara yaitu rakyat atau yang dikenal adanya selogan  kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Kedaulatan rakyat Indonesia disalurkan dan diselenggarakan melalui prosedure konstitusional. Hal ini mengambarkan bahwa Indonesia yaitu Negara Hukum yang Demokratis (democratische rectsstaat) dan Negara Demokrasi yang berdasar atas Hukum (constitusional democracy) yang tidak terpisah satu sama lain, sebagaimana berdasarkan Jimly Asshiddiqie[21]
Dalam sistem konstitusional Undang-Undang Dasar, pelaksanaan kedaulatan rakyat itu disalurkan dan diselenggarakan berdasarkan mekanisme konstitusional yang diputuskan dalam aturan dan konstitusi (constitutional democracy). Karena itu, prinsip kedaulatan rakyat (democratie) dan kedaulatan aturan (nomocratie) hendaklah diselenggarakan secara diberienteng sebagai dua sisi dari mata uang yang sama. Untuk itu, UUD negara kita menganut pengertian bahwa Negara Indonesia itu yaitu Negara Hukum yang Demokratis (democratische rectsstaat) dan sekaligus yaitu Negara Demokrasi yang berdasar atas Hukum (constitusional democracy) yang tidak terpisah satu sama lain.
Kedaulatan rakyat deselengarakan pribadi dan melalui sistem perwakilan. Henry B. Mayo dalam buku Introductions to Democratic Theory menyampaikan bahwa sistem politik yang demokrasi ialah dimana kebijaksanaan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif  oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan terpola yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik. Berdasarkan pendapat tersebut, diselenggarakan pribadi dan sistem perwakilan (direct demokracy) diwujudkan melalui pemilihan umum untuk menentukan wakil-wakil rakyat.


Kata daulat dan kedaulatan berasal dari bahasa Arab, yakni daulah yang berarti kekuasaan. Kedaulatan sanggup diartikan sebagai kekuasaan mutlak dan tertinggi yang berada dalam suatu negara. Prof. Soehino, mengartikan kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi, yakni kekuasaan yang dalam taraf terakhir dan tertinggi yang wewenang membuat keputusan. Kedaulatan juga sanggup bermakna teknis operasional, yaitu ialah konsep terkena kekuasaan tertinggi dalam penyelenggaran negara, maksudnya yaitu apa dan siapa yang membuat keputusan simpulan dalam acara bernegara. Dalam kajian ilmu aturan dan ilmu politik dikenal adanya lima teori kedaulatan, yaitu teori kedaulatan negara, teori kedaualatan Tuhan, teori kedaulatan Raja, teori kedaulatan Rakyat, dan teori kedaulatan Hukum.
Sementara Hamid S. Attamimi juga sebut lima pedoman kedaualatan namun mengganti teori kedaulatan Tuhan dengan pedoman kedaulatan dalam lingkungan sendiri. Sedangkan Wirjono Prodjodikoro spesialuntuk sebut empat pedoman kedaulatan saja, tanpa memasukkan pedoman kedaulatan Raja. Adapun beberapa macam teori kedaulatan tersebut diantaranya sebagai diberikut :
a.      Kedaulatan Tuhan
Teori ini dianggap sebagai teori kedaulatan yang pertama dalam sejarah. Teori ini mengajarkan bahwguagara dan pemerintah mendapatkan kekuasaan tertinggi dari Tuhan sebagai asal segalasesuatu (Causa Prima).[1]
Menurut teori ini, kekuasaan berasal dari Tuhan yang didiberikan kepada tokoh-tokoh negara terpilih, yang secara kodrati diputuskan-Nya menjadi pemimpin negara dan berperan selaku wakil Tuhan di dunia. Teori ini umumnya dianut oleh raja-raja yang mengaku sebagai keturunan dewa, contohnya dalam sejarah para raja Mesir Kuno, Kaisar Jepang, Kaisar China, Raja Belanda ( Bidde Gratec Gods, kehendak Tuhan), Raja Ethiopia (Haile Selas, Singa penakluk dari suku Yuda pilihan Tuhan). Demikian pula dianut oleh para raja Jawa zaman Hindu yang menganggap diri mereka sebagai penjelmaan Dewa Wisnu. Ken Arok bahkan menganggap dirinya sebagai titisan Brahmana, Wisnu, dan Syiwa sekaligus. Pelopor teori kedaulatan Tuhan antara lain: Augustinus (354-430), Thomas Aquino (1215-1274), juga F. Hegel (1770-1831) dan F.J. Stahl (1802-1861). Karena berasal dari Tuhan, maka kedaulatan negara bersifat mutlak dan suci. Seluruh rakyat harus setia dan patuh kepada raja yang melaksanakan kekuasaan atas nama dan untuk kemuliaan Tuhan. Menurut Hegel, raja yaitu manifestasi keberadaan Tuhan. Maka, raja/ pemerintah selalu benar, mustahil salah.
