Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Penyebaran Hadits Kurun Sobat Dan Tabi’In



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
            Berpijak pada al-Qur’an surat An-Najm ayat 3-4, maka terang bahwa segala yang terkait dengan kehidupan Nabi Muhammad SAW—fi’liyah, qouliyah dan taqririyah—ialah misi ilahiyah yang harus dicermati dan dipedomani manusia, baik oleh orang yang tahu akan kebenaran Islam dan melaksanakannya atau orang yang akal-akalan tidak tahu dan enggan melaksanakannya.
Keterkaitan antara hal ihwal Nabi Muhammad dengan umat-umat sesudahnya ialah satu rangkaian sejarah yang menimbulkan perbincangan fokus. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan redaksi yang disebabkan individualitas penulisan para sahabat bersahabat dan perbedaan persepsi. melaluiataubersamaini demikian, untuk memahami hadits lebih lanjut, kita dituntut menguasai ilmu-ilmu yang terkait dengannya. Dari situ bisa kita lihat kebenaran isi (matan) dan mata rantai sanad yang menjadi inti dari memperbincangkan hadits Nabi Muhammad Saw. Juga bisa dilihat bagaimana perilaku para sahabat bersahabat akan kebenaran “khabar” itu dan siapa yang berperan dalam periwayatan tersebut.
Di samping para sahabat dekat, yang juga getol dalam membela eksistensi hadits yaitu kalangan Tabi’in. Di mana kalangan tabi’in ialah periode kedua setelah sahabat bersahabat yang dengan kepiawaiannya mereka bisa mencari keaslian makna hadits. Sehingga, dari rentetan pencarian kebenaran tersebut kita bisa menilai apakah hadits itu bisa diterima atau tidak. Dalam makalah ini akan dikupas beberapa hal yang terkait dengan Pesebaran hadits dimasa shahabat dan tabi’in,









BAB II
PEMBAHASAN
A.     Istilah yang berkaitan dengan periwayat
1.      Sahabat
Menurut bahasa, sahabat bersahabat yaitu bentuk masdar dalam arti mitra atau perteman dekatan. Dari kata itulah diambil istilah as-Sahabiy dan as-Sahib. Bentuk jamaknya yaitu Ashab atau Sahb. Yang sering dipakai yaitu kata as-Sahabah dengan makna kawan-kawan.
Menurut istilah, sahabat bersahabat yaitu orang yang sudah bertemu dengan Nabi saw. sebagai seorang muslim dan sudah meninggal dalam keadaan memeluk islam. Jika di antara pertemuannya dengan Nabi saw dan keuntungannya itu, dia pernah keluar dari agama islam, maka tertolaklah istilah sahabat bersahabat bagi orang tersebut. Pengenalan terhadap istilah sahabat bersahabat ini sangat memmenolong dalam memilah hadis yang mursal/dari hadis yang muttasil.
Ada enam orang sahabat bersahabat Nabi saw yang didiberi gelar khusus, lantaran mereka banyak meriwayatkan hadis. Gelar yang didiberikan kepada mereka yaitu al-Muksirun fi al-hadis. Mereka secara berurutan yaitu sebagai diberikut :
a.      Abu hurairah yang meriwayatkan 5374 hadis, dan anakdidiknya mencapai lebih dari 300 orang,
b.      Ibnu Umar yang meriwayatkan 2630 hadis,
c.       Anas bin Malik yang meriwayatkan 2286 hadis,
d.      ‘Aisyah Umm al-Mu’minin yang meriwayatkan 2210 hadis,
e.      Ibnu ‘Abbas yang meriwayatkan 1660 hadis, dan
f.        Jabir bin ‘Abdullah yang meriwayatkan 1540 hadis.
Al-‘Iraqiy menambahkan sahabat bersahabat yang ketujuh yaitu Abu Said al-Khudriy yang meriwayatkan 1170 hadis.
Orang yang terbanyak mempersembahkan fatwa di kalangan sahabat bersahabat yaitu Ibnu ‘Abbas, kemudian sahabat dekat-teman bersahabat besar sebanyak enam orang, sebagaimana dikatakan oleh Masruq sebagai diberikut: “Ilmu para sahabat bersahabat berhenti pada enam orang, yaitu: ‘Umar, ‘Aliy, Ubay bin Ka’b, Zayd bin Sabit, Abu ad-Darda, dan Ibnu Mas’ud. Kemudian ilmu enam orang sahabat bersahabat itu berhenti pada ‘Aliy dan ‘Abdullah bin Mas’ud”.
Ada sekitar 300 orang sahabat bersahabat yang berjulukan orisinil ‘Abdullah, namun ada empat orang di antara mereka yang disebut dengan al-‘Abadilah. Mereka yaitu :
1.      ‘Abdullah bin ‘Umar
2.      ‘Abdullah bin Abbas
3.      ‘Abdullah bin az-Zubayr
4.      ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘As.


2.      Al-Mukhadramin
Al-mukhadramin yaitu orang-orang yang hidup pada zaman jahiliah dan hidup pada zaman Nabi saw dalam keadaan islam, tetapi tidak sempat bertemu/meliat eksklusif Nabi Muhammad saw. istilah ini berdasarkan Prof. Dr. T. M. Hasbi ash-Shiddieqy, tidak dimasukkan ke dalam golongan sahabat bersahabat dan tidak pula ke dalam golongan tabiin. Akan tetapi, berdasarkan Mahmud at Tahhan mereka termasuk at-Tabiin.
3.      Tabiin
Menurut bahasa, kata at-Tabi’un ialah bentuk jamak dari tabi’iy atau tabi’. Kata yang terakhir ini ialah ism fa’il dari kalimat tabi’ahu yang berarti berjalan di belakangnya.
Menurut istilah, tabiin yaitu orang yang sudah bertemu dengan sahabat bersahabat dalam keadaan muslim dan meninggal dalam memeluk Agama Islam. Juga dikatakan orang yang mengikuti sahabat dekat. Peninggalan istilah tabiin ini juga mempunyai kegunaan dalam menentukan hadis yang mursal dari hadis yang muttasil.
     Ada tujuh orang tabiin utama (terbesar/akabir) yang disebut al-Fuqaha as-Sab’ah, mereka tiruananya ulama besar tabiin, penduduk Madinah. Mereka itu adalah:
1.      Said bin al-Musayyab
2.      al- Qasim bin Muhammad
3.      ‘Urwah bin az Zubayr
4.      Kharijah bin Zayd
5.      Abu Salamah bin ‘Abd ar-Rahman
6.      ‘Ubaydullah bin ‘Utbah
7.      Sulayman bin Yasar.[1]

B. HADIS PADA MASA SAHABAT
                 Periode kedua sejarah perkembangan hadis, yaitu masa sahabat dekat, khususnya masa khulafa ar-Rasyidin (Abu bakar, Umar bin Khatab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib), sekitar tahun 11 H hingga dengan 40 H. Masa ini juga disebut dengan masa sahabat bersahabat besar.

