Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Bali


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pulau Bali
Bali adalah nama salah satu provinsi di Indonesia dan juga ialah nama pulau terbesar yang menjadi belahan dari provinsi tersebut. Selain terdiri dari Pulau Bali, wilayah Provinsi Bali juga terdiri dari pulau-pulau yang lebih kecil di sekitarnya, yaituPulau Nusa Penida, Pulau Nusa Lembongan, Pulau Nusa Ceningan dan Pulau Serangan.
Bali terletak di antara Pulau Jawa dan Pulau Lombok. Ibukota provinsinya ialah Denpasar yang terletak di belahan selatan pulau ini. Mayoritas penduduk Bali yaitu pemeluk agama Hindu. Di dunia, Bali populer sebagai tujuan pariwisata dengan keunikan banyak sekali hasil seni-budayanya. Bali juga dikenal dengan sebutan Pulau Dewata dan Pulau Seribu Pura.[1]

B.     Masyarakat Bali
         I.          Bali Age
Orang Bali dibedakan antara mereka yang konon hadir dari Majapahit dan mereka yang memang orisinil penduduk Bali, dan dikenal sebagai Bali Aga (agë) meurut beberapa pakar, Bali-Aga berasal dari kata Bali Agra atau Bali Pepegununganan. Karena kata agra berarti puncak yang analog dengan pengertian pegunungan. Tapi ada juga yang menyampaikan bahwa Bali aga berarti bali asli. Kata “asli” dipergunkan dalam pengertian bahwa kehidupan dan kebudayaannya tidak terpengaruh oleh anasir-anasir luar, baik dari luar lingkungannya maupun dari imbas asing. Mereka hidup berkelompok menyendiri, mempertahankan keasliannya, menolak segala imbas dari luar. Masyarakat Bali aga ini bermukim di bersahabat danau Beratan dan di Bali Timur, yaitu di desa Tenganan, di tempat pepegununganan sebelah Barat Karang Asem.
Apa yang sanggup dilihat pada masyarakat Bali aga tentunya menggambarkan kondisi masyarakat Bali orisinil sebelum kehadiran pengungsi dari Majapahit. Kemerdekaan sudah mempersembahkan peluang bagi masyarakat local untuk mempertahankan status dan etika kebiasaan mereka tanpa mengalami gangguan dari pihak luar. Bali aga ini mempunyai suatu system pemerintahan yang dianggap sebagai republic desa dan seolah bangkit sendiri merdeka dari ikatan anggota masyarakat Bali yang lain, yaitu:
1.      Kedudukan tertinggi yaitu pemangku, sifatnya askriptip, dari golongan syangyang,sebagai kepala desa secara simbolis, kemudian sebagai penasehat dari pemerintahan desa. Di desa tenganan terdapat organisasi social ibarat subak, sekaha taruna, hukuman alam gumi pulangan dan lain-lainnya. Setiap kasus diselesaikan dalam kelompok doloe, tetapi apabila menemui jalan buntu, gres ke Bale Agung, bermusyawarah bersama.
2.      Kedudukan diberikutnya disebut Krama Luawanan (lima pasang) yang ialah kedudukan terhormat kedua. Kehadirannya dalam rapat harus melalui jemputan/undangan  dari “aku arah”.
3.      bahanDuluan, enam pasang kliang desa adat.
Kliang nomor 1 dan 2 disebut tampingtakon yang bersama materi doloean mengurus aktivitas sehari-hari di desa adat. Kliang akan dimenolong seorang penyarikan atau sejenis carik dan saya (pemmenolong). Tugas harian panyarikan yaitu memukul kentongan sebagai tanda jika sudah pagi hari, sedangkan Saya yang dari hukuman alam desa duduk secara bergilir di bawah materi roras.
4.      Bahan tebenan, enam orang disebut sebagai materi tebenan yaitu hukuman alam desa. Mereka memmenolong kliang desa serta mengawasi hukuman alam desa.
5.      Tabalapu tebenan, hukuman alam desa ialah gabungan antara tambalapu doloean dan tambalapu tebenan yang disebut tambalapu roras. Mereka memmenolong tambalapu doloean.
6.      Pangluduan, menjalankan tugas-tugas desa, dan di Bale Agung duduk di tempat paling belakan (tebenan).
7.      Ada golongan luar yang diundang berdiam di situ, yakni golongan pasek, golongan pande, golongan dukuh.
