Reformasi Dan Perkembangan Teori Aturan Tata Negara
Reformasi Dan Perkembangan Teori Hukum Tata Negara
Teori Hukum Tata Negara mulai menerima perhatian dan berkembang pesat pada ketika bangsa Indonesia memasuki kurun reformasi. Salah satu arus utama dari kurun reformasi ialah gelombang demokratisasi. Demokrasi sudah mempersembahkan ruang terhadap tuntutan-tuntutan perubahan, baik tuntutan yang terkait dengan norma penyelenggaraan negara, kelembagaan negara, maupun hubungan antara negara dengan masyarakat negara. Demokrasi pula yang memungkinkan adanya kebebasan dan otonomi akademis untuk mengkaji aneka macam teori yang melahirkan pilihan-pilihan sistem dan struktur ketatguagaraan untuk mewadahi aneka macam tuntutan tersebut.
Tuntutan perubahan sistem perwakilan diikuti dengan munculnya perdebatan wacana sistem pemilihan umum (misalnya antara distrik atau proporsional, antara stelsel daftar terbuka dengan tertutup) dan struktur DPR (misalnya duduk masalah kamar-kamar DPR dan keberadaan DPD). Tuntutan adanya hubungan pusat dan kawasan yang lebih berkeadilan diikuti dengan kajian-kajian teoritis wacana bentuk negara sampai model-model penyelenggaraan otonomi daerah.
Tuntutan-tuntutan tersebut meliputi banyak aspek. Kerangka aturan dan kelembagaan yang ada berdasarkan Hukum Tata Negara positif ketika itu tidak lagi sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kehidupan masyarakat. Di sisi lain, aneka macam kajian teoritis sudah muncul dan mempersembahkan alternatif kerangka aturan dan kelembagaan yang baru. Akibatnya, Hukum Tata Negara positif mengalami “deskralisasi”. Hal-hal yang tiruanla tidak sanggup dipertanyakan pun digugat. Kedudukan MPR sebagai forum tertinggi negara dipertanyakan. Demikian pula halnya dengan kekuasaan Presiden yang dipandang terlalu besar sebab memegang kekuasaan pemerintahan dan kekuasaan membentuk UU. Berbagai tuntutan perubahan berujung pada tuntutan perubahan Undang-Undang Dasar 1945 yang sudah usang disakralkan.
B. Perubahan Undang-Undang Dasar 1945
Pembahasan wacana latar belakang perubahan Undang-Undang Dasar 1945 dan argumentasi perubahannya sudah banyak dibahas diberbagai literatur, menyerupai buku Prof. Dr. Mahfud MD.[5], Prof. Dr. Harun Alrasid[6], dan Tim Nasional Reformasi Menuju Masyarakat Madani[7]. Perubahan-perubahan tersebut diatas meliputi hampir keseluruhan materi Undang-Undang Dasar 1945. Menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, jikalau naskah orisinil Undang-Undang Dasar 1945 meliputi 71 butir ketentuan, maka sehabis empat kali mengalami perubahan, materi muatan Undang-Undang Dasar 1945 meliputi beberapa aspek 199 butir ketentuan. Bahkan hasil perubahan tersebut sanggup dikatakan sebagai sebuah konstitusi gres sama sekali dengan nama resmi “Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.[8]
Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 yang dilakukan dalam empat kali perubahan tersebut sudah menjadikan perubahan yang fundamental dalam Hukum Tata Negara Indonesia. Perubahan tersebut diantaranya meliputi (i) Perubahan norma-norma dasar dalam kehidupan bernegara, menyerupai penegasan bahwa Negara Indonesia ialah negara aturan dan kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Dasar; (ii) Perubahan kelembagaan negara dengan adanya lembaga-lembaga gres dan hilangnya beberapa forum yang pernah ada; (iii) Perubahan hubungan antar forum negara; dan (iv) Masalah Hak Asasi Manusia. Perubahan-perubahan hasil constitutional reform tersebut belum sepenuhnya dijabarkan dalam peraturan perundang-undangan maupun praktek ketatguagaraan sehingga aneka macam kerangka teoritis masih sangat diharapkan untuk membuatkan dasar-dasar konstitusional tersebut.
