Memahami Makna Economic Bubbles (Gelembung Ekonomi)
Ada satu fenomena dalam kajian ekonomi yang disebut dengan gelembung ekonomi (economic bubbles atau bubble economy). Fenomena ini terjadi di banyak negara dan ternyata mempunyai sejarah panjang. Pada artikel ini kita akan mempelajari pengertian umum bubble economy atau economic bubbles dan beberapa bencana dimana fenomena gelembung ekonomi terjadi.
Menurut konsep dasar’nya, economic bubbles atau bubble economy mengacu pada situasi dimana harga suatu produk atau aset dalam segmen pasar tertentu mengalami kenaikan nilai/harga diluar kebiasaan atau secara tidak wajar, serta terjadi dalam waktu yang relatif cepat.
Terdapat banyak contoh fenomena economic bubbles yang terjadi dan melibatkan sektor ekonomi yang tidak sama-beda, diantaranya pada sektor perumahan atau yang lebih dikenal dengan istilah housing bubbles dan pada pasar saham atau stock bubbles.
Dalam perkembangannya, terdapat banyak studi yang mengkaji secara lebih komprehensif ihwal konsep bubble economy, termasuk pertanyaan terkena apa yang dimaksud dengan kenaikan harga diluar kewajaran serta bagaimana mengkategorisasikan waktu yang disebut sebagai relatif cepat. Namun demikian, kita tidak akan mengulas hal tersebut dalam goresan pena ini.
Berikut dibawah ini yaitu beberapa contoh bencana yang menggambarkan fenomena economic bubbles.
Salah satu contoh klasik fenomena bubble economy terjadi pada era 1637’an yang dikenal dengan nama The Tulip Mania.
Sejak simpulan era 1590’an, bunga tulip menjadi salah komoditas yang diimpor dari Turki menuju Belanda. Kemudian, bunga ini menjadi fenomenal di negeri Belanda dan menjadi salah satu trendsetter, terutama sebagai hiasan pada busana. Karena begitu tingginya pesona bunga tulip di mata masyarakat, maka undangan akan bunga tersebut melonjak pesat seiring meningkatnya undangan masyarakat, hingga puncaknya pada pertama 1637’an.
Tingginya undangan yang tidak diimbangi dengan tersedianya stok bunga tulip membuat harga bunga tulip melejit hingga setara dengan 40 kali penghasilan rata-rata tenaga kerja Belanda per tahunnya. Sayangnya hal tersebut tidak bertahan lama, terutama ketika para pelaku pasar yang memegang bunga tulip mulai menjual bunga tersebut ke pasar dan diikuti oleh pelaku pasar lainnya, sehingga mengakibatkan harga bunga tulip anjlok dalam tempo satu bulan. Konon setelah bencana tersebut, harga bunga tulip tidak lebih mahal dari harga sebiji bawah merah.
Economic bubbles pada krisis ekonomi Asia 1997-1998.
Tidak sedikit studi yang sebut bahwa terjadinya krisis ekonomi Asia 1997-1998 antara lain disebabkan lantaran pecahnya gelembung ekonomi, mengingat pada simpulan 1980’an hingga pertengahan 1990’an, tingkat suku bunga pola di negara-negara berkembang daerah Asia cenderung tinggi, jauh diatas suku bunga yang ditawarkan oleh negara-negara maju.
Tingginya suku bunga tersebut dipandang sebagai daya tarik oleh pemodal, sehingga terjadi capital inflow atau aliran modal masuk yang sangat besar menuju negara-negara berkembang, antara lain ke Korea Selatan, Phillipina, Indonesia, Thailand, dan Malaysia. Alhasil, pertumbuhan ekonomi negara-negara tersebut meningkat dengan pesat hingga berada dikimasukan 8% hingga dengan 12%.
Walaupun begitu, tingginya pertumbuhan itu semata-mata lantaran banyaknya aliran modal masuk, bukan ditopang dari investasi di sektor riil dan aset produktif yang dimiliki negara-negara tersebut. melaluiataubersamaini kata lain, mendasar ekonomi negara-negara tersebut bisa dikatakan keropos.
Alhasil, ketika Bank Sentral Amerika Serikat mulai menaikkan tingkat suku bunga acuan (Fed rate) setelah bisa melaksanakan recovery dari resesi ekonomi domestik, aliran dana yang sebelumnya ada di Asia mulai bergerak dengan cepat menuju pasar Amerika Serikat yang dinilai lebih stabil.