      II.          Bali Penhadir
Masyarakat Bali yang dianggap penhadir mungkin ialah limpahan dari Hindu Buddha Jawa ke Bali yang mempunyai struktur social yang tidak sama dan mempunyai fungsi (sistemik) tidak sama. Di Bali dikenal system organisasi Banjar yang terkait erat dengan fungsi manajemen politik, kemudian organisasi pura atau kuil atau keagamaan, dan paling penting bagi kelangsungan hayat masyarakat yaitu apa yang disebut dengan system organisasi subak. Oraganisasi social populer di Bali yaitu subak yang menjadi landasan produksi yang mendukung masyarakat Bali. Ada aturan di mana organisasi ini juga sanggup mempersembahkan hukuman pada pelanggar aturan.
Wanita sangat penting kiprahnya alasannya yaitu kaum perempuan ialah pendukung tegaknya rumah tangga. Sebagian besar bahkan mencari nafkah. Masyarakat Bali yang dianggap penhadir ialah limpahan dari Hindu Buddha Jawa ke Bali yang mempunyai struktur social sendiri yang tidak sama dari Bali Aga. Adanya imbas yang besar lengan berkuasa dari dari kebudayaan Hindu dan isolasi pada masyarakat Bali menyebaban  stratifkasi social hampir ibarat dengan system kasta India. I Gusti Ngurah Bagus menyampaikan bahwa system kasta memang ada di bali, walaupun dalam struktur dan fungsi dalam banyak hal tidak sama, namun mempunyai persamaan dengan India.
Di bali dikenal istilah warna dan wangsa untuk menyebut system kasta. Diantara kedua istilah tersebut, istilah wangsa lebih umum dipergunakan (ngurah Bagus, 1979). melaluiataubersamaini menggunakan istilah wangsa, walaupun mempunyai persamaan dengan system warna di India, system warna di Bali mempunyai ciri tersendiri sehingga secara lahiriyah tidak sama dari system kasta di India. Dilihat dari strukturnya, system pelapisan social di Bali tersusun secara hierarkis dalam empat wangsa, yang disebut catur wangsa atau catur jadma, yaitu: (1). Brahmana (2). Satrya (3). Wesya dan (4). Jaba. Ketiga wangsa pertama menjadi satu golongan wangsa disebut triwangsa, sehingga terdapat dua golongan wangsa, yaitu triwangsa dan jaba. Sekarang ini istilah jaba lebih umum digunakan untuk menyebut atau mengganti kata sudra. Di samping itu, masih ada istilah lain yaitu wang kesamen dan kaula.
Ciri atau identitas wangsa sanggup dilihat dari system klan, antara lain pada system nama. Mereka termasuk triwangsa menggunakan gelar, sedangkan yang termasuk orang jaba pada umumnya spesialuntuk menggunakan teknonim (pungkusan).
Selanjutnya tiap-tiap wangsa mempunyai etika yang terpisah, sebagaimana yang tampak dalam etika perkawinan. Perkawinan diupayakan terjadi dengan orang yang sewangsa. Perkawinan campuran, terutama perkawinan antara wangsa tinggi dengan wangsa jaba dilarang. Pada masa kerajaan Bali, pelaggaran tersebut sanggup dieksekusi mati, tetapi semenjak zaman Belanda hukuman mati itu diperlunak menjadi hukuman pemmembuangan seumur hidup di Parigi (Sulawesi), kemudian diperlunak lagi menjadi hukuman membuangan selama 10 tahun di luar Bali, kemudian jangka waktu hukuman  diubah lagi menjadi tiga tahun yang berlaku semenjak 1937, dan kesudahannya diubah lagi menjadi setahun saja. Tiap-tiap wangsa mempunyai dharmanya masing-masing. Namun, orang yang melaksanakan dharma berdasarkan wangsanya sebagaimana tampak pada masyrakat Bali kini ini hamper-hampir tidak ada, terkecuali kewajiban wangsa Brahmana untuk menjadi pendeta (pendada). melaluiataubersamaini demikian, tampak dengan terang bahwa system wangsa sudah mengalami perubahan secara berangsur-angsur akhir imbas budaya modern melalui banyak sekali akses sebagaimana tampak dalam masyarakat Bali masa kini.


Posting Komentar untuk "Bali"