Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Fiqih Siyasah


BAB I
PENDAHULUAN

A.     LATAR BELAKANG
Siyasah Syar’iyah dipandang sebagai sebuah proses yang tidak pernah selesai. Ia senantiasa terlibat dalam pergaulan sosial dan pergumulan budaya. Fakta menyerupai itu sudah, sedang, dan akan berjalan dalam perjalanan sejarah umat Islam. Pemecahan atas pelbagai kasus yang terkait dengan ihwal Siyasah Syar’iyah lebih bersifat kontekstual, sehingga dengan demikian tanda-tanda Siyasah Syar’iyah menampakkan diri dalam sosok yang bermacam-macam sesuai dengan perbedaan waktu dan tempat.
Dalam perspektif kesejarahan, timbul pertanyaan-pertanyaan siapa yang harus merencanakan kebijaksanaan, melaksanakan dan menilai Siyasah Syar’iyah? Apa bentuk peraturan yang digunakan? Dalam kehidupan apa saja yang perlu mendapatkan peraturan? Dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang beragam. Hal ini tidak spesialuntuk disebabkan oleh perbedaan pemfokusan atas aspek-aspek tertentu dari kehidupan Siyasah Syar’iyah, tetapi juga dikarenakan ketidaksamaan kerangka pemikiran yang dipakai untuk melukisjelaskan pelbagai aspek Siyasah Syar’iyah. Selain itu, dimungkinkan pula oleh keragaman situasi dan kondisi ketika tanda-tanda Siyasah Syar’iyah dipelajari.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana pelaksanaan fiqh siyasah pada masa Rasulullah?
2.      Bagaimana pelaksanaan fiqh siyasah pada masa Khulafa al-Rasyidin?
3.      Bagaimana pelaksanaan fiqh siyasah pada masa setelah Khulafa al-Rasyidin?
4.      Bagaimana pelaksanaan fiqh siyasah pada pertengahan masa kedua puluh?

C.     TUJUAN
1.      Mengetahui pelaksanaan fiqh siyasah pada masa Rasulullah.
2.      Mengetahui pelaksanaan fiqh siyasah pada masa Khulafa al-Rasyidin.
3.      Mengetahui pelaksanaan fiqh siyasah pada masa setelah Khulafa al-Rasyidin.
4.      Mengetahui pelaksanaan fiqh siyasah pada pertengahan masa kedua puluh.
BAB II
PEMBAHASAN

A.     Bentuk Fiqh Siyasah Pada Masa Rasulullah
Fiqh Siyasah Syar’iyah sudah dilaksanakan oleh Rasulullah SAW. dalam mengatur dan mengarahkan umatnya menuju tatanan sosial budaya yang diridloi Allah SWT. Terutama tampak setelah Rasulullah SAW. melaksanakan hijrah. Meskipun demikian bukan berarti bahwa fakta yang sama tidak ditemukan ketika Rasulullah SAW. masih tinggal di Mekkah. Pada masa itu, Rasulullah SAW. lebih memusatkan perhatian atas perencanaan daripada pelaksanaan hal-hal yang berafiliasi dengan fiqh Siyasah Syar’iyah.
Peristiwa-peristiwa sejarah yang terjadi setelah Rasulullah SAW. menetap di Madinah ialah artikulasi nilai dasar fiqh Siyasah Syar’iyah. Sebagai komunitas dalam masyarakat yang majmuk, kaum muslimin diharuskan diberinteraksi dengan komunitas-komunitas lain yang terdiri dari orang-orang Nasrani, orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik Madinah. Dalam kedudukannya sebagai kepala negara, kebijakan Rasulullah SAW. melaksanakan fiqh Siyasah Syar’iyah.
Salah satu tumpuan pelaksanaan fiqh Siyasah Syar’iyah ialah kebijakan yang dibentuk Rasulullah SAW. berkenaan dengan persaudaraan intern kaum muslimin, yaitu antara kelompok Muhajirin dengan kelompok Ansor. misal lainnya ialah perjanjian ekstern antara komunitas muslim dengan komunitas non muslim. Sekalipun kendali kekuasaan dipegang oleh komunitas muslim dalam hal ini Rasulullah SAW., namun perjanjian yang dibentuk tidak mengganggu keyakinan komunitas non muslim hal ini tercipta lantaran Rasulullah SAW. mendasarkan kebijakannya atas prinsip al-ukhuwah al-insaniyah.

