Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Prinsip-Prinsip Metodologi Berdasarkan Rene Descartes, Alfed Jules Ayer, Dan Karl Raimund Popper



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Metodologi (ilmu tentang metode) yaitu pecahan epistemologi (teori pengetahuan) yang mengkaji tentang urutan langkah-langkah yang ditempuh biar pengetahuan yang diperoleh memenuhi ciri-ciri ilmiah. Metodologi juga sanggup dipandang sebagai pecahan dari logika yang mengkaji kaidah pikiran sehat yang tepat. Bernalar secara tepat itu penting. Benar tidaknya cara kita berpikir, menganalisa, melogika, dan menarikdanunik kesimpulan mempengaruhi pengetahuan yang kita sanggup dan kebenarannya. Mabadunga kita membicarakan metodologi, maka hal yang tak kalah pentingnya yaitu asumsi-asumsi yang melatarbelakangi banyak sekali metode yang dipergunakan dalam kegiatan ilmiah.
Asumsi-asumsi yang dimaksud yaitu pendirian atau perilaku yang akan dikembangkan para ilmuan di dalam kegiatan ilmiah  mereka. Filsuf-filsuf yang paling banyak menaruh perhatian terhadap kasus penting dibalik metodologis atau prinsip-prinsip metodologi yaitu Rene Descartes, Alfed Jules Ayer, dan Karl Raimund Popper. Dan untuk lebih jelasnya tentang pemikiran mereka akan dibahas dalam pecahan selanjutnya.
 
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana prinsip metodologi ilmu berdasarkan Rene Descartes?
2.      Bagaimana prinsip metodologi ilmu berdasarkan Alfed Jules Ayer?
3.      Bagaimana prinsip metodologi ilmu berdasarkan Karl Raimund Popper?