C. Keberadaan Mahkamah Konstitusi
Pembentukan MK ialah penegasan prinsip negara aturan dan jaminan terhadap hak asasi insan sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pembentukan MK juga ialah perwujudan dari konsep checks and balances dalam sistem ketatguagaraan. Selain itu, pembentukan MK dimaksudkan sebagai masukana penyelesaian beberapa duduk masalah ketatguagaraan yang sebelumnya tidak diatur sehingga mengakibatkan ketidakpastian.
Berdasarkan Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, MK ialah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung. Kewenangan MK diatur dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang meliputi memutus pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan forum negara, memutus pembubaran partai politik, dan menuntaskan perselisihan wacana hasil pemilihan umum. Selain itu, Pasal 24C ayat (3) menyatakan bahwa MK wajib memutus pendapat DPR atas dugaan pelanggaran aturan yang dilakukan oleh Presiden dan atau Wakil Presiden. Selanjutnya keberadaan MK diatur berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 2003 wacana Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan kewenangan yang dimiliki tersebut, maka MK berfungsi sebagai penjaga konstitusi (the guardian of the constitution) biar dilaksanakan baik dalam bentuk undang-undang maupun dalam pelaksanaannya yang terkait dengan kewenangan dan kewajiban MK. Sebagai penjaga konstitusi, MK sekaligus berperan sebagai penafsir konstitusi (the interpreter of the constitution). Fungsi sebagai penjaga dan penafsir konstitusi tersebut dilaksanakan melalui putusan-putusan MK sesuai dengan empat kewenangan dan satu kewajiban yang dimiliki. Dalam putusan-putusan MK selalu mengandung pertimbangan aturan dan argumentasi aturan bagaimana suatu ketentuan konstitusi harus ditafsirkan dan harus dilaksanakan baik dalam bentuk undang-undang, maupun dalam bentuk lain sesuai dengan kewenangan dan kewajiban yang dimiliki oleh MK.
Keberadaan MK sebagai penafsir dan penjaga konstitusi yang dilaksanakan melalui keempat kewenangan dan satu kewajibannya tersebut menempatkan Undang-Undang Dasar 1945 di satu sisi sebagai aturan tertinggi yang harus dilaksanakan secara konsisten, dan di sisi lain menjadikannya sebagai domain publik dan operasional. Persidangan di Mahkamah Konstitusi yang bersifat terbuka dan menghadirkan aneka macam pihak untuk didengar keterangannya dengan sendirinya mendorong masyarakat untuk terlibat atau setidak-tidaknya mengetahui perkembangan pedoman bagaimana suatu ketentuan konstitusi harus ditafsirkan. Bahkan pihak-pihak dalam persidangan juga sanggup mempersembahkan pemikirannya wacana penafsiran tersebut meskipun pada jadinya tergantung pada evaluasi dan pendapat para Hakim Konstitusi yang akan dituangkan dalam putusan-putusannya.
melaluiataubersamaini demikian, media utama yang memuat pelaksanaan tugas dan fungsi Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga dan penafsir tunggal konstitusi (the guardian and the sole interpreter of the constitution) ialah putusan-putusan yang dibentuk berdasarkan kewenangan dan kewajibannya sesuai dengan ketentuan Pasal 24C ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar 1945. melaluiataubersamaini kata lain, penafsiran ketentuan konstitusi dan perkembangannya sanggup dipahami dalam putusan-putusan Mahkamah Konstitusi, tidak saja yang amarnya mengabulkan permintaan, tetapi juga yang ditolak atau tidak sanggup diterima (niet ontvankelijk verklaard). Karena itu, suatu putusan tidak seharusnya spesialuntuk dilihat dari amar putusan, tetapi juga sangat penting untuk memahami pertimbangan aturan (ratio decidendi) yang pada prinsipnya mempersembahkan penafsiran terhadap suatu ketentuan konstitusi terkait dengan seruan tertentu.