B.     Bentuk Fiqh Siyasah Pada Masa Khulafa al-Rasyidin
Persoalan siyasah yang pertama yang dihadapi kaum muslimin setelah Rasulullah SAW. wafat ialah suksesi politik. Rasulullah SAW. tidak memilih siapa yang akan menggantikannya dan bagaimana prosedur pergantian itu dilakukan. Oleh lantaran itu, dalam sejarah Islam, dikenal banyak sekali prosedur penetapan kepala Negara, dan tentu saja, dengan banyak sekali kriteria yang sesuai dengan sosiohistoris yang ada. Sebagai contoh, Abu Bakar diputuskan menurut pemilihan suatu musyawarah terbuka, Umar bin Khattab diputuskan menurut penunjukan kepala Negara penlampaunya, Utsman bin al-Affan diputuskan menurut pemilihan dalam suatu dewan formatur, dan Ali bin Abi Thalib diputuskan menurut pemilihan melalui musyawarah dalam pertemuan terbuka. Kenyatan demikian dimungkinkan oleh perubahan sosial budaya dan dengan demikian menampilkan huruf siyasah yang tidak sama dari waktu ke waktu dari daerah ke tempat.
Berikut ini akan dipaparkan banyak sekali aspek siyasah yang dihadapi para Khulafa al-Rasyidin dalam mengendalikan dan mengarahkan masyarakat Islam.

a.  Masa Khalifah Abu Bakar as-Shiddieq
Sesudah Rasulullah SAW. wafat, pengandalian dan pengarahan kaum muslimin dipegang oleh sobat bersahabat Abu Bakar. Pada masa ini, timbul persoalan-persoalan yang tidak timbul pada masa Nabi oleh lantaran itu terdapat pemecahan kasus yang diambil oleh Abu Bakar, dan dalam hal ini sanggup dipandang sebagai fakta siyasah. Adanya kelompok masyarakat yang enggan mengeluarkan zakat, lantaran zakat spesialuntuk wajib dikeluarkan pada waktu Rasul masih hidup, alasan mereka adalah

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ  [التوبة/103]
Artinya : “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu engkau memmembersihkankan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa engkau itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui”.

Mereka beralasan bahwa bentuk amar (perintah) pada ayat ini ditujukan spesialuntuk kepada Rasul, sehingga setelah Rasul wafat tidak ada kewajiban zakat. Selain itu, doa yang membawa ketentraman jiwa itu ialah doa Rasulullah SAW. bukan doa orang selain Rasul. Kebijakan Abu Bakar menentang hal ini tidak spesialuntuk lantaran tafsirannya, tetapi juga keengganan kelompok tertentu untuk mengeluarkan zakat sanggup membahayakan keutuhan umat dan mempreteli sendi-sendi pokok pemikiran Islam.

b.  Masa Khalifah Umar bin al-Khattab
Umar bin al-Khattab ialah khalifah yang banyak sekali mempersembahkan contoh-contoh siyasah. Diantaranya penerapan bea impor, dan pada masa itu berlaku atas dasar keseimbangan. Dalam hal ini, seimbang dengan bea impor yang dikenakan negara-negara non muslim kepada pedagang-pedagang muslim. Dalam hal ini sebesar 10%, lantaran negara non muslim pun mengambil sebesar 10%.
Umar bin Khattab yang pertama kali menunjuk seorang hakim khusus mengadili perkara-perkara dibidang harta kekayaan. melaluiataubersamaini demikian, sejarah Islam mulai mengenal dukungan kekuasaan meski terbatas pada forum direktur dan yudikatif.