BAB II
PEMBAHASAN


A.    Rene Descartes
Descartes yaitu putra spesialis hukum. Ia lahir di La Haye Perancis pada tanggal 31 Maret 1596 dan meninggal di Stockholm Swedia pada tanggal 11 Februari 1650 pada umur 53 tahun, ia juga dikenal sebagai Renatus Cartesius dalam literatur berbahasa Latin yang artinya seorang filsuf dan matematikawan Perancis. Ayahnya mengirim beliau ke sekolah pada umur delapan tahun. Ia bersekolah di Jesuit College of La Flèche antara tahun 1606 dan 1614. Karena kesehatannya yang kurang baik, Descartes diizinkan menghabiskan waktu paginya berguru di daerah pulas, suatu kebiasaan yang dipandangnya berkhasiat sehingga dilanjutkannya sepanjang hidupnya.[1]
Pada umur 20 tahun ia menerima gelar sarjana aturan dan juga sebagai mahir matematika. Kemudian selanjutnya menjalani kehidupan seorang yang terhormat, menjalani dinas militer beberapa tahun kemudian tinggal beberapa waktu di Paris, kemudian di Belanda. Dia bergabung dengan paduan bunyi para filsuf kurun 17 termasuk Bacon, Hobbes dan Locke. Pada 1618 beliau pergi ke Holland (Belanda) untuk melayani tentara angkatan darat Prince Maurice of Nassau, ketika dalam perjalanan ke Jerman bersama para tentara angkatan darat itu. Pada malam 10 November, beliau mengalami serangkaian mimpi yang beliau artikan sebagai tanda-tanda bahwa beliau akan menemukan suatu ilmu yang universal (a universal science). Selanjutnya ia pergi ke Swedia diundang untuk mengajari Ratu Christina dimana ia meninggal lantaran pneumonia pada tahun 1650.
Descartes mereview suatu metode berpikir yang umum yang akan mempersembahkan pertalian dan pengetahuan dan menuju kebenaran dalam ilmu-ilmu. Penelitian itu mengantarnya ke matematika, yang ia simpulkan sebagai masukana pengembangan kebenaran di segala bidang. Karya matematikanya yang paling besar lengan berkuasa ialah La Geometrie, yang diterbitkan pada tahun 1637. Pengembangan kalkulus tidak mungkin tercapai tanpa dia. Di dalamnya ia mencoba suatu penggabungan dari geometri renta dan patut dimuliakan dengan aljabar yang masih belm berkembang pada waktu itu. Bersama dengan seorang Perancis lainnya, Pierre Fermat (1601-1665), ia didiberi penghargaan dengan adonan tersebut yang ketika ini kita sebut sebagai geomtri analitik, atau geometri koordinat. Pengembangan lengkap kalkulus tidak mungkin ada tanpa teorinya terlebih lampau. Descartes benar-benar yakin bahwa inovasi metode yang tepat yaitu kunci dari meningkatnya pengetahuan.
Pengaruh yang paling penting bagi Descrates pada ketika itu yaitu mahir matematika Issac Beeckman. Issac Beeckman mendorong Descartes dengan mempersembahkan sejumlah kasus dan mendiskusikan masalah-masalah fisika dan matematika. Karya penting pertama Descartes yaitu "Regulae or Rules for the Direction of Mind" yang ditulis pada tahun 1628, tetapi tidak diterbitkan sampai 1701. Karya ini memperlihatkan minat Descartes pada metode yang beliau bagikan kepada beberapa ilmuwan, mahir matematika dan filsuf kurun 16 dan 17. Salah satu sumber metode ini yaitu matematika kuno. Tiga belas buku "Euclid's Elements" ialah pola dari pengetahuan dan metode deduktif.
Pada November 1628 Descartes berada di Paris, dimana beliau menjadikan dirinya populer ketika berperihalan dengan Chandoux. Chandoux mengaku bahwa ilmu spesialuntuk bisa didasarkan pada kemungkinan. Pandangan ini mencerminkan dominasi skeptisisme bulat intelektual Renaissance di Perancis. (This view reflected the dominance in French intellectual circles of Renaissance skepticism.) Pandangan skeptis ini berasal dari krisis religius di Eropa yang ialah akhir dari Reformasi Protestan dan diperparah dengan penerbitan "Sextus Empiricus" dan pencerminan ketidak setujuan antar penulis klasik. Keadaan ini diperparah lagi dengan pertimbangan-pertimbangan tentang perbedaan budaya antara budaya, Dunia Baru dan Eropa, dan oleh perdebatan tentang sistem Copernican baru. Semuanya ini sudah disusun sedemikian rupa oleh Montaigne dalam karyanya, "Apology for Raymond Sebond", dan dikembangkan oleh para pengikutnya. Descartes diserang dengan pandangan ini, spesialuntuk mengakui bahwa kepastian bisa dijadikan sebagai dasar pengetahuan dan bahwa beliau sendiri mempunyai suatu metode untuk mendapatkan kepastian itu.
Menurut Rene Descartes, beliau merasa akan sanggup berpikir lebih luas bilamana ia berpikir berdasarkan metode yang rasionalistis untuk menganalisis tanda-tanda alam. melaluiataubersamaini pemikiran yang rasionalistis itu, orang bisa menghasilkan ilmu-ilmu pengetahuan yang berkhasiat menyerupai ilmu dan teknologi. Menurutnya kebenaran yaitu pernyataan tanpa ragu, baik logika deduktif maupun logika induktif, dalam proses penalarannya, mempergunakan premis-premis yang berupa pengetahuan yang dianggapnya benar. Pada dasarnya terdapat dua cara pokok bagi insan untuk mendapatkan pengetahuan yang benar yaitu berdasarkan rasio dan pengalaman.
Kaum rasionalis mendasarkan diri kepada rasio dan kaum empirisme mendasarkan diri kepada pengalaman. Kaum rasionalis mempergunakan metode deduktif dalam menyusun pengetahuannya. Premis yang digunakan dalam penalarannya didapatkan dari ide yang dianggapnya terang dan sanggup diterima. Ide ini berdasarkan mereka bukanlah ciptaan pikiran manusia. Prinsip itu sendiri sudah ada jauh sebelum insan memikirkannya. Paham ini dikenal dengan nama idealisme. Fungsi pikiran insan spesialuntuklah mengenali prinsip tersebut yang kemudian menjadi pengetahuannya. Prinsip itu sendiri sudah ada dan bersifat apriori dan sanggup diketahui insan lewat kemampuan berpikir rasionalnya. Pengalaman tidaklah membuahkan prinsip justru sebaliknya, spesialuntuk dengan mengetahui prinsip yang didapat lewat pikiran sehat rasionil itulah maka kita sanggup mengerti kejadian-kejadian yang berlaku dalam alam sekitar kita. Secara singkat sanggup dikatakan bahwa ide bagi kaum rasionalis yaitu bersifat apriori dan pengalaman yang didapatkan insan lewat pikiran sehat rasional.