b.      Teori Kedaulatan Raja
Pada kurun pertengahan teori kedaulatan Tuhan menjelma teori kedaulatan Raja. Teori ini menganggap bahwa intinya kedaulatan Tuhan dijelmakan dalam kekuasaan seorang raja maupun ratu yang berkuasa secara turun temurun, mereka menganggap bahwa legitimasi atas kekuasaannya ialah perintah Tuhan yang mutlak. Akibatnya kekuasaan raaja atau ratu menjadi mutlak yang kemudian melahirkan pula pedoman wacana kedaulatan raja. Ia bahkan dianggap tidak perlu menaati aturan moral agama, bahkan kekuasaannya berada di atas konstitusi, lantaran status-nya sebagai representasi/ wakil Tuhan di dunia. Dalam konteks penerapan kedaulatan raja, kerena sifatnya yang sangat absolut, maka kekuasaan raja menjadi tirani bagi rakyatnya. Adapun peletak dasar teori ini yaitu Niccolo Machiavelli (1467-1527) melalui karyanya, Il Principe. Ia mengajarkan bahwa negara harus dipimpin oleh seorang raja yang berkekuasaan mutlak. Sedikit tidak sama dengan Machavelli, Jean Bodin menyatakan bahwa meskpiun kedaulatan negara dipersonifikasikan dalam pribadi seorang raja, namun raja tetap harus menghormati aturan kodrat, aturan antar-bangsa, dan konstitusi kerajaan ( leges imperii). Di Inggris teori ini dikembangkan oleh Thomas Hobbes (1588-1679) yang mengajarkan bahwa kekuasaan mutlak seorang raja justru dibutuhkan untuk mengatur negara dan menghindari homo homini lupus.
c.       Teori Kedaulatan Rakyat.
Teori ini menyatakan bahwa kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat, lantaran intinya dalam menjalankan roda pemerintahan, pemerintah harus berpijak pada kehendak rakyat. Inti pedoman dari teori kedaulatan rakyat adalah pertama, kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat (teori pedoman demokrasi) dan kedua, adanya jaminan konstitusi terhadap hak asasi manusia. Teori ini juga memandang dan memaknai bahwa kekuasaan itu berasal dari rakyat, sehingga dalam melaksanakan tugasnya pemerintah harus berpegang pada kehendak rakyat yang lazimnya disebut dengan demokrasi. Rakyatlah penentu simpulan penyelenggaraan kekuasaan dalam suatu negara.
Menurut Jimly teori kedaulatan rakyat inilah yang akan menderivasikan diri menjadi teori demokrasi , lantaran demokrasi ialah praksis dari teori kedaulatan rakyat dalam suatu sistem politik , oleh karenanya kedua istilah (kedaulatab rakyat dan demokrasi) sanggup disamakan. Teori ini juga sebut bahwa kedaulatan rakyat diwujudkan dalam pernyataan rakyat untuk memberikan kehendaknya. Menurut teori ini negara memperoleh kekuasaan dari rakyatnya bukan dari Tuhan atan dari Raja. Rakyatlah yang menentukan corak dan cara pmerintahan diselenggarakan dak rakyat pulalah yang menentukan tujuan yang hendak dicapai oleh negara dalam pemerintahannya itu.