Selain itu, dengan semakin tingginya tingkat suku bunga (Fed rate), maka semakin berpengaruh pula nilai tukar mata uang US$ terhadap mata uang negara lain. Dua faktor tersebut mengakibatkan terjadinya pelarian modal (capital flight) secara besar-bemasukan dari Asia. Pada kesudahannya hal tersebut menimbulkan panic rush di sektor perbankan, yakni dikala banyak orang secara gotong royong menarikdanunik dana tunai yang mereka simpan pada bank komersial, sehingga mengakibatkan terpuruknya mata uang negara-negara Asia.
Kasus gelembung ekonomi yang menimpa perusahaan berbasis internet (.com companies) pada pertengahan 1990’an hingga pertama 2000’an.
misal lain terjadinya economic bubbles di dunia modern yaitu pada periode pertengahan 1990’an hingga pertama era 2000’an. Pada dikala itu perkembangan teknologi memasuki babak baru, dimana terjadi booming perusahaan teknologi berbasis internet. Periode itu juga dikenal sebagai era The New Economy, yang ditandai dengan bermunculannya perusahaan berbasis internet atau lebih dikenal dengan sebutan .com companies.
Ketika perusahaan-perusahaan tersebut mulai go public, nilai saham-saham mereka melejit hingga berkali lipat, diimbangi dengan tingginya ekspektasi pelaku pasar dan masyarakat umum akan keberhasilan era ekonomi baru. Pada masa tersebut, tiruana info yang berkaitan dengan internet dan online menjadi topik utama setiap percakapan dengan nada-nada optimistis.
Sayangnya, tiruana hal tersebut tidak diikuti dengan administrasi perusahaan yang prudent (penuh kehati-hatian), pondasi finansial yang kokoh, serta analisa penghitungan rugi/laba operasi yang optimal; dengan kata lain, yang menjadi serius perhatian yaitu faktor pemamasukan (marketing) semata.
Hingga ketika Bank Sentral Amerika Serikat (the Federal Reserve) kembali menaikkan suku bunga pola pada rentang 1999-2000, perusahaan-perusahaan tersebut mulai kehilangan kekuatan finansial. Hal itu diperparah dengan banyaknya perusahaan start-up yang membukukan kerugian besar dalam laporan keuangannya.
Pada kesudahannya tiruana ekspektasi masyarakat tidak terwujud, dan gelembung ekonomi pun pecah. Catatan sebut terdapat lebih dari US$ 8 trilliun menguap di pasar. Bahkan perusahaan besar menyerupai Amazon.com, Cisco System, Priceline.com, hingga Yahoo! mengalami penurunan harga saham hingga lebih dari 90% (Jimenez, Alvaro, Understanding Economic Bubbles, 2011).
Selanjutnya, ada beberapa teori yang berusaha menunjukan karakteristik gelembung ekonomi, salah satunya penelitian yang dilakukan oleh Thompson dan Hickson.
Studi yang dilakukan keduanya menyebut dua jenis bubble, yakni bubble yang bersifat jangka pendek (short-term informational monopoly bubbles). Gelembung ekonomi jenis ini biasanya ditandai dengan tidak adanya peningkatan persediaan (supply) produk/aset. Karakteristik gelembung ini juga dikenal dengan sebutan mini bubbles.
Bubble tersebut cenderung terjadi melalui prosedur manipulasi pasar oleh pelaku pasar yang mempunyai informasi ihwal aset/produk tertentu. melaluiataubersamaini kekuatan finansial, pelaku pasar tertentu mulai berspekulasi pada aset tersebut. Hal ini menarikdanunik perhatian pelaku pasar lain dan mulai memburu aset serupa, sehingga mengakibatkan kenaikan nilai/harga aset secara drastis di pasar.
Kondisi menyerupai ini biasanya tidak bisa diprediksi semenjak pertama dan tidak diketahui akan berlangsung berapa lama. Oleh lantaran itulah, maka fenomena ini tidak disertai dengan adanya peningkatan supply untuk mengimbangi demand.
Selanjutnya, gelembung akan pecah ketika pelaku tersebut melaksanakan pelepasan aset secara besar-bemasukan, sehingga menjatuhkan harga/nilai aset.
sepertiyang kita ketahui, setidaknya ada dua sikap (economic behavior) yang bisa kita jumpai pada pelaku pasar, yakni mereka yang mengambil keputusan dengan horizon jangka panjang dan mengutamakan faktor mendasar suatu aset, serta pelaku pasar yang lebih berserius pada keuntungan jangka pendek, dengan melaksanakan pembelian aset di harga rendah dan melepasnya kembali dikala harga’nya tinggi (pelaku pasar dengan tipe ini dikenal dengan sebutan spekulan).
