Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hak Ulayat



BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hak Ulayat/ Hak Purba
Hak Purba mempunyai beberapa istilah, diantaranya hak komplotan dan hak purba itu sendiri, hal ini diungkapkan oleh Djojodigoeno, hak pertuanan diungkapkan oleh Supomo, dan dalam UUPA disebut hak ulayat. Dalam masa lalu, dimasa sebelum kemerdekaan dan masa-masa kerajaan di Nusantara ini, hak persekutuan/hak purba ialah hak tertinggi atas tanah di seluruh Nusantara ini.
Hak purba yaitu hak yang dipunyai oleh suatu suku (clan/ gens/ stam), sebuah serikat desa-desa (dorpenbond) atau biasanya oleh sebuah desa saja untuk menguasai seluruh tanah dan seisinya dalam lingkungan wilayahnya.
Dalam redaksi lain disebutkan bahwa hak komplotan atas tanah yaitu hak komplotan (hak masyarakat hukum) dalam aturan moral terhadap tanah tersebut; contohnya hak untuk menguasai tanah, memanfaatkan tanah itu, mengambil hasil dari tumbuh-tumbuhan yang hidup di atasnya, atau berburu binatang-binatang yang hidup di atas tanah itu. Hak masyarakat aturan atas tanah ini disebut juga “hak ulayat” atau “hak pertuanan”. Dalam literatur oleh C. Van Vollenhoven disebut dengan istilah “beschikking”, sedangkan tanah sebagai daerahnya disebut “beschikkingring”.
Hak Ulayat yaitu pengukuhan bersama oleh seluruh anggota masyarakat dan didalamnya juga terkandung hak kepunyaan perorangan yang berarti orang perorangan boleh mempunyai tanah di lingkungan hak ulayat tersebut. Sementara berdasarkan Budi Harsono hak ulayat yaitu hak dari suatu masyarakat aturan moral atas lingkungan tanah wilayahnya, yang memdiberi wewenang-wewenang tertentu kepada penguasa moral untuk mengatur dan memimpin penerapan tanah wilayah masyarakat aturan tersebut.
C. Van Vollenhoven sebut enam ciri hak ulayat, yaitu komplotan dan para anggotanya berhak untuk memanfaatkan tanah, mengambil hasil dari segala sesuatu yang ada di dalam tanah dan tumbuh dan hidup di atas tanah ulayat ini. Adapun keenam ciri-ciri hak ulayat yaitu sebagai diberikut:
1. Hak individual diliputi juga oleh hak persekutuan.
2. Pimpinan komplotan sanggup memilih untuk menyatakan dan memakai bidang-bidang tanah tertentu diputuskan untuk kepentingan umum dan terhadap tanah ini tidak diperkenankan diletakkan hak perseorangan.
3. Orang absurd yang mau menarikdanunik hasil tanah-tanah ulayat ini haruslah terlebih doloe meminta izin dari kepada komplotan dan harus membayar uang pengakuan, setelah pguan harus membaar uang sewa.
4. Persekutuan bertanggung balasan atas segala sesuatu yang terjadi di atas lingkungan ulayat.
5.  Larangan mengasingkan tanah yang termasuk tanah ulayat, artinya baik komplotan maupun para anggotanya tidak diperkenankan memutuskan secara mutlak sebidang tanah ulayat sehingga komplotan hilang sama sekali wewenangnya atas tanah tersebut.
B. Tanah Ulayat
Tanah ulayat ialah tanah kepunyaan bersama yang diyakini sebagai karunia suatu kekuatan ghaib atau peninggalan nenek moyang kepada kelompok yang ialah masyarakat aturan moral sebagai unsur pendukung utama bagi kebidupan dan penghidupan kelompok tersebut sepanjang masa.
Disinilah sifat religius kekerabatan aturan antara para masyarakat masyarakat aturan moral bersama dengan tanah ulayatnya ini. Adapaun tanah ulayat atau tanah bersama yang dalam hal ini oleh kelompok di bawah pimpinan kepala moral masyarakat aturan adat, contohnya yaitu hutan, tanah lapang, dan lain sebagainya. Tanah untuk pasar, penggembalaan, tanah bersama, dan lain-lain yang pada pada dasarnya yaitu demi keperluan bersama.
Apabila dipandang dari sudut bentuk masyarakat aturan adat, maka lingkungan tanah mungkin dikuasai oleh suatu masyarakat aturan moral atau beberapa masyarakat. Oleh alasannya itu biasanyanya lingkungan tanah moral dibedakan antara :
1. Lingkungan tanah sendiri, yaitu lingkungan tanah yang dimiliki oleh satu masyarakat aturan adat. Misalnya masyarakat moral tunggal desa di Jawa.