Ajaran kedaulatan rakyat lahir dari pemikiran J.J. Rousseau yang menyatakan bahwa kedaulatan tidak bisa lepas dari rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Johguas Althuisiss juga beropini bahwa setiap susunan pergaulan hidup insan terjadi dari perjanjian masyarakat yang tunduk kepada kekuasaan, dan pemegang kekuasaan itu dipilih oleh rakyat. Pendapat ini didukukung John Locke yang menyatakan bahwa kekuasaan negara berasal dari rakyat, bukan dari raja. Menurut dia, perjanjian masyarakat menghasilkan penyerahan hak-hak rakyat kepada pemerintah dan pemerintah mengembalikan hak dan kewajiban asasi tersebut kepada rakyatnya, melalui peraturan perundang-undangan.
d.      Teori Kedaulatan Negara
Kemunculan teori ini dianggap sebagai kelanjutan dari teori kedaulatan rakyat. Ajaran ini pertama kali muncul di Jerman. Kemunculan teori ini terkonsepsikan dalam rangka mempertahankan kedudukan raja yang pada dikala itu mendapatkan pemberian dari tiga lapisan masyarakat yang cukup besar, baik dari golongan darah biru (junkertum), golongan militer, maupun alat-alat pemerintah atau birokrasi.  Pada dikala itu bersama-sama pedoman kedaulatan rakyat sudah dikenal di Jerman, spesialuntuk saja pedoman ini dianggap berbahaya, lantaran melalui kedualatan yang dimiliki rakyatnya, rakyat sanggup saja melaksanakan pemberontakan terhadap raja, maka atas alasan inilah raja membuat konsepsi pedoman gres untuk menandingi pedoman kedaulatan rakyat. Konsepsi yang dibangun raja yaitu bahwa sejatinya rakyat membentuk dirinya menjadi negara, oleh karenanya rakyat identik dengan negara. Jika rakyat berdaulat, maka negara juga berdaulat. Namun demikian lantaran entitas negara ialah hal yang abstrak, maka timbul pertanyaan siapakah yang sanggup memegang kekuasaan negara. Disinilah posisi raja sebagai wujud yang konkrit yang dianggap sebagai representasi dari sebuah negara, maka rajalah yang memegang kekuasaan negara. Peletak dasar teori ini antara lain: Jean Bodin (1530-1596), F. Hegel (1770-1831), G. Jellinek (1851-1911), Paul Laband (1879-1958).
Teori kedaulatan negara mengajarkan bahwa kekuasaan tertinggi terletak pada negara. Sumber kedaulatan yaitu negara, yang ialah forum tertinggi kehidupan suatu bangsa. Kedaulatan timbul bersamaan dengan berdirinya suatu negara. Demikian juga aturan dan konstitusi, juga ialah kehendak negara, dibutuhkan negara, dan diabdikan kepada kepentingan negara. Menurut Jimly teori kedaualatan negara biasanya dibicarakan dalam konteks aturan internasional lantaran teori kedaulatan ini bisa dipandang sebagai konsep kekuasaan negara yang bersifat eksternal yaitu hubungan antar negara, sementara pedoman kedaulatan lainnya dipandang sebagai konsep kekuasaan yang besifat internal dan dianggap penting untuk dibahas dalam kajian Hukum Tata Negara. Dalam pengertian ini, Boer Mauna beropini bahwa kedaulatan negara diartikan sebagai kekuasaan tertinggi yang dimiliki suatu negara untuk secara bebas melaksanakan banyak sekali acara sesuai dengan kepentingannya, selama tidak berperihalan dengan aturan internasional.
e.       Teori Kedaulatan Hukum
Kedaulatan aturan yaitu sebuah teori kedaulatan yang diungkapkan oleh Krabbe sebagai bentuk penyangkalannya terhadap teori kedaulatan negara yang terutama diajarkan oleh mazhab Deutsche Publizisten. Teori kedaulatan aturan memberikan bahwa kekuasaan yang tertinggi tidak terletak di tangan raja dan bukan juga berada di tangan negara, melainkan berada ditangan aturan yang bersumber pada kesadaran aturan tiap-tiap orang sebagai anggota masyarakat. Teori ini menyatakan bahwa aturan ialah pernyataan evaluasi yang muncul atau bersumber pada kesadaran aturan insan itu sendiri.
