Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mengenal Bagan Kerjasama Kontrak Karya (Production Sharing Agreement)

Belum usang ini terjadi perdebatan antara Pemerintah Indonesia dan PT. Freeport McMoran terkait dengan kerjasama penambangan sumberdaya mineral di Propinsi Papua, Indonesia.

Belum usang ini terjadi perdebatan antara Pemerintah Indonesia dan PT Mengenal Skema Kerjasama Kontrak Karya (Production Sharing Agreement)
Disatu sisi, Pemerintah Indonesia hendak mengubah kesepakatan dari Kontrak Karya (Production Sharing Agreement) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sesuai amanat undang-undang, sementara disisi lain pihak perusahaan ingin tetap pada sistem Kontrak Karya (Financial Times, Freeport-McMoRan threatens to sue Indonesia over mine dispute, www.ft.com, February 21, 2017).

Tulisan ini tidak akan mengulas perdebatan tersebut, melainkan mempelajari ihwal sketsa kerjasama Kontrak Karya (Production Sharing Agreement).



Pada hakikatnya, Kontrak Karya atau Production Sharing Agreement (PSA) ialah kontrak kerjasama antara satu atau beberapa investor dengan pemerintah suatu negara (biasanya diwakili oleh kementerian yang membawahi kasus sumberdaya energi atau perusahaan negara dibidang terkait) yang didalamnya terdapat hak untuk mengeksplorasi dan mengekstraksi/mengeksploitasi sumberdaya mineral di suatu area dalam jangka waktu yang sudah ditentukan.

Dalam kerjasama ini, pemerintah memanfaatkan investor sebagai kontraktor dalam hal eksplorasi dan ekstraksi, namun demikian status kepemilikan sumberdaya mineral (jika ditemukan) tetap berada ditangan pemerintah. melaluiataubersamaini demikian kedua belah pihak membagi risiko dan laba yang diperoleh dari kegiatan tersebut.

Menurut studi, sistem Kontrak Karya mulai dikenal pada masa 1960’an yang melibatkan perjanjian kerjasama antara pemerintah Indonesia dengan perusahaan asing. Metode ini kemudian menyebar ke aneka macam negara dan diterapkan oleh lebih dari 40 negara di seluruh benua. Melalui sketsa ini, pemerintah mengikat kesepakatan dengan pihak investor dalam memanfaatkan sumberdaya finansial serta teknologi eksplorasi dan ekstraksi.

Dalam sketsa Kontrak Karya terdapat beberapa aspek finansial bagi keduabelah pihak, yakni:
  • Royalti (royalty). Dalam hal ini investor diminta untuk membayar sejumlah nilai (dalam satuan uang atau persentase tertentu) dari produksi kotor yang dihasilkan kepada negara. Adapun nilai tersebut ditentukan melalui peraturan resmi.
  • Biaya penggantian (cost recovery). Ini ialah total biaya yang dikeluarkan oleh investor dalam rangka eksplorasi dan ekstraksi yang dibayarkan oleh negara kepada investor.
  • Produk membersihkan yang dihasilkan (production sharing). Sesudah dikurangi dengan royalti dan biaya penggantian, maka hasil produksi ini akan dibagi kepada investor maupun pemerintah sesuai dengan kesepakatan yang sudah disetujui.
  • Pajak (taxes). Investor masih harus membayar pajak atas penghasilan yang diperoleh dari sumberdaya tersebut. Dalam pelaksanaannya, pajak ini sanggup dibayarkan oleh investor atau ditanggung oleh pihak pemerintah.

Pada praktiknya, sistem Kontrak Karya akan memakai termin waktu 10-12 tahun untuk kegiatan eksplorasi menyerupai survei area, deteksi kegiatan kegempaan, sampai penggalian (drilling), dan dilanjutkan dengan termin waktu sampai 20-30 tahun dalam rangka ekstraksi/eksploitasi apabila ditemukan adanya sumberdaya mineral di area tersebut (World Bank Institute Governance for Extractive Industries Programme, Guide to Extractive Industries Documents – Oil & Gas, January 2013).

Skema kerjasama Kontrak Karya mempunyai sisi nyata bagi pemerintah, dalam hal ini pemerintah tidak perlu mengeluarkan anggaran besar dalam kegiatan eksplorasi maupun ekstraksi/eksploitasi, sehingga sanggup meminimalisir risiko kegagalan sekaligus mendapat laba tanpa harus meluangkan banyak waktu (apabila ditemukan sumberdaya mineral); apalagi jikalau pemerintah tidak mempunyai sumberdaya insan yang profesional dibidang tersebut dan peralatan teknologi yang mendukung.

Namun demikian rujukan kerjasama Kontrak Karya juga berpotensi mengakibatkan bermacam persoalan. Salah satu diantaranya ialah saat pihak investor meminta kontrol penuh atas kegiatan operasional tanpa ada intervensi pemerintah atau pihak manapun.

Investor beranggapan jikalau ada intervensi dari pihak pemerintah maka akan mengurangi potensi laba mereka atau mengakibatkan inefisiensi produksi. Maka tidak mengherankan jikalau berbicara ihwal Kontrak Karya akan terkait dengan politik kepentingan, termasuk upaya kongkalikong dan korupsi untuk laba pihak tertentu.

Sementara dipihak lain, pemerintah akan berupaya mengawasi secara ketat operasional Kontrak Karya biar tidak terjadi kesalahan maupun kecurangan yang dilakukan oleh investor sehingga merugikan kepentingan pemerintah.

Selain itu pemerintah biasanya akan meminta pihak investor untuk mendayagunakan masyarakat lokal dimana sumberdaya mineral tersebut berada, sebagai tenaga kerja dalam kegiatan operasional, meski belum tentu mempunyai kriteria kecakapan sesuai yang dibutuhkan.

Sebagai catatan tambahan, terdapat beberapa alternatif model kerjasama selain Kontrak Karya, antara lain sketsa lisensi (licence), konsesi (concession), kontrak jasa (service contract), serta joint venture.

Adapun yang membedakan diantara tipe kerjasama tersebut ialah terkait dengan status kepemilikian (ownership) atas sumberdaya mineral, kewajiban-kewajiban yang menempel pada masing-masing pihak terkait dengan pembiayaan sampai hukum dan standarisasi produk.

Demikian beberapa poin yang sanggup dipelajari ihwal sketsa kerjasama Kontrak Karya (Production Sharing Agreement). **


ARTIKEL TERKAIT :
Merkantilisme dalam Sejarah Perekonomian dan Perdagangan Dunia
Konsep dan Masalah Pembangunan Infrastruktur
SDGs: Ketidaksetaraan didalam dan antar Negara, Masalah Perkotaan dan Hunian Layak, serta Pola Konsumsi dan Produksi
Sumberdaya Air, Energi, Pertumbuhan Ekonomi, dan Infrastruktur pada Sustainable Development Goals

Posting Komentar untuk "Mengenal Bagan Kerjasama Kontrak Karya (Production Sharing Agreement)"