1.      Menjaga pesan Rasulullah SAW
     Pada masa menjelang simpulan kerasulannya, Rasul SAW berpesan kepada para sahabat bersahabat semoga berpegang teguh kepada al-Qur’an dan Hadis serta mengajarkannya kepada orang lain, sebagaimana sabdanya :
تَرَكْتٌ فِيْكٌمْ شَيْئَيْنِ لَنْ تَضِلٌوا بَعْدَهُمَا كِتَابَ اللهِ وَسُنَتِى رَوَاهُ الحَاكِمُ عَنْ أَبِي هُرَيْرةَ

”Telah saya tinggalkan untuk kalian dua macam, yang tidak akan sesat setelah berpegang kepada keduanya, yaitu kitab Allah (al-Qur’an) dan Sunnahku (al-Hadis)”.
Dan sabdanya pula :
بَلِغُواعَنِّي وَلَوأيَةً  رِوَاهُ الُبخَارِي عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرِوَبْنِ العَاصِ.

“Sampaikanlah dariku walau satu ayat/satu hadis,”

2.      Berhati-hati dalam meriwayatkan dan mendapatkan hadis
     Kehati-hatian dan usaha membatasi periwayatan yang dilakukan para sahabat dekat. Abu bakar sebagai khalifah yang pertama menawarkan perhatiannya dalam memelihara hadis.
Perhatian para sahabat bersahabat pada masa ini terutama sekali terserius pada usaha memelihara dan berbagi al-Qur’an. Ini terlihat bagaimana al-Qur’an dibukukan pada masa Abu Bakar atas masukan Umar Bin Khatab. Usaha pembukuan ini diulang juga pada masa Usman bin affan, sehingga melahirkan mushaf Usmani. Satu d simpan di Madinah yang dinamai mushaf al-imam, yang empat buah lagi masing-masing disimpan di makkah, basrah, siria, dan kuffah. Sikap memusatkan perhatian terhadap al-Qur’an tidak berarti mereka lalai dan tidak menaruh perhatian terhadap hadis. Mereka memegang hadis ibarat halnya yang diterimanya dari Rasulullah SAW secara utuh ketika ia masih hidup. Akan tetapi dalam meriwayatkan mereka sangat berhati-hati dan membatasi diri.

3.      Periwayatan hadis dengan lafaz dan makna
Ada dua jalan para sahabat bersahabat dalam meriwayatkan hadis dari Rasul SAW
·         Periwayatan Lafzi
Adalah periwayatan hadis yang redaksinya atau matannya persis ibarat yang di wurudkan Rasul SAW. Ini spesialuntuk bisa dilakukan apabila mereka hafal benar apa yang disabdakan Rasul SAW.
Dalam hal ini Umar bin khatab pernah berkata :
“barangsiapa yang mendengar hadis dari Rasul SAW kemudian ia meriwayatkannya sesuai dengan yang ia dengar, orang itu selamat”.
·         Periwayatan Maknawi
Adalah periwayatan hadis yang matannya tidak persis sama dengan didengarnya dari Rasul SAW, akan tetapi isi atau maknanya tetap terjaga secara utuh, sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasul SAW tanpa ada perubahan sedikitpun.