Kedaulatan aturan memberikan bahwa aturan ialah sumber kedaulatan dimana kesadaran aturan seseorang akan menciptakannya bisa membedakan mana sesuatu yang adil dan mana sesuatu yang tidak adil. Teori ini juga sanggup dikaitkan dengan prinsip Rule of Law yang dikembangkan oleh seorang A.V. Dicey. Prinsip yang kemudian berkembang di Amerika Serikat juga menjadi jargon The Rule of Law and Not a Man yakni prinsip yang menganggap bukan orang yang menjadi pemimpin tetapi aturan sebagai pemimpin itu sendiri. Berdasarkan pemikiran teori ini, kekuasaan pemerintah berasal dari aturan yang berlaku. Hukumlah (tertulis maupun tidak tertulis) yang membimbing kekuasaan pemerintahan. Etika normatif negara yang menjadikan aturan sebagai “panglima” mewajibkan penegakan aturan dan penyelenggara negara dibatasi oleh hukum. Pelopor teori Kedaulatan Hukum antara lain: Hugo de Groot, Krabbe, Immanuel Kant dan Leon Duguit.
B.     Teori Demokrasi
Gagasan dan praktik demokrasi pertama kali berkembang di Yunani. Demokratia Yunani kuno diberlakukan setelah diadakannya reformasi sistem pemerintahan di negara kota (city state) Athena oleh Kleisthenes pada tahun 508 SM. Kleisthenes memperoleh kekuasaan setelah tahun 510 SM. Pada dikala itu, Hipias, salah seorang mitra Kleisthenes yang lalim dalam kepemimpinannya digulingkan oleh sekelompok darah biru atas menolongan sparta, yang kemudian setelah itu terjadi konflik antar fraksi. Sebagai seorang aristokrat yang cerdas, Klesithenes dengan menolongan rakyat sanggup mengalahkan rival-rivalnya. Segera setelah berkuasa, ia meletakan dasar-dasar yang kokoh bagi demokrasi Athena. Konsep Kleisthenes ini kemudian menghasilkan forum penting yang berjulukan Majelis Lima Ratus yang keanggotaannya terbuka bagi masyarakat negara baik pria maupun wanita dengan cara pemilihan memakai mekanisme undian. Majelis ini bertugas mengangkat dan memberhentikan para pemimpin, menolak dan mendapatkan undang-undang, bahkan melembagakan cara pengasingan terhadap orang yang cenderung berambisi dictator.
Secara literal, demokrasi berarti kekuasaan oleh rakyat. Kata ini berasal dari bahasa Yunani “demos” (rakyat) yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat, dan “cratos” atau “cratein”” yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. Jadi, “demos-cratein” atau “demos-cratos” (demokrasi) yaitu kekuasaan atau kedaulatan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan berasal dari rakyat dan kekuasaan oleh rakyat.
Secara terminologis, demokrasi, berdasarkan Joseph A. Schmeter, ialah suatu perencanaan institusional untuk mencapai keputusan politik dimana indivudu-individu memperoleh kekuasaan untuk tetapkan dengan cara usaha kompetitif atas suatu rakyat. Menurut Sidney Hook, demokrasi yaitu bentuk pemerintahan di mana keputusan pemerintah yang penting secara pribadi maupun tidak pribadi didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang didiberikan secara bebas dari rakyat dewasa.
Sedangkan berdasarkan Philippe C Schmitter dan Terry Lynn Karl, demokrasi ialah suatu sistem pemerintahan di mana pemerintah dimintai tanggung jawaban atas tindakan-tindakan mereka di wilayah publik oleh masyarakat negara, yang bertindak secara tidak pribadi melalui kompetisi dan kerjasama dari para wakil mereka yang terpilih.