Adapun teori berpikir yang rasionalistis berdasarkan Rene Descartes yaitu sebagai diberikut:
1.      Dalam penyelesaian kasus tidak boleh mendapatkan begitu saja hal-hal yang belum diyakini kebenarannya.
2.      Menganalisis dan mengklarifikasikan setiap permasalahan melalui pengujian yang teliti kedalam sebanyak mungkin pecahan yang diharapkan bagi pemecahan yang adequat (memadai).
3.      Menggunakan pikiran dengan cara dipertamai dengan menganalisis samasukan-samasukan yang paling sederhana dan paling praktis untuk diungkapkan.
4.      Dalam setiap permasalahan dibentuk uraian yang tepat serta dilakukan peninjauan kembali secara umum.

B.     Alfred Jules Ayer
Pemikiran  Ayer yang termuat dalam bukunya yang berjudul Language, Truth and Logic tersebut. Ajaran terpenting yang terkait kasus metodologis yaitu prinsip Verifikasi  ini mengacu pada metode ilmiah yang diterapkan dalam bidang Fisika Modern, atau Koreksi terhadap metode Fisika Klasik Isaac Newton. Teori Relativitas Einstein yang termahsur itu sudah memperlihatkan secara terang bahwa konsep Ruang dan waktu yang absolute dari Fisika Klasik yang diajukan oleh Newton, spesialuntuk bermakna ketika seseorang sanggup merinci apakah pelaksanaan terhadap percobaan yang dilakukan  itu sanggup ditasdikan. Kritik yang dilancarkan Einstein terhadap konsep Newton terkena ruang dan waktu yang bersifat absolute itu sudah mengilhami tokoh-tokoh Positivisme Logik, menyerupai Moritz Schlik dan Rudolf Carnapp yang intinya mempunyai latar belakang sains yang cukup. Kemudian mereka menerapkan prinsip verifikasi yang tiruanla dipergunakan dalam bidang Fisika itu kedalam metode alnalisis bahasa.
Teknik yang demikian itu membawa perubahan  yang cukup besar terhadap tolak ukur untuk memilih bermakna tidaknya suatu pernyataan. Seba bagi Positivisme Logik sesati yamg tidak sanggup diukur (ditasdikan) itu tidak mempunyai makna. melaluiataubersamaini demikian makna suatu proposisi tergantung apakah kita sanggup melakukan  verifikasi terhadap proposisi yang bersangkutan.
Kendati tokoh Positivisme Logik secara umum mendapatkan verifikasi itu sebagai tolak ukur untuk memilih konsep tentang makna, namun mereka membuat rincian yang cukup tidak sama menenai prinsip verifikasi itu sendiri. Tokoh pemula Positivisme Logik, menyerupai Moritz Schlik misalnya, menafsirkan verifikasi ini dalam pengertian pengamatan empiris secara eksklusif bahwa spesialuntuk proposisi yang mengandung istilah yang diangkat eksklusif dari objek yang diamati (ini dinamakan Protokol) itulah yang benar-benar mengandung makna.
Bagi Schlik, terang bahwa salah satu cara pengetahuan itu dimulai dengan pengamatan peristiwa. Peristiwa semacam itu terlihat  dalam kalimat protocol  dan inilah yang menjadi permulaan bagi ilmu. Akan tetapi tafsiran Schlik terkena prinsip verifikasi ini menjadikan perdebatan di antara kaum Positivisme Logik itu sendiri, terutama penganut Positivisme Logik yang muncul kemudian. Sebab dengan meletakkan prinsip verifikasi spesialuntuk pada insiden yang sanggup dialami secara langsung, berati Schlik sudah menafikan bidang sejarah sebagai produk masa lampau  dan prediksi (ramalan) ilmiah sebagai produk masa yang akan hadir.
Ayer, salah seorang penganut Positivisme Logik yang muncul kemudian, atau sanggup dikatakan sebagai generasi penerus tradisi Positivisme Logik, menyadari pula kelemahan yang terkandung dalam prinsip pentasdikan yang diajukan Schlik itu. Oleh lantaran itu Ayer memperluas prinsip verifikasi dalam pengertian yaitu “prinsip verifikasi itu ialah pengandaian untuk melengkapi suatu kriteria, sehiingga melalui kriteria tersebut sanggup ditentukan apakah suatu kalimat mengandung makna atau tidak. Melalui prinsip verifikasi ini tidak spesialuntuk kalimat yang teruji secara empiris saja yang dianggap bermakna, tetapi juga kalimat yang sanggup dianalisis. Hal ini ditegaskan Ayer dalam pernyataan diberikut: “Suatu cara sederhana untuk merumuskan hal itu yaitu dengan menyampaikan bahwa suatu kalimat itu mengandung makna, kalau dan spesialuntuk proposisi yang diungkapkan itu sanggup dianalisis atau sanggup di verifikasi ini sehingga mengatasi kelemahan yang sanggup diverifikasi secara empiris.”
Penafsiran yang diajukan Ayer terhadap prinsip verifikasi ini berhasil mengatasi kelemahan yang terdapat dalam pandangan tokoh Positivisme Logic sebelumnya, yang spesialuntuk mendapatkan proposisi yang spesialuntuk sanggup diverifikasi secara empiric. Hal mana terlihat terang dalam pandangan Moritz Schlik,yang mengaitkan prinsip verifikasi itu dengan kalimat protocol, atau kalimat yang sanggup diperiksa benar atau salahnya mmelalui  pengamatan empiric secara langsung. Menurut pandangan Ayer, prinsip verifikasi menyerupai yang diajukan Schlik itu ialah verifiable dalam arti yang ketat (Ayer menambahkan pengertian verifiable dalam arti yang longgar atau lunak). Kedua macam pengertian verifiable ini dijelaskan oleh Ayer sebagai diberikut: “Verifiable dalam arti yang ketat (strong verifiable) yaitu, sejauh kebenaran suatu proposisi itu didukung pengalaman secara meyakinkan. Sedangkan verifiable dalam arti yang lunak yaitu, kalau suatu proposisi itu mengandung kemungkinan bagi pengalaman atau ialah pengalaman yang memungkinkan.”
Melalui kedua macam pengertian verifiable ini terutama verifiable dalam arti lunak sudah membuka kemungkinan untuk mendapatkan kemungkinan untuk mendapatkan pernyataan dalam bidang sejarah (masa lampau) dan juga prediksi ilmiah (ramalan masa depan) sebagai pernyataan yang mengandung makna. Namun Ayer menampik kehadiran metafisika dalam dunia ilmiah, lantaran pernyataan-pernyataan metafisika (etika, theology) ialah pernyataan yang meaningless (tidak bermakna) lantaran tidak sanggup dilakukan verifikasi apapun.