2. Lingkungan tanah bersama, yaitu yaitu lingkungan tanah moral yang dikuasai oleh beberapa masyarakat aturan moral yang setingkat. melaluiataubersamaini alternatif sebagai diberikut:
a. Beberapa masyarakat aturan moral tunggal. Misalnya beberapa belah di Gayo.
b. Beberapa masyarakat aturan moral atasan. Misalnya, luhat di Padanglawas.
c. Beberapa masyarakat moral bawahan. Misalnya, huta-huta di Angkola.
C. Hubungan Hak Ulayat melaluiataubersamaini Hak Perorangan
Di banyak sekali bab Hindia-Belanda terdapat lingkungan-lingkungan hak purba yang satu sama lain dipisahkan oleh wilayah-wilayah tak bertuan yang luas. Di bagian-bagian lain terdapat wilayah-wilayah yang disitu hampir tak ada sebidang tanah pun yang termasuk dalam hak purba. Hak purba itu di tempat yang satu masih kuat, sedang di tempat lain sudah lemah. Dan tanda-tanda yang bersifat umum yaitu semakin maju dan bebas penduduk dalam usaha-usaha pertaniannya, semakin lemahlah hak ulayat itu dengan sendirinya. Akhirnya jikalau hak ulayat sudah lemah, maka dengan sendirinya hak perorangan akan berkembang dengan pesatnya (semakin menguat).
Menurut Ter Haar kekerabatan antara kepentingan perseorangan dan kepentingan komplotan yaitu timbal balik dan mempunyai kekuatan yang sama. Artinya, hak perseorangan mempertahankan diri terhadap hak komplotan yaitu sama kuatnya dengan hak komplotan mempertahankan diri terhadap hak perseorangan. Fakta tersebut sanggup dirumuskan demikian: hak ulayat dan hak perorangan itu bersangkut-paut dalam kekerabatan kempis-mengembang, desak-mendesak, batas-membatasi, mulur-mungkret tiada henti. Ketika hak ulayat menguat maka hak perorangan melemah, demikian pula sebaliknya saat hak perorangan menguat hak ulayat melemah.Di Tapanuli Selatan ada kemungkinan tanah perorangan itu dicabut haknya, hal ini sanggup terjadi apabila yang mengolahnya yaitu orang lain dan mereka sendiri pergi meninggalkan lingkungan ulayatnya. Oleh alasannya itu, tanah mereka akan dibagikan kepada orang-orang miskin denga hak pakai. Tanah yang demikian tersebut disebut “salipi na tartat”.
Selanjutnya hak ulayat juga juga berlaku terhadap orang-orang luar, yaitu orang-orang yang bukan anggota persekutuan. Apabila orang-orang di luar hendak memasuki komplotan mereka harus terlebih lampau mendapatkan izin dari kepala komplotan dan sebelum usul mereka dikabulkan terlebih lampau harus memdiberi sesuatu kepada persekutuan; contohnya di Aceh, orang di luar komplotan yang hendak memasuki komplotan harus membayar “uang pemasukan”, di Jawa disebut “mesi”.
Hal lain yang sanggup dicontohkan untuk menandakan kekerabatan antara hak peroranga dengan hak ulayat yaitu sebagai diberikut: Hak rakyat tani di jawa atas tanahnya mengalami perkembangan melalui taraf-taraf yang menggambarkan makin menipisnya hak purba komplotan hukum, sejalan dengan makin menebalnya hak perorangan.
1)      Sistem Bluburan; Milik Komunal dengan derma periodic Tanah kuliah pertanian dibagi dalam beberapa bidang dengan pematang-pematang (galengan) sebagai batas pemisahnya. Setiap bidang dikerjakan oleh seorang petani. Sesudah pguan, galengan-galengan itu dihapus (‘diblubur’). Menjelang masa menggarap, diadakan pembidangan kembali yang tidak sama dengan derma tiruanla. Dan pada masa tanam yang diberikut ini masing-masing petani mendapat bidang tanah yang lain, sehingga hubungannya dengan tanah garapanya tidak tetap, tidak kontinu.
2)      Matok Galeng, gilir wong Tanah kulian pertanian dibagi dalam beberapa bidang yang tetap, tidak diblubur setiap habis pguan. Tetapi bab masing-masing petani itu gilir-berganti setiap masa tanam. Masing-masing petai tidak/belum mau memperbaiki tanah garapannya, alasannya ia tahu bahwa masa tanam diberikutnya ia akan mendapat bidang tanah yang lain.
3)      Matok galeng, matok wong Disamping petani yang mendapat bab yang berganti-ganti ada juga yang mendapat bab tetap. Tetapi tanah itu spesialuntuk dikuasainya spesialuntuk seumur hidupnya sendiri, setelah ia meninggal maka desalah yang memilih kepada siapa tanah itu akan diserahkan (kembali kepada komplotan aturan sendiri/kepada masyarakat lain dalam komplotan aturan tersebut).