C. HADIS PADA MASA TABIIN
            Pada dasarnya periwayatan yang dilakukan oleh kalangan Tabiin tidak begitu tidak sama dengan yang dilakukan oleh para sahabat dekat. Ketika pemerintah di pegang oleh Bani Umayah, wilayah kekuasaan islam hingga mencakup Mesir, Persia, Iraq, afrika, selatan Samarkand dan spanyol, di samping madinah, makkah, basrah, syam, dan khurasan. Sejalan dengan pesatnya ekspansi wilayah kekuasaan islam, penyebaran para sahabat bersahabat ke daerah-daerah tersebut terus meningkat, sehingga masa ini dikenal dengan masa menyebarnya periwayatan hadis.
1.      Pusat-pusat pelatihan hadis
Beberapa kota sebagai sentra pelatihan dalam periwayatan hadits, Sebagai tempat tujuan para tabiin dalam mencari hadits. Pusat prmbinaan pertama yaitu Madinah. Diantara para sahabat bersahabat di makkah tercatat nama-nama, ibarat Mu’ad bin Jabal, ‘Atab bin al-Haris.
2.      Pergolakan politik dan pemalsuan hadis
Terjadi pada masa sahabat dekat, setelah terjadinya perang jamal dan perang siffin.
Pengaruh yang bersifat negatif ialah dengan munculnya hadits-hadits tiruan (maudu’) [2]
Sahabat yaitu mereka yang bertemu dengan Rasulullah saw dalam keadaan mu’min dan meninggal dalam keadaan mu’min. Selain memperhatikan al-Qur’an, pada masa ini Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali secara sungguh-sungguh memperhatikan perkembangan periwayatan hadits. Hal ini berdasarkan perintah Nabi untuk memberikan hadits kepada sahabat bersahabat lain yang tidak bisa hadir ketika hadits disampaikan.
Sesudah Rasul SAW wafat, pemerintahan Islam dilanjutkan oleh sahabat dekat-teman dekatnya. Abu Bakar terpilih menjadi khalifah menggantikan kedudukan Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin temporal (politik) umat Islam, sekaligus mengurus usaha spritual menegakkan syari’at Islam. Pada pertamanya dua hal ini yaitu satu ibarat dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Sesudah Abu Bakar, estafet kepemimpinan dilanjutkan secara bergantian oleh Umar bin al-Khat-tab, Usman bin Affan, dan ‘Ali bin Abi Thalib. Sunnah di dalam pemerintahan khalifah ar-Rasyidun tersebut tetap menjadi pegangan utama sahabat bersahabat setelah Al Qur’an.
Dalam dua pemerintahan Islam, Abu Bakar dan Umar, tidak ditemukan gerakan periwayatan sunnah yang signifikan sebagaimana yang terjadi sesudahnya. Pada pemerintahan Abu Bakar, serius umat terpusat pada upaya konsolidasi dan meredam pemberontakan kelompok murtad, Nabi tiruan, dan pengingkar zakat. Pada paruh simpulan kekuasaannya, perhatian tertuju pada pengumpulan dan kodifikasi Al Qur’an. Demikian juga dalam masa pemerintahan Umar. Khalifah Umar, sangat selektif mendapatkan riwayat, bahkan terkesan sangat hati-hati. Dalam masa pemerintahan Usman dan Ali, suasana sudah berubah, maka mulailah muncul banyak sekali riwayat, tidak terkecuali adanya pemalsuan yang dilakukan non sahabat bersahabat untuk mendukung fraksi-fraksi politik umat.
Selain Al Qur’an sebagai sumber pertama aturan Islam, Sunnah Rasulullah SAW menempati urutan kedua. Ketika menjelang wafatnya Rasul SAW ia bersabda, “Aku meninggalkan bagi engkau dua hal, jikalau engkau berpegang kepadanya, engkau tidak akan tersesat, yaitu kitab Allah dan sunnahku.” Para sahabat bersahabat berpegang teguh dengan wasiat Rasul SAW tersebut. Yang dimaksud dengan berpegang kepada kitab Allah yaitu menjadikan Al Qur’an sebagai way of life. Ini berarti para sahabat bersahabat mengamalkan perintah yang terdapat di dalamnya dan menjauhi larangannya. Berpegang pada Sunnah Nabi SAW berarti mengikuti petunjuk Nabi SAW dan memelihara kemurniannya. Oleh alasannya yaitu itu, sebagaimana yang akan dijelaskan lebih lanjut, sahabat bersahabat sangat hati-hati sekali meriwayatkan sunnah Nabi SAW.
Secara umum sanggup dikemukakan dua poin penting ihwal metode sahabat bersahabat memelihara kemurnian Sunnah Nabi saw.
             Metode tersebut yaitu:
1. Taqlil ar-Riwayah
            Secara khusus, dalam pemerintahan Abu Bakar dan Umar, ditemukan kesan adanya upaya meminimalisasi riwayat Hadis. Upaya tersebut semakin berpengaruh ketika Umar memegang tampuk kekhalifahan. Umar memberlakukan eksekusi dera bagi siapa saja yang memperbanyak periwayatan hadis. Hal ini sebagaimana legalisasi Abu Hurairah ketika ditanya kenapa ia tidak banyak meriwayatkan hadis pada era pemerintahan Umar. “Jika saya memdiberitakan hadis pada masa Umar sebagai yang saya diberitakan kepada engkau (saat ini), pasti ia akan memukulku.” Demikian jawabanan Abu Hurairah. Dalam masa diberikutnya, kendatipun tidak ada lagi tekanan dari Umar, Abu Hurairah tetap tidak mau memperbanyak periwayatan. Hal ini ialah kesadaran sendiri dari diri ia untuk mengikuti sunnah dua Khalifah al-Rasyidin, Abu Bakar dan Umar. Namun, dalam suatu ketika sebagaimana yang dikemukakan al-Bukhari, ia membaca dua ayat Al Qur’an surah al-Baqarah ayat 159 dan 160. Sejak ketika itu barulah ia memperbanyak periwayatannya.