Dalam pandangan Nurcholis Madjid, suatu negara disebut demokratis mabadunga negara menjamin hak asasi insan (seperti kebebasan berkumpul, menyatakan pendapat, berserikat dan beragama), bagi kelompok minoritas sekalipun. Paham dan sistem politik demokrasi yaitu sistem yang menolak diktatorianisme, feodalisme, dan totalitarianisme. Dalam demokrasi contoh hubungan antara penguasa dan rakyat, termasuk didalamnya kaum minoritas, bukanlah contoh hubungan kekuasaan, tetapi berdasarkan aturan yang menjunjung tinggi HAM. Sedangkan secara mudah demokrasi yaitu cara untuk tetapkan otoritas dimana rakyat menentukan pemimpin-pemimpin mereka. Jika dalam sistem politik lainnya, orang-orang tertentu sanggup menjadi penguasa lantaran didasarkan pada keturunan, kekayaan, penunjukan, maupun paksaan dengan cara kekerasan. Didalam demokrasi ada dua kemungkinan yaitu :
  1. penguasa dan rakyat identik, sebagaimana demokrasi yang berlangsung ala Yunani Kuno.
  2. para penguasa dipilih oleh rakyat dengan mempersembahkan suaranya.
Menurut Syukron Kamil negara bangsa modern sanggup disebut mempunyai sistem politik yang demokratis, mabadunga para pembuat kebijakan yang paling besar lengan berkuasa ditentukan melalui pemilihan umum yang jujur dan adil, yang daiadakan secara berkala. Melalui mekanisme ini para kandidat secara bebas sanggup bersaing untuk memperoleh pemberian bunyi terbanyak, dan mudah tiruana penduduk yang memenuhi syarat sanggup menyatakan pilihannya.
Adanya pemilihan umum dalam, dalam pandangan Schumpeter ialah esensi dari sebuah demokrasi. Pemelihan umum yang dimaksud yaitu pemilihan umum yang jujur, adil dan kompetitif yang ialah mekanisme kelembagaan untuk mencapai keputusan politik yang didalamnya individu (yang terorganisir dalam bentuk partai) memperoleh kekuasaan untuk membuat keputusan melalui usaha kompetitif dalam rangka memperoleh bunyi rakyat. Secara sederhana Schumpeter menyimpulkan bahwa demokrasi baginya ialah seuatu mekanisme pasar, dimana para pemilih yaitu konsumen, sedangkan para politisinya (partai-partai) yaitu wiraswastawan yang memburu keuntungan (suara terbanyak). Mereka menyerupai pedagang yang berusaha menghasilkan produk-produk yang diyakinnya akan akan mempersembahkan keuntungan tertinggi, sehingga mereka melaksanakan pengiklanan semoga produknya sanggup dibeli konsumen.
Wiliam Ebenstein mengemukakan beberapa kriteria dan dasar psikologis demokrasi, diantaranya ;
  1. empirisme rasional, Konsep ini merujuk pada keyakinan bahwa kecerdikan sehat, kecerdikan sehat (reason) atau nalar insan sangat penting dijadikan dasar demokrasi.
  2. kepentingan individu sangat diutamakan, ini ialah kriteria terpenting. Kriteria inilah yang bisa dijadikan dasar untuk menentukan demokratis tidaknya suatu sistem pemerintahan.
  3. teori instrumental wacana negara, berdasarkan Ebenstein negara intinya bersifat instrumental. Negara, menyerupai yang dirumuskan Plato dan Aristoteles hingga Marx, tidak lebih dari sekedar alat politik untuk mencapai tujuan bersama manusia.
  4. prinsip volunteerism atau prinsip kesukarelaan. Dalam sebuah negara demokratis, aksi-aksi atau acara sosial politik haruslah didasarkan pada prinsip ini. Pada damasukanya negara demokrasi tidak mengenal mobilisasi paksa.
  5. konsep aturan di balik hukum, hubungan antara negara dan masyarakat diatur oleh aturan dan kedudukannya lebih tinggi dari negara.