c.   Masa Khalifah Utsman bin Affan
sepertiyang para penlampaunya, Utsman bin Affan berusaha menerapkan Siyasah Syar’iyah sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi selama masa pemerintahannya. Salah satu kebijakan Utsman bin Affan yang ialah tumpuan Siyasah Syar’iyah ialah mempersatukan umat Islam melalui penyalinan al-Qur’an pada satu mushaf, yaitu mushaf Utsmany.
Utsman bin Affan ialah Khalifah pertama yang memilih lokasi khusus untuk sidang pengadilan. Dikatakan demikian lantaran pada masa sebelumnya proses peradilan dilakukan di masjid.

d.  Masa Ali bin Abi Thalib
Pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, situasi politik sedang bergejolak, tentu saja, situasi demikian tidak memungkinkan khalifah untuk mengupayakan pengaturan dan pengarahan kehidupan umat secara leluasa. Pada  masa ini terjadi peperangan antar muslim sekalipun khalifah sudah berusaha mempersatukan umat, namun situasi politik semakin memburuk. Konflik berdarah yang dikenal dengan perang Siffin dan perang Jamal pun pecah. Ali bin Abi Thalib terpaksa berperang meskipun ia senantiasa berkeinginan untuk islah dengan sesama muslim.
Meskipun kepemimpinannya dihadapkan kepada situasi politik yang rawan namun bukan berarti bahwa Ali bin Abi Thalib tidak membuat kebijakan termasuk kategori fiqh siyasah antara lain dalam :
1. Urusan korespondensi.
2. Urusan pajak.
3. Urusan angkatan bersenjata.
4. Urusan manajemen peradilan.