Sahabat-teman bersahabat lain, juga terkesan menyedikitkan riwayat. Abu ‘Ubaidah, ‘Abbas bin ‘Abd al-muth-thalib, mereka tidak banyak meriwayatkan hadis, tidak seimbang jumlah hadis yang mereka riwayatkan dengan kedekatan keseharian mereka dengan Rasul SAW. Demikian pula contohnya dengan Sa’id bin Zaid, salah seorang sahabat bersahabat yang dijamin Rasul masuk surga, tidak meriwayatkan hadis kecuali spesialuntuk sekitar dua hingga tiga hadis.
As-Sa’ib bin Yazid pernah berkata, “Aku berkawan dengan Sa’d bin Malik dari Madinah ke Makkah, tidak satupun kudengar ia memberikan hadis dari Nabi saw. Az-Zubair pernah ditanya anaknya, “Abdullah bin Zubair, “Aku tidak mendengar engkau memberikan hadis Rasul saw sebagaimana yang disampaikan sipulan dan si pulan.” Beliau menjawaban, “Sungguh saya tidak akan memenggalnya, tetapi saya mendengar Nabi bersabda,” “Siapa yang berdusta atas namaku, maka ia menyediakan tempat duduknya dari api neraka.”
Jika diamati, mengapa sahabat bersahabat membatasi periwayatan, maka ditemukan jawabanan di sekitar hal ini yang bersifat kondisional dan bersifat kehati-hatian.
Pertama, pada masa Abu Bakar, sentra perhatian tertuju pada pemecahan kasus politik, khususnya konsolidasi dan pemulihan kesadaran terhadap perlunya menjalankan roda khilafah Islam. Oleh alasannya yaitu itu, gerakan periwayatan dengan sendirinya terbatas.
Kedua, sahabat bersahabat masih bersahabat dengan era Nabi, dimana umumnya mereka mengetahui sunnah. Sehingga persoalan-persoalan aturan dan sosial sudah mendapat jawabanan dengan sendirinya pada diri mereka. Memang diakui adanya pergeseran-pergeseran kehidupan dan munculnya kasus gres yang dijumpai para sahabat dekat, tetapi itu tidak terlalu signifikan sebagaimana yang ditemukan generasi setelah sahabat dekat. Dalam masalah-masalah pengecualian ibarat duduk masalah gres atau salah seorang diantara mereka tidak mengetahui adanya sunnah, maka mereka saling memdiberi peringatan.
Abu Bakar, ketika diajukan kepadanya duduk masalah hukum, ia melihatnya di dalam kitab Allah. Jika ia menemukannya ia memutuskan dengan ketentuan kitab Allah. Ketika ia tidak menemukannya juga, ia melihatnya di dalam sunnah Nabi SAW. Lalu, ia menghukum dengan sunnah tersebut. Jika ia tidak menemukannya, ia bertanya kepada masyarakat, “Apakah engkau mengetahui Rasulullah memutuskan masalah ini?” Maka, terkadang bangun satu kaum, merka berkata, “Rasul menetapkannya begini dan begitu.” Jika tidak ditemukan adanya sunnah Nabi saw yang menerangkannya maka para pemimpin masyarakat berkumpul dan memusyawarahkannya. Menurut ‘Ajjaj al-Khatib, hal yang sama juga dilakukan oleh Umar bin al-Khattab.
Ketiga, para sahabat bersahabat lebih menseriuskan diri pada aktivitas penulisan dan kodifikasi Al Qur’an. Kegiatan ini bukanlah pekerjaan gampang, alasannya yaitu sahabat dekat-teman bersahabat mesti menyeleksi tulisan-tulisan dan hapalan di antara mereka untuk dibukukan dalam satu buku, mushaf. Zaid bin Tsabit, pernah berkata ketika ditunjuk oleh khalifah memimpin penyusunan kembali goresan pena Al Qur’an bahwa ia lebih suka disuruh memindahkan pegunungan Uhud ketimbang melaksanakan pekerjaan ini.
Keempat, adanya kebijaksanaan yang dilakukan penguasa, khususnya ‘Umar, semoga sahabat bersahabat menyedikitkan riwayat. Ini disebabkan kecenderungannya yang sangat selektif, berhati-hati, dan diiringi perilaku ketegasannya. Dalam kaitan ini kemungkinan Umar ingin melaksanakan penyebaran Al Qur’an lebih diprioritaskan ketimbang Sunnah. Sebab, andaikata gerakan sunnah lebih diutamakan, maka kemungkinan masyarakat yang gres memeluk Islam akan melupakan Al Qur’an dan lebih memprioritaskan Sunnah. melaluiataubersamaini demikian, regenerasi penghafal Al Qur’an tentu tidak akan mencapai kesuksesan, lantaran perhatian kepada Sunnah. Padahal diketahui bahwa Umar ialah pemarkasa penulisannya Al Qur’an dengan alasan kekhawatirannya yang besar atas wafatnya sahabat dekat-teman bersahabat Nabi penghafal Al Qur’an dalam memerangi kaum murtad di masa Abu Bakar.
Kelima, sahabat bersahabat khawatir terjadinya pemalsuan hadis yang dilakukan oleh mereka yang gres masuk Islam, alasannya yaitu sunnah belum terlembaga pengumpulannya sebagaimana Al Qur’an. Umar pernah mempersyaratkan penerimaan hadis dengan menhadirkan saksi atau melaksanakan sumpah, namun ia juga pernah mendapatkan hadis tanpa persyaratan itu.
Keenam, sahabat bersahabat takut terjerumus ke dalam dosa kalau-kalau mereka salah dalam meriwayatkan Sunnah.