C.    Karl Raimund Popper
Karl Raimund Popper lahir di Wina pada tanggal 28 Juli tahun 1902.[2] Ayahnya Dr. Simon Siegmund Carl Popper yaitu seorang pengacara yang sangat berminat pada filsafat. Maka tidak mengherankan bila ia begitu tertarik dengan dunia filsafat, lantaran ayahnya sudah mengkoleksi buku-buku karya filusuf-filusuf ternama.[3]
Pada usia 16 tahun ia keluar dari sekolahnya, Realgymnasium, dengan alasan Ia bosan dengan pelajaran disana maka ia menjadi pendengar bebas di Universitas Wina dan gres pada tahun 1922 ia diterima sebagai mahasiswa disana. Sesudah perang dunia I dimana begitu banyak penindasan dan pembunuhan maka Popper terdorong untuk menulis sebuah karangan tentang kebebasan. Dan diusia 17 tahun ia menjadi anti Marxis lantaran kekecewaannya pada pendapat yang menghalalkan segala cara dalam melaksanakan revolusi termasuk pengorbanan jiwa. Di mana pada ketika itu terjadi pembantaian cowok yang beraliran sosialis dan komunis dan banyak dari kawan-kawannya yang terbunuh. Dan semenjak ketika itu ia menarikdanunik suatu akal yang diungkapkan oleh Socrates yaitu “Saya tahu bahwa saya tidak tahu”, dan dari sini ia menyadari dengan sungguh-sungguh perbedaan antara pemikiran dogmatis dan kritis.[4]
Salah satu insiden yang mempengaruhi perkembangan intelektual Popper dalam filsafatnya yaitu dengan tumbangnya teaori Newton dengan munculnya Teori tentang gaya berat dan kosmologi gres yang dikemukakan oleh Einstein. Di mana Popper terkesan dengan ungkapan Einstein yang menyampaikan bahwa teorinya tak sanggup dipertahankan kalau gagal dalam tes tertentu, dan ini sangat berlainan sekali dengan perilaku kaum Marxis yang dogmatis dan selalu mencari verifikasi terhadap teori-teori keakungannya. Dari insiden ini Popper menyimpulkan bahwa perilaku ilmiah yaitu perilaku kritis yang tidak mencari pembenaran-pembenaran melainkan tes yang crucial berupa pengujian yang sanggup menyangkal teori yang diujinya, meskipun tak pernah sanggup meneguhkannya.[5]
Asumsi pokok teorinya Karl Raimund Popper yaitu satu teori harus diji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang sanggup memperlihatkan ketidakbenarannya, dan Popper menyajikan teori ilmu pengetahuan gres ini sebagai penolakannya atas positivisme logis yang beranggapan bahwa pengetahuan ilmiah intinya tidak lain spesialuntuk berupa generalisasi pengalaman atau fakta konkret dengan memakai ilmu niscaya dan logika. Dan berdasarkan positivisme logis kiprah filsafat ilmu pengetahuan yaitu menanamkan dasar untuk ilmu pengetahuan.[6]
Hal yang diKoreksi oleh Popper pada Positivisme Logis yaitu tentang metode Induksi, ia beropini bahwa Induksi tidak lain spesialuntuk khayalan belaka, dan tidak mungkin sanggup menghasilkan pengetahuan ilmiah melalui induksi. Tujuan Ilmu Pengetahuan yaitu menyebarkan pengetahuan ilmiah yang berlaku dan benar, untuk mencapai tujuan tersebut diharapkan logika, namun jenis pikiran sehat yang digunakan oleh positivisme logis yaitu induksi dirasakan tidak tepat alasannya yaitu jenis pikiran sehat ini tidak mungkin menghasilkan pengetahuan ilmiah yang benar dan berlaku, lantaran elemahan yang bisa terjadi yaitu kesalahan dalam penarikan kesimpulan, dimana dari premis-premis yang dikumpulkan kemungkinan tidak lengkap sehingga kesimpulan atau generalisasi yang dihasilkan tidak mewakili fakta yang ada. Dan menurutnya biar pengetahuan itu sanggup berlaku dan bernilai benar maka pikiran sehat yang harus digunakan yaitu pikiran sehat deduktif.