4)      Tanah sanggup diwariskan disertai pembatasan Tanah yang dikuasai seumur hidup itu sanggup diwariskan tetapi dilarang dibagi dan dilarang dijual.
5)      “Tebok” dengan seleksi Seorang petani yang menguasai hak atas tanah kulian tetapi beliau berpinjaman, selanjutnya ia melepaskan tanah tersebut sebagai pengganti pinjamannya, orang yang mau menebus atau tebok tanah tersebut maka beliau menguasai tanah kulian itu.
Tentang perubahan hak ulayat menjadi hak perorangan gres sanggup terjadi apabila ditempuh cara-cara sebagai diberikut:
1.       Apabila seorang pemimpin lingkungan ulayat menyatakan dirinya sebagai pendukung hak ulayat dan akhirnya pimpinan lingkungan ulayat yang biasanya raja, menyatakan dirinya alasannya kekuasaannya sebagai pemilik tanah di bawah kekuasaannya; contohnya desa Mijen di Jawa dimana kepala desanya menjadi pemilik dari tanah ulayat.
2.       Apabila anggota ulayat mencari orang-orang luar untuk mengusahakan tanah-tanah hutan yang kosong dengan mengadakan pembayaran terlebih lampau.
3.       Apabia anggota ulayat ditarik biaya jikalau mereka ingin mengusahakab tanah tersebut.
D. Kedudukan Hak Ulayat Dalam UUPA (UU No. 5 Tahun 1960)
Dalam Undang-undang Pokok Agraria pasal 5 UU No.5 1960 sebut bahwa: “Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa yaitu aturan moral sepanjang tidak berperihalan dengan kepentingan Nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam UU ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada aturan agama.”
Ketentuan ini mengandung makna, bahwa unsur-unsur aturan moral di bidang pertanahan yang ada di dalam suatu masyarakat aturan moral selama tidak berperihalan dengan ketentuan dan peraturan yang ada sanggup dipergunakan dalam rangka pelaksanaan ketentuan-ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria tersebut.
Unsur-unsur yang penting dalam UUPA yang perlu kita perhatikan dan mempunyai kaitan dengan uraian ini lebih lanjut adalah:
1.      Bahwa tidak ada perbedaan tiap-tiap WNI baik pria maupun perempuan dalam memperoleh peluang untuk mendapatkan sesuatu hak dan manfaat atas tanah. [pasal 9: (2)]
2.      Bahwa UUPA No.5 1960 mengharuskan adanya registrasi tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia dalam rangka mempersembahkan jaminan kepastian aturan atas tanah (pasal 19)
3.      Bahwa UUPA No.5 1960 membenarkan adanya sistem pemilikan bersama (pasal 17)
4.      Perintah penegasan hak-hak atas tanah moral yang sudah ada sebelum UUPA No.5 1960 diundangkan (pasal-pasal ketentuan Konversi).
Untuk menandakan bagaimana kekerabatan antara hak ulayat dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)/ UU No. 5 Tahun 1960 kita sanggup melihat pasal 3 yang berbunyi sebagai diberikut: “melaluiataubersamaini mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat aturan adat, sepanjang berdasarkan kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta dilarang berperihalan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.”
Berdasarkan pasal 3 di atas, hak ulayat atau hak tanah moral diakui keberadaannya, akan tetapi pengukuhan itu diikuti syarat-syarat yang harus dipenuhi diantaranya:
1. Eksistensinya masih ada
2. Tidak berperihalan dengan kepentingan nasional
3. Tidak berperihalan dengan aturan-aturan dalam undang-undang.
Ketentuan ini berpertama pada pengukuhan adanya hak ulayat itu dalam aturan agraria yang gres (UUPA). sepertiyang diketahui biarpun berdasarkan kenyataannya hak ulayat itu ada dan berlaku serta diperhatikan pula di dalam keputusan-keputusan hakim, belum pernah hak tersebut diakui secara resmi di dalam undang-undang, dengan akhir bahwa di dalam melakukan peraturan-peraturan agraria hak ulayat itu pada zaman penjajahan doloe seringkali diabaikan. Berhubung dengan disebutnya hak ulayat di dalam Undang-Undang Pokok Agraria, yang pada hakikatnya berarti pula pengukuhan hak itu, maka pada dasarnya hak ulayat akan diperhatikan, sepanjang hak tersebut berdasarkan kenyataannya memang masih ada pada masyarakat aturan yang bersangkutan. Misalnya di dalam pemdiberian hak atas tanah (umpamanya hak guna usaha) masyarakat aturan yang bersangkutan sebelumnya akan didengar pendapatnya dan akan didiberi “recognitie”, yang memang ia berhak menerimanya selaku pemegang hak ulayat itu.