Putusan Mahkamah Konstitusi dengan sendirinya ialah dokumen yang memuat klarifikasi dan penafsiran ketentuan dalam konstitusi. Di sisi lain, putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permintaan, khususnya dalam pengujian undang-undang, dengan sendirinya merubah suatu ketentuan norma aturan yang harus dilaksanakan oleh segenap organ negara dan dipatuhi oleh seluruh masyarakat.
Keberadaan Mahkamah Konstitusi dengan fungsinya sebagai penjaga dan penafsir konstitusi tersebut sudah menggairahkan perkembangan teori Hukum Tata Negara. Jika pada masa kemudian duduk masalah Hukum Tata Negara spesialuntuk berpusat pada acara politik di forum perwakilan dan kepresidenan, serta pokok bahasannya spesialuntuk duduk masalah forum negara, hubungan antar forum negara dan hak asasi manusia, maka ketika ini isu-isu konstitusi mulai merambah pada aneka macam aspek kehidupan yang lebih luas dan melibatkan banyak pihak, bahkan tidak saja jago hukum.
Mengingat Undang-Undang Dasar 1945 tidak spesialuntuk ialah konstitusi politik, tetapi juga konstitusi ekonomi dan sosial budaya, maka perdebatan teoritis konstitusional juga banyak terjadi di bidang ekonomi dan sosial budaya. Hal ini contohnya sanggup dilihat dari beberapa putusan MK terkait dengan bidang ekonomi menyerupai dalam pengujian UU Ketenagalistrikan, UU SDA, dan UU Kepailitan. Di bidang sosial budaya contohnya sanggup dilihat dari putusan-putusan pengujian UU Sistem Jaminan Sosial Nasional dan pengujian UU Sisdiknas.
Perkembangan pelaksanaan kewenangan Mahkamah Konstitusi tersebut sudah mendorong berkembangnya studi-studi teori Hukum Tata Negara. Beberapa teori yang ketika ini mulai berkembang dan dibutuhkan contohnya ialah teori-teori norma hukum, teori-teori penafsiran, teori-teori kelembagaan negara, teori-teori demokrasi, teori-teori politik ekonomi, dan teori-teori hak asasi manusia.
Teori-teori norma aturan diharapkan contohnya untuk membedakan antara norma yang bersifat ajaib umum dengan norma yang bersifat kasatmata individual yang memilih bagaimana prosedur pengujiannya. Pembahasan teori-teori norma aturan juga diharapkan untuk menyusun hierarki peraturan perundang-undangan sehingga pembangunan sistem aturan nasional sanggup dilakukan sesuai dengan kerangka konstitusional.
Teori-teori selanjutnya yang mulai menerima perhatian dan tumbuh berkembang ialah teori penafsiran. Dalam aturan bantu-membantu penafsiran menempati kedudukan yang sentral sebab acara aturan “berkutat” dengan norma-norma dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang akan diterapkan (imputation) ke dalam suatu kejadian nyata. Penafsiran menjadi semakin penting pada ketika suatu norma konstitusi harus dipahami untuk memilih norma yang lain berperihalan atau tidak dengan norma yang pertama. Kedua norma tersebut harus benar-benar dipahami mulai dari latar belakang, maksud, sampai penafsiran ke depan pada ketika akan dilaksanakan. Untuk itu ketika ini sudah banyak berkembang studi aturan dengan memakai alat menolong ilmu penafsiran bahasa (hermeunetik). Demikian pula teori-teori lain yang juga berkembang cukup pesat.
http://alisafaat.wordpress.com/2009/02/06/perkembangan-teori-hukum-tata-negara-dan-penerapannya-di-indonesia/
Posting Komentar untuk "Reformasi Dan Perkembangan Teori Aturan Tata Negara"