Dalam hal ini, fenomena The Tulip Mania bisa dikategorikan sebagai short-term informational monopoly bubbles.
Sementara bubble yang diberikutnya yaitu bubble yang bersifat jangka panjang (long-term government involved bubbles), cenderung berlangsung lebih usang dan ditandai dengan peningkatan persediaan produk/aset.
Gelembung menyerupai ini biasanya terjadi sebagai konsekuensi atas pengambilan atau perubahan kebijakan ekonomi (moneter dan/atau fiskal) serta kebijakan lain oleh otoritas terkait.
Namun begitu, tidak sama dari tipe bubble yang pertama, disini pengambil kebijakan sudah menghitung dan memperhitungkan dampak dilaksanakannya kebijakan tersebut, baik secara positif maupun negatif, sehingga menyertakan pula langkah antisipatif sebagai kompensasi atas dampak-dampak tersebut.
Kasus .com companies ialah salah satu contoh long-term government induced bubbles. Hal tersebut dibuktikan dengan masih maraknya bahkan makin banyaknya perusahaan yang berbasis .com hingga kini, namun dengan kapitalisasi yang tidak melesat terlalu cepat menyerupai pada kasus tersebut (Thompson, E., and Charles R. Hickson, Predicting bubbles, Global Business and Economic Review, Vol 8, 2006).
Sebagai penutup, fenomena gelembung ekonomi (economic bubbles atau bubble economy) sudah terjadi semenjak beberapa era silam hingga dikala ini. Gelembung tersebut bisa terjadi lantaran semata-mata faktor spekulasi, namun juga bisa diakibatkan oleh timbulnya konsekuensi atas kebijakan ekonomi yang diambil oleh otoritas pengambil kebijakan. **
ARTIKEL TERKAIT :
Problem Ketersediaan Perumahan di Kota Besar
Mengenal Kebijakan Proteksionisme dalam Perekonomian dan Perdagangan
Merkantilisme dalam Sejarah Perekonomian dan Perdagangan Dunia
Konsep Purchasing Power Parity dan Pemanfaatannya dalam Perdagangan dan Pasar Uang
Menurut konsep dasar’nya, economic bubbles atau bubble economy mengacu pada situasi dimana harga suatu produk atau aset dalam segmen pasar tertentu mengalami kenaikan nilai/harga diluar kebiasaan atau secara tidak wajar, serta terjadi dalam waktu yang relatif cepat.
Terdapat banyak contoh fenomena economic bubbles yang terjadi dan melibatkan sektor ekonomi yang tidak sama-beda, diantaranya pada sektor perumahan atau yang lebih dikenal dengan istilah housing bubbles dan pada pasar saham atau stock bubbles.
Dalam perkembangannya, terdapat banyak studi yang mengkaji secara lebih komprehensif ihwal konsep bubble economy, termasuk pertanyaan terkena apa yang dimaksud dengan kenaikan harga diluar kewajaran serta bagaimana mengkategorisasikan waktu yang disebut sebagai relatif cepat. Namun demikian, kita tidak akan mengulas hal tersebut dalam goresan pena ini.
Berikut dibawah ini yaitu beberapa contoh bencana yang menggambarkan fenomena economic bubbles.
Salah satu contoh klasik fenomena bubble economy terjadi pada era 1637’an yang dikenal dengan nama The Tulip Mania.
Sejak simpulan era 1590’an, bunga tulip menjadi salah komoditas yang diimpor dari Turki menuju Belanda. Kemudian, bunga ini menjadi fenomenal di negeri Belanda dan menjadi salah satu trendsetter, terutama sebagai hiasan pada busana. Karena begitu tingginya pesona bunga tulip di mata masyarakat, maka undangan akan bunga tersebut melonjak pesat seiring meningkatnya undangan masyarakat, hingga puncaknya pada pertama 1637’an.