  6. pementingan cara atau mekanisme dalam kehidupan demokratis didasarkan pada kesadaran bahwa tujuan tidak sanggup dipisahkan dari cara atau alat yang digunakan.
  7. musyawarah dan mufakat, dan
  8. persamaan hak asasi manusia.
Larry Diamond juga menggambarkan lebih rinci kriteria demokrasi dalam sistem pemerintahan yaitu :
  1. adanya kompetisi antar-individu dan kelompok (terutama partai-partai politik) yang meluas dan bermakna serta tidak memakai daya paksa untuk memperebutkan jabatan-jabatan pemerintahan regular.
  2. adanya partisipasi politik yang tinggi dalam menentukan pemimpin dan kebijakan-kebijakan minimal melalui pemilihan yang fair dan terpola serta tidak ada kelompok tertentu yang dikucilkan atau dikecualikan.
  3. adanya kebebasan sipil dan politik, antara lain: kebebasan berpendapat, kebebasan pers, dan kebebasan berserikat yang cukup menjamin integrasi kompetisi dan partisipasi politik.
Konsep demokrasi bukanlah konsep yang mudah dipahami, alasannya konsep ini mempunyai banyak konotasi makna yang bervariatif, evolutif dan dinamis. Demokrasi bermakna variatif, lantaran sangat bersifat interpretatif. Setiap penguasa negara berhak mengklaim negaranya sebagai demokratis, meskipun nilai yang dianut atau praktik politik kekuasaannya bersama-sama jauh dari prinsip-prinsip dasar demokrasi. Karena sifatnya yang interpretatif itu, kita mengenal banyak sekali tipologi demokrasi menyerupai demokrasi liberal, demokrasi rakyat, demokrasi proletar, demokrasi komunis, demokrasi terpimpin, demokrasi pancasila, demokrasi parlementer dan lain-lain. Disamping demokrasi meletakan pemilu yang jujur, adil, dan kompetetif sebagai esensinya, demokrasi juga secara prosedural berjalan diatas prinsip mayoritas. Menurut Jhon Stuart Mill, prinsip ini didasarkan bahwa pendapat mayoritas sekalipun mungkin saja salah, namun lebih sering benarnya.
Menurut Peter Jhones, demokrasi bukanlah mayoritasisme, demokrasi menjunjung tinggi prinsip mayoritas yang didalamnya tercakup kompromi yang adil, yang tidak menganggu kepentingan kelompok minoritas yang paling fundamental. Oleh karenanya demokrasi yaitu “majority rule and minority right.[2]
Jadi prinsip demokrasi dalam pelaksanaannya, mesti diletakan diatas prinsip-prinsip moral yang menjunjung tinggi HAM sebagai kodrat yang didiberikan Tuhan. Penghargaan dan penerapan kebebasan, persamaan, dan partisipasi politik (paling tidak melalui pemilu dan melalui perwakilan rakyat yang representatif. Demokrasi juga tidak spesialuntuk menolak mayoritasisme, tetapi juga elitisme. Dalam pengertian elitisme, demokrasi spesialuntuk menjadi alat dan menguntungkan kelompok elit tertentu, bukan untuk memajukan rakyat secara umum. Demokrasi yang diberlakukan haruslah demokrasi yang mempersembahkan jaminan terhadap hak-hak asasi manusia, dimana kekuasaan ditangan mayoritas diselenggarakan dalam suatu rangka legal pembatasan.
Hal yang perlu diingat dari konsep demokrasi yaitu ia tidak bersifat statis; ia ialah hasil dari power sharing yang mencerminkan tingkat keseimbangan antara dua pihak yang melaksanakan tarik-menarikdanunik, yakni rakyat dengan kesadaran partisipasi dan penguasa dengan kesadaran otoritasnya. Bagian tengah (moderasi) dari power sharing itulah letak di mana demokrasi berada. Apabila kesadaran peran-serta rakyat terlalu dominan, maka yang terjadi yaitu anarki. Sebaliknya, apabila penguasa berada pada posisi dominan, maka yang terjadi yaitu otoritarian. Demokrasi yang diiringi dengan destabilisasi anarki tak jarang akan mengakibatkan perilaku brutal bahkan pembunuhan, atau jatuh bangunnya pemerintahan jawaban mosi tidak percaya atau perebutan kekuasaan konstitusional.