Penolakan lainnya yaitu tentang Fakta Keras, Popper beropini bahwa fakta keras yang berdiri sendiri dan terpisah dari teori bahu-membahu tidak ada, lantaran fakta keras selalu terkait dengan teori, yakni berkaitan pula dengan perkiraan atau pendugaan tertentu. melaluiataubersamaini demikian pernyataan pengamatan, yang digunakan sebagai landasan untuk membangun teori dalam positivisme logis tidak pernah bisa dikatakab benar secara mutlak.
Menurut Popper teori yang melatar belakangi fakta-fakta pengamatan yaitu titik permulaan ilmu pengetahuan dan teori diciptakan insan sebagai jawabanan atas kasus pengetahuan tertentu berdasarkan rasionya sehingga teori tidak lain spesialuntuklah pendugaan dan pengiraan dan tidak pernah benar secara mutlak sehingga perlu dilakukan pengujian yang secermat-cermatnya biar diketahuan ketidakbenarannya. Ilmu pengetahuan spesialuntuk sanggup berkembang apabila teori yang diciptakannya itu berhasil ditentukan ketidakbenarannya. Dan Popper mengganti istilah verifikasi dengan falsifikasi.
Adapun prinsip falsifikasi yang menjadi pokok pemikiran Karl Raimund Popper terhadap prinsip verifikasi yaitu:
1.      Popper menolak anggapan umum bahwa suatu teori dirumuskan dan sanggup dibuktikan kebenarannya melalui prinsip verifikasi. Teori-teori ilmiah selalu bersifat hipotesis (dugaan sementara), tidak ada kebenaran terakhir. Setiap teori selalu terbuka untuk digantikan oleh teori yang lebih tepat.
2.      Teknik kerja metode induksi yang secara sistematis dimulai dari pengamatan (observasi) secara teliti tanda-tanda yang sedang diselediki. Pengamatan yang berulang-ulang itu akan adanya ciri-ciri umum yang dirumuskan menjadi hipotesa. Selanjutnya hipotesa itu dikukuhkan dengan cara menemukan bukti-bukti empiris yang sanggup mendukungnya. Hipotesa yang berhasil dibenarkan akan berkembang menjadi hukum. Popper menolak  cara kerja di atas, terutama pada asas verifiabilitas, bahwa sebuah pernyataan itu sanggup dibenarkan bukti-bukti pengamatan empiris.
3.      Popper memperlihatkan pemecahan  baru dengan  mengajukan prinsip falsifiabilitas, yaitu bahwa sebuah pernyataan sanggup dibuktikan kesalahannya. Maksudnya, sebuah hipotesa, hukum, ataukah teori kebenarannya yang bersifat sementara, sejauh belum ditemukan kesalahan-kesalahan yang ada di dalamnya. Bagi Popper, ilmu pengetahuan sanggup berkembang maju mabadunga suatu hipotesa sudah dibuktikan salah, sehingga sanggup digantikan dengan hipotesa baru. Namun ada kemungkinan lain, yaitu salah satu unsur hipotesa yang dibuktikan salah untuk digantikan dengan unsur gres yang lain, sehingga hipotesa sudah disempurnakan. Menurut Popper, apabila suatu hipotesa sanggup melawan  segala perjuangan penyangkalan, maka hipotesa tersebut semakin diperkokoh (corroboration).[7]