Tingginya undangan yang tidak diimbangi dengan tersedianya stok bunga tulip membuat harga bunga tulip melejit hingga setara dengan 40 kali penghasilan rata-rata tenaga kerja Belanda per tahunnya. Sayangnya hal tersebut tidak bertahan lama, terutama ketika para pelaku pasar yang memegang bunga tulip mulai menjual bunga tersebut ke pasar dan diikuti oleh pelaku pasar lainnya, sehingga mengakibatkan harga bunga tulip anjlok dalam tempo satu bulan. Konon setelah bencana tersebut, harga bunga tulip tidak lebih mahal dari harga sebiji bawah merah.
Economic bubbles pada krisis ekonomi Asia 1997-1998.
Tidak sedikit studi yang sebut bahwa terjadinya krisis ekonomi Asia 1997-1998 antara lain disebabkan lantaran pecahnya gelembung ekonomi, mengingat pada simpulan 1980’an hingga pertengahan 1990’an, tingkat suku bunga pola di negara-negara berkembang daerah Asia cenderung tinggi, jauh diatas suku bunga yang ditawarkan oleh negara-negara maju.
Tingginya suku bunga tersebut dipandang sebagai daya tarik oleh pemodal, sehingga terjadi capital inflow atau aliran modal masuk yang sangat besar menuju negara-negara berkembang, antara lain ke Korea Selatan, Phillipina, Indonesia, Thailand, dan Malaysia. Alhasil, pertumbuhan ekonomi negara-negara tersebut meningkat dengan pesat hingga berada dikimasukan 8% hingga dengan 12%.
Walaupun begitu, tingginya pertumbuhan itu semata-mata lantaran banyaknya aliran modal masuk, bukan ditopang dari investasi di sektor riil dan aset produktif yang dimiliki negara-negara tersebut. melaluiataubersamaini kata lain, mendasar ekonomi negara-negara tersebut bisa dikatakan keropos.
Alhasil, ketika Bank Sentral Amerika Serikat mulai menaikkan tingkat suku bunga acuan (Fed rate) setelah bisa melaksanakan recovery dari resesi ekonomi domestik, aliran dana yang sebelumnya ada di Asia mulai bergerak dengan cepat menuju pasar Amerika Serikat yang dinilai lebih stabil.
Selain itu, dengan semakin tingginya tingkat suku bunga (Fed rate), maka semakin berpengaruh pula nilai tukar mata uang US$ terhadap mata uang negara lain. Dua faktor tersebut mengakibatkan terjadinya pelarian modal (capital flight) secara besar-bemasukan dari Asia. Pada kesudahannya hal tersebut menimbulkan panic rush di sektor perbankan, yakni dikala banyak orang secara gotong royong menarikdanunik dana tunai yang mereka simpan pada bank komersial, sehingga mengakibatkan terpuruknya mata uang negara-negara Asia.
Kasus gelembung ekonomi yang menimpa perusahaan berbasis internet (.com companies) pada pertengahan 1990’an hingga pertama 2000’an.
misal lain terjadinya economic bubbles di dunia modern yaitu pada periode pertengahan 1990’an hingga pertama era 2000’an. Pada dikala itu perkembangan teknologi memasuki babak baru, dimana terjadi booming perusahaan teknologi berbasis internet. Periode itu juga dikenal sebagai era The New Economy, yang ditandai dengan bermunculannya perusahaan berbasis internet atau lebih dikenal dengan sebutan .com companies.
Ketika perusahaan-perusahaan tersebut mulai go public, nilai saham-saham mereka melejit hingga berkali lipat, diimbangi dengan tingginya ekspektasi pelaku pasar dan masyarakat umum akan keberhasilan era ekonomi baru. Pada masa tersebut, tiruana info yang berkaitan dengan internet dan online menjadi topik utama setiap percakapan dengan nada-nada optimistis.
Sayangnya, tiruana hal tersebut tidak diikuti dengan administrasi perusahaan yang prudent (penuh kehati-hatian), pondasi finansial yang kokoh, serta analisa penghitungan rugi/laba operasi yang optimal; dengan kata lain, yang menjadi serius perhatian yaitu faktor pemamasukan (marketing) semata.
Hingga ketika Bank Sentral Amerika Serikat (the Federal Reserve) kembali menaikkan suku bunga pola pada rentang 1999-2000, perusahaan-perusahaan tersebut mulai kehilangan kekuatan finansial. Hal itu diperparah dengan banyaknya perusahaan start-up yang membukukan kerugian besar dalam laporan keuangannya.