Dari bebagai kerangka pemikiran diatas, maka sanggup disimpulkan bahwa bahwa demokrasi ialah seuatu pemerintahan mayoritas yang menerapkan sistem perwakilan yang mengakui hak-hak individu dan mayoritas, yang terikat dengan aturan dan mengakui konsep check and balances. Dari pengertian disebut, maka terdapat beberapa ukuran yang sanggup diacu dalam menilai suatu negara, apakah negara tersebut sanggup dikatakan demokratis atau tidak. Menurut Kongres Amerika pada tahun 1989 menentukan standar negara yang layak didiberikan menolongan, dengan parameter negara demokratis yang mencakup beberapa aspek :
  1. didirikannya sistem poltik yang sepenuhnya demokratis dan representatif berdasarkan pemilihan umum yang bebas dan adil,
  2. diakuinya secara efektif kebebasan-kebebasan mendasar dan kemerdekaan-kemerdekaan pribadi, termasuk kebebasan beragama, berbicara, dan berkumpul;
  3. dihilangkannya tiruana peraturan perundang-undangan dan banyak sekali peraturan yang menghalangi berfungsinya pers yang bebas dan terbentuknya partai-partai politik;
  4. diciptakannya suatu tubuh kehakiman yang bebas; (d) didirikannya kekuatan-kekuatan militer, keamanan, dan kepolisian yang tidak memihak.
Sementara parameter lain yang memilki kesamaan prinsip juga dikemukakan oleh Franz Magnis Suseno dan Afan Ghafar sebagaimana dikutip Syukoron Kamil. Ciri dari kondisi demokratis berdasarkan Franz Maginis Suseno terangkum dalam lima gugus:
  1. negara hukum
  2. pemrintahan yang berada dibawah kontrol masyarakat
  3. ada pemilihan umum terpola yang bebas
  4. prinsip mayoritas; dan
  5. adanya jaminan terhadap hak-hak demokratis dasar.
Sementara Afan Ghafar, tidak menyebut wacana prinsip negara hukum. Ia lebih menitik beratkan pada pertanggungjawabanan. Beberapa parameter demokrasi berdasarkan Affan Ghafar diantaranya : Akuntabilitas (pertanggungjawabanan), Rotasi kekuasaan tertaur dan damai, rekrutmen politik yang terbuka, pemilu yang luber dan jurdil, dan rakyat sanggup menikmati hak-hak dasarnya.
Demokrasi begai paham yang dilahirkan dari prinsip kedaulatan rakyat, kini makin digandrungi. Hal tersebut disebabkan lantaran dengan demokrasi sudah dihasilkan kebijakan yang bijak, suatu masyarakat yang adil, bebas, keputusan yang memajukan kepentingan bersama, akreditasi terhadap hak-hak individu. Dalam sistem demokrasi, masyarakat tidak dipaksa untu melaksanakan sesuatu yang dianggapnya tidak mesti dilakukan, termasuk kaum minoritas sekalipun, lantaran hak-hak mereka terlindungi. Hal tersebut terwujud mengingat
Demokrasi dengan mekanisme dan kelembagaannya yang membatasi kekuasaan sanggup mencegah kewenang-wenangan, sehingga menghasilkan pemerintahan yang bertanggung jawaban.



[1] Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, Jakarta : Gaya Media Pratama, 2000, h. 123.
[2] Peter Jhones “Persamaan Politik dan Kekuasaan Mayoritas” dalam David Miller dan Lary Siedentop, Politik dalam Perspektif Pemikiran Filasafat dan Teori, Jakarta : Rajpertamai Press, tth, h. 254.

Posting Komentar untuk "Teori Kedaulatan"