2. Tatsabbut Fi Ar-Riwayah
            Adanya gerakan pembatasan riwayat di kalangan sahabat bersahabat tidaklah berarti bahwa mereka sama  sekali tidak meriwayatkan Sunnah pada masanya. Maksud dari pembatasan tersebut spesialuntuklah menyedikitkan periwayatan dan penyeleksiannya. Konsekwensi dari gerakan pembatasan tersebut, muncullah perilaku berhati-hati mendapatkan dan meriwayatkan Sunnah. Para sahabat bersahabat melaksanakan penyeleksian riwayat yang mereka terima dan menyidik sunnah yang mereka riwayatkan dengan cara mengkonfirmasikan dengan sahabat bersahabat lainnya.
Al Hakim meriwayatkan, seorang nenek bertanya kepada Abu Bakar ihwal derma warisan. Abu Bakar menyampaikan bahwa hal itu tidak ditemukan di dalam Al Qur’an dan Sunnah. Lalu, seorang sahabat dekat, al-Mugirah, sebut bahwa Rasul memdiberinya seperenam lantaran kedudukannya sebagai kakek. Abu Bakar meminta al-Mugirah untuk mengajukan saksi terhadap pengakuanya, kemudian Muhammad bin Maslamah menyaksikannya, barulah hadisnya diterima. melaluiataubersamaini demikian, pembatasan dan penyeleksian riwayat tersebut memang sudah dilakukan semenjak masa Abu Bakar.
Umar juga melaksanakan hal yang sama ibarat Abu Bakar. Abu Sa’id al-Khudri meriwayatkan bahwa Abu Musa al-Asy’ari memdiberi salam kepada Umar dari balik pintu rumah Umar sebanyak tiga kali. Ia tidak mendengar ada jawabanan dari dalam rumah, kemudian ia kembali. Sesudah itu, Umar mengutus dan mempertanyakan kenapa Abu Hasan al-Asy’ari kembali. Ia menjawaban,”Aku mendengar Rasulullah saw bersabda,” “Apabila salah seorang engkau memdiberi salam sebanyak tiga kali, kemudian ia tidak menjawabannya, maka hendaklah ia kembali.” Umar meminta kesaksian terhadap pernyataan itu. Abu Hasan hadir dengan wajah suram ke satu majlis. Kami menanyakan ihwalnya, kemudian ia menandakan kepada kami problema yang dihadapinya. Ia berkata,”Apakah ada di antara engkau yang mendengar sunnah Nabi tersebut?” Kami menjawaban, “Kami tiruana mendengarnya.” Mereka mengutus bersamanya salah seorang di antara mereka dan memdiberitakan sunnah tersebut kepada Umar bin al-Khattab.
Usman bin Affan pernah berwudu’, ia berkumur-kumur dan memasukkan air ke hidung, kemudian ia membasuh mukanya tiga kali, membasuh kedua tangannya tiga kali-tiga kali, selanjutnya ia menyapu kepalanya, dan kedua kakinya tiga kali-tiga kali. Kemudian, ia berkata,”Aku melihat Rasulullah saw berwudu’ demikian,” “Hai hadirin, bukankah demikian!” Mereka menjawaban, “benar”.
Asma’ bin al-Hakam pernah mendengar Ali bin Abi Thalib berkata,”… Apabila ada orang yang menceritakan hadis kepadaku, saya menyuruhnya untuk bersumpah. Jika ia bersumpah maka saya membenarkannya.” Hal ini juga dilakukan oleh sahabat bersahabat lain, ibarat Aisyah.
Marwan bin Hakam pernah menguji hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Ada kemungkinan, hal itu didasari kecurigaannya terhadap banyaknya riwayat yang dikemukakan sahabat bersahabat ini. Abu Hurairah diuandangnya untuk hadir ke tempatnya dan dipersilakan duduk di bersahabat balai-balai. Lalu, marwan bertanya kepadanya dan Salim Abu Zur’ah, sekretaris Marwan, menulis hadis yang disampaikan oleh Abu Hurairah. Kemudian, setelah beberapa bulan silam, tepatnya di pertama tahun, Marwan kembali mengundang Abu Hurairah dan mempersilakannya duduk di balik tabir. Lalu, ia kembali bertanya ihwal catatan hadis tersebut, ternyata Abu Hurairah menjawabannya persis sebagaimana yang ia utarakan sebelumnya, bahkan susunannya pun tidak berubah.
Berdasarkan keterangan di atas, ditemukan adanya upaya selektivitas yang dilakukan sahabat bersahabat untuk mendapatkan periwayatan. Hal ini didorong kehati-hatian mereka terhadap terjadinya pemalsuan, kesalahan, atau kealfaan dalam meriwayatkan hadis Rasul SAW. Sebaliknya, hal ini bukanlah perilaku khusus sebagian sahabat bersahabat atau didasari perilaku negatif untuk menyembunyikan dan meninggalkan sunnah sebagaimana yang dilakukan kelompok inkar sunnah. Tidak ada satu indikasipun yang menggiring kecerdikan untuk menyimpulkan ke arah itu.