C.     PERIODE PERKEMBANGAN FIQH SIYASAH
Sesudah masa kekhalifahan Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali muncul kembali kekuasaan qabilah padang pasir, menyerupai kekuasaan yang berlaku pada zaman sebelum Nabi Muhammad SAW. spesialuntuk saja bentuknya lebih besar dan lebih terorganisir di dalam sistem kerajaan. Sekalipun namanya kekhalifahan Umayyah dan Abbasiyah, namun sistem yang dianut bukan sistem kekhalifahan sebagaimana pada masa Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali melainkan sistem dinasti, yaitu kekuasaan yang dipegang oleh keturunan Umayyah dan keturunan Abbasiyah. Secara individual, perlu diakui adanya khalifah-khalifah yang bijaksana, arif, adil, jujur dan mempunyai kepedulian yang tinggi dalam menyejahterakan rakyatnya menyerupai yang sudah dilakukan oleh Umar bin Abdul Aziz dan Harun al-Rasyid.
Kebijakan-kebijakan para penguasa dirancang, dibuat, dan dilaksanakan untuk memenuhi hajat hidup masyarakat biar semakin meningkat. Hal ini ialah jawaban pribadi dari ekspansi kekuasaan politik umat Islam. Oleh lantaran itu, fiqh Siyasah Syar’iyah sebagai sebuah disiplin keilmuan mengalami perkembangan pesat.
Dalam sejarah Islam perkembangan fiqh siyasah sanggup dibagi menjadi tiga periode;
1. Periode klasik (661 M - 1258 M).
2. Periode pertengahan masa 13 s/d masa 19.
3. Masa moderen masa 20 s/d sekarang.
1. PEREODE KLASIK
Pada masa Bani Umayyah (661 M - 750 M) dan Bani Abbasiyah ( 750 M - 1258 M). Islam memegang kekuasaan dan mempunyai efek yang signifikan di pentas internasional. Pada masa Umayyah mengarahkan kebijakan expansi (pengembangan wilayah kekuasaan Islam) sebagai ajang dakwah. Pada dikala ini terdapat partai oposisi menyerupai syi’ah, khawarij, akan tetapi tidak mempunyai efek yang berarti.
Pada masa Abbasiyah, ada Ulama Sunny yang mulai menulis tentang siyasah, yaitu Ibn Abi Rabi’, mempersemahkan buku kepada khalifah al-Mu’tashim berjudul ”Suluk al-Malik fi Tadbir al-Mamalik” (pedoman raja dalam menjalankan roda pemerintahan). Meskipun buku tersebut dianggap memuja raja, tetapi alur pikir tentang ”tata negara” sudah diwujudkan. Ibnu Abi Rabi’ menekankan wajib secara mutlak, rakyat patuh terhadap khalifah. Ia digambarkan sebagai khalifah yang adil, bijak dan bisa memdiberi kesejahteraan pada rakyatnya. Dalam teorinya terdapat kata ”kota dan negara”, ialah kolaborasi antar insan yang membentuk negara tersebut. Imam al-Ghazali (1058 - 1111 M) dalam bukunya al-Iqtishad fi al-I’tiqad, menyetujui teori tersebut dan mengomentari bahwa misi kepala negara ialah suci (qudus). Berbeda dengan komentar al-Mawardi (975 - 1059 M) bahwa memecat kepala negara mungkin terjadi. Ia mengemukakan teori ”kontrak sosial”. Mengangkat kepala negara ialah proses kontrak sosial.
Para tokoh pada masa ini;
1. Ibn Abi Rabi’ menulis buku tentang tata negara: ”Suluk al-Malik fi Tadbir al-Mamalik” (pada mas Abbasiyah).
2. Imam al-Ghazali menulis: ”Al-Iqtishad fi al-I’tiqad”. Kepala negara ialah suci (qudus).
3. Al-Farabi (870-950 M); sebagai filosof, pemikirannya bersifat idealis yang cenderung utopis. Dipengaruhi filsafat Yunani Kuno menyerupai Plato dan Aristoteles. Karyanya berjudul: ”Ara Ahl al-Madinah al-Fadhilah” (Pandangan Para Penghuni Negara Utama). Al-Farabi membagi kelas sosial menjadi tiga a). kelas pemimpin b). kelas militer dan c). kelas rakyat jelata. Kalangan sunny menganggap bahwa imamah ialah kewajiban syar’iy.
4. Kalangan Syiah berbagi teori: a). keutaman ahlu bait b). kema’suman imam c). kegaiban imam, terutama pada masa al-Mu’tamid (869-892 M), sebagai imam yang ke dua belas. Muhammad al-Mahdi (873 M) al-muntadhor= yang ditungu-tunggu kehadirannya kelak. Kalangan Syi’ah juga pernah mendirikan kekuasaan di Baghdad Bani Buwaihi dan Daulah Fathimiyyah di Mesir, yang lepas dari efek Abbasiyah.