Tetapi sebaliknya tidaklah sanggup dibenarkan, jikalau berdasarkan hak ulayat itu masyarakat aturan tersebut menghalang-halangi pemdiberian hak guna perjuangan itu, sedangkan pemdiberian hak tersebut di kawasan itu sungguh perlu untuk kepentingan yang lebih luas. Demikian pula tidaklah sanggup dibenarkan jikalau sesuatu masyarakat aturan berdasarkan hak ulayatnya, contohnya menolak begitu saja dibukanya hutan secara besar-bemasukan dan teratur untuk melakukan proyek-proyek yang besar dalam rangka pelaksanaan rencana menambah hasil materi masakan dan pemindahan penduduk. Pengalaman menawarkan pula, bahwa pembangunan daerah-daerah itu sendiri sering kali terhambat alasannya mendapat kesukaran terkena hak ulayat, inilah yang ialah pertama pikiran kedua pada ketentuan pasal 3 tersebut di atas. Kepentingan suatu masyarakat aturan harus tunduk pada kepentingan nasional dan Negara yang lebih luas dan hak ulayatnya pun pelaksanaannya harus sesuai dengan kepentingan yang lebih luas itu.
Dalam UUPA dan aturan tanah nasional, bekerjsama hak ulayat tidak dihapus, tetapi juga tidak akan mengaturnya, dalam artian yaitu mengatur hak ulayat sanggup berakibat meabadikan atau melestarikan eksistensinya. Karena pada dasarnya hak ulayat hapus dengan sendirinya melalui proses alamiah, yaitu dengan menjadi kuatnya hak-hak perorangan dalam masyarakat aturan moral yang bersangkutan (uraian 85 dan 106 E).[1]


A.    Kedudukan Tanah dalam Hukum Adat
Ada 2 hal yang mengakibatkan tanah itu mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam aturan adat, yaitu :
1.      Karena sifatnya
2.      Karena fakta

A.    Hak Persekutuan Atas Tanah
Mengingat akan fakta dimaksud diatas, maka antara komplotan dengan tanah yang didudukinya itu terdapat kekerabatan yang bersahabat sekali kekerabatan yang mempunyai sumber serta yang bersifat religio-magis.
Hak komplotan atas tanah ini disebut hak pertuanan atau hak ulayat. Hak ini oleh Van Vollenhoven disebut “beschikkingsrecht”. Istilah lain dalam bahasa Indonesia ialah suatu pengertian yang baru, satu dan lain.
Istilah-istilah kawasan yang berarti lingkungan kekuasaan, wilayah kekuasaan ataupun tanah yang ialah wilayah yang dikuasai komplotan yaitu antara lain “Patuanan” (Ambon), “Panyampeto” (Kalimantan), “Wewengkon” (Jawa), “Prabumian”(Bali), “Pawatasan” (Kalimantan), “Totabuan” (Balaang Mangondow), “Limpo” (Sulawesi Selatan), “Nuru” (Buru), “Ulayat” (Minangkabau).
Beschikkingsrecht ataupun hak ulayat ini berlaku keluar dan kedalam. Hak komplotan ini pada hakikatnya membatasi kebebasan perjuangan atau kebebasan gerak para masyarakat komplotan sebagai perseorangan. Pembatasan ini dilakukan demi kepentingan persekutuan. Antara hak komplotan ini (hak ulayat) dan hak para masyarakatnya masing-masing ada kekerabatan timbal-balik yang saling mengisi.
Objek hak ulayat ini yaitu :
a.       Tanah (daratan)
b.      Air (perairan menyerupai contohnya : kali, danau, pantai beserta perairannya).
c.       Tumbuh-tumbuhan yang hidup secara liar (pohon buah-buahan, pohon-pohon untuk kayu pertukangan atau kayu bakar dan lain sebagainya).
d.      Binatang yang hidup liar.

Teknik memelihara serta mempertahankan hak ulayat
1.      Pertama-tama komplotan berusaha meletakkan batas-batas di sekeliling wilayah kekuasaannya itu.
2.      Usaha kedua yaitu menunjuk pejabat-pejabat tertentu yang khusus bertugas mengawasi wilayah  kekuasaan komplotan yang bersangkutan.
Disamping petugas-petugas yang khusus ini, biasanya diadakan pula patrol-patroli perbatasan disebut sebagai salah satu cara penegasan wilayah kekuasaan surat-surat pikukuh ataupun Piagam yang dikeluarkan oleh raja-raja lampau. Hak ulayat ini dalam bentuk dasarnya yaitu suatu hak daripada komplotan atas tanah yang didiami.
Wilayah kekuasaan komplotan itu yaitu ialah milik komplotan  


[1] https://tombakilmukita.blogspot.com//search?q=mengenal-hukum-tanah-dalam-adat, diakses pada hari Sabtu, 16 November 2013, jam 09:00 Wita.

Posting Komentar untuk "Hak Ulayat"