3. Man’u Ar-Ruwat Min At-Tahdits Bima Ya’lu ‘Ala Fahm Al ‘Ammah
            Ditemukan pula adanya gerakan pelarangan riwayat lantaran dikhawatirkan terjadinya kesalahpahaman terhadap riwayat tersebut. Pelarangan ini khusus terhadap riwayat yang sanggup mengundang kesalahpahaman dan meriwayatkannya kepada orang lain dengan pemahaman yang keliru tersebut. Misalnya, hadis yang menandakan ihwal syahadat. Nabi bersabda, “ Tidak seorang pun yang bersaksi bahwa tia dewa kecuali Allah dengan kesungguhan di dalam hatinya, kecuali Allah mengharamkannya api neraka.” Mu’az berkata, “Wahai utusan Allah, saya akan memdiberitahu manusia, maka pasti mereka akan bergembira.” Sekoyong-koyong berpeganglah engkau.” Umar bin al-Khattab melarang Abu Hurairah untuk berbagi hadis yang dikemukakan kepada Mu’az tersebut. Ia bergegas menemui Rasul saw seraya berkata, “Wahai Rasulullah, engkau sudah menyampaikan kepada Abu Hurairah begini dan begitu,“ Nabi SAW menjawaban,”Benar,” Umar berkata,”Jangan engkau lakukan itu, saya takut insan akan berpegang padanya dan mencederai mereka dalam bertindak.” Nabi SAW mengakuinya, dan berkata,”Mereka akan rusak.”
Pelarangan ini dipahami bukanlah sebagai perbuatan negatif untuk menyembunyikan ilmu, melainkan untuk menutupi pintu keburukan yang besar. Sebab, masyarakat umum tidak mempunyai tingkat kecerdasan yang sama. Riwayat ibarat ini sanggup menjerumuskan mereka untuk meninggalkan syariat Allah. Oleh alasannya yaitu itu, sangat bijak jikalau Ibn Abbas berkata,”Ceritakan engkaulah hadis kepada insan sesuai dengan kecerdasan mereka. Apakah engkau menghendaki mereka mendustakan Allah dan Rasul.” Disebabkan salah memahami satu hadis mereka mendustakan seluruh syariat yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Muslim meriwayatkan di dalam mukaddimahnya bahwa Ibn Mas’ud mengatakan, “Orang yang memberikan hadis di luar jangkauan kecerdasan mereka, maka akan menjadi fitnah bagi kaum tersebut.
2. Tabi’in
            Tabi’in Orang Islam yang bertemu dengan sahabat dekat, berguru dan berguru kepada sahabat dekat, tapi tidak bertemu dengan Nabi dan tidak pula semasa dengan Nabi. Tabi’in Besar (Kibar Tabi’in) Tabi’in yang banyak bertemu sahabat dekat, berguru dan berguru kepada mereka. Tabi’in besar besar ini diantaranya yang dikenal dengan fukaha tujuh, yaitu: Sa’id Ibn Musayyab. Al-Qasim Ibn Muhammad Abu Bakr, Urwah bin Zubair, Kharijah Ibn Zaid, Abu Ayyub Sulaiman Hilali, Ubaidullah Ibn Utbah, Abu Salamah Ibn Abdurahman ibn Auf Tabi’in Kecil (Sighor Tabi’in): Tabi’in yang sedikit bertemu sahabat bersahabat dan lebih banyak berguru dan mendengar hadist dari Tabi’in besar.
Peranan Tabi’in dalam pertumbuhan sejarah hadist tidak sanggup dipungkiri ialah salah satu pernanan besar dalam kesinambungan dan pemeliharaan hadist. Khusunya setelah masa pemerinatahan Utsman dan Ali. Sesudah berakhirnya masa pemerintahan Ali Bin Ali Thalib, mulailah usaha dan kesungguhan mencari hadist dan menghafal hadist oleh kalangan Tabi’in dengan mengadakan perjalanan untuk sekedar mencari ilmu (ilmu ketika itu berupa pencarian hadist-hadist Nabi).
Sesudah Islam menguasai Syam (Jordan sekarang), Irak, Mesir, Samarkand (Asia) dan Spanyol, para sahabat bersahabat banyak berhijrah ke daerah-daerah gres itu untuk berdakwah dan sekaligus mendirikan madrasah-madrasah sebagai wadah untuk berbagi ilmu. Daerah yang dikunjungi para sahabat bersahabat itu kemudian dikenal sebagai sentra penyebaran ilmu yang nantinya menghasilkan sarjana-sarjana Islam, khususnya dalam disiplin ilmu hadist dari kalangan Tabi’in.
melaluiataubersamaini demikian, para tabi’in ini mendapatkan hadist dari para sahabat bersahabat sekaligus mereka pula berguru kepada sahabat bersahabat ihwal makna dan arti hadist yang mereka terima. Di masa tabi’in pun, para shighor sahabat dekat, masih terus menimba ilmu. Khususnya mencari hadist dengan berguru kepada sahabat dekat-teman bersahabat besar. Jika sahabat bersahabat besar itu ternyata berhijrah ke daerah-daerah lainnya, ibarat di Mesir, di Jordan atau di Irak sekalipun, sahabat bersahabat kecil inipun, yang berada di kota Mekkah ataupun Madinah, eksklusif mengadakan perlawatan ke kawasan itu spesialuntuk untuk bertanya ihwal satu hadist atau berguru eksklusif ke sahabat bersahabat tersebut.
Hal ini dibuktikan dari riwayat Bukhari, Ahmad, Thabarani ataupun Baihaqi, bahwa Jabir pernah pergi ke Syam, yang memakan waktu sebulan untuk hingga di Syam spesialuntuk untuk menanyakan satu hadist saja yang belum pernah di dengarnya. Sahabat yang dikunjungi nya yaitu Abdullah Ibn Unais Al-Anshary. Demikian pula halnya dengan Abu Ayyub Al-Anshory yang pernah melawat ke Mesir untuk menemui Uqbah Ibn Amir untuk bertanya satu hadist saja.
Para Tabi’in Belajar Kepada Sahabat Mulailah babak gres penyebaran hadist di masa tabi’in dan mereka mulai mencarinya sekaligus berguru kepada sahabat dekat-teman bersahabat yang mulai bertebaran di beberapa pelosok bahkan di beberapa Negara. Ada yang menarikdanunik dari periode tabi’in ini, jikalau diketahui ada seorang sahabat bersahabat Nabi berkunjung ke daerahnya, mereka berlomba-lomba menhadirinya untuk belajar. Terkadang para tabi’in mengklasifikasi penerimaan hadist mereka dengan beberapa kategori, artinya mereka mementingkan kriteria yang pertama kemudian kedua dan seterusnya. Kriteria itu adalah:
1. Sahabat yang pertamna kali masuk Islam, seperti: Khulafa Rasyidin, Abdullah Ibn Mas’ud dll
2. Sahabat yang terus-menerus hidup bersama Nabi dan berpengaruh hafalannya seperti: Abu Hurairah, Ibnu Abbas dll
3. Selain mendengar hadist eksklusif dari Nabi dan dari sahabat bersahabat lainya, sahabat bersahabat inipun panjang umurnya, seperti: Anas Bin Malik dll
4. Riwayat dari para istri Nabi
5. Sahabat yang mempunyai catatan hadist pribadi, seperti, Abdullah Bin Ash dll Tokoh-Tokoh Hadist Di Kalangan Tabi’in Di Madinah: Sa’id Ibn Musayyab. Al-Qasim Ibn Muhammad Abu Bakr, Urwah bin Zubair, Kharijah Ibn Zaid, Abu Ayyub Sulaiman Hilali, Ubaidullah Ibn Utbah, Abu Salamah Ibn Abdurahman ibn Auf, Nafi, Az-Zuhry, Sulaiman Ibn Yassar dll Di Mekkah: Ikrimah, Atha Ibn Aii Rabah, Dhohak, (ketiganya anakdidik Ibn Abbas), Abul Zubair dll Di Kuffah: Asy-Sya’by, Ibrahim An-Nakhai, Alqamah an-Nakhai dll Basrah: Hasan al-Bashri, Muhammad ibn Sirrin, Qatadah Di Syam: Umar ibn Abdil Aziz, Qabishah dll Di Mesir: Yazid Ibn Habib Di Yaman: Wahhab ibn Munabbih dll.
Para tabi’in memperoleh hadits dari para sahabat dekat. Mereka berbaur dan mengenal segala sesuatu dari para sahabat bersahabat dan mereka juga membawa sebgaian besah hadis Rasul dan para sahabat dekat. Mereka benar-benar mengetahui kapan para sahabat bersahabat melarang penulisan hadis dan kapan mereka memperbolehkannya. Mereka benar-benar mengambil rujukan dari para sahabat bersahabat yang ialah generasi pertama yang membwa Quran dan hadis. Karena alasan-alasan yang menimbulkan khulafaurrasyidin dan para sahabat bersahabat lain melarang penulisan hadis sama dengan alasan-alasan yang menjadi pertimbangan para tabi’in dalam pelarangannya, sehingga tiruana mengacu pada titik yang sama. Para tabi’in akan melarang penulisan al-Sunnah bila alasan-alasan itu ada dan akan menyepakati kebolehan penulisannya ketika alasan-alasan itu hilang ataupun bahkan meyoritas mereka menganjurkannya.