5. Kalangan Khawarij, perilaku ekstrim dan radikalnya tidak banyak besar lengan berkuasa dalam pentas politik. Pemikiran mereka tidak banyak diadopsi. Tokoh mu’tazilah yang mengadopsi salah satu teori mereka ialah Qadhi Abd al-Jabbar, menulis buku ” Syarh al-Ushul al-Khamsah” dan al-Mughni. Diantara pokok-pokok pikirannya; a). penegakan imamah (nasb al-imam) ialah bukan kewajiban syr’iy, tetapi menurut rasio. Sebab kepala negara bukan orang yang tepat (tidak menyerupai syi’ah) b).tidak harus dari suku Quraisy (seperti klaim sunny). Asal mempunyai kemampuan dan syarat yang cukup. Simpulan yang fundamental terhadap kajian politik masa ini adalah; a) politik dipengaruhi oleh kepentingan golongan b). dipengaruhi oleh pemikiran filsafat Yunani dan asing.
2. PEREODE PERTENGAHAN
Tahun 1258 kekuasaan Abbasiyah mengalami kehancuran dari serangan bangsa Mongol di Baghdad. Ibnu Taimiyyah (1263 M - 1328 M) menyaksikan kehancuran dunia Islam ke tangan Mongol. Ia kemudian menulis buku ”al-Siyasah al-Syar’iyyah fi Islah al-Ra’yi wa al-Ra’iyyah” (Politik Islam dalam menata kebaikan/kemaslahatan penguasa dan rakyat) dan Minhaj al-Sunnah, berupa 4 jilid besar. Pokok-pokok pikirannya : a). nasb al-imam atau mengangkat kepala negara bukan kewajiban syari’y tetapi ialah kebutuhan simpel b). tidak harus dari suku Quraiys tetapi harus al-amanah (jujur) dan al-quwah (wibawa), sebagai syarat mutlak. Al-Quwah sebagai syarat yang utama lantaran kekuatannya sangat berkhasiat untuk umat Islam. Adapun al-amanah (jujur), dianggap syarat kedua, lantaran kesalehannya untuk dirinya sendiri, berbahaya untuk rakyatnya. Jika jahat akan terpulang pada dirinya juga. c). kepala negara harus bisa srangan dari luar d). kepala negara ialah bayang-bayang dari Tuhan. Rakyat wajib taat kepadanya meskipun dzalim. Orang yang melaksanakan pemberontakan kepadanya dianggap mati jahiliyah (sia-sia). Pada masa ini kelompok syi’ah menjadi oposisi yang merongrong kewibawaan negara. Karena itulah kitab yang terakhir tersebut diatas diterbitkan. Dari lingkup yang lebih luas, Islam terjebit dengan adanya perang salib. Di Spanyol umat Islam digerogoti Kristen. e). Jika dikehendaki, dua pemerintahan dalam satu masa diperbolehkan (contoh; negara protektorat, uni dll).
Ibnu Khaldun ? sunny (1332 - 1406 M) mengangap syarat Quraisy (dalam al-Hadits) sebagai seorang calon kepala negara bukan harga mati tergantung kondisi, berlaku kontekstual. Karyanya ialah Muqaddimah. Pada dikala ini kondisi umat Islam sangat parah. Umat Islam di Spanyol diusir atau dipaksa masuk Kristen. Ia sebagai pelaku sejarah.
Syaih Waliyullah al-Dahlawi (1702 M - 1762 M); pokok pikirannya a). boleh membangkan kepala negara yang tiran dan dzalim b). mengaggap pemerintahan pasca khulafa al-rasyidun ialah tidak tidak sama dengan kerajaan Romawi dan Kaisar di Persia.
3. PERIODE MODEREN
Dunia Islam semakin lemah, hampir seluruh negeri muslim di bawah penjajahan bangsa-bangsa Barat. Para koloni ini berbagi gagasan politik dan budayanya yang mempunyai efek sekularisme di tengah-tengah umat Islam.
Dunia Islam setelah tiga kerajaan besar Islam mundur; kerajaan Usmani di Turki, Mughal di India dan Safawi di Persia (1700-1800 M), tidak bisa menandingi keunggulan Barat dalam bidang tehnologi, ilmu pengetahuan, ekonomi dan organisasi.
Menghadapi penestrasi (perembesan) budaya dan tradisi Barat, sebagian pemikir Islam; a). ada yang apriori dan anti Barat b). ada yang ingin mencar ilmu dan secara selektif mengadopsi gagasannya dan c). ada juga yang sekaligus oke untuk mencontoh gaya mereka. Sikap pertama menganggap bahwa pemikiran Islam lengkap, untuk mengatur kehidupan insan termasuk politik dan kenegaraan. Merujuk pada sistem dari nabi Muhammad saw dan al-Khulafa al-Rasyidun. Sikap kedua melahirkan kelompok yang beranggapan bahwa Islam spesialuntuk menyajikan seperangkat tata nilai dalam kehidupan politik kenegaraan umat Islam. Kajian-kajian politik kenegaraan harus digali sendiri melalui proses reasoning (ijtihad). Sikap yang ketiga melahirkan kelompok orang yang sekuler. Berkeinginan untuk memisahkan kehidupan politik dari agama. Model-model inilah yang kemudian berkembang hingga dengan sekarang.