BAB II
PENUTUP

Simpulan:
Adapun simpulan yang diambil dari pokok pemikiran para filsafat tentang prinsip metodologi ilmu yaitu:
·         Rene Descartes (perihal teori berpikir yang rasionalistis):
1.      Dalam penyelesaian kasus tidak boleh mendapatkan begitu saja hal-hal yang belum diyakini kebenarannya.
2.      Menganalisis dan mengklarifikasikan setiap permasalahan melalui pengujian yang teliti kedalam sebanyak mungkin pecahan yang diharapkan bagi pemecahan yang adequat (memadai).
3.      Menggunakan pikiran dengan cara dipertamai dengan menganalisis samasukan-samasukan yang paling sederhana dan paling praktis untuk diungkapkan.
4.      Dalam setiap permasalahan dibentuk uraian yang tepat serta dilakukan peninjauan kembali secara umum.
·         Alfred Jules Ayer (perihal teori verifikasi):
Suatu cara sederhana untuk merumuskan hal itu yaitu dengan menyampaikan bahwa suatu kalimat itu mengandung makna, kalau dan spesialuntuk proposisi yang diungkapkan itu sanggup dianalisis atau sanggup di verifikasi ini sehingga mengatasi kelemahan yang sanggup diverifikasi secara empiris.
·         Karl Raimund Popper (teori prinsip falsifikasi) :
1.      Popper menolak anggapan umum bahwa suatu teori dirumuskan dan sanggup dibuktikan kebenarannya melalui prinsip verifikasi.
2.      Popper menolak Teknik kerja metode induksi yang secara sistematis yang dimulai dari pengamatan (observasi), lantaran pengamatan yang berulang-ulang itu akan dirumuskan menjadi hipotesa.
3.      Popper memperlihatkan pemecahan  baru dengan  mengajukan prinsip falsifiabilitas, yaitu bahwa sebuah pernyataan sanggup dibuktikan kesalahannya. Sehingga sebuah hipotesa yang teori kebenarannya bersifat sementara sanggup diganti dengan hipotesa yang gres apabila hipotesa yang pertama ditetapkan salah, sehingga ilmu pengetahuan berkembang di dalamnya.





















DAFTAR PUSTAKA

Buku :
Bertens, K., Sejarah Filsafat Yunani, Yogjakarta: Kanisius, 1988.
Maksum, Ali, Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011.

Artikel :
Arali, Suatu Ringkasan Pola Pikir Popper, http://arali2008.files.wordpress.com/2008/08/suatu-ringkasan-pola-pikir-popper.pdf diakses Senin, tanggal 25 November 2013.
Wibowo, Arif, Karl Raimund Popper,  http://staff.blog.ui.ac.id/arif51/2008/03/31/karl-raimund-popper/ diakses Senin, tanggal 25 November 2013.



[1] K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, (Yogjakarta: Kanisius, 1988), h. 127
[2] Ali Maksum, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), h. 220 
[3] Arif Wibowo, Karl Raimund Popper,  http://staff.blog.ui.ac.id/arif51/2008/03/31/karl-raimund-popper/ diakses Senin, tanggal 25 November 2013, jam 17:30 Wita.
[4] ibid
[5] ibid
[6] ibid
[7] Arali, Suatu Ringkasan Pola Pikir Popper, http://arali2008.files.wordpress.com/2008/08/suatu-ringkasan-pola-pikir-popper.pdf diakses Senin, tanggal 25 November 2013, jam 19:00 Wita.

Posting Komentar untuk "Prinsip-Prinsip Metodologi Berdasarkan Rene Descartes, Alfed Jules Ayer, Dan Karl Raimund Popper"