I. MUNCUL PEMALSUAN HADITS
            Pergolakan politik yang terjadi pada masa sahabat dekat, setelah terjadinya perang jamal dan perang shiffin, yaitu ketika kekuasaan dipegang oleh Ali bin Abi Thalib. Akan tetapi hasilnya cukup panjang dan berlarut-larut dengan terpecahnya umat Islam ke dalam beberapa kelompok yaitu; pertama: golongan Syi’ah, pendukung ‘Ali bin Abi Thalib. Kedua: golongan khawarij, penentang Ali dan Mu’awiyah, ketiga: golongan jama’ah yang tidak mendukung kedua golongan di atas. Terpecahnya umat Islam menjadi beberapa golongan tersebut didorong akan adanya keperluan dan kepentingan golongan masing-masing. Mereka menhadirkan keterangan dan hujjah untuk mendukungnya dengan beberapa cara, yaitu:
a.  Mereka mencari ayat-ayat Quran dan hadits yang sanggup dijadikan hujjah.
b. Apabila mereka tidak menemukannya, mereka menakwilkan ayat Quran dan menafsiri hadits-hadits sesuai dengan golongannya.
c. Langkah terakhir, apabila mereka tidak mendapatkannya dari kedua sumber tersebut, maka mereka menjiplak hadis-hadis, dan yang pertama mereka tiruankan yaitu hadits yang terkena orang-orang yang mereka agung-agungkan.
            Yang mula-mula melaksanakan pekerjaan sesat ini yaitu golongan Syi’ah, sebagaimana, diakui Ibn Ali al-Hadid, seorang ulama Syi’ah dengan menyampaikan bahwa asal mula timbulnya hadis yang menandakan keutamaan pribadi-pribadi yaitu dari golongan syiah sendiri. Tindakan tersebut ditandingi oleh golongan jamaah menjiplak hadis-hadis yang dibentuk oleh golongan syiah.
melaluiataubersamaini memperhatikan keterangan tersebut, sanggup diketahui bahwa kota yang mula-mula mengembangkan hadis-hadis tiruan yaitu baghdad, lantaran kaum syi’ah berpusat di sana. Bahkan al-Zuhri, seorang tabi’in berkata: “hadis keluar dari sejangkal, kemudian kembali kepada kami sehasta”, sehingga tidak guah jikalau Imam Malik menamakan Baghdad dengan pabrik hadis tiruan.Mulai ketika itu, terdapat hadits-hadits yang shahih dan hadis-hadis yang tiruan, tetapi di lain pihak terdapat golongan yang menentang orang-orang yang yang suka membuat hadis tiruan, dengan membedakan mana hadis yang shahih dari hadis yang tiruan. Mereka melaksanakan penelitian terkena segala hal yang berkaiatan dengan hadits Nabi SAW, baik secara riwayat maupun dirayat dan memutuskan aturan-aturan yang tetap semoga hadis sanggup selamat hingga ke tangan penerusnya. Teknik-cara ulama dalam menjaga hadis, yaitu dengan adanya keharusan sebut sanad, mengadakan perlawatan mencari hadis dan berhati-hati dalam menerimanya, mengadakan penelitian terhadap orang-orang yang diduga sering membuat hadis tiruan dan memerangi mereka, menandakan keadaan perawi dan memutuskan kaidah-kaidah untuk sanggup mengetahui hadis-hadis tiruan.
Dari pergolakan politik ibarat di atas, cukup mempersembahkan dampak terhadap perkembangan hadits diberikutnya, yaitu;
1. Pengaruh yang eksklusif dan bersifat negatif, ialah dengan munculnya hadis-hadis tiruan (maudhu) untuk mendukung kepentingan politiknya masing-masing kelompok dan untuk menjatuhkan posisi lawannya.
2. Pengaruh positifnya ialah, lahirnya rencana dan usaha yang mendorong diadakannya kodifikasi hadis, sebagai upaya evakuasi dari pemusnahan dan pemalsuan, sebagai akhir dari pergolakan politik tersebut.
II. KODIFIKASI HADITS
            Dalam fakta sejarah, di masa sahabat bersahabat belum ada pembukuan hadis secara resmi yang diprakarsai  pemerintah, padahal peluang untuk membukukan hadits terbuka. Umar bin Khattab pernah berfikir membukukan hadits, ia meminta pendapat para sahabat dekat, dan dimasukankan membukukannya. Sesudah Umar bin Khattab istikharah sebulan lamanya ia membatalkan rencana tersebut. Pada masa tabi’in wilayah islam bertambah luas. Perluasan kawasan tersebut diikuti dengan penyebaran ulama untuk memberikan pedoman ilsam di daerah-daerah, termasuk ulama hadis. Penyebaran hadis diubahsuaikan dengan kekuatan hafalan masing-masing ulama itu sendiri, sehingga tidak merata hadis yang dimiliki ulama hadis. Maka kondisi tersebut sebagai alasan kodifikasi hadis. Kodifikasi ini disinonimkan dengan tadwin al-hadits tentunya tidak sama dengan penulisan hadits kitabah al-hadits.
Tadwin al-hadits mempunyai makna “penulisan hadits Nabi ke dalam suatu buku (himpunan, dan susunan) yang pelaksanaanya dilakukan atas legalitas yang berlaku umum dari forum kenegaraan yang diakui masyarakat. Sedangkan Kitabah al-Hadits itu sendiri asal mulanya ialah hasil kesaksian sahabat bersahabat Nabi terhadap sabda, perbuatan, taqrir, dan atau al-ihwal Nabi kemudian apa disaksikan oleh sahabat bersahabat itu kemudian disampaikannya kepada orang lain, dan seterusnya, baik secara verbal maupun tulisan. Kaprikornus belum ialah kodifikasi, akan tetapi gres ialah tulisan-tulisan-tulisan atau catatan-catatan pribadi. Sedangkan perbedaan-perbedaan antara kodifikasi hadis secara resmi dari penulisan hadis yaitu sebagai diberikut:
1. Kodifikasi hadis secara resmi dilakukan oleh suatu forum administratif yang diakui masyarakat, sedang penulisan hadis dilakukan oleh perorangan.
2. Kegiatan kodifikasi hadis tidak spesialuntuk menulis, tapi juga mengumpulkan, menghimpun, dan mendokumentaskannya.