Diantara tokoh-tokoh aliran pertama adalah; M. Rasyid Ridha – Libanon (1865-1935 M), Hasan al-Banna (1906-1949 M), Abu al-A’la al-Maududi-Pakistan (1903-1979 M), Sayyid Quthb (1906- 1966 M) dan Ayatullah Khomeini- Iran ( 1900-1989 M). Mereka beranggapan pemikiran Islam komplit. Pemikiran Rasyid Ridha dalam kitab Al-Khilafat aw al-Imamah al-Udzma diantaranya mengupas bahwa pimpinan (kepala negara) dari suku Quraisy, sama menyerupai pemikir sunny klasik. Hasan al-Banna, terlihat dalam ceramah-ceramahnya yang terkenal dalam gerakan Al-Ikhwan al-Muslimun. Temannya Sayyid Quthb menyusun buku Al-’Adalah al-Ijtima’iyyah fi al-Islam dan Ma’alim fi Thariq. Almaududi sebagai pimpinan partai ”Jama’at el-Islam”di Pakistan menulis buku Islamic Law and Constitution. Khomeini berbagi gagasan syi’ahnya dalam politik dengan konsep imamahnya dalam Wilayat al-Faqih. Menurutnya imam masih gaib, kepemimpinan umat Islam (Syi’ah) dipegang oleh hebat agama yang mempunyai kekuasaan agama dan politik. Secara umum mereka mendambakan negara universal yang bisa menyatukan seluruh dunia Islam. Ridha menyebutnya negara Khilafah, Quthb menamakannya negara supranasional, sedangkan al-Maududi menyebutnya negara universal yang menyerupai negara fasis (penentang pemikiran marxis = antimarxis). Mereka memandang Barat sebagai musuh Islam. Segala sesuatu yang hadir dari Barat harus ditolak, lantaran tidak sesuai dengan budaya Islam. Khomeni amat membenci Barat, Amerika dijuluki setan besar.
Tokoh-tokoh aliran kedua diantaranya ’Ali ’Abd al-Raziq (1888-1966 M), Thaha Husain (1889-1973 M). Masing-masing dari Mesir dan Mustafa Kemal Attaruk. ’Ali ’Abd Raziq memandang bahwa Islam tidak mempunyai aturan tentang politik. Nabi spesialuntuk sebagai Rasul Allah, tidak berpretensi untuk membentuk negara dan politik. Karyanya yang perdebatan Al-Islam wa Ushul al-Hukm. Thaha menulis Mustaqbal al-Tsaqafah fi Mishr. Ia beranggapan , bila Mesir ingin maju, haus mencontoh Barat. Mustafa Kemal terlalu jauh mencontoh Barat. Ia melaksanakan sekularisasi besar-bemasukan. Aksara Arab diganti Latin, Adzan diganti dengan bahasa Turki, mengadopsi hukum-hukum Barat dan menghapus lembaga-lembaga keagamaan yang pernah ada di sana.
Tokoh aliran ketiga M. Abduh (1849-1905 M), M. Iqbal ( 1877-1938 M), M. Husain Haykal (1888-1956 M), Muhamad Natsir (1908-1993 M) dan Fazlur Rahman. Abduh menganggap bahwa kepala negara bukan wakil Tuhan, tetapi pemimpin politik, lantaran tidak mempunyai kekuasaan keagamaan, menyerupai pandangan Kristen. Pandangan ini diikuti oleh Haykal anakdidik Abduh. Ia menganggap bahwa pengamalan agama harus diawasi oleh penguasa. Haykal menulis Al-Hukumah al-Islamiyyah. Diantara isinya; a). Islam tidak mengatur secara mendetail tentang kenegaraan secara baku, spesialuntuk memuat prinsip-prinsip dasar saja. b). Umat Islam dibebaskan untuk menganut sistem pemerintahan. Disesuaikan kondisi masing-masing. Iqbal menulis buku The Reconstrucsion of Religious Thought in Islam. a). Ia mendapatkan konsep sosialis, lantaran tidak berperihalan secara prinsip dengan Islam. b). Komunisme-ateisme berperihalan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan Ketuhanan. c). Demokrasi tidak mempunyai landasan secara vertikal kepadaAllah, menyerupai tercermin dari karyanya Implementation of the Islamic Concept of State in the Pakistan Milleu. Di Indonesia salah satunya M. Natsir; a). Isalam tidak sama dengan agama lain, mengandung pertauran dan hukum-hukum kenegaraan. b). Islam tidak memdiberi ketentuan yang baku tentang kenegaraan. Tokoh lain diatas antara lain Abd al-Wahhab Khalaf, menulis Al-Siyasah al-Syar’iyyah. Yusuf al-Qardhawi menulis Min Fiqh al-Dawlah fi al-Islam, Muhammad Yusuf Musa menulis Nizham al-Hukum fi al-Islam. Abu Zahrah; Al-’Alaqah al-Dauliyah fi al-Islam, ’Ali Ali Manshur menulis buku al-Syari\ah al-Islamiyah wa al-Qanun al-Duali al-’Am. Umar Kamal Tawfiq menulis Al-Diblumasiyah al-Islamiyah serta Wahbah al-Zuhaili menulis Atsar al-Harb fi al-Faqih al-Islam. Kajian-kajian tersebut tentu saja menambah hazanah fiqih siyasah.
Di Indonesia sekalipun Islam tidak ialah dominasi pemenangan agama secara formal tetapi ia ialah salah satu sumber aturan bagi pembentukan aturan nasional. Pada kurun waktu terakhir, secara material dan formal pelaksanaan aturan perdata bagi umat Islam sudah diatur menurut aturan Islam, yang diturunkan dari syari’at aturan Islam.



BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dari paparan singkat tentang fiqh siyasah tergambar bahwa siyasah ialah perbuatan kebijakan yang diwujudkan dalam pengaturan, serta dilaksanakan dan diawasi untuk meraih sebanyak mungkin kemaslahatan bagi umat manusia. Oleh lantaran itu, di dalam siyasah selalu diupayakan jalan-jalan menuju kemaslahatan dan selalu ditutup dan dihindarkan jalan-jalan yang mengarah kepada kemafsadatan.
Secara garis besar muncul tiga kelompok yang mempersembahkan penafsiran tentang hubungan antara Islam dan ketatguagaraan, yaitu: a). ada yang apriori dan anti Barat b). ada yang ingin mencar ilmu dan secara selektif mengadopsi gagasannya dan c). ada juga yang sekaligus oke untuk mencontoh gaya mereka. Sikap pertama menganggap bahwa pemikiran Islam lengkap, untuk mengatur kehidupan insan termasuk politik dan kenegaraan. Merujuk pada sistem dari nabi Muhammad saw dan al-Khulafa al-Rasyidun. Sikap kedua melahirkan kelompok yang beranggapan bahwa Islam spesialuntuk menyajikan seperangkat tata nilai dalam kehidupan politik kenegaraan umat Islam. Kajian-kajian politik kenegaraan harus digali sendiri melalui proses reasoning (ijtihad). Sikap yang ketiga melahirkan kelompok orang yang sekuler. Berkeinginan untuk memisahkan kehidupan politik dari agama. Model-model inilah yang kemudian berkembang hingga dengan sekarang.


DAFTAR PUSTAKA

Djazuli, Fiqh Siyasah : Implementasi Kemaslahatan Umat Dalam Rambu-rambu Syari’ah, Kencana Prenada Madia Group, Jakarta, 2003.
https://tombakilmukita.blogspot.com//search?q=kuliah-fiqh-siyasah-politik-islam/
http://cairudin.blogspot.com/2010/11/study-fiqih-fiqih-siyasah




Posting Komentar untuk "Fiqih Siyasah"