Pada kesudahannya tiruana ekspektasi masyarakat tidak terwujud, dan gelembung ekonomi pun pecah. Catatan sebut terdapat lebih dari US$ 8 trilliun menguap di pasar. Bahkan perusahaan besar menyerupai Amazon.com, Cisco System, Priceline.com, hingga Yahoo! mengalami penurunan harga saham hingga lebih dari 90% (Jimenez, Alvaro, Understanding Economic Bubbles, 2011).
Selanjutnya, ada beberapa teori yang berusaha menunjukan karakteristik gelembung ekonomi, salah satunya penelitian yang dilakukan oleh Thompson dan Hickson.
Studi yang dilakukan keduanya menyebut dua jenis bubble, yakni bubble yang bersifat jangka pendek (short-term informational monopoly bubbles). Gelembung ekonomi jenis ini biasanya ditandai dengan tidak adanya peningkatan persediaan (supply) produk/aset. Karakteristik gelembung ini juga dikenal dengan sebutan mini bubbles.
Bubble tersebut cenderung terjadi melalui prosedur manipulasi pasar oleh pelaku pasar yang mempunyai informasi ihwal aset/produk tertentu. melaluiataubersamaini kekuatan finansial, pelaku pasar tertentu mulai berspekulasi pada aset tersebut. Hal ini menarikdanunik perhatian pelaku pasar lain dan mulai memburu aset serupa, sehingga mengakibatkan kenaikan nilai/harga aset secara drastis di pasar.
Kondisi menyerupai ini biasanya tidak bisa diprediksi semenjak pertama dan tidak diketahui akan berlangsung berapa lama. Oleh lantaran itulah, maka fenomena ini tidak disertai dengan adanya peningkatan supply untuk mengimbangi demand.
Selanjutnya, gelembung akan pecah ketika pelaku tersebut melaksanakan pelepasan aset secara besar-bemasukan, sehingga menjatuhkan harga/nilai aset.
sepertiyang kita ketahui, setidaknya ada dua sikap (economic behavior) yang bisa kita jumpai pada pelaku pasar, yakni mereka yang mengambil keputusan dengan horizon jangka panjang dan mengutamakan faktor mendasar suatu aset, serta pelaku pasar yang lebih berserius pada keuntungan jangka pendek, dengan melaksanakan pembelian aset di harga rendah dan melepasnya kembali dikala harga’nya tinggi (pelaku pasar dengan tipe ini dikenal dengan sebutan spekulan).
Dalam hal ini, fenomena The Tulip Mania bisa dikategorikan sebagai short-term informational monopoly bubbles.
Sementara bubble yang diberikutnya yaitu bubble yang bersifat jangka panjang (long-term government involved bubbles), cenderung berlangsung lebih usang dan ditandai dengan peningkatan persediaan produk/aset.
Gelembung menyerupai ini biasanya terjadi sebagai konsekuensi atas pengambilan atau perubahan kebijakan ekonomi (moneter dan/atau fiskal) serta kebijakan lain oleh otoritas terkait.
Namun begitu, tidak sama dari tipe bubble yang pertama, disini pengambil kebijakan sudah menghitung dan memperhitungkan dampak dilaksanakannya kebijakan tersebut, baik secara positif maupun negatif, sehingga menyertakan pula langkah antisipatif sebagai kompensasi atas dampak-dampak tersebut.
Kasus .com companies ialah salah satu contoh long-term government induced bubbles. Hal tersebut dibuktikan dengan masih maraknya bahkan makin banyaknya perusahaan yang berbasis .com hingga kini, namun dengan kapitalisasi yang tidak melesat terlalu cepat menyerupai pada kasus tersebut (Thompson, E., and Charles R. Hickson, Predicting bubbles, Global Business and Economic Review, Vol 8, 2006).
Sebagai penutup, fenomena gelembung ekonomi (economic bubbles atau bubble economy) sudah terjadi semenjak beberapa era silam hingga dikala ini. Gelembung tersebut bisa terjadi lantaran semata-mata faktor spekulasi, namun juga bisa diakibatkan oleh timbulnya konsekuensi atas kebijakan ekonomi yang diambil oleh otoritas pengambil kebijakan. **
ARTIKEL TERKAIT :
Problem Ketersediaan Perumahan di Kota Besar
Mengenal Kebijakan Proteksionisme dalam Perekonomian dan Perdagangan
Merkantilisme dalam Sejarah Perekonomian dan Perdagangan Dunia
Konsep Purchasing Power Parity dan Pemanfaatannya dalam Perdagangan dan Pasar Uang
Posting Komentar untuk "Memahami Makna Economic Bubbles (Gelembung Ekonomi)"