3. Tadwin hadis dilakukannya secara umum, yang melibatkan segala perangkat yang dianggap berkompeten terhadapnya, sedang penulisan hadis dilakukan oleh orang-orang tertentu.
Secara resmi berdasarkan perintah khalifah, dengan melibatkan beberapa personil, yang andal dalam khalifah, dengan melibatkan beberapa personil yang andal dalam kasus ini. Bukan dilakukan secara perorangan atau untuk kepentingan pribadi, ibarat terjadi pada masa-masa sebelumnya. Khalifah Umar bin Abdul Aziz melalui kode kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm (Gubernur Madinah) dan para ulama Madinah semoga memperhatikan dan mengumpulkan hadis dari para penghafalnya.
Khalifah menginstruksikan kepada Abu Bakar ibn Muhammad bin Hazm semoga mengumpulkan hadis-hadis yang ada pada Amrah binti Abdurrahman al-Anshari (wafat 98H) anakdidik kepercayaan siti ‘Aisyah. Dan al Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar (wafat 107H). Instruksi yang sama ia tunjukkan pula kepada Muhammad bin Syihab Al-Zuhri (wafat 124H), yang dinilainya sebagai orang yang lebih banyak mengetahui hadis dari pada yang lainnya. Peranan para ulama hadis, khususnya al-Zuhri, sangat mendapat penghargaan dari seluruh umat Islam. Mengingat pentingnya pernana al-Zuhri ini, para ulama di masanya mempersembahkan komentar, bahwa jikalau tanpa dia, di antara hadis-hadis pasti hadis sudah banyak yang hilang. Beberapa pokok mengapa khalifah Umar bin Abdul Aziz mengambil kebijaksanaan ibarat ini. Pertama, ia khawatir hilangnya hadis-hadis, dengan menginggalnya para ulama di medan perang. Kedua, ia khawatir akan tergabungnya antara hadis-hadis yang shahih dengan hadis-hadis yang tiruan. Ketiga, bahwa dengan semakin meluasnya kawasan kekuasaan Islam, sementara kemampuan para tabi’in antara satu dengan yang lainnya tidak sama, terang sangat memerlukan adanya usaha kodifikasi ini.
C. PENUTUP
Betapa besar nikmat yang sudah dirasakan oleh umat insan ketika ini. Dapat mengkaji dan mereview akan sebuah hadits dengan gampangnya, melalui kitab-kitab hadis yang sudah terkodifikasi oleh para ulama lampau. Andaikan lampau, para sahabat bersahabat dan tabi’in tidak terbersit dalam pikiran mereka untuk mengkodifikasi hadits-hadits Nabi, mungkin kini ini insan susah dalam menentukan segala macam aturan dan permasalahan yang muncul.
Penyebaran Hadist di masa sahabat bersahabat dan tabi’in berkembang pesat yang ditandai dengan gerakan mencari ilmu oleh para sahabat bersahabat sendiri kepada sahabat bersahabat lainnya dari kasus yang tidak diketahuinya. Tidak jarang seorang sahabat bersahabat pergi menemui sahabat bersahabat lainya yang berjarak ribuan kilometer untuk menanyakan spesialuntuk satu hadist saja.
Begitu pula para tabi’in yang tidak segan-segan menhadiri kawasan tertentu untuk berguru kepada seorang sahabat bersahabat ataupun beberapa sahabat bersahabat sekaligus. Pencariaan ilmu ketika itu berupa pencarian tafsir Qur’an dan hadist-hadist Nabi beserta klarifikasi nya. Islam tersebar luas dan terus mengeliat ketika itu dibawah dakwah para sahabat bersahabat dan tabi’in. Mereka ulet menyiarkan Al-Qur’an dan hadist Nabi sebagai sumber pokok pedoman Islam. Beberapa catatan hadist (sahifah) sudah ditulis sebelum skhir kala ke-1 Hijri. Dan ini sebagai bukti berpengaruh serta bantahan kalangan sarjana Orientalis yang menganggap hadist pertama kali dibukukan setelah kala ke-1 Hijri.
Adapun cara periwayatan hadits pada masa sahabat bersahabat terbagi menjadi dua yaitu: Periwayatan Lafdzi (Redaksi sama persis dengan Rasulullah) dan Periwayatan Maknawi (Redaksi tidak sama persis akan tetapi makna&intinya sama). Pada masa sahabat bersahabat belum ada penulisan hadits secara resmi alasannya yaitu dikhawatirkan bercampur dengan Al-Qur’an dan umat islam lebih diseriuskan untuk mempelajari Al-Qur’an. Begitu juga pada masa Tabi’in, yang mengikuti jejak para sahabat dekat, periwayatan haditsnya pun tidak jauh tidak sama. Hanya saja pada masa ini Al-Qur’an sudah dikumpulkan dalam satu mushaf. Pada masa tabi’in timbul usaha yang lebih sungguh-sungguh untuk mencari dan meriwayatkan hadits. Apalagi semenjak semakin maraknya hadits-hadits tiruan yang muncul dari beberapa golongan untuk kepentingan politik.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jauziyah, Ibn Qayyim. I’lam al-Muwaqqi’in. Juz I.
Anas, Malik bin. 1990. al-Muwaththa’, Istambul, Turki: Dar al-Sahnun.
Arifin, Zainul. 2005. Studi Kitab Hadits. Surabaya: Alpha.
Ash-Shalih, Shubhi. 1977. ‘Ulum al-Hadits wa Musthalahuh. Beirut, Libanon: Dar al-Ilm al-Malayin.
Hanbal, Ahmad bin. 1990. Musnad Ahmad bin Hanbal. Juz I. Istambul Turki: Dar al-Sahnun.
Khon, Abdul Majid. 2008. Ulumul Hadits. Jakarta: Amzah.
Suparta, Munzier. 1993. Ilmu Hadits. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Zahw, Muhammad Abu. tt. Al-Hadits wa al-Muhadditsun. Matba’ah Mishr.



[1]  Karim, Abdullah, mengulas ilmu-ilmu hadis ,(PT.  Comdes Kalimantan), h. 65-68.
[2] SUPARTA, Munzier, ilmu hadis (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada 1996) cet. Ke 2, h. 66-74.

Posting Komentar untuk "Penyebaran Hadits Kurun Sobat Dan